"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk.
"Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak.
"Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.
Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun."
"Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.
Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya.
"Sesek Vin, jangan erat banget."
Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.
Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya.
"Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay."
"Enggak, sana mandi Vin. Kamu tuh kebiasaan, kalo telat gimana?" Naya hendak beranjak, tetapi lengannya ditarik oleh Gavin. Yang sekarang posisinya berada dipangkuan Gavin.
Mereka saling bertatap selama beberapa menit. Lalu Naya mengerjapkam matanya. Sadar. Lalu hendak berdiri. Namun, lagi dan lagi Gavin menariknya kembali. Membuat Naya berdecak kesal.
"Morning kiss dulu," kata Gavin sambil menepuk-nepuk bibirnya.
Naya membelalakkan matanya. "Gak ada ah, Vin." Kata Naya mengalihkan pandangannya kearah lain. Dia salah tingkah.
"Ih gitu, pipinya merah. Berati kamu salting," goda Gavin.
"Gak mau Vin. Jauh-jauh sana," titah Naya mendorong pelan wajah Gavin yang semakin maju.
Gavin bukannya menjauh malah lebih mendekat. Nafas Naya tercekat, jarak sedekat ini membuatnya memerlukan banyak oksigen.
Gavin semakin mendekat ...
Makin dekat ...
Dekat ...
Dan, BYURRRRR!
"AAAAAAAA! BANJIR WOYYY!"
"HUJAN! HUJAN! PAYUNG DONG ANJIR!" teriaknya yang masih belum membuka mata. Dengan perlahan Gavin membuka matanya. Hal yang pertama ia lihat adalah Mamanya, tangan kanannya yang memegang gayung, dan tangan kirinya memegang pinggangnya. Mukanya terlihat sangat sangar.
"Mama?! Ngapain sih Ma? Basah kan?" amuknya.
"Ngapain-ngapain! Gak liat sekarang jam berapa? Kamu udah telat Gavin! Ngapain juga tuh bibir monyong-monyong? Hah?!"
Mama Renata tak tinggal diam. Dia juga memarahi anak semata wayangnya.
"Hah?" Gavin masih linglung. Kesadarannya belum kumpul sepenuhnya.
"Astagfirullah Ma, Gavin telat. Ngomelnya dianjuk dulu yah," kata Gavin lalu melenggang kearah kamar mandi, berniat membersihkan badannya.
"Berati tadi cuma mimpi? Ck. Tau gitu gue gak usah bangun aja," gerurunya dikamar mandi.
"GAVIN! BURUAN JANGAN NGOMEL MULU!"
***
"Naya sama Kevan berangkat dulu ya, Ma. Assalamualaikum," pamit Naya lalu mencium kedua punggung tangan orang tuanya. Bergantian dengan Kevan.
"Iya hati-hati sayang. Walaikumsallam," kata Jessie dan Devan.
Kini sikembar sedang berada didalam mobilnya. Naya memainkan ponselnya. Kevan yang fokus dengan bahu jalanan.
"Nay, lo sadar gak sih?" Kevan memulai percakapannya.
"Sadar apa?"
"Kalo si Gavin suka sama lo," katanya to the poin.
"Ya terus?"
"Ya lo respon lah."
"Apaan deh."
"Pokoknya lo nggak boleh cuek-cuek sama semua orang."
"Iya abang ku sayangg."
***
Bel masuk sudah berdering 20 menit yang lalu. Tetapi, Gavin belum memasuki kelasnya. Membuat Kevan harus berfikir keras. Kalau Gavin berangkat siang, antara kesiangan atau tidak sekolah dan mengiriminya pesan telat.
"Nay," bisik Kevan dibelakangnya.
Naya menoleh. "Lo ada kabar tentang Gavin?" tanya Kevan.
"Kok lo nanya gue?" tanya balik Naya.
"Ya siapa tau, kan, lo tau."
"Eng-"
"Kanaya," tegur guru yang sedang mengajar didepan. Naya refleks menoleh ke depan.
"Eh, i-iya Bu?"
"Kamu kenapa nengok terus ke belakang? Ada yang kurang?"
Naya gelagapan sendiri. Gara-gara kakaknya ini. "Eng ... nggak Bu, itu tadi, emm ... Anu." Naya merutuki kebodohannya sekarang. Bisa-bisanya di gugup hanya ditanya seperti itu.
"Oh iya, Gavin kemana Naya?" tanya guru itu.
"Ha? Naya gak tau Bu," jawab Naya seadanya. Memang tidak tahu bukan?
"Terus kenapa kamu nengok ke belakang terus?" desak guru itu. Perlu kalian ketahui bahwa guru ini sangatlah killer. Salah sedikit saja bisa dihukum. Yang Naya khawatirkan jika dia harus dihukum. Masa iya, yang salah bukan dia, eh yang dihukum malah dia. Tidak adil bukan?
"Itu tadi Kev-"
"Assalamualaikum, maaf Bu saya telat."
Naya menghela nafas lega. Akhirnya si biang masalah datang juga.
"Kamu telat berapa menit Gavin?"
Gavin melihat kearah tangan kirinya, disana jam tangannya melingkar. "Tiga puluh menit bu," kata nya santai.
"Kamu hormat didepan bendera sampai istirahat."
Tuh kan! Apa kata Naya tadi! Sangat killer.
"Lah, Bu? Cuma tiga puluh menit kan?" ujarnya linglung.
"Cepetan! Atau mau Ibu tambah?" ancam guru itu.
"Eh, enggak Bu!"
Gavin melangkah kan kakinya kearah mejanya. Lalu menyimpan tas nya disamping kursi Kevan. Sebelum melenggang, dia berkata. "Ketemu di kantin," katanya.
Yang angguki oleh Kevan dan Darrel.
Gavin belum terlalu jauh, dia masih berada dipintu. Tapi, ucapan gurunya yang membuat langkahnya terhenti.
"Kamu juga Naya."
Naya membulatkan matanya sempurna. "Hah? Salah Naya dimana?"
"Tadi kamu mengobrol di jam pelajaran ibu, cepetan."
Naya beranjak. "Ketemu di kantin Ge," katanya. Dibalas anggukan mengerti oleh Gea.
Naya melenggang dari tempat duduknya. Dia melewati Gavin yang termenung di sudut pintu. Dia kan menunggu Naya. Tapi, kok malah dia yang ditinggal?
Tidak habis akal, Gavin mengejar Naya. Mensejajarkan langkahnya.
"Apaansi tuh guru. Gue nggak salah apa-apa juga. Dihukum pula," gerutu Naya.
"Udah kali, kan ada gue." Kata Gavin
Naya memberhentikan langkahnya. Menatap Gavin tajam. "Ya semua ini gara-gara lo tau nggak," kata Naya galak.
"Enggak," jawab Gavin cuek.
"NGESELIN!" jeritnya. Lalu pergi dari hadapan Gavin.
"NGGAK PAPA. BIAR LO MAKIN SUKA!" Gavin ikut berteriak.
Naya yang mendengar ucapan Gavin berhenti. Dia memegang dadanya yang bergemuruh. Tidak mungkin!
***
Kini Naya dan Gavin sedang berada ditengah lapangan menghadap kearah tiang bendera.
Gavin menoleh kesampingnya. "Nay, muka lo pucet. Lo udah sarapan?" tanyanya.
Naya ikut menoleh. Namun, agak mendongak. Karena perbedaan tinggi mereka. "Udah. Tapi, sedikit. Soalnya tadi gue kesiangan," katanya berucap panjang. Tidak perlu dijelaskan lagi kan?
"Ke kantin aja yuk, gak tega gue liat muka pucet lo."
"Terus ini gimana?"
"Gak papa, nanti bilang aja lo belum sarapan," kata Gavin yang kini posisinya berada dihadapan Naya. Bermaksud menghalangi sinar matahari.
"Gak mau," tolak Naya.
"Nanti kalo lo ping—"
"Udah Vin, ngadep depan lagi. Gue gak papa," potongnya cepat.
Gavin menurut. Tetapi, matanya terus memperhatikan gerak-gerik Naya. Gadis itu memijit pelipisnya, bermaksud menghilangkan pening dikepalanya. Lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Namun, peningnya masih terasa, dan semakin memberat.
"Vin ..." cicit Naya, tangannya memegang bawah baju seragam Gavin.
"Ke UKS aj—"
Brukk
Belum sempat Gavin membereskan ucapannya. Naya terjatuh dan tak sadarkan diri dipangkuan Gavin.
Dengan cekatan Gavin membopong tubuh Naya, membawa gadis yang pingsan ini ke UKS.
Bel istirahat sudah berdering sekitar lima belas menit yang lalu. Tapi, keberadaan Naya dan Gavin tidak ditemukan oleh Kevan, Gea dan Darrel.
"Lo chat aja si Gavin atau si Naya Van. Ribet kalo gini," kata Darrel.
"Kenapa gak dari tadi sih, Rel."
Kevan membuka ponselnya. Lalu beralih ke aplikasi W******p.
Baru saja dia ingin mengirim pesan, Gavin mengiriminya pesan terlebih dahulu.
Gavinlol:
Naya di UKS. Gue lupa ngasih tau.
Kevan:
LO NGAPAIN DI UKS HA?! JANGAN
MACEM MACEM LO YA. AWAS!
Gavinlol:
Gak usah capslook anjing! Buruan sini. Bawain bubur. Teh angetnya udh ada.
Kevan melenggang kearah penjual bubur Ayam. Memesankannya sesuai perintah Gavin. Ia juga baru ingat, bahwa Naya tadi sarapan hanya sedikit. Dikarenakan dia bangun siang.
"Uks," katanya.
Lalu mereka bertiga berjalan tergesa menuju UKSM
Pintu UKS tertutup rapat. Membuat Darrel menggelengkan kepalanya. "Wah Van! Gak beres nih, ngapain ditutup-tutup gini ha?! Gak bisa ini Van," kata Darrel menggebu-gebu.
Kevan menjitak dahi Darrel kesal. "Pikiran lo ya, minta gue cokel tuh otak? Ha?!"
"Eh, jangan dong!"
"Masuknya kapan? Malah ribut," kata Gea lalu membuka pintu UKS.
Diikuti keduanya.
"Vin, kok bisa pingsan?" tanya Gea yang sudah berada di brankar milik Naya.
"Katanya dia sarapannya sedikit. Mukanya pucet banget tadi. Gak tega gue liatnya," jawab Gavin.
"Alahhh! Ngomong aja lo peduli," koreksi Darrel.
"Diem anj–"
Ucapan Gavin terhenti ketika Naya mulai bergerak, perlahan matanya terbuka.
Kevan dengan sigap membantu Naya duduk. Lalu menyodorkan minum. Diambil oleh Naya dan diteguk tinggal setengahnya.
"Lo kenapa bisa gini sih Nay? Lo kenapa sarapan dikit? Terus kenapa lo bisa kesiangan? Semalemnya lo ngapain? Kalo Mama sama Papa tau gimana? Gue yang dimarahin," cerocos Kevan.
"Van, dia baru sadar goblok! Masih pusing kepala dia, udah lo tanya sebegitu banyak," kata Gavin gemas sendiri.
"Gue khawatir sebagai kakak Vin. Lo nggak ngerti," jawab Kevan.
"Lo berdua diem. Ini semua gara-gara kalian berdua," kata Naya.
"Kok, kita?" ucapnya bersamaan.
"Pertama, Lo Gavin. Kalo lo gak telat, atau seenggaknya hubungin nih temen lo," kata Naya menunjuk Kevan. "Gak mungkin dia tanya gue, dia taunya gue deket sama lo. Padahal bertukar pesan pun jarang," lanjutnya.
"Oh, lo mau nya chattingan tiap hari sama gue?" goda Gavin.
Naya tidak menggubris. "Dan kedua. Lo, Kevan. Andai lo nggak manggil-manggil gue. Gue gak mungkin noleh dan jawab semua pertanyaan lo. Dan untuk semalam gue tidur malem karena ..." Naya sengaja menggantungkan ucapannya.
"Karena?" ulang Kevan.
"Gak usah tau," kata Naya.
Gea menoleh ke arah Naya. Ada yang berbeda dari sahabatnya ini. "Nay, kok lo jadi cerewet. Padahal baru siuman," kata Gea melongo.
"Ya ini gara-gara Kevan! Coba aja kalo dia gak ngancem gue, gak bakalan jadi kek gini," sewotnya.
"Gara-gara Kevan?" Beo Gavin, Gea dan Darrel. Sementara Kevan mengulum senyumnya. Hampir saja Naya kelepasan. Pikirnya.
"Iya dia ngancem kalo gue gak hangat sama orang lain. Dia bakalan nyebarin kalo gue suk–" seolah tersadar. Naya menghentikan ocehannya. Dia menatap Kevan tajam. Yang ditatap malah bodo amat!
Tuhkan! Apa kata Kevan. Hampir saja. Padahal Kevan tidak menyebarkannya.
"Suk? Suk apa Nay? Lo pake susuk?" tanya Darrel ngaco.
"Sembarangan!" kilah Naya.
"Suk apadong?" tanya Gea yang masih terbengong-bengong.
"Nanti juga kalian tau."
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Naya memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Setelah ditaman tadi, Naya meminta Gavin untuk ke Cafe terdekat terlebih dulu. Karena sudah hampir tiga jam mereka berada ditaman itu, cacing-cacing didalam perut Naya sudah demo meminta diisi. Gadis itu tidak mempedulikan tatapan khawatir Kevan dari ruang tamu. Naya mencium punggung tangan Jessie dan Devan. "Dari mana Nay?" tanya Devan. "Taman." "Dengan?" "Gavin." "Udah mulai ekhem - ekhem nih ya," goda Jessie. Membuat Naya memutar bola matanya jengah. "Enggak ma," elak Naya. "Iya juga nggak papa," sahut Devan. Membuat Naya ingin mengumpat saja. "Kamu kok nggak bareng sama Kev—" "Nay cape, mau istirahat." Naya memotong ucapan Devan dengan cepat. Dia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang lelah ini.
Naya, Kevan dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin. Ramainya suasana sekolah ketika sedang beristirahat. Membuat Naya malas saja. Tapi, kata perutnya dia butuh diisi, jadilah Naya ikut ke kantin. "Mau pesen apa?" tanya Naya yang masih berdiri ketika yang lain sudah menduduki kursinya masing - masing. "Batagor." "Mie ayam." "Bakso," "Nasi goreng." "Oke. Bakso lima," putus Naya yang langsung melenggang ke penjual bakso. Kevan mengelus dadanya sabar. Darrel cengo, Gavin pun sama. Gea apalagi. "Semenjak baikan sama lo, dia kok jadi ngeselin ya, Van?" Kata Gavin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tau gue. Gara - gara lo juga Rel, dia jadi suka ngumpat. Herman gue." "Sianjing malah nyalahin! Lo juga sering ngumpat ya gob
"Nay gak mau tau pa, dia harus dikeluarkan." pinta Naya. Devan menghela nafas lelah. "Tapi, kenapa? Kasih papa alasan Naya." Dengan sekali helaan Naya menceritakan semuanya. Yang berawal dari Gea hampir dilecehkan. Kevan yang dipancing emosi dengan cara sampah bajingan itu. Devan dan Jessie tercengang mendengar penuturan Naya. Tidak habis pikir bisa seperti ini. Pantas saja Naya murka, ini sih bukan hal sepele lagi. "Baik. Papa akan keluarkan dia, benar kata kamu. Kehilangan satu donatur nggak bikin sekolah kita hancur," ujar Devan membuat Naya tersenyum miring. Lihat saja besok! **** Suasana kelas XI IPA 1 mendadak ramai. Ketika sang guru mengumumkan kelas itu free. Bisa - bisa akan terjadi konser dadakan ini. Naya masih anteng - anteng saja ditempatnya. Gea disampingnyapun sama. Tapi, ketiga curut itu sudah berulah. Lihat saja, Darrel yang sudah
Hari ini adalah hari yang paling dinanti oleh murid kelas 11 IPA 1. Karena pelajaran seni budaya. Selain gurunya yang ramah, murah senyum, baik dan pengertian. Ditambah lagi, guru itu tidak mau ambil ribet. Mau nilai kerjakan, tidak mau nilai tidak usah. Karena kebanyakan guru yang terus - menerus memerintahkan siswanya harus kerjain inilah - itulah. Alasannya guru seni budaya itu simple. “Saya gak mau ambil pusing, kalian mau belajar silahkan, kalau tidak ya sudah. Sudah besar, kalian tau mana yang benar dan tidak.” Seluruh murid sudah duduk rapih kala Bu Aulia – guru Seni budaya, memasuki kelas 11 IPA 1 itu. "Selamat siang anak - anak," sapa bu Aulia tak lupa dengan senyumnya. "Siang bu!" jawab mereka serempak. Bu Aulia melangkahkan kakinya ke depan papan tulis. "Hari ini ibu mau kalian bikin drama, terserah mau tema atau judulnya apa. Yang penting kalian tampil," terangnya. Darrel mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi. "B
Semilir angin berhembus menubruk kulit putih gadis yang kini sedang duduk dibalkon kamarnya. Sambil menatap bulan diatas sana, ingin rasanya ia gapai. Namun, pertanyaannya. Apakah ia sanggup? Ah, ternyata mimpinya terlalu tinggi. Ia ingin menertawakan mimpinya yang mungkin tak masuk akal itu. Panggilan seseorang membuat perhatian gadis itu teralih, ditatapnya kearah pintu balkon, ternyata kakaknya. "Balkon," katanya, singkat namun laki-laki itu paham. Dengan langkah gontai pemuda itu menghampiri gadis yang sedang duduk disofa balkon kamarnya, lalu ia duduk disampingnya. "Belum tidur, Nay?" Yah, kalian pasti tahu mereka. Naya mendelik. Tidakkah sadar jika diriya masih berada disini, berati dia belum tidur. "Aneh," desisnya. "Apanya yang aneh, njirr?" ujar Kevan sewot, padahal pertanyannya masuk akal. Sa
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y