Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu?
Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini?
Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget!
"Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini.
"Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan."
"Masih pagi juga," decaknya.
"Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu.
"Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah Gavin, bisa gawat kalau sampai Gavin melihat rona merah di wajahnya.
"Siap—ah Gavin, adik iparku," kata Kevan terputus ketika melihat kehadiran sahabatnya.
Kevan menepuk pelan bahu Gavin. "Ngapain nih, pagi-pagi banget," ujar cowok itu.
"Niatnya sih, mau ngajak Naya lari keliling komplek aja. Eh kesiangan kan? Yaudah main aja kesini. Sekalian ajak yang lainnya aja buat kumpul-kumpul. Ye kan," jelasnya.
"Edi bagus," kata Kevan sembari menganggukkan kepalanya.
"Ide, Van." Koreksi Naya. Gadis itu hanya menyimak obrolan keduanya.
"Serah gue dong," sewot Kevan.
"Minta ditabok."
"Nih, tabok aja. Ikhlas gue mah, ikhlas Nay." Kevan malah menantang dengan mendekatkan wajahnya ke arah Naya.
"Sini," tantang Naya.
"Yang—"
"Ada tamu kok malah berantem diluar? Gak malu, hm?" kata Jessie yang tiba-tiba berada diantara mereka.
"Dia tamu Kevan kok Ma. Nay—"
"Gue mau ketemu lo, Nay," kata Gavin cepat memotong ucapan Naya.
Naya mendengus sebal. "Yaudah masuk," katanya lalu meninggalkan sang Mama, Gavin dan Kevan.
"Punya anak akhlaknya ke bapaknya semua," gumam Jessie bingung sendiri.
***
Sesuai dengan edi Gavin. Eh, ide maksudnya.
Gavin mengajak Darrel serta Gea. Kini mereka sedang berada di ruang tamu.
"Lo tumben banget ngajak main?" Kata Darrel memulai percakapan.
"Ya udah lo pulang," sahut Naya. Dia menepati janji nya pada Kevan. Yaitu menjadi Naya yang hangat kepada semua orang. Ya, walaupun masih terkesan jutek.
"Gue kan cuman nanya Nay. Ah, elah."
"Kita ngajakin lo cuma lagi inget doang, kan Vin?" ujar Kevan.
Gavin mengangguk menyetujui. "Yoi, kalo nggak inget ya nggak ngajak lo."
Darrel mendengus kasar. Untung teman.
"Udah dong, kita kesini kan mau main. Main apaan nih?" lerai Gea. Dia yang waras ngalah.
"Game. Tapi game apa. Punya edi?" sahut Kevan.
"IDE!" Koreksi semuanya tanpa terkecuali.
Kevan berdecak. "Iya, iya itu. Gimana?"
"Otak gue blank," kata Darrel lesu.
"Emang otak lo pernah waras?" sahut Naya.
"Sekate-kate lo Nay. Gue gini-gini juga pinter kali," kata Darrel sewot.
"Dare or dare," kata Gavin menengahi.
Naya menoleh. "Kok gitu. Bukannya Truth or dare?"
"Ini kan gamenya beda."
"Ya kalo gitu berati tantangan semua. Gak ada yang jujur-jujuran."
"Nggak bisa, ini yang baru. Buat yang berani aja. Kalo pengecut, nggak usah ikutan."
Naya menatap Gavin tajam. "Oke! Gue nggak takut. Lo semua harus ikutan," putusnya.
Mereka mulai melingkari meja. Botol sudah berada di genggaman Gavin. Sebagai penemu ide game itu, katanya.
"Siap?" tanya Gavin yang diangguki semuanya.
Botol mulai berputar-putar. Hingga pada saat nya botol itu berhenti di ...
"DARREL!" ucap mereka serempak.
"Ck. Dosa apa gue," gumam Darrel, pria itu menggaruk tengkuknya. "Yaudah apa darenya?" lanjutnya.
"Lo harus joget dan ngelagu yang tempo hari lo laguin," kata Naya menyeringai.
"Oke. Gampang itumah," sahutnya dengan terkekeh.
"Yang Kekey bukan boneka Nay?" Gavin memastikan.
Naya mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi itu mah gak mainstream," kata Gea.
"Iya," kata Kevan menimpali.
Naya menatap mereka semua dengan tatapan horror. Mereka semua bergidik ngeri. Pasti tidak akan beres.
"Tapi," ucapnya sengaja menggantung. "Kita videoin dan jadiin i***a story dua puluh empat jam."
"Setuju kalo gitu," kata Gavin, Kevan dan Gea bersamaan.
"Yah, yah. Kok gitu Nay?" kata Darrel dengan muka memelas.
"Cuma dua dua puluh empat jam Rel," kata Naya.
"Satu jam aja, ya?" rayu Darrel.
"Post di I*," ancam Naya.
"KOK NAMBAH?!" Darrel berteriak, mulai frustasi. Bagaimana tidak? Video ketika dia menari dan menyanyi ala youtuber's. Bukannya dia most wanted di sekolahnya? Nanti apa respon mereka?
"YAUDAH IYA! GUE LAKUIN. SEPULUH JAM AJA KURANGIN! AMAL! DAPET PAHALA LO SEMUA!" lanjutnya.
"NGGAK USAH NGEGAS BISA NGGAK?!" Gea membalas ucapan Darrel dengan teriak juga.
Mereka menutup telinga yang mulai terganggu karena teriakan itu.
"Diem bocil, berisik!" Kevan membekap mulut Gea, posisinya seperti merangkul. Gea mencoba mencubit tangan Kevan yang bertengger di pundaknya. Namun tak berhasil juga karena tenaganya tak sepadan.
Mereka mulai merekam kegiatan Darrel yang sedang menari sambil menyanyi. Sesudahnya, mereka menontonnya kembali. Lalu tertawa bersama.
"EMANG YAH! TEGA KALIAN SEMUA! TEGAAAAAAA!"
"BODO AMAT!" ucap mereka bersamaan. Lalu tertawa lagi.
Darrel menghela nafas kasar. "TEMEN LAKNAT LO SEMUA!" jeritnya lagi.
"Udah si Rel. Lo kan malu-maluin ini," cemooh Kevan.
"Yaudah, cape juga gue tereak-tereak kek gini. Dibantuin kagak, diketawain iya." Pasrahnya
"Nah tau."
"ORANG GANTENG GAK TAKUT AIB! YAKAN? YAKAN? WOIYAAA DONGGG!"
"Iyain aja, nyenengin orang dapet pahala," kata Naya.
Darrel menyunggingkan senyum terpaksanya. "Lo sekalinya ngomong panjang nyebelin banget anjrit, Nay! Pengen nampol lo jadinya."
"Sebelum itu lo dulu yang gue tampol." Gavin menyahut sembari melayangkan tangannya, seolah ingin menampar Darrel.
Darrel menjauh. "Ampun, pawangnya serem amat, Nay. Kandangin dulu gih."
"Kandangin dikira peliharaan!"
Mereka kembali sibuk pada laptop yang Naya buka dimeja, menampilkan beranda I*******m Naya. Kemudian membuka i***a story dari Darrel, iya yang dare itu. Kembali tertawa dengan Darrel yang mengamuk ingin segera dihapus videonya.
"Lanjut dong cepetan!"
Kali ini Darrel yang memegang botolnya, memutarkannya sekencang mungkin. Hingga beberapa saat botol itu berhenti dan mengarah ke Gavin.
"Dendan ya lo sama gue?" ujar Gavin kepada Darrel.
"Iya dong, pertemanan tanpa dendam itu nggak seru," balasnya. Kemudian pemuda itu melirik mereka satu-persatu. "Jadi siapa yang mau kasih dare nya?"
"GUE!" Kevan menjawabnya dengan berteriak, Gea yang disampingnya refleks menonjok paha Kevan sampai pemuda itu meringis sembari memegangi pahanya yang sedikit berdenyut.
"Sakit bocil!"
"Berisik tau, tadi bilang ke gue berisik, sekarang malah lo yang berisik!"
"Udah udah." Gavin berusaha melerai, "apa dare nya, Van?" lanjutnya.
Kevan dan Gea masih bertatap sinis.
"Dare nya ... lo kan lagi suka sama seseorang nih, ya," ujar Kevan dengan nada menggodanya. "Jadi ... lo sekarang tembak dia, itu dare nya."
Gavin tercengang. Tantangan macam apa itu?
Gavin berdehem. "Gini, Van. Gue emang suka sama Naya, tapi kalau soal nembak-menembak, itu belum saatnya. Terserah mau bilang gue pengecut atau apa, karena gue nggak mau mainin perasaan orang yang gue sayang. Jadi—"
"Oke cukup, gue aja yang kasih dare nya." Naya memotong ucapan Gavin, sedikit terpesona dengan ke gantle-an Gavin. "Van ambilin pisang dong."
Keempatnya kompak melotot, memikirkan sesuatu yang bisa dilakukan dengan pisang.
"Cepetan!"
Kevan menurut saja, ia berlari kecil ke dalam rumahnya, menuju dapur, membuka kulkas dan mengambil pisang sebanyak-banyaknya.
Kevan memberikan pisang itu pada Naya, dan Naya menerimanya dengan senang hati.
Gadis itu mulai mengupas kulit pisang, teman-temannya yang melihat itu hanya menatap dengan kebingungan.
Naya mulai melahap buah pisangnya, ia memisahkan antara buah dan kulitnya.
"Nih makan." Naya memberikan kulit pisang itu kepada Gavin, orang yang menerima kulit pisang itu melotot tak percaya.
"APA-APAAN?!"
"Dare nya, kan."
"Nay, gue—"
"Segigit, aja kok."
"Tapi—"
"Katanya yang pengecut nggak usah main," ujar Naya mengikuti cara bicara Gavin.
Sial, sepertinya Gavin terjebak dalam permainannya sendiri. Ia mengutuk dirinya agar jadi pacar Naya secepatnya!
Dengan ragu Gavin mulai mendekatkan kulit pisang itu ke mulutnya, menggigit kecil lalu mengunyahnya dengan cepat.
Naya sedikit terkekeh juga kasihan karena memberi dare seperti itu kepada Gavin, maka gadis itu memberikan botol minum kepada Gavin yang langsung cowok itu minum hingga sisa setengah.
Ketiga temannya tertawa puas melihat betapa tersiksanya Gavin yang hanya memakan kulit pisang itu.
"Gimana rasanya, Vin?" Darrel bertanya lalu tertawa terbahak-bahak lagi.
"NGGAK ENAK ANJIR! SEPET KAYA LIAT MUKA LO!"
***
Hari semakin gelap, cerita-cerita tentang mereka, canda, tawa, suka dan duka mereka lewati bersama. Banyak yang bilang seperti:
"Pertemanan kalian itu udah toxic banget, sampai bahasa aja kasar, mana cewek lagi. Bubar aja sana!"
Terus, tanpa banyak basa-basi Gea membalas:
"Nggak papa pertemanan gue toxic karena ngomong kasar, yang penting gue nggak pernah ngehina pekerjaan orang tua temen gue." Gea berucap dengan menggebu-gebu, dadanya naik turun menahan emosi.
Si perempuan itu kalah telak, dia diam tak berkutik dibuatnya.
"Kenapa lo diem? Pernah ngehina temen lo dengan embel-embel 'pantesan lo gitu, orang tuanya aja kerja gitu.'? Lo tau? Itu lebih toxic dari sekedar bahasa kasar aja, karena lo mikir lah, ya. Urusan lo sama pekerjaan orang tuanya temen lo apa? Nggak ngerugiin lo ini."
"Bahasa toxic emang buruk, nggak bagus juga. Tapi, pertemanan yang yang udah menyangkut pautkan sama orang tua, itu bukan toxic aja, tapi lo udah bikin mental mereka down. Nggak semua orang mentalnya kuat."
Akhirnya Gea jadi emosi sendiri mendengar pernyataan sampah seperti itu dan ditenangkan oleh Kevan.
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Naya memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Setelah ditaman tadi, Naya meminta Gavin untuk ke Cafe terdekat terlebih dulu. Karena sudah hampir tiga jam mereka berada ditaman itu, cacing-cacing didalam perut Naya sudah demo meminta diisi. Gadis itu tidak mempedulikan tatapan khawatir Kevan dari ruang tamu. Naya mencium punggung tangan Jessie dan Devan. "Dari mana Nay?" tanya Devan. "Taman." "Dengan?" "Gavin." "Udah mulai ekhem - ekhem nih ya," goda Jessie. Membuat Naya memutar bola matanya jengah. "Enggak ma," elak Naya. "Iya juga nggak papa," sahut Devan. Membuat Naya ingin mengumpat saja. "Kamu kok nggak bareng sama Kev—" "Nay cape, mau istirahat." Naya memotong ucapan Devan dengan cepat. Dia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang lelah ini.
Naya, Kevan dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin. Ramainya suasana sekolah ketika sedang beristirahat. Membuat Naya malas saja. Tapi, kata perutnya dia butuh diisi, jadilah Naya ikut ke kantin. "Mau pesen apa?" tanya Naya yang masih berdiri ketika yang lain sudah menduduki kursinya masing - masing. "Batagor." "Mie ayam." "Bakso," "Nasi goreng." "Oke. Bakso lima," putus Naya yang langsung melenggang ke penjual bakso. Kevan mengelus dadanya sabar. Darrel cengo, Gavin pun sama. Gea apalagi. "Semenjak baikan sama lo, dia kok jadi ngeselin ya, Van?" Kata Gavin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tau gue. Gara - gara lo juga Rel, dia jadi suka ngumpat. Herman gue." "Sianjing malah nyalahin! Lo juga sering ngumpat ya gob
"Nay gak mau tau pa, dia harus dikeluarkan." pinta Naya. Devan menghela nafas lelah. "Tapi, kenapa? Kasih papa alasan Naya." Dengan sekali helaan Naya menceritakan semuanya. Yang berawal dari Gea hampir dilecehkan. Kevan yang dipancing emosi dengan cara sampah bajingan itu. Devan dan Jessie tercengang mendengar penuturan Naya. Tidak habis pikir bisa seperti ini. Pantas saja Naya murka, ini sih bukan hal sepele lagi. "Baik. Papa akan keluarkan dia, benar kata kamu. Kehilangan satu donatur nggak bikin sekolah kita hancur," ujar Devan membuat Naya tersenyum miring. Lihat saja besok! **** Suasana kelas XI IPA 1 mendadak ramai. Ketika sang guru mengumumkan kelas itu free. Bisa - bisa akan terjadi konser dadakan ini. Naya masih anteng - anteng saja ditempatnya. Gea disampingnyapun sama. Tapi, ketiga curut itu sudah berulah. Lihat saja, Darrel yang sudah
Hari ini adalah hari yang paling dinanti oleh murid kelas 11 IPA 1. Karena pelajaran seni budaya. Selain gurunya yang ramah, murah senyum, baik dan pengertian. Ditambah lagi, guru itu tidak mau ambil ribet. Mau nilai kerjakan, tidak mau nilai tidak usah. Karena kebanyakan guru yang terus - menerus memerintahkan siswanya harus kerjain inilah - itulah. Alasannya guru seni budaya itu simple. “Saya gak mau ambil pusing, kalian mau belajar silahkan, kalau tidak ya sudah. Sudah besar, kalian tau mana yang benar dan tidak.” Seluruh murid sudah duduk rapih kala Bu Aulia – guru Seni budaya, memasuki kelas 11 IPA 1 itu. "Selamat siang anak - anak," sapa bu Aulia tak lupa dengan senyumnya. "Siang bu!" jawab mereka serempak. Bu Aulia melangkahkan kakinya ke depan papan tulis. "Hari ini ibu mau kalian bikin drama, terserah mau tema atau judulnya apa. Yang penting kalian tampil," terangnya. Darrel mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi. "B