Sudah dua minggu sejak kejadian waktu Gavin menemui Naya yang sedang datang bulan, mereka menjadi dekat. Banyak yang heran dan iri sekaligus.
Seorang cowok kini tengah berbaring di kasur empuknya. Sedari tadi bibirnya terus terangkat keatas. Senang, bahagia. Semuanya dia rasakan.
Renata-Mama Gavin. Membuka pintu kamar putranya. Dia tersenyum geli melihat tingkah anaknya, pasti lagi kasmaran!
"Vin," panggilnya.
Gavin diam.
"Vin."
Masih diam.
"Gavin." Kali ini Renata berbicara sedikit berteriak.
"Astagfirullah Mama, ngagetin!" ucap Gavin sembari mengusap dadanya, terkejut. "Nggak ngetuk pintu dulu pula," lanjutnya.
"Mama tuh udah ngetuk beberapa kali Vin. Cuma kamunya aja yang budek!" cercanya.
"Amit-amit, Ma!" sarkas Gavin dengan mengusap perutnya beberapa kali.
Renata mendengus. "Cepet turun. Papamu sudah menunggu di meja makan," titahnya lalu beranjak kaluar dari kamar Gavin.
"Iya."
***
Naya menatap langit-langit putih kamarnya. Senyumnya tidak pudar sama sekali. Sejak kedekatannya dengan Gavin, dia jadi berubah sedikit-sedikit. Dia mulai menghangat walaupun masih terkesan jutek karena nada bicaranya, ya walaupun memang seperti itu nada bicaranya.
Ketukkan pintu tidak masuk ke pendengarannya.
Kevan masuk kedalam kamar Naya, dia menyernyit heran. Lalu tersenyum geli. Kevan mendekat ke arah Naya dan duduk ditepi ranjang.
"Astagfirullah, gila lo?" tanyanya sembari tersenyum geli.
Naya menatap Kevan sengit. "Ganggu."
Kevan mempunyai ide untuk menggoda Naya. "Nay, lo udah mulai suka sama si Darrel?" Kevan beraksi.
Naya menyernyit heran. "Darrel? Bukannya Gav—" Naya tersadar ketika Kevan hanya mengerjainya.
"KEVAAAAAANNNN!" teriak Naya ketika Kevan mulai beranjak dan berlari. Tetapi, Naya lebih cepat. Dia menjambak rambut Kevan dan ditarik kearah ranjang.
"LO NYEBELIIIINN!"
"AMPUN NAY, WOY! LEPASIN!" mohonnya.
Naya masih menjambak rambut Kevan.
"Mau gue kasih tau semua orang? Hah?" ancam Kevan. Ah, nampaknya berpengaruh karena jambakkan Naya pada rambutnya mengendur.
Naya menghentikkan jambakannya dan menatap Kevan tajam. "Apa? orang gue nggak suka," elaknya. Matanya bergerak kesana-kemari, menyembunyikkan kegugupannya.
"Lo bisa bohong ke temen lo. Tapi, ke gue nggak bisa."
"Van ... Gue mohon, jangan bilang siapa-siapa, please ..." Naya memohon dengan wajah memelas serta tangannya disatukan seperti memohon.
"Gue janji deh, bakalan ngelakuin apa aja. Asal jangan kasih tau siapa-siapa," tawarnya.
Hm, sepertinya cukup menggiurkan.
"Oke. Lo harus pacaran sama Gavin," balas Kevan.
"GILA LO! GAK MAU!"
"KYAAAAA! KEVAAAAAAAN!" jeritnya. Naya kembali menjambak rambut Kevan. Kevan meringis. Namun, tak apa.
"Astgfirullah, kalian ngapain. Naya lepasin Kevan, itu aduh," ujar Jessie panik.
Naya tersadar, dan melepaskan jambakkannya. "Em ... I-itu Ma, Eee ... anu," Naya tak tahu harus menjawab apa, sampai ia menjawab pertanyaan Jessie dengan terbata-bata.
"Apa sih, Nay. Yang bener ngomongnya." Jessie menatap Naya, namun Naya hanya menunduk, kemudian ia menatap Kevan. "Kevan, kenapa?"
"Itu Ma, tadi Kevan ngerjain Nay sampe jatuh. Ya jadi dia bales dendam. Hehehe." Kevan menunjukkan cengiran khas-nya.
"Aduh Kevan. Kamu sih usil, kamu juga Nay, nggak boleh gitu," tegasnya.
Naya menatap Kevan, air matanya hampir jatuh jika Naya tak langsung menundukkan kepalanya. Kemudian gadis itu mengangguk. "I-iya Ma."
Setelahnya, Jessie melenggang dari kamar Naya. Syukurlah, tidak terjadi apa-apa.
"Van," ujar Naya dengan mata berkaca-kaca.
"Eh eh, kok lo nangis? Nay, aduh. Ntar dikira lo gue apain," ucap Kevan panik. Memegang pundak Naya, mengelusnya lembut agar tangis Naya tak semakin keras.
Tangis Naya pecah. "Makasih," ucapnya tulus. Lalu Kevan mendekap tubuh mungil Naya. Dan Naya dengan senang hati menerima pelukan itu.
"Denger, gue sebagai kakak lo. Tugas gue menjaga lo. Dan untuk hal gini nggak seberapa," balas Kevan tulus. "Walaupun gue nggak kaya kakak yang lain, gue tetep sayang sama lo. Walau caranya yang salah, gue tetep sayang."
Naya merenggangkan pelukannya, menatap Kevan sebentar. Lalu memeluknya lagi.
"Tapi, Van. Lo yang di salahin nya," ujar Naya ketika pelukannya telah terurai. Masih dengan menundukkan kepalanya, tak mau melihat wajah Kevan.
Kevan meraih dagu Naya, mengangkatnya agar menatapnya, kemudian Kevan mengusap bawah mata Naya dengan jempolnya. "Sssttt, udah ya. Jangan nangis. Liat nih mata gue," ujar Kevan sembari memelototkan matanya. "Berair, kan? Gara-gara lo, udah diem ah."
"Ih lo mah, ganggu suasana aja," balas Naya, lalu terkekeh. "Yaudah apa, gue janji bakalan ngelakuin apapun itu. Tapi gak yang tadi," lanjutnya.
"Lo nggak boleh cuek-cuek sama sama semua orang, terutama temen-teman kita."
Naya membulatkan matanya sempurna. "Gak bisa dong," balasnya, sewot.
"Udah janji loh."
"Yaudah iya, sono pergi."
"Ngusir?"
"Banget."
"Ini dulu," kata Kevan menepuk pipi kanannya. You know?
"Pergi," kata Naya sambil melempar bantal kearah Kevan. Namun, dengan sigap Kevan menangkapnya.
"Iya, iya. Gue pergi,"
***
"Ma, Gavin mau pergi dulu ya," pamitnya.
"Kemana Vin?" tanya Ardi.
"Main. Dirumah Kevan," balasnya.
Ardi dan Renata mengangguk. "Jangan pulang malem-malem."
Perlu diingat, Gavin orangnya penurut. Apalagi dengan orang tuanya. Udah pinter, tampan, mapan, humoris, gantle man, penurut pula. Idaman kan, girls?
Gavin menancap gas dengan kecepatan sedang. Karena arah rumahnya dengan Kevan tidak terlalu jauh.
Gavin langsung saja memasukkan mobilnya ke dalam rumah Kevan dan Naya tentunya. Lalu dia keluar.
"Assalamualaikum,"
Pintu terbuka, hal pertama yang Gavin lihat ialah Bi Ina. "Walaikumsallam den Gavin, mau ketemu den Kevan? Tunggu dulu atuh di ruang tamu. Mau bibi panggilin dulu."
Gavin mengangguk dan tersenyum sopan.
Bi Ina berjalan ke kamar si kembar. Setelah mengetuk pintu kamar Kevan, keluarlah tuannya.
"Den, ada den Gavin di depan," kata bi Ina.
"Suruh ke sini, Bi." Bi Ina mengangguk, setelah Bi Ina kembali ke bawah Kevan tersenyum miring. Dia membuka kamar Naya. Gadis itu sedang berbaring dikasurnya, earphone yang menyumpal ditelinganya dan ponsel ditangannya.
"Nay," panggil Kevan sambil mengguncang pelan tubuh Naya.
"Eh, apa?" balas Naya yang sudah duduk dan menghadap kearah Kevan.
"Ada calon pacar noh didepan," kata Kevan dengan menekankan kata calon pacar.
"Gavin maksud lo?"
"Oh, udah ngaku-ngaku yah sekarang," kata Kevan terbahak.
Iya juga, padahal Kevan tidak menyebutkan siapa, Kevan hanya bilang 'Calon pacar.' Malu sendiri mendengar jawabannya sendiri.
"Kan lo ngomong gitu."
"Iya, iya. Sana samperin."
"Lah? Kan nyari lo, bukan gue," kata Naya, tanpa peduli ekspresi Kevan, gadis itu kembali berbaring.
"Untung adek."
Gavin sudah ada didepan kamar Kevan, namun sang pemilik kamar belum juga keluar. Setelah melihat kamar depannya yang terbuka, Gavin sedikit mengintip. Oh ternyata sedang berada dikamar Naya.
"Yo, bro!" Kevan menyapa, pria itu mengangkat tangannya agar Gavin ber-tos dengannya.
"Main PS ayo, lah."
"Gas!"
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu? Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini? Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget! "Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini. "Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan." "Masih pagi juga," decaknya. "Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu. "Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Naya memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Setelah ditaman tadi, Naya meminta Gavin untuk ke Cafe terdekat terlebih dulu. Karena sudah hampir tiga jam mereka berada ditaman itu, cacing-cacing didalam perut Naya sudah demo meminta diisi. Gadis itu tidak mempedulikan tatapan khawatir Kevan dari ruang tamu. Naya mencium punggung tangan Jessie dan Devan. "Dari mana Nay?" tanya Devan. "Taman." "Dengan?" "Gavin." "Udah mulai ekhem - ekhem nih ya," goda Jessie. Membuat Naya memutar bola matanya jengah. "Enggak ma," elak Naya. "Iya juga nggak papa," sahut Devan. Membuat Naya ingin mengumpat saja. "Kamu kok nggak bareng sama Kev—" "Nay cape, mau istirahat." Naya memotong ucapan Devan dengan cepat. Dia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang lelah ini.
Naya, Kevan dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin. Ramainya suasana sekolah ketika sedang beristirahat. Membuat Naya malas saja. Tapi, kata perutnya dia butuh diisi, jadilah Naya ikut ke kantin. "Mau pesen apa?" tanya Naya yang masih berdiri ketika yang lain sudah menduduki kursinya masing - masing. "Batagor." "Mie ayam." "Bakso," "Nasi goreng." "Oke. Bakso lima," putus Naya yang langsung melenggang ke penjual bakso. Kevan mengelus dadanya sabar. Darrel cengo, Gavin pun sama. Gea apalagi. "Semenjak baikan sama lo, dia kok jadi ngeselin ya, Van?" Kata Gavin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tau gue. Gara - gara lo juga Rel, dia jadi suka ngumpat. Herman gue." "Sianjing malah nyalahin! Lo juga sering ngumpat ya gob
"Nay gak mau tau pa, dia harus dikeluarkan." pinta Naya. Devan menghela nafas lelah. "Tapi, kenapa? Kasih papa alasan Naya." Dengan sekali helaan Naya menceritakan semuanya. Yang berawal dari Gea hampir dilecehkan. Kevan yang dipancing emosi dengan cara sampah bajingan itu. Devan dan Jessie tercengang mendengar penuturan Naya. Tidak habis pikir bisa seperti ini. Pantas saja Naya murka, ini sih bukan hal sepele lagi. "Baik. Papa akan keluarkan dia, benar kata kamu. Kehilangan satu donatur nggak bikin sekolah kita hancur," ujar Devan membuat Naya tersenyum miring. Lihat saja besok! **** Suasana kelas XI IPA 1 mendadak ramai. Ketika sang guru mengumumkan kelas itu free. Bisa - bisa akan terjadi konser dadakan ini. Naya masih anteng - anteng saja ditempatnya. Gea disampingnyapun sama. Tapi, ketiga curut itu sudah berulah. Lihat saja, Darrel yang sudah
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y