Naya, Kevan dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin. Ramainya suasana sekolah ketika sedang beristirahat. Membuat Naya malas saja. Tapi, kata perutnya dia butuh diisi, jadilah Naya ikut ke kantin.
"Mau pesen apa?" tanya Naya yang masih berdiri ketika yang lain sudah menduduki kursinya masing - masing.
"Batagor."
"Mie ayam."
"Bakso,"
"Nasi goreng."
"Oke. Bakso lima," putus Naya yang langsung melenggang ke penjual bakso.
Kevan mengelus dadanya sabar.
Darrel cengo, Gavin pun sama. Gea apalagi.
"Semenjak baikan sama lo, dia kok jadi ngeselin ya, Van?" Kata Gavin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Tau gue. Gara - gara lo juga Rel, dia jadi suka ngumpat. Herman gue."
"Sianjing malah nyalahin! Lo juga sering ngumpat ya gob
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
"Nay gak mau tau pa, dia harus dikeluarkan." pinta Naya. Devan menghela nafas lelah. "Tapi, kenapa? Kasih papa alasan Naya." Dengan sekali helaan Naya menceritakan semuanya. Yang berawal dari Gea hampir dilecehkan. Kevan yang dipancing emosi dengan cara sampah bajingan itu. Devan dan Jessie tercengang mendengar penuturan Naya. Tidak habis pikir bisa seperti ini. Pantas saja Naya murka, ini sih bukan hal sepele lagi. "Baik. Papa akan keluarkan dia, benar kata kamu. Kehilangan satu donatur nggak bikin sekolah kita hancur," ujar Devan membuat Naya tersenyum miring. Lihat saja besok! **** Suasana kelas XI IPA 1 mendadak ramai. Ketika sang guru mengumumkan kelas itu free. Bisa - bisa akan terjadi konser dadakan ini. Naya masih anteng - anteng saja ditempatnya. Gea disampingnyapun sama. Tapi, ketiga curut itu sudah berulah. Lihat saja, Darrel yang sudah
Hari ini adalah hari yang paling dinanti oleh murid kelas 11 IPA 1. Karena pelajaran seni budaya. Selain gurunya yang ramah, murah senyum, baik dan pengertian. Ditambah lagi, guru itu tidak mau ambil ribet. Mau nilai kerjakan, tidak mau nilai tidak usah. Karena kebanyakan guru yang terus - menerus memerintahkan siswanya harus kerjain inilah - itulah. Alasannya guru seni budaya itu simple. “Saya gak mau ambil pusing, kalian mau belajar silahkan, kalau tidak ya sudah. Sudah besar, kalian tau mana yang benar dan tidak.” Seluruh murid sudah duduk rapih kala Bu Aulia – guru Seni budaya, memasuki kelas 11 IPA 1 itu. "Selamat siang anak - anak," sapa bu Aulia tak lupa dengan senyumnya. "Siang bu!" jawab mereka serempak. Bu Aulia melangkahkan kakinya ke depan papan tulis. "Hari ini ibu mau kalian bikin drama, terserah mau tema atau judulnya apa. Yang penting kalian tampil," terangnya. Darrel mengangkat tangan kanannya tinggi - tinggi. "B
Semilir angin berhembus menubruk kulit putih gadis yang kini sedang duduk dibalkon kamarnya. Sambil menatap bulan diatas sana, ingin rasanya ia gapai. Namun, pertanyaannya. Apakah ia sanggup? Ah, ternyata mimpinya terlalu tinggi. Ia ingin menertawakan mimpinya yang mungkin tak masuk akal itu. Panggilan seseorang membuat perhatian gadis itu teralih, ditatapnya kearah pintu balkon, ternyata kakaknya. "Balkon," katanya, singkat namun laki-laki itu paham. Dengan langkah gontai pemuda itu menghampiri gadis yang sedang duduk disofa balkon kamarnya, lalu ia duduk disampingnya. "Belum tidur, Nay?" Yah, kalian pasti tahu mereka. Naya mendelik. Tidakkah sadar jika diriya masih berada disini, berati dia belum tidur. "Aneh," desisnya. "Apanya yang aneh, njirr?" ujar Kevan sewot, padahal pertanyannya masuk akal. Sa
Weekend ini Gavin mengajak Naya jalan, sesuai aaran dari Kevan. Entahlah, Naya mengiyakan saja. Dia berusaha untuk meyakinkan perasaannya sekarang. Cape sendiri ternyata memendam semuanya tanpa ada kepastian. Gavin tengah bersiap - siap. Dia bercermin, sembari menyisir rambutnya dengan jari. Lalu tersenyum manis. "Cermin ... Oh, cermin ..." ujar Gavin dengan wajah songong. "Siapakah pria tertampan sebumi ini ..." "Papa kamulah!" Itu suara Mama Renata. Sengaja dia berkunjung ke kamar anaknya. Siapa tahu kenapa - kenapa. Eh ternyata, malah berbicara sendiri seperti orang gila! Gavin berdecak sebal. Kapan sih hidupnya tenang? "Udah gak ngetuk, main celetuk pula," cibir pemuda itu. Renata menghampiri putranya, dengan sedikit berjinjit dia menjewer telinga Gavin. "Dari pagi gak keluar - keluar, giliran dikh
"Nempel teros!" semprot Darrel. Dia gedek kepada kedua sahabatnya. Gavin dengan Naya dan Kevan dengan Gea. Sementara dirinya? "Iri bilang sahabat," kata Gavin dan Kevan bersamaan. Sebelumnya mereka sempat berpandangan untuk memberi kode. "Katanya pengen jadi fuckboy," cibir Naya. "Lah, ho'oh. Lupa gue," ujar Darrel sambil menepuk jidatnya pelan. "Bisa gitu yah?" Gea menggaruk pelipisnya. Bingung sendiri dengan temannya yang satu ini. Darrel beranjak dari tempat duduknya. Membuat temannya menyernyit bingung. Ah, dari pada memikirkan cowok itu, lebih baik mereka mengobrol saja. Dan tak lupa memesan makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. "Lo pacaran sama Gea, Van?" tanya Gavin memecah keheningan. Kevan hendak menjawab, tetapi kehadiran Darrel membuatnya terkejut. Bukan, bukan terkejut dengan Darrel, t
—“Aku sama sekali tidak pernah menyesali diamku, tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku.”— Gavin menunggu sang pujaan hati keluar dari rumahnya, dia sendiri tidak tahu kenapa Naya bisa lama. Biasanya kurang lebih dari 5 menit sudah siap. Tapi, tak apalah. Menunggu dari kelas 10 saja tidak masalah baginya, apalagi cuma menunggu 10 menit? Yang ditunggu akhirnya datang, Naya menatap Gavin tajam. Membuat sang empu menyernyit heran. Perasaan dirinya tidak berbuat salah, seingatnya. "Hallo bebep," cengir Gavin. Yang tentunya senyum tengil dimata Naya. Naya tak menggubris ucapan Gavin, dia langsung saja menaiki motor Gavin tanpa sepatah katapun. Membuat Gavin heran dibuatnya. Apalagi Kevan yang berada didalam garasi menatap dirinya sembari mengerling jahil, ada yang tidak beres, pikirnya. Gavin malah bengong dengan tangan yang sudah siap distang motornya, tetapi belum melaju juga. Naya yang kesal menepuk bahunya keras.
—“Rawat sebelum rusak, jaga sebelum pergi. Karena sesuatu yang tumbuh kembali rasanya tidak akan pernah sama lagi.”— "Kalau gue minta lo jauhin gue, gimana?" Mendengar penuturan Naya, Gavin berdiri dari tempat duduknya. Membuat Naya menoleh cepat kearah cowok itu. Tanpa sepatah katapun, cowok itu melenggang meninggalkan Naya yang termenung dibrankar UKS. Kenapa? Naya kan hanya bercanda. Lagi juga Naya ingin test sampai mana Gavin berjuang untuk mendapatkan kembali cintanya dari Naya. Apakah bertahan lama atau sama seperti dia? Gadis itu mengembungkan pipinya, membuang napasnya kasar. "Salah ya, omongan gue?" *** Gavin tak memperdulikan ocehan temannya. Intinya, hari ini sangat menyebalkan baginya. "Vin, lo jangan diem aja. Sumpah gak pantes," ujar Da
—“Entah mana yang lebih pahit, meminum kopi tanpa gula atau melihat dia dengannya.”— "Ayaaaang, ayok ke Bandung." "Ayang, ih! Aku teh pengen jadi Iron man!" "Yang, kamu gak mau liat aku jadi Iron man?" "Ayang, tau ah aku ngambek sama kamu!" Darrel terus saja merengek kepada Silfa. Gadis itu juga heran sendiri, dirinya dengan Darrel baru beberapa hari pacaran. Tapi, kenapa Darrel sangat manja? "Darrel, gak usah ke Bandung langsung. Kita Pesen online aja, ya? Jauh, lagian juga, kan mana mungkin ke sana beli itu doang." "Emang makan doang bisa langsung jadi Iron man?" tanya Darrel dengan wajah polosnya. Silfa menghela nafas sejenak. Ini dirinya berpacaran dengan anak SMA kah? Atau ... "RASANYA ANJING BANGET!"