Weekend ini Gavin mengajak Naya jalan, sesuai aaran dari Kevan.
Entahlah, Naya mengiyakan saja. Dia berusaha untuk meyakinkan perasaannya sekarang. Cape sendiri ternyata memendam semuanya tanpa ada kepastian.
Gavin tengah bersiap - siap. Dia bercermin, sembari menyisir rambutnya dengan jari. Lalu tersenyum manis.
"Cermin ... Oh, cermin ..." ujar Gavin dengan wajah songong.
"Siapakah pria tertampan sebumi ini ..."
"Papa kamulah!" Itu suara Mama Renata. Sengaja dia berkunjung ke kamar anaknya. Siapa tahu kenapa - kenapa. Eh ternyata, malah berbicara sendiri seperti orang gila!
Gavin berdecak sebal. Kapan sih hidupnya tenang?
"Udah gak ngetuk, main celetuk pula," cibir pemuda itu.
Renata menghampiri putranya, dengan sedikit berjinjit dia menjewer telinga Gavin. "Dari pagi gak keluar - keluar, giliran dikh
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
"Nempel teros!" semprot Darrel. Dia gedek kepada kedua sahabatnya. Gavin dengan Naya dan Kevan dengan Gea. Sementara dirinya? "Iri bilang sahabat," kata Gavin dan Kevan bersamaan. Sebelumnya mereka sempat berpandangan untuk memberi kode. "Katanya pengen jadi fuckboy," cibir Naya. "Lah, ho'oh. Lupa gue," ujar Darrel sambil menepuk jidatnya pelan. "Bisa gitu yah?" Gea menggaruk pelipisnya. Bingung sendiri dengan temannya yang satu ini. Darrel beranjak dari tempat duduknya. Membuat temannya menyernyit bingung. Ah, dari pada memikirkan cowok itu, lebih baik mereka mengobrol saja. Dan tak lupa memesan makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. "Lo pacaran sama Gea, Van?" tanya Gavin memecah keheningan. Kevan hendak menjawab, tetapi kehadiran Darrel membuatnya terkejut. Bukan, bukan terkejut dengan Darrel, t
—“Aku sama sekali tidak pernah menyesali diamku, tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku.”— Gavin menunggu sang pujaan hati keluar dari rumahnya, dia sendiri tidak tahu kenapa Naya bisa lama. Biasanya kurang lebih dari 5 menit sudah siap. Tapi, tak apalah. Menunggu dari kelas 10 saja tidak masalah baginya, apalagi cuma menunggu 10 menit? Yang ditunggu akhirnya datang, Naya menatap Gavin tajam. Membuat sang empu menyernyit heran. Perasaan dirinya tidak berbuat salah, seingatnya. "Hallo bebep," cengir Gavin. Yang tentunya senyum tengil dimata Naya. Naya tak menggubris ucapan Gavin, dia langsung saja menaiki motor Gavin tanpa sepatah katapun. Membuat Gavin heran dibuatnya. Apalagi Kevan yang berada didalam garasi menatap dirinya sembari mengerling jahil, ada yang tidak beres, pikirnya. Gavin malah bengong dengan tangan yang sudah siap distang motornya, tetapi belum melaju juga. Naya yang kesal menepuk bahunya keras.
—“Rawat sebelum rusak, jaga sebelum pergi. Karena sesuatu yang tumbuh kembali rasanya tidak akan pernah sama lagi.”— "Kalau gue minta lo jauhin gue, gimana?" Mendengar penuturan Naya, Gavin berdiri dari tempat duduknya. Membuat Naya menoleh cepat kearah cowok itu. Tanpa sepatah katapun, cowok itu melenggang meninggalkan Naya yang termenung dibrankar UKS. Kenapa? Naya kan hanya bercanda. Lagi juga Naya ingin test sampai mana Gavin berjuang untuk mendapatkan kembali cintanya dari Naya. Apakah bertahan lama atau sama seperti dia? Gadis itu mengembungkan pipinya, membuang napasnya kasar. "Salah ya, omongan gue?" *** Gavin tak memperdulikan ocehan temannya. Intinya, hari ini sangat menyebalkan baginya. "Vin, lo jangan diem aja. Sumpah gak pantes," ujar Da
—“Entah mana yang lebih pahit, meminum kopi tanpa gula atau melihat dia dengannya.”— "Ayaaaang, ayok ke Bandung." "Ayang, ih! Aku teh pengen jadi Iron man!" "Yang, kamu gak mau liat aku jadi Iron man?" "Ayang, tau ah aku ngambek sama kamu!" Darrel terus saja merengek kepada Silfa. Gadis itu juga heran sendiri, dirinya dengan Darrel baru beberapa hari pacaran. Tapi, kenapa Darrel sangat manja? "Darrel, gak usah ke Bandung langsung. Kita Pesen online aja, ya? Jauh, lagian juga, kan mana mungkin ke sana beli itu doang." "Emang makan doang bisa langsung jadi Iron man?" tanya Darrel dengan wajah polosnya. Silfa menghela nafas sejenak. Ini dirinya berpacaran dengan anak SMA kah? Atau ... "RASANYA ANJING BANGET!"
—“Semesta terkadang sebercanda ini. Aku yang dibuat jatuh hati, namun dia yang ditakdirkan untuk memiliki.”— Taman belakang. Hanya itu yang ada dipikiran Naya sekarang. Hatinya hancur kembali setelah dihancurkan oleh orang yang beda dengan cara yang sama. Bagaimana perasaanmu, ketika kita sudah membuka hati untuknya. Disaat luka yang dahulu belum sempat sembuh, kini kembali digoreskan kembali? Sakit. Bahkan gadis itu lupa kapan terakhir kali ia menangis untuk orang yang ia sayang selain keluarganya, ia terlalu sayang kepada air matanya. Hingga untuk menangis pun pilih-pilih. Hari ini, menit ini, detik ini, hatinya kembali dihancurkan dengan cara yang sama. Brengsek. Naya berdecih, "Ngapain gue nangis? Sayang banget air mata gue keluar buat orang brengsek kaya dia," ujarnya seraya terkekeh miris. Dengan gerakan cepat Naya menghapus sisa-sisa air matanya. Dirinya jadi malas untuk belajar, hanya karena seorang
—“Tidak ada seorang pun yang bisa kembali ke masa lalu dan memulai awal yang baru lagi. Tapi, semua orang bisa memulai hari ini dan membuat akhir yang baru.”— Tak ada yang dilakukan lagi selain mengurung diri dikamar. Bahkan makan pun tak selera, rasanya hambar. Hidupnya kembali abu-abu, padahal baru beberapa bulan ke belakang hidupnya berwarna karena seseorang. Gavin menghembuskan nafasnya kasar. "Gue bego," lirihnya. "Apa gue terlalu bego untuk urusan cinta?" ujar Gavin kepada dirinya sendiri. "Gue emang bego, nggak bisa juga bertindak gegabah, gue harus apa?' "Sebenernya gue pengin banget jelasin semuanya ke Naya. Tapi ..." Gavin kembali berteriak. Meremas rambutnya frustasi. Gavin teringat ucapan Raisa yang mengancamnya. "Kalau lo jelasin ke Naya, liat aja. Udah dipasti
—“Bukan aku tidak ingin langsung berdamai dengan luka. Tapi masalahnya, aku hanya takut dilukai kembali setelah luka yang sebelumnya belum sepenuhnya sembuh.”— Sudah sebulan terhitungnya hubungan Naya dengan Gavin semakin renggang. Sebenarnya bukan hubungan khusus, karena mereka tidak berpacaran. Naya yang terus menghindar saat Gavin ingin menjelaskan. Gavin yang mulai frustasi tak tahu harus bagaimana lagi dengan perasaannya. Yang ia inginkan hanya Naya, sudah berjuang namun pada akhirnya tak mendapatkan? Sakit, bukan? Namun, hubungan pertemanannya masih berjalan baik. Memang, Gavin belum menjelaskan apa masalahnya karena belum saatnya, atau lebih tepat belum siap. Kevan dan Darrel mengerti, tidak mudah juga membagi cerita buruk kepada teman. Pemuda itu juga muak karena Raisa selalu berkunjung ke rumahnya. Hanya sekedar ingin mengobrol, tapi yang dilakukan Gavin hanya m
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y