Semilir angin berhembus menubruk kulit putih gadis yang kini sedang duduk dibalkon kamarnya. Sambil menatap bulan diatas sana, ingin rasanya ia gapai. Namun, pertanyaannya. Apakah ia sanggup? Ah, ternyata mimpinya terlalu tinggi. Ia ingin menertawakan mimpinya yang mungkin tak masuk akal itu.
Panggilan seseorang membuat perhatian gadis itu teralih, ditatapnya kearah pintu balkon, ternyata kakaknya.
"Balkon," katanya, singkat namun laki-laki itu paham.
Dengan langkah gontai pemuda itu menghampiri gadis yang sedang duduk disofa balkon kamarnya, lalu ia duduk disampingnya.
"Belum tidur, Nay?"
Yah, kalian pasti tahu mereka.
Naya mendelik. Tidakkah sadar jika diriya masih berada disini, berati dia belum tidur. "Aneh," desisnya.
"Apanya yang aneh, njirr?" ujar Kevan sewot, padahal pertanyannya masuk akal.
Sa
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Weekend ini Gavin mengajak Naya jalan, sesuai aaran dari Kevan. Entahlah, Naya mengiyakan saja. Dia berusaha untuk meyakinkan perasaannya sekarang. Cape sendiri ternyata memendam semuanya tanpa ada kepastian. Gavin tengah bersiap - siap. Dia bercermin, sembari menyisir rambutnya dengan jari. Lalu tersenyum manis. "Cermin ... Oh, cermin ..." ujar Gavin dengan wajah songong. "Siapakah pria tertampan sebumi ini ..." "Papa kamulah!" Itu suara Mama Renata. Sengaja dia berkunjung ke kamar anaknya. Siapa tahu kenapa - kenapa. Eh ternyata, malah berbicara sendiri seperti orang gila! Gavin berdecak sebal. Kapan sih hidupnya tenang? "Udah gak ngetuk, main celetuk pula," cibir pemuda itu. Renata menghampiri putranya, dengan sedikit berjinjit dia menjewer telinga Gavin. "Dari pagi gak keluar - keluar, giliran dikh
"Nempel teros!" semprot Darrel. Dia gedek kepada kedua sahabatnya. Gavin dengan Naya dan Kevan dengan Gea. Sementara dirinya? "Iri bilang sahabat," kata Gavin dan Kevan bersamaan. Sebelumnya mereka sempat berpandangan untuk memberi kode. "Katanya pengen jadi fuckboy," cibir Naya. "Lah, ho'oh. Lupa gue," ujar Darrel sambil menepuk jidatnya pelan. "Bisa gitu yah?" Gea menggaruk pelipisnya. Bingung sendiri dengan temannya yang satu ini. Darrel beranjak dari tempat duduknya. Membuat temannya menyernyit bingung. Ah, dari pada memikirkan cowok itu, lebih baik mereka mengobrol saja. Dan tak lupa memesan makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. "Lo pacaran sama Gea, Van?" tanya Gavin memecah keheningan. Kevan hendak menjawab, tetapi kehadiran Darrel membuatnya terkejut. Bukan, bukan terkejut dengan Darrel, t
—“Aku sama sekali tidak pernah menyesali diamku, tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku.”— Gavin menunggu sang pujaan hati keluar dari rumahnya, dia sendiri tidak tahu kenapa Naya bisa lama. Biasanya kurang lebih dari 5 menit sudah siap. Tapi, tak apalah. Menunggu dari kelas 10 saja tidak masalah baginya, apalagi cuma menunggu 10 menit? Yang ditunggu akhirnya datang, Naya menatap Gavin tajam. Membuat sang empu menyernyit heran. Perasaan dirinya tidak berbuat salah, seingatnya. "Hallo bebep," cengir Gavin. Yang tentunya senyum tengil dimata Naya. Naya tak menggubris ucapan Gavin, dia langsung saja menaiki motor Gavin tanpa sepatah katapun. Membuat Gavin heran dibuatnya. Apalagi Kevan yang berada didalam garasi menatap dirinya sembari mengerling jahil, ada yang tidak beres, pikirnya. Gavin malah bengong dengan tangan yang sudah siap distang motornya, tetapi belum melaju juga. Naya yang kesal menepuk bahunya keras.
—“Rawat sebelum rusak, jaga sebelum pergi. Karena sesuatu yang tumbuh kembali rasanya tidak akan pernah sama lagi.”— "Kalau gue minta lo jauhin gue, gimana?" Mendengar penuturan Naya, Gavin berdiri dari tempat duduknya. Membuat Naya menoleh cepat kearah cowok itu. Tanpa sepatah katapun, cowok itu melenggang meninggalkan Naya yang termenung dibrankar UKS. Kenapa? Naya kan hanya bercanda. Lagi juga Naya ingin test sampai mana Gavin berjuang untuk mendapatkan kembali cintanya dari Naya. Apakah bertahan lama atau sama seperti dia? Gadis itu mengembungkan pipinya, membuang napasnya kasar. "Salah ya, omongan gue?" *** Gavin tak memperdulikan ocehan temannya. Intinya, hari ini sangat menyebalkan baginya. "Vin, lo jangan diem aja. Sumpah gak pantes," ujar Da
—“Entah mana yang lebih pahit, meminum kopi tanpa gula atau melihat dia dengannya.”— "Ayaaaang, ayok ke Bandung." "Ayang, ih! Aku teh pengen jadi Iron man!" "Yang, kamu gak mau liat aku jadi Iron man?" "Ayang, tau ah aku ngambek sama kamu!" Darrel terus saja merengek kepada Silfa. Gadis itu juga heran sendiri, dirinya dengan Darrel baru beberapa hari pacaran. Tapi, kenapa Darrel sangat manja? "Darrel, gak usah ke Bandung langsung. Kita Pesen online aja, ya? Jauh, lagian juga, kan mana mungkin ke sana beli itu doang." "Emang makan doang bisa langsung jadi Iron man?" tanya Darrel dengan wajah polosnya. Silfa menghela nafas sejenak. Ini dirinya berpacaran dengan anak SMA kah? Atau ... "RASANYA ANJING BANGET!"
—“Semesta terkadang sebercanda ini. Aku yang dibuat jatuh hati, namun dia yang ditakdirkan untuk memiliki.”— Taman belakang. Hanya itu yang ada dipikiran Naya sekarang. Hatinya hancur kembali setelah dihancurkan oleh orang yang beda dengan cara yang sama. Bagaimana perasaanmu, ketika kita sudah membuka hati untuknya. Disaat luka yang dahulu belum sempat sembuh, kini kembali digoreskan kembali? Sakit. Bahkan gadis itu lupa kapan terakhir kali ia menangis untuk orang yang ia sayang selain keluarganya, ia terlalu sayang kepada air matanya. Hingga untuk menangis pun pilih-pilih. Hari ini, menit ini, detik ini, hatinya kembali dihancurkan dengan cara yang sama. Brengsek. Naya berdecih, "Ngapain gue nangis? Sayang banget air mata gue keluar buat orang brengsek kaya dia," ujarnya seraya terkekeh miris. Dengan gerakan cepat Naya menghapus sisa-sisa air matanya. Dirinya jadi malas untuk belajar, hanya karena seorang
—“Tidak ada seorang pun yang bisa kembali ke masa lalu dan memulai awal yang baru lagi. Tapi, semua orang bisa memulai hari ini dan membuat akhir yang baru.”— Tak ada yang dilakukan lagi selain mengurung diri dikamar. Bahkan makan pun tak selera, rasanya hambar. Hidupnya kembali abu-abu, padahal baru beberapa bulan ke belakang hidupnya berwarna karena seseorang. Gavin menghembuskan nafasnya kasar. "Gue bego," lirihnya. "Apa gue terlalu bego untuk urusan cinta?" ujar Gavin kepada dirinya sendiri. "Gue emang bego, nggak bisa juga bertindak gegabah, gue harus apa?' "Sebenernya gue pengin banget jelasin semuanya ke Naya. Tapi ..." Gavin kembali berteriak. Meremas rambutnya frustasi. Gavin teringat ucapan Raisa yang mengancamnya. "Kalau lo jelasin ke Naya, liat aja. Udah dipasti
—“Bukan aku tidak ingin langsung berdamai dengan luka. Tapi masalahnya, aku hanya takut dilukai kembali setelah luka yang sebelumnya belum sepenuhnya sembuh.”— Sudah sebulan terhitungnya hubungan Naya dengan Gavin semakin renggang. Sebenarnya bukan hubungan khusus, karena mereka tidak berpacaran. Naya yang terus menghindar saat Gavin ingin menjelaskan. Gavin yang mulai frustasi tak tahu harus bagaimana lagi dengan perasaannya. Yang ia inginkan hanya Naya, sudah berjuang namun pada akhirnya tak mendapatkan? Sakit, bukan? Namun, hubungan pertemanannya masih berjalan baik. Memang, Gavin belum menjelaskan apa masalahnya karena belum saatnya, atau lebih tepat belum siap. Kevan dan Darrel mengerti, tidak mudah juga membagi cerita buruk kepada teman. Pemuda itu juga muak karena Raisa selalu berkunjung ke rumahnya. Hanya sekedar ingin mengobrol, tapi yang dilakukan Gavin hanya m
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y