—“Rawat sebelum rusak, jaga sebelum pergi. Karena sesuatu yang tumbuh kembali rasanya tidak akan pernah sama lagi.”—
"Kalau gue minta lo jauhin gue, gimana?"
Mendengar penuturan Naya, Gavin berdiri dari tempat duduknya. Membuat Naya menoleh cepat kearah cowok itu.
Tanpa sepatah katapun, cowok itu melenggang meninggalkan Naya yang termenung dibrankar UKS. Kenapa?
Naya kan hanya bercanda. Lagi juga Naya ingin test sampai mana Gavin berjuang untuk mendapatkan kembali cintanya dari Naya. Apakah bertahan lama atau sama seperti dia?
Gadis itu mengembungkan pipinya, membuang napasnya kasar.
"Salah ya, omongan gue?"
***
Gavin tak memperdulikan ocehan temannya. Intinya, hari ini sangat menyebalkan baginya.
"Vin, lo jangan diem aja. Sumpah gak pantes," ujar Da
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
—“Entah mana yang lebih pahit, meminum kopi tanpa gula atau melihat dia dengannya.”— "Ayaaaang, ayok ke Bandung." "Ayang, ih! Aku teh pengen jadi Iron man!" "Yang, kamu gak mau liat aku jadi Iron man?" "Ayang, tau ah aku ngambek sama kamu!" Darrel terus saja merengek kepada Silfa. Gadis itu juga heran sendiri, dirinya dengan Darrel baru beberapa hari pacaran. Tapi, kenapa Darrel sangat manja? "Darrel, gak usah ke Bandung langsung. Kita Pesen online aja, ya? Jauh, lagian juga, kan mana mungkin ke sana beli itu doang." "Emang makan doang bisa langsung jadi Iron man?" tanya Darrel dengan wajah polosnya. Silfa menghela nafas sejenak. Ini dirinya berpacaran dengan anak SMA kah? Atau ... "RASANYA ANJING BANGET!"
—“Semesta terkadang sebercanda ini. Aku yang dibuat jatuh hati, namun dia yang ditakdirkan untuk memiliki.”— Taman belakang. Hanya itu yang ada dipikiran Naya sekarang. Hatinya hancur kembali setelah dihancurkan oleh orang yang beda dengan cara yang sama. Bagaimana perasaanmu, ketika kita sudah membuka hati untuknya. Disaat luka yang dahulu belum sempat sembuh, kini kembali digoreskan kembali? Sakit. Bahkan gadis itu lupa kapan terakhir kali ia menangis untuk orang yang ia sayang selain keluarganya, ia terlalu sayang kepada air matanya. Hingga untuk menangis pun pilih-pilih. Hari ini, menit ini, detik ini, hatinya kembali dihancurkan dengan cara yang sama. Brengsek. Naya berdecih, "Ngapain gue nangis? Sayang banget air mata gue keluar buat orang brengsek kaya dia," ujarnya seraya terkekeh miris. Dengan gerakan cepat Naya menghapus sisa-sisa air matanya. Dirinya jadi malas untuk belajar, hanya karena seorang
—“Tidak ada seorang pun yang bisa kembali ke masa lalu dan memulai awal yang baru lagi. Tapi, semua orang bisa memulai hari ini dan membuat akhir yang baru.”— Tak ada yang dilakukan lagi selain mengurung diri dikamar. Bahkan makan pun tak selera, rasanya hambar. Hidupnya kembali abu-abu, padahal baru beberapa bulan ke belakang hidupnya berwarna karena seseorang. Gavin menghembuskan nafasnya kasar. "Gue bego," lirihnya. "Apa gue terlalu bego untuk urusan cinta?" ujar Gavin kepada dirinya sendiri. "Gue emang bego, nggak bisa juga bertindak gegabah, gue harus apa?' "Sebenernya gue pengin banget jelasin semuanya ke Naya. Tapi ..." Gavin kembali berteriak. Meremas rambutnya frustasi. Gavin teringat ucapan Raisa yang mengancamnya. "Kalau lo jelasin ke Naya, liat aja. Udah dipasti
—“Bukan aku tidak ingin langsung berdamai dengan luka. Tapi masalahnya, aku hanya takut dilukai kembali setelah luka yang sebelumnya belum sepenuhnya sembuh.”— Sudah sebulan terhitungnya hubungan Naya dengan Gavin semakin renggang. Sebenarnya bukan hubungan khusus, karena mereka tidak berpacaran. Naya yang terus menghindar saat Gavin ingin menjelaskan. Gavin yang mulai frustasi tak tahu harus bagaimana lagi dengan perasaannya. Yang ia inginkan hanya Naya, sudah berjuang namun pada akhirnya tak mendapatkan? Sakit, bukan? Namun, hubungan pertemanannya masih berjalan baik. Memang, Gavin belum menjelaskan apa masalahnya karena belum saatnya, atau lebih tepat belum siap. Kevan dan Darrel mengerti, tidak mudah juga membagi cerita buruk kepada teman. Pemuda itu juga muak karena Raisa selalu berkunjung ke rumahnya. Hanya sekedar ingin mengobrol, tapi yang dilakukan Gavin hanya m
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow