Bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu. Naya dan teman-temannya sedang berada di kantin dan melakukan makan siang mereka.
Kelihatannya Naya masih marah atas kejadian semalam. Tapi, Gavin bisa apa? Sepertinya Naya sedang datang tamu.
"Nay, lo kenapa deh. Diem-diem bae," ucap Darrel.
"Lagi ngambek dia sama si Gavin," sahut Kevan.
Gea menoleh ke arah Kevan. "Lah, emang kalian pacaran?" tanya Gea yang melirik ke arah Naya dan Gavin secara bergantian.
"Enggak lah," sergah Naya.
"Lah emang kudu orang pacaran aja yang ngambekkan?" sahut Darrel, yang sahabatan juga bisa saja toh marah-marahan, ya kan?
Naya sedang badmood, dia tidak mau jika harus marah-marah gak jelas. Apalagi di kantin yang se-ramai ini. Bukan malu, hanya jaga attitude saja. Walau kenyataannya sekolah ini milik orang tuanya.
Dia beranjak dan melenggang dari kantin, semua terkejut. Tapi, pandangan Gavin turun ke noda di rok milik Naya, yang kebetulan dia duduk di depan Naya.
Dengan segera, dia mengejar Naya. Tanpa menghiraukan teriakan teman-temannya. Dan beruntung, kali ini Gavin memakai hoodie yang semalam dipakai.
Gavin mendekat kearah Naya, dia berdiri dibelakang gadis itu. Membuatnya terkejut bukan main.
"Eh! Apa sih mepet-mepet! Jalanan masih luas!" pekik Naya. Dia kesal setengah mati hari ini.
Kenapa semua orang sangat menyebalkan hari ini?
Gavin berdecak ketika Naya terus meronta. "Lo mau nodanya keliatan orang lain?"
"Maksud lo apa?"
"Lo ... itu?"
"Apa sih!"
"Lo pms kan?"
"Hm."
"Itu ..."
Naya yang mengerti pun langsung melihat ke arah roknya. Oh No!
Gavin membuka hoodie miliknya, lalu bergerak melingkarkannya dipinggang Naya.
Dengan jarak sedekat ini, Naya dapat melihat wajah tampan Gavin. Dia baru sadar akan hal itu.
"Udah kali liatnya, ntar suka lagi." Gavin terkekeh pelan.
Naya salah tingkah. Dia menghindari kontak mata dengan Gavin. Ia terlalu malu. "In your dreams," desisnya. Lalu hendak beranjak. Namun, pergelangan tangannya dicekal oleh Gavin.
"Maaf soal semalam, gue becanda. Dan gue gak tau kalo lo lagi itu. Sorry, ya?" ucapnya tulus.
Naya hampir terenyah. Tapi, tak apalah. Yang nyiptainnya aja maha pemaaf, masa ciptaannya enggak.
"Hm."
Air muka Gavin berbinar, "Serius nih?" tanyanya meminta kepastian.
"Iya."
Gavin menggenggam tangan Naya lembut. "Yuk," ajaknya.
"Eh, kemana?" Enak saja main pegang-pegang tangan orang.
"Sebagai perminta maaf'an gue. Gue mau beliin semua barang yang lo butuhin saat ini. Atau, mau pulang?"
"Gue bisa sendiri. Dan, gak perlu pulang."
"Gue nggak nerima penolakkan."
***
"Lo sih, Rel. Singa betina ngambekkan?" ujar Kevan saat melihat Naya pergi begitu saja.
"Itu juga si Gavin ngapain ngejar tuh orang," sahut Darrel.
"Ih, berani ngomonginnya dibelakang. Banci," ledek Gea.
Darrel mendelik. "Diem lo, bocah."
"Sembarangan!" Gea menggeplak punggung Darrel keras sampai bunyi, sukses membuat Darrel terpekik keras.
"Udah anjir. Kita cari aja mereka, bentar lagi bel," lerai Kevan.
Mereka bertiga mulai mencari ke taman belakang sekolah. Mereka pikir, Naya dan Gavin pacaran?!
Tidak ada. Lalu ke perpustakaan. Sampai akhirnya Gea bersuara. "Toilet cewek."
"Ngapain?" ujar Kevan tak santai.
"Ikut aja."
***
"Astaga, lo ngapain masih disini?" seru Naya. Bagaimana tidak kaget, dia keluar dari toilet cewek, Gavin masih ada ditempatnya.
"Nungguin lo."
"Kan gue udah bilang, duluan."
"Gak papa," ujar Gavin lembut, lalu tangannya terangkat mengacak puncak kepala Naya.
"Ish! Berantakan!"
Kevan melihat interaksi keduanya dari jauh bersama Darrel dan Gea. Gavin yang terlihat senyum dan Naya yang cemberut.
Mereka menghampiri Naya dan Gavin dengan tersenyum miring.
"Heh! Pacaran kok di toilet, di taman lah. Biar romantis," ujar Darrel.
"Apa? Iri bilang bos," balas Gavin, kakinya menendang kaki Darrel menandakkan ia sangat mengganggu.
"Lo berdua ngapain sih berduaan di toilet. Gue khawatir tadi kalo sampe Adek gue kenapa-kenapa," cerocos Kevan.
"Dia—"
"Udah jangan bahas. Bel lima menit lagi," ujar Naya melerai. Kemudian dia melenggang begitu saja meninggalkan mereka.
"Lah, gue ditinggalin," ujar Gea dramatis.
"Kan ada gue," sahut Kevan sambil menaik-nurunkan alisnya. Menggoda.
"Ganggu lo semua," gumam Gavin. Tetapi, masih terdengar oleh ketinganya. Kemudiam dia juga beranjak dari mereka.
"HEH UDIN! ADEK GUE ITU, WOY!" Teriak Kevan. Namun, tak ada balasan dari Gavin.
"Wah, songong dia, Rel."
"Lo napa sih, Naya gak papa juga."
"Tau ah."
***
Sepulang sekolah, Naya mengurung diri di kamarnya. Perut dan pinggangnya terasa sakit. Akibat pms, pasti.
Tok Tok Tok
Naya berdecak, lagi sakit juga masih aja ada yang mengganggunya.
"Gak dikunci," ucapnya pelan.
Pintu terbuka, menampilkan wanita paruh baya. Lalu wanita itu mendekat ke arah putrinya.
"Kamu kenapa, sayang?" tanya Jessie ketika melihat Naya memengangi perutnya dan meringis kecil.
"Biasa, Ma."
"Mama ngapain ke kamar Nay?" lanjutnya.
"Oh itu, katanya dari sepulang sekolah kamu belum makan. Yaudah Mama kesini takut kamu kenapa-napa," ujar Mamanya. Naya mengangguk saja untuk menjawabnya.
"Mama keluar dulu ya sayang," pamitnya. Lalu Mamanya mencium kening Naya.
Hangat. Itulah yang Naya rasakan. Dia bersyukur memiliki keluarga yang harmonis. Jauh dari kata pertengkaran.
Sedangkan dibawah. Bel rumahnya berbunyi pertanda ada tamu. Perlahan Jessie membukakan pintunya. Terpampanglah seorang Gavin, dengan jaket warna hitamnya.
"Eh, nak Gavin. Mau ketemu siapa?" sapa Mama Naya.
Lalu Gavin mencium punggung tangan Mama Naya. "Mau ketemu Nay, tante. Soal semalam Gavin bercanda tan." Gavin terkekeh.
Mama Naya ikutan terkekeh. "Beneran juga nggak papa. Soalnya tante liat, kamu anak baik-baik kok," ucapnya tulus.
"Yasudah, kamu ke kamar nya aja. Dan juga tolong ya, bujuk dia supaya makan. Jangan macam-macam" lanjutnya.
"Siap tan."
***
Selang Mamanya keluar, pintu kamar terketuk lagi. Naya berdecak kesal.
"Buka aja," titahnya.
Lalu pintu terbuka, sosok Gavin berdiri tegap. "Hai," sapanya.
"Ngapain lo?" Naya jadi takut sendiri.
Gavin mendekat ke arah Naya yang sedang duduk dikasur empuknya. Dan ikutan duduk dihadapan Naya. Setelah menyamankan duduknya, Gavin kembali menatap Naya yang sedang was-was dan memundurkan tubuhnya.
"Jangan macem-macem ya, lo!"
Gavin tertawa ringan. "Satu macem berati boleh?" ujarnya yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Naya.
"Becanda. Nih, kata Mama lo makan. Katanya belum makan dari tadi." Gavin menyerahkan piring berisi nasi dan lauknya kepada Naya, namun gadis itu malah menggeleng.
"Gak mood." Naya tak menatap piring itu, wajahnya ia palingkan ke arah lain, menatap ke arah jendela.
"Ini juga, nih, sebelum gue kesini gue beli cemilan, ada kiranti juga," ujar Gavin sambil memberikan sekantong plastik yang lumayan besar. Dan isinya juga banyak.
"Kok lo tau?"
"Gue browsing dulu tadi," jawabnya sambil cengengesan.
"Kalo gak makan nasi, ngemil aja. Kasian," lanjutnya.
"Kasian?" Naya membeo.
"Kasian perut lo kalo nggak diisi, kan lo punya maag."
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Sudah dua minggu sejak kejadian waktu Gavin menemui Naya yang sedang datang bulan, mereka menjadi dekat. Banyak yang heran dan iri sekaligus.Seorang cowok kini tengah berbaring di kasur empuknya. Sedari tadi bibirnya terus terangkat keatas. Senang, bahagia. Semuanya dia rasakan.Renata-Mama Gavin. Membuka pintu kamar putranya. Dia tersenyum geli melihat tingkah anaknya, pasti lagi kasmaran!"Vin," panggilnya.Gavin diam."Vin."Masih diam."Gavin." Kali ini Renata berbicara sedikit berteriak."Astagfirullah Mama, ngagetin!" ucap Gavin sembari mengusap dadanya, terkejut. "Nggak ngetuk pintu dulu pula," lanjutnya."Mama tuh udah ngetuk beberapa kali Vin. Cuma kamunya aja yang budek!" cercanya."Amit-amit, Ma!" sarkas Gavin dengan mengusap perutnya beberapa kali.Renata mendengus. "Cepet turun. Papamu sudah menunggu di meja makan," titahnya lalu beranjak kaluar dari kamar Gavin."Iya."***
Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu? Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini? Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget! "Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini. "Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan." "Masih pagi juga," decaknya. "Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu. "Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Naya memasuki rumahnya dengan langkah gontai. Setelah ditaman tadi, Naya meminta Gavin untuk ke Cafe terdekat terlebih dulu. Karena sudah hampir tiga jam mereka berada ditaman itu, cacing-cacing didalam perut Naya sudah demo meminta diisi. Gadis itu tidak mempedulikan tatapan khawatir Kevan dari ruang tamu. Naya mencium punggung tangan Jessie dan Devan. "Dari mana Nay?" tanya Devan. "Taman." "Dengan?" "Gavin." "Udah mulai ekhem - ekhem nih ya," goda Jessie. Membuat Naya memutar bola matanya jengah. "Enggak ma," elak Naya. "Iya juga nggak papa," sahut Devan. Membuat Naya ingin mengumpat saja. "Kamu kok nggak bareng sama Kev—" "Nay cape, mau istirahat." Naya memotong ucapan Devan dengan cepat. Dia hanya ingin merebahkan tubuhnya yang lelah ini.
Naya, Kevan dan teman-temannya sedang berjalan menuju kantin. Ramainya suasana sekolah ketika sedang beristirahat. Membuat Naya malas saja. Tapi, kata perutnya dia butuh diisi, jadilah Naya ikut ke kantin. "Mau pesen apa?" tanya Naya yang masih berdiri ketika yang lain sudah menduduki kursinya masing - masing. "Batagor." "Mie ayam." "Bakso," "Nasi goreng." "Oke. Bakso lima," putus Naya yang langsung melenggang ke penjual bakso. Kevan mengelus dadanya sabar. Darrel cengo, Gavin pun sama. Gea apalagi. "Semenjak baikan sama lo, dia kok jadi ngeselin ya, Van?" Kata Gavin sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tau gue. Gara - gara lo juga Rel, dia jadi suka ngumpat. Herman gue." "Sianjing malah nyalahin! Lo juga sering ngumpat ya gob
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y