Sesuai dengan kesepakatan Naya, mereka berempat kerja kelompok dirumah sikembar. Tak lupa mengajak Gea yang kabarnya sudah pulang dari luar kota.
Mereka kini berada di ruang televisi. Naya yang sedang berkutat dengan laptopnya, Gea yang membolak-balikkan buku Bahasa Indonesia-nya. Dan para cowok sedang berkutat dengan Handphonenya membuka g****e, mencari judul dan tema yang akan dikerjakan.
"Nay, ini bagus nih," ujar Gavin, lalu mendekat ke arah Naya.
"Judulnya?" jawab Naya sembari menoleh.
"Yang ini aja ya, tentang kesehatan. Disini juga ada contohnya, pengertian, aspek-aspeknya, cara menjaganya. Ini juga singkat. Tinggal direvisi lebih baik aja," jelas Gavin.
"Setuju nggak?" tanya Naya sembari menoleh ke arah Kevan, Gea dan Darrel yang tadinya sibuk langsung menoleh dan mengangguk paham.
"Boleh juga. Nay, lo yang ketik. Dan lo Vin, Ganti kata-kata yang kurang menarik atau perlu direvisi. Selebihnya kita nyari cover," jelas Gea, kemudian gadis berambut sebahu itu mendekat ke arah Naya.
Mereka mulai mengerjakan tugasnya masing-masing. Kalau kerja kelompok yang lain dengan artian yang kerja satu, yang lainnya hanya melihat, ada juga yang membantu. Tapi mereka tidak, karena kecerdasannya, walaupun Darrel yang sedikit kurang paham.
Seusai mengerjakan tugas sekitar dua jam, ada yang sedang di meja makan mencari makanan, ada yang duduk lesehan dikarpet bulu yang digelar oleh Kevan. Karena Orangtua Naya sedang tidak ada di rumah, jadi mereka bebas.
"Nay ada makanan nggak? Laper," ujar Darrel sambil mengusap perutnya bak orang hamil.
"Di kulkas. Sekalian ambilin juga buat kita," jawab Naya.
Dengan senang hati Darrel berjalan kearah dapur dan membuka kulkas besar itu, banyak camilan disana. Dia mulai mengambil satu persatu, dari mulai chiki, minuman dingin, soda.
"Banyak amat, kalo begini jalannya mah rumah gue dirampok ini," ujar Kevan heboh ketika melihat Darrel membawa makanan yang amat banyak, bahkan ada yang sampai jatuh dilantai.
"Tau, Rel. Kaya gak makan seminggu aja lo," sahut Gavin, bercanda.
Darrel menyimpan camilan yang ia bawa tadi dikarpet bulu yang digelar oleh Kevan. "Ini gue bawa kan buat kalian semua, bukan buat gue semuanya. Gimana, sih!"
"Ya gak sebanyak ini juga kali, Rel," kata Gea sewot.
"Udah. Nggak bakal habis juga." Naya berusaha melerai, bukannya apa-apa, Naya hanya tak ingin berisik karena ucapan unfaedah mereka.
"Eh, Nay. Asal lo tau, kalo sama ni gentong, bakal abis!" cetus Kevan sembari menunjuk Darrel.
"Tinggal beli lagi, kan?"
"Nah bener kata si Nay, nggak usah kaya orang susah aja lo Van," jawab Darrel semangat.
"Tapi, Nay. Keenakan dianya," tutur Gavin yang sedari tadi hanya menyimak.
Naya berdecak. "Lo berdua nggak usah makan aja, ribet!" putus Naya.
Ucapan Naya membuat Gavin dan Kevan cengo. Kok jadi mereka yang salah?
"Enggak, enggak! Enak si Darrel dong!" jawab Kevan cepat.
"Yaudah diem."
***
Sekitar tiga jam yang lalu teman-teman Naya dan Kevan sudah pulang. Karena hari semakin gelap juga.
Kini Naya sedang berada didalam kamarnya, dia mengotak-atik ponselnya. Lalu dia mematikannya, tidak ada apa-apa. Baru saja dia hendak ingin berdiri, notif W******p terdengar.
Naya membuka aplikasi itu, dahinya menyernyit heran.
Gavin:
Nay
Dengan malas dia mematikan ponselnya kembali, tidak penting!
Tapi deringan itu kembali berbunyi lagi. Dengan kesal dia membuka W******p lagi, kemudian membalasnya dengan perasaan kesal.
Gavin:
Ko di read doang si?
K Naya:
?!
Sedangkan disisi lain, Gavin memandang ponselnya dengan terkekeh pelan. Pasti Naya sedang kesal, karena dia tidak suka jika ada yang mengiriminya pesan apabila itu tidak penting-penting banget.
"Lagi ah," ucap Gavin terkekeh.
Gavin :
Lagi apa?
Read.
Gavin berdecak. "Nyebelin."
"Spam aja, bodo." Gavin kembali bermonolog.
Gavin:
Nay, lo mah gitu:(
bales napa sih:(
Nayaaaanggg🤣
Eh, Naya mksud gue🤣
K Naya:
APA SI APA
Gavin :
Lo marah ya? maaf deh
maaf🤣
K Naya:
G JLS!
Gavin:
Iya, gajelas kalo hidup
gue tanpa lo.
/Read.
Gavin sudahi sajalah, dia juga merasa lapar malam ini. Dia perlahan berjalan, menuruni anak tangga satu persatu. Yaiyalah, masa iya langsung loncat, bunuh diri itu namanya.
Dia membuka kulkas, kosong. Lalu ke meja makan, kosong juga? Astagfirullah, kerja lembur bagai Quda, sampai lupa orang tua!
Gavin menyambar kunci mobil dan memakai hoodie kuning gelapnya.
Sesampainya di ruang TV, dia menemui orang tua nya yang sedang menonton sinetron, kalau nggak salah liriknya,
Kumenangiss ... Membayangkan ...
Sinetron apa, ya?
"Mau kemana, Vin?" tanya Renata, sang Mama.
"Mau beli cemilan, di kulkas kosong, di meja makan nggak ada makanan."
"Pakai mobil aja ya, udah malem," sahut Ardi, sang Papa.
"Iya, Gavin pergi dulu. Assalamualaikum." Salamnya setelah mencium punggung tangan keduanya.
***
"KEVAAAAANNNN!"
"Apasi Nay, kuping gue budek ini, agh."
"Lagian lo diapanggilin gak nyaut-nyaut," ujar Naya dengan mengerucutkan bibirnya. Kesal.
"Nyaut-nyaut emangnya gue ikan apa!" tukas Kevan.
"Anterin ke depan."
"Ke depan? Depan mana? Depan pintu? Gitu aja perlu dianter. Man—"
"SUPERMARKET, ONTA!" Naya berteriak tepat disamping telinga Kevan, yang mana membuat Kevan menjauh dari Naya.
"ANJING! KUPING GUE!" Kevan ikutan berteriak sambil mengusap-usapkan tangannya ke telinganya.
Jessie dan Devan yang mendengar teriakkan anak-anaknya saling melempar tatapan seolah bertanya 'kenapa?'
Tanpa dikomando, Jessie menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa disusul oleh Devan dibelakangnya. Mereka melihat ke kamar Kevan yang terbuka lebar. Mereka dapat melihat, Naya yang sedang kesal, dan Kevan yang mengusap-usapkan tangannya ke telinga.
"Ada apa sih kalian ini? Kaya di hutan aja pake teriak-teriak segala," cetus Jessie.
"Naya, Ma. Dia teriak di telinga Kevan," adunya.
Devan ingin membuka suara. Tapi—
"Naya mau ke supermarket, Ma. Nay minta anterin Kevan, tapi Kevaby nggak mau." Naya berujar dengan memajukan bibirnya, kesal.
"Eh, gue belum bilang mau apa kagak, Maimunah!"
"Nama gue Naya," ralatnya.
"Serah! Pokoknya gue belum jawab mau apa nggak!"
"Sudah, sudah. Kevan, kamu antar dong Naya. Emangnya kamu mau kalau diajalan Nay kenapa-napa?" lerai Devan. Sedangkan Jessie, dia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Ih, Papa! Kok kaya nyumpahin Nay kenapa-napa, sih?"
"Bukan begitu, Kanaya ... masa papa nyumpahin yang buruk-buruk sama anak sendiri?" Devan mengusak rambut putrinya.
Lalu pandangan Devan kembali ke arah Kevan. "Mau adikmu kenapa-napa?"
"Eng ... nggak sih." Kevan menjawab dengan terbata-bata, awalnya ia hanya ingin bermain-main sebentar dengan Naya dan mengusili adiknya itu. Namun, tampaknya Naya sedang sensitif, ya?
Kanaya yang dirumah memang super duper menjengkelkan juga bikin Kevan pusing sendiri.
"Ya sudah, sana antar Naya. Bahaya juga sudah malam."
***
any feedback to appreciate me, thanks for reading this❤️
Kevan tuh tipe kakak yang penyayang. Namun, dia tidak menunjukkannya secara langsung. Walaupun sering tidak akur, tapi dia sangat sayang kepada adiknya."Lama banget sih, buru!" Naya terus mengomel sampai telinga Kevan pengang. Cerewet."Diem atau nggak gue anter," ancam Kevan. Namun, hanya bercanda. Cuma nada bicaranya saja seperti serius.Naya yang hendak ingin angkat bicara terurung karena tangan kekar milik Kevan membekap mulutnya. Dia ingin berteriak. Mengadu lebih tepatnya."Lo tuh ya, di sekolah aja so' cuek. Tapi di rumah cerewet dan manjanya minta ampun. Gue bilangin sikap lo ke si Gavin baru tau rasa lo," celotehnya."Lah? Hubungannya sama gue apa?" tanya Naya bingung. Bukannya teman-temannya sudah tahu perihal Naya yang bersikap manja jika dirumah?Bukannya juga hal itu wajar bagi adik perempuan yang lebih manja kepada kakak laki-lakinya?&n
Bel istirahat berbunyi lima belas menit yang lalu. Naya dan teman-temannya sedang berada di kantin dan melakukan makan siang mereka.Kelihatannya Naya masih marah atas kejadian semalam. Tapi, Gavin bisa apa? Sepertinya Naya sedang datang tamu."Nay, lo kenapa deh. Diem-diem bae," ucap Darrel."Lagi ngambek dia sama si Gavin," sahut Kevan.Gea menoleh ke arah Kevan. "Lah, emang kalian pacaran?" tanya Gea yang melirik ke arah Naya dan Gavin secara bergantian."Enggak lah," sergah Naya."Lah emang kudu orang pacaran aja yang ngambekkan?" sahut Darrel, yang sahabatan juga bisa saja toh marah-marahan, ya kan?Naya sedang badmood, dia tidak mau jika harus marah-marah gak jelas. Apalagi di kantin yang se-ramai ini. Bukan malu, hanya jaga attitude saja. Walau kenyataannya sekolah ini milik orang tuanya.Dia beranjak dan melen
Sudah dua minggu sejak kejadian waktu Gavin menemui Naya yang sedang datang bulan, mereka menjadi dekat. Banyak yang heran dan iri sekaligus.Seorang cowok kini tengah berbaring di kasur empuknya. Sedari tadi bibirnya terus terangkat keatas. Senang, bahagia. Semuanya dia rasakan.Renata-Mama Gavin. Membuka pintu kamar putranya. Dia tersenyum geli melihat tingkah anaknya, pasti lagi kasmaran!"Vin," panggilnya.Gavin diam."Vin."Masih diam."Gavin." Kali ini Renata berbicara sedikit berteriak."Astagfirullah Mama, ngagetin!" ucap Gavin sembari mengusap dadanya, terkejut. "Nggak ngetuk pintu dulu pula," lanjutnya."Mama tuh udah ngetuk beberapa kali Vin. Cuma kamunya aja yang budek!" cercanya."Amit-amit, Ma!" sarkas Gavin dengan mengusap perutnya beberapa kali.Renata mendengus. "Cepet turun. Papamu sudah menunggu di meja makan," titahnya lalu beranjak kaluar dari kamar Gavin."Iya."***
Dengan langkah malas, Naya membuka pintu utama, suara bel masuk ke pendengarannya, pembantu-pembantunya sedang sibuk di dapur. Jadi, dialah yang akan membukanya. Masih pagi siapa yang sudah bertamu? Ketika Naya memutar knop pintu dan membukanya. Oh! Dia Gavin! Masa iya Naya bertemu Gavin dengan fashion kaya gini? Lihatlah, dia memakai piyama unicorn dengan lengan panjang serta celana panjang. Lalu, rambut yang di ikat asal, terkesan acak-acakkan. Kan, nggak banget! "Ngapain?" tanyanya ketus. Apa tidak ada waktu yang pas untuk Gavin bertemu dengannya? Kenapa harus saat Naya berpakaian seperti ini. "Ketemu lo, lah. Masa iya Kevan." "Masih pagi juga," decaknya. "Nggak papa, lo cantik kok kalo lagi gini juga," kata Gavin yang sukses membuat pipi Naya bersemu. "Apaan sih." Naya memalingkan wajahnya ke arah lain, tak menatap wajah
"Sayang, sini dong," rengek seorang pemuda sembari merentangkan kedua tangannya meminta untuk dipeluk."Apasih kamu. Bangun, gak usah pake tidur lagi," kata gadisnya galak."Sayang. Bentar aja kok. Janji," rengeknya semakin menjadi.Gadis itu menghela nafas. "Gak ada Vin. Udahlah bangun.""Ayolah Nay, peluk doang." Gavin berucap sambil memajukan bibirnya, merajuk.Naya menghampiri Gavin yang sedang berada diranjang. Lalu duduk ditepi ranjang. Membuat senyum Gavin mengembang. Dengan cekatan Gavin beringsut untuk memeluk tubuh mungil Naya."Sesek Vin, jangan erat banget."Gavin cengengesan. "Hehe, maaf ya sayang," katanya. Lalu mencium pipi Naya.Naya menghindar lalu mendorong pelan kepala Gavin. "Bau ish. Mandi dulu sana," titahnya."Apasih?" tanyanya. Lalu menciumi wangi tubuhnya. "Masih wangi Nay
Naya memasuki kamar Kevan. Dengan kesal dia menghentak-hentakkan kakinya. "Van," rengeknya.Kevan menoleh, ia hanya bergumam untuk membalas ucapan Naya."Van, ih.""Apa Kanaya?" tanya nya yang mulai kesal."Gue gak bisa bersikap hangat sama semua orang," katanya jujur."APA?!" pekik Kevan. "Lo gak bisa bersikap hangat sama sahabat lo sendiri?" katanya tak percaya.Naya berdecak. Alay sekali. "Bukan gitu. Gue sama Gea udah kenal dari smp kan? Dia tuh udah ngerti banget sama sikap dan sifat gue. Sedangkan Darrel dan," Naya menggantungkan ucapannya. Dia malas menyebut nama itu. "Gavin. Baru kelas sepuluh. Gue gak bisa Van," rengeknya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca."KALO LO UDAH GINI! MANA BISA GUE NOLAK?!" Kevan berteriak gemas lalu memeluk tubuh Naya.Akhirnya, rencana Naya berhasil. Dia bukan memanfaatkan kelemahan Kevan. Tapi, dia juga tidak bisa menjadi apa yang Kevan mau.Naya memeluk Kevan erat. "Gue sayang lo,
"Berjuanglah jika orang itu patut untuk diperjuangkan." -Gavinno Leonard Pradipta.***Hari ini kepulangan Gavin. Dia sudah dibolehkan pulang karena memang lukanya sudah membaik. Kini Gavin sedang berada didalam mobilnya, yang dikendarai oleh Papanya dan Mamanya berada disampingnya. Jadilah dia sendiri dibelakang.Gavin menghela nafas beratnya. Sudah lima hari ia tidak sekolah. Dan esok, ia kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa. Ini lah, akibat keras kepala. Tapi, tak apa. Yang penting Naya sudah mulai peduli dengannya.Deringan ponsel Gavin mengusik ketiganya. Gavin melirik nama yang menghubunginya 'Es balok<3'. Itu nama Naya yang telah ia ubah pada saat mereka berdebat menyebut 'Es' dan 'Batu'.Tidak ingin Naya menunggu, Gavin langsung menggeser tombol hijaunya. Lalu mendekatkan ponselnya ketelinganya. Agar orangtuanya tidak mendengarkan.
Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya? Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir kekamar mandi untuk melakukan ritual paginya. Kemudian cowok itu bersiap - siap. Baju rapih ceklist✅ Dasi plus sabuk ceklist✅ Rambut acak - acakkan tapi tetep tampan ceklist✅ Naya membalas perasaannya ... "Belum anjer!" serunya ketika ia bergumam. "Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya nya pada dirinya sendiri. "Ah iya dong!" Gavin kembali berseru. Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah mata
Empat tahun kemudian ... Seorang pria tengah sibuk berkutik dengan laptopnya. Tangannya dengan lincah menekan huruf-huruf dikeyboard laptop. "Kakak!" teriak bocah berumur lima tahun lebih, bocah itu sedikit berlari menghampiri Kakaknya. Memeluknya dengan erat. "Kok nggak bilang-bilang mau ke sini, hm?" Dengan gemas Gavin menarik hidung mungil adiknya. "Kak Naya katanya kangen," ucap Giona sedikit terkekeh. "Aih, apaan, kamu sendiri ngerengek minta ke sini," sahut Naya yang sedang duduk dikursi khusus ruangan kerja Gavin. "Suka malu-malu Kak Naya ya, Gi?" Gavin sedikit bergurau, kemudian ia menghampiri Naya yang sedang memakan camilan yang gadis itu bawa. Hubungan keduanya berjalan dengan mulus selama tiga tahun, mereka berkuliah di kampus yang sama. Bahkan Kevan, Gea dan Darrel ju
Sudah setahun lamanya dari waktu Gavin mengungkapkan perasaannya kepada Naya, sudah selama itu juga mereka berpacaran. Awal hubungan memang banyak cobaannya, seperti mudah cemburu karena hal sepele, atau jarang mengabari satu sama lain. Tapi, mereka mencoba memahami kesibukkan satu sama lain, walaupun satu kampus tapi mereka tidak punya banyak waktu untuk berdua. Jika pun ada waktu untuk berdua, pasti teman-temannya ikut serta, tapi mereka tidak terlalu masalah juga. Toh mereka senang karena mereka dan teman-temannya masih bisa bermain walaupun tidak sebebas saat SMA. Saat ini Naya sedang berada dirumah Gavin, ingin bermain dengan Giona dan bertemu dengan pacarnya. Aneh, dulu Gavin adalah orang yang sangat ia hindari, tapi sekarang malah sering ia cari. Mendengar kata 'pacar' sebenarnya membuat Naya sedikit merinding, karena menurutnya asing sekali kata itu. Hari ini Naya tidak ada kelas, namun Gavin ada. Naya semp
—“Nyatanya, seseorang akan merasa lebih tenang dan nyaman ketika berada ditempat dimana dihargai dan diapresiasi.” *** "Lo, siapa?" Naya menjauhi ranjang Gavin, menatap Renata yang sedang duduk di sofa dengan penuh tanya. "Tante?!" Naya sedikit berteriak meminta penjelasan kepada orang tua Gavin. Kevan terkejut mendengar kembarannya berteriak, buru-buru ia menyusul dengan Gea dan Darrel mengekori. "Ada apa?" tanya Kevan sembari menatap sekitar. "Kok dia lupanya cuma sama gue doang?!" Kevan menyernyit tak mengerti. "Hah?" "Dia amnesia, kan?" Naya menunjuk Gavin. "Apa dah? Tadi dia—" "Dia nggak kenal sama gue!" Mata Naya berkaca-kaca, menatap Gavin dan Kevan bergantian. "Heh! Kok nang
—Aku akan menatap matamu dan mengatakan “Aku sangat merindukanmu.”— Hari pertama Ujian Nasional saja sudah membuat para siswa pusing, bagaimana selanjutnya? Entahlah, mereka hanya berdoa yang terbaik dan berharap agar soal-soal selanjutnya tidak terlalu sulit. Bel pulang sudah berbunyi, semua murid kelas dua belas mulai keluar dari kelasnya. "Gimana, bro? Baru hari pertama ini cuy," ujar Darrel. Mereka tak langsung pulang, karena mereka lapar, jadi lah mengunjungi kantin dahulu. "Gue, sih, biasa aja tuh," sahut Kevan. "Kalau gue agak susah, karena terlalu seneng ngajak main Gio. Malemnya pas mau belajar Gio suka nangis kenceng banget, jadi gak fokus gue. Bawaannya khawatir mulu," ujar Gavin lesu. "Iya deh yang udah jadi Abang," ejek Kevan. "Lo juga, bego!" tukas Gav
—“Dan merasa kosong adalah seburuk-buruknya perasaan.”— Cowok itu berjalan maju, balik kanan, maju lagi. Begitu seterusnya. "Bisa diem nggak, sih?! Pening mata gue liat lo mondar mandir mulu!" ujar Darrel. "Gue takut nyokap gue kenapa-napa!" balas Gavin kasar. Cowok itu kemudian duduk di samping Kevan. Mereka menunggu Renata yang sedang bersalin, Kevan, Gea dan Darrel ikut serta. Ternyata perkiraan dokter itu salah, Renata melahirkan jauh dari perkirannya. Makannya itu membuat Ardi dan Gavin kewalahan. Di dalam, Ardi menunggu Renata. Mereka di luar hanya bisa berdo'a agar Renata tidak kenapa-napa. Soal kepulangan Naya, diundurkan karena ada hal mendadak membuat gadis itu mendumel. Jadi, lah minggu depan ia pulang. Tapi, teman-temannya tidak tahu-menahu soal kepulangannya, biar surprise. "Padahal gue berharap N
—“Teruntuk rindu, bisakah kau diam? Dia sudah tak lagi ku genggam.”— Sebulan lagi ujian Nasional akan berlangsung, Gavin, Kevan, Gea dan Darrel sedang sibuk-sibuknya belajar agar mendapat nilai yang memuaskan. Ralat, minus Darrel. Cowok itu sibuk mengotak-atik ponselnya. Entah sedang apa, yang pasti ia sedang bergerutu pada ponselnya itu. "Apa lo nggak keberatan kalau nanti soal-soal ujian susah?" tanya Kevan. Darrel menoleh. "Tenang, lah. Nggak perlu serius-serius amat, jawab sebisa gue aja. Lagian, kalau belajar lama-lama, entar pas ujian berlangsung kalian gugup, otomatis itu pelajaran bakalan ngilang gitu aja kaya tetangga sebelah." Dagunya ia arahkan ke sampingnya, bermaksud menyindir Gavin. Gavin mendelik ke arah Darrel, ia tahu Darrel sedang menyindirnya. Tapi, tak usah hiraukan manusia itu. "Sebut nama kalau mau nyindir, cow
—“Kapan hari itu akan tiba? Hari dimana aku bertemu denganmu lagi.”— Semester satu telah usai, tinggal beberapa bulan lagi masa-masa putih abu-abu Gavin dengan teman-temannya akan berakhir. Ya, hanya masa putih abu-abunya saja yang telah usai, cerita tentang teman dan cintanya belum berakhir sampai disini, masih panjang dan masih rumit. Selama itu juga Gavin menunggu kepastian dari gadis yang ia cintai. Lelah memang menunggu tanpa kepastian, tapi ia tak ingin jadi lelaki pengecut. Ia harus memperjuangkan cintanya. Ia akan menerima konsekuensinya jika Naya sudah lupa dengannya. Tak apa, yang penting ia sudah berjuang sebisanya. Soal hasil yang akan ia dapatkan nanti, itu urusannya dengan Tuhan dan Naya sendiri. Ada kemajuan dari pesannya yang dikirim pada Naya. Gavin sedang bosan karena libur semester dua minggu, tangannya membuka aplikasi I*******m, melihat-lihat pesannya. Mata pemuda itu hampir melompat dari temp
—“Bahagia itu ketika hati, pikiran dan tindakan kita selaras.”— "Van, apa Naya udah lupain gue, ya?" Pertanyaan itu terus saja keluar dari mulut Gavin. Ia jadi ragu dengan perasaannya, suara seorang laki-laki yang bersama Naya waktu itu membuatnya sedikit marah dengan Naya. Kevan yang mendengarnya pun bosan karena pertanyaannya itu-itu saja. "Van, jawab dong." "Gini, Vin. Melupakan orang yang selalu ada buat kita, orang yang udah menyembuhkan kita dari luka sebelumnya, orang yang kembali melukai perasaannya, padahal luka sebelumnya belum sempat pulih itu gak mudah. Terutama Naya cewek, perasaan sama logika cewek itu kadang suka gak sinkron," jelas Kevan panjang lebar. "Disaat logika pengin ngelupain, tapi perasaan selalu mengekhianati logika. Alasannya simple, Karena masih sayang dan cinta," lanjutnya. "Gue udah bener-bener jelek ya, dimata Naya?" "Kan gue udah bilang, kalau emang orang itu cinta sama lo, sayang sama lo. Ma
—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”— Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah. "Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya. "Jangan macem-macem kamu!" "Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya." "Itu masih bagus Gavinno!" "Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata. "YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya y