Share

Bab 6: Menurunnya perekonomian Vanilla

Vanilla's POV

Hari demi hari berlalu dengan beban yang semakin berat. Restoran seafood yang kubangun dengan penuh harapan dan kerja keras kini mengalami masa-masa sulit. Pelanggan yang biasanya ramai mulai berkurang, dan omset pun menurun drastis. Aku bisa merasakan setiap sudut restoran yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam.

Padahal baru berjalan dua bulan, namun sudah sepi, sepertinya pelanggan sudah bosan dengan makanan yang ada di restoran kami. Meskipun masih ada beberapa pelanggan setia yang datang, pendapatan harian tidak cukup untuk menutupi biaya operasional. Gaji karyawan, bahan baku, sewa tempat—semuanya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku mulai kehabisan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan. Promosi, diskon, bahkan event kecil di restoran tidak banyak membantu.

Suatu sore, setelah pelanggan terakhir pulang, aku duduk sendirian di salah satu meja di sudut restoran. Tumpukan buku rekening dan tagihan ada di depanku. Aku membuka buku rekening dan melihat saldo yang semakin menipis. Rasanya seperti ditusuk ribuan jarum saat menyadari bahwa uang yang ada tidak cukup untuk melanjutkan operasi restoran dalam jangka waktu lama.

"Bu Vanilla, ini mau ditutup aja restorannya, kayaknya pelanggan enggak akan ada yang datang lagi." Ucap Erik, salah satu karyawan restoran ini. Aku menghela nafas, kemudian menggeleng.

"Buka sampai jam 10 malam seperti biasa aja ya, Rik." Ucapku, yang berusaha optimis, semoga saja akan ada pelanggan lain yang datang.

"Oke, bu. Saya permisi ke dapur dulu." Ucapnya seraya berjalan menuju dapur.

Kekhawatiranku semakin besar ketika mengingat biaya besar yang akan datang saat melahirkan nanti. Meskipun masih beberapa bulan lagi, namun biaya persalinan dan perawatan bayi sudah membayang-bayangi pikiranku. Aku tahu bahwa aku harus mempersiapkan segala sesuatunya, tapi dengan kondisi restoran yang seperti ini, semua terasa semakin mustahil.

Aku menghela napas panjang, mencoba mencari jalan keluar. Mungkin aku bisa mengurangi jam operasional atau mengurangi jumlah karyawan, tetapi itu hanya akan memperlambat kebangkrutan, bukan menyelesaikannya. Pikiran untuk menjual restoran ini bahkan sempat terlintas, tapi hati kecilku menolak. Restoran ini adalah mimpiku, dan aku tidak bisa begitu saja menyerah.

Tepat saat aku tenggelam dalam pikiran, pintu restoran terbuka. Matcha masuk dengan senyum yang biasanya bisa menghangatkan suasana. Namun kali ini, aku terlalu lelah untuk tersenyum balik.

"Hey, Vanilla. Aku datang untuk mengantar seafood," katanya sambil meletakkan kotak-kotak berisi ikan segar di meja dapur. "Kamu kelihatan capek. Ada yang bisa kubantu? Atau sedang memikirkan Wu Hao?"

Aku menggelengkan kepala, menyembunyikan kesedihan di mataku. "Tidak, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengantarkan seafood. Oh ya, untuk besok dan seterusnya, pasokan seafood yang kubutuhkan akan lebih sedikit, karena restoran mulai sepi"

Matcha mendekat dan duduk di depanku. "Oke, aku ngerti, kamu kenapa? Lesu banget, cerita aja sama aku."

Setelah beberapa saat ragu, aku akhirnya membuka diri. "Restoranku sepi, Matcha. Aku bingung harus bagaimana lagi untuk menarik pelanggan. Berbagai cara promosi udah aku lakukan. Dan aku masih harus memikirkan biaya besar untuk melahirkan nanti. Aku bingung banget deh harus gimana."

Matcha mendengarkan dengan serius, matanya menunjukkan simpati yang mendalam. "Ah aku paham, pasti kamu kepikiran banget soal ini, aku bakal nyari cari buat promosi yang efektif."

Aku menatapnya dengan penuh harap. "Terima kasih, kamu selalu baik sama aku." Ucapku dengan tersenyum.

"Iya, Sama-sama. Kalau gitu aku pamit dulu ya." Ucap Matcha, yang aku angguki.

"Iya, Hati-hati, Matcha." Ucapku.

Matcha pergi, mengendarai mobil. Tersisa aku yang kembali hanyut dengan lamunanku. Jika aku tidak bercerai dengan Wu Hao mungkin tidak akan merasakan seperti ini. Kenapa nasibku sangat sial? Jika tau akhirnya akan begini aku tidak akan mau menikah dengan laki-laki brengsek seperti Wu Hao yang tega melakukan perselingkuhan di belakangku.

****

Hari semakin larut, jam menunjukkan pukul 10.02 PM. Restoran akan tutup, aku pamit kepada para karyawanku. Aku pulang dengan wajah muram, sesampainya di rumah aku disambut oleh Bibi. Ia bertanya kepadaku apa yang terjadi, tapi aku mengabaikannya dan pamit untuk pergi tidur lebih awal.

Rasanya sangat tertekan saat menutup pintu restoran malam itu. Rumah yang biasanya menjadi tempat perlindungan kini terasa seperti pengingat akan semua kegagalanku. Aku melewati ruang tamu yang remang-remang dan langsung menuju kamar. Bibi yang selalu setia menungguku di rumah mendekat dengan wajah cemas.

"Non Vanilla, kenapa? Non keliatannya lagi banyak masalah," tanya Bibi dengan nada penuh perhatian.

Aku hanya mengangguk lemah. "Aku capek, Bi. Besok kita bicarakan, ya? Aku pamit masuk ke kamar dulu ya.” jawabku sambil masuk ke kamar dan menutup pintu dengan pelan.

Di dalam kamar, aku melepaskan semua beban yang kurasakan. Duduk di tepi tempat tidur, aku memandang foto diriku bersama Wu Hao yang masih tergantung di dinding. Ingatan tentang kebahagiaan kami yang dulu terasa seperti duri yang menusuk hatiku. Air mata mulai mengalir tanpa bisa kutahan.

"Bodohnya aku, kenapa dulu aku begitu percaya padanya? ah laki-laki berengsek" pikirku dengan pahit. Kenangan tentang pengkhianatan Wu Hao kembali menghantuiku. Bagaimana Wu Hao, pria yang kucintai dan percayai sepenuh hati, bisa berselingkuh dan menghancurkan semuanya? Bahkan setelah perceraianku, bekas luka itu masih belum sembuh.

Aku menghapus air mata dengan punggung tangan dan menarik napas dalam-dalam. Aku tidak bisa terus-menerus meratapi nasib. Ada hal-hal yang harus kupikirkan dan kerjakan. Misalnya, bagaimana caranya membuat restoranku kembali ramai. Aku berusaha mengingat semua masukan dan saran yang pernah kuterima dari teman-temanku, pelanggan, dan bahkan dari Matcha.

Matcha. Nama itu membuat hatiku sedikit hangat. Matcha selalu ada untukku, memberikan dukungan dan kata-kata penyemangat. Bahkan ketika hidup terasa begitu berat, kehadiran Matcha selalu bisa membuatku merasa sedikit lebih baik. Mungkin, hanya mungkin, ada jalan keluar dari semua ini.

Keesokan harinya, aku bangun dengan tekad baru. Aku memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda untuk menyelamatkan restoranku. Setelah sarapan cepat, aku duduk di depan laptop dan mulai mencari ide-ide promosi yang inovatif. Menelusuri forum-forum kuliner, membaca artikel tentang strategi bisnis restoran, dan mengumpulkan semua informasi yang mungkin berguna.

Pintu rumah diketuk kencang, pagi-pagi buta seperti ini membuatku bertanya siapa orang yang berada di balik pintu tersebut. Aku membuka pintu dan ternyata itu adalah Matcha yang datang dengan terburu-buru. Kemudian dia mengatakan suatu hal yang membuatku sangat kaget. "Vanilla, ayo kita menikah, kamu mau kan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status