Share

Bab 7: Ayo Menikah

Satu hari sebelumnya

Matcha's POV

Tok... Tok... Tok..

Ketukan pintu kamar terdengar, aku berjalan ke arah pintu, saat membuka pintu ternyata itu adalah Bi Tuti, seorang pembantu rumah tangga dipekerjakan di rumah kami. Aku menatapnya, kemudian Bi Tuti menyampaikan jika ibu dan ayah. "Itu, den, dipanggil nyonya sama tuan di bawah."

"Oh, oke, Bi." Ucapku, dengan bergegas turun ke bawah. Rumahku sederhana walaupun memiliki dua lantai, tipikal rumah di pinggir pantai pada umumnya. Bi Tuti yang memiliki andil besar membersihkan rumahku.

Aku menuruni anak tangga, ternyata di ruang tengah ada ayah dan ibu yang sedang mengobrol. Aku duduk di singel sofa, kemudian bertanya kepada mereka, "ada apa?" Tanyaku.

"Umur kamu udah berapa tahun ini?" Tanya ibu, yang membuatku bingung, tumben sekali ibu bertanya soal usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi ini.

"26, Bu, kenapa sih?" Tanyaku, sedikit kesal, aku tak suka ditanya umur, karena memang mengingatkanku jika bukan lagi remaja.

"Tuh udah tua kamu, nak. Waktunya nikah." Ceplos ayahku dengan santai namun sukses membuatku melotot, apa-apaan aku belum siap menikah tentu saja.

"Iya, ayah sama ibu berencana untuk menikahkan kamu sama anak kenalan ibu, dia cantik, anggun juga, dokter loh." Ucap Ibu yang tidak membuatku tertarik sama sekali, tentu saja urusan jodoh aku ingin mencari sendiri.

"Gak ah, bu." Ucapku, menolak.

"Kamu mau cari sendiri atau dicariin? Pokoknya akhir tahun ini kamu udah harus nikah, atau kamu gak akan jadi ahli waris harta kami ya." Ancam ayahku yang membuatku semakin kesal.

"Besok, ibu atur pertemuan dengan anak kenalan ibu ya." Ucap Ibu lagi, yang membuatku spontan menggalang, otakku berputar bagaimana cara menghindari perjodohan ini, sepertinya kali ini mereka sudah sangat serius.

"Gak mau, bu, lagian kok tiba-tiba nyuruh aku nikah?" Ucapku kesal.

"Ini udah kesekian kalinya, Matcha. Gak ada penolakan." Ucap ayah yang membuatku kesal.

"Aku udah punya pacarku, sebentar lagi kalian punya cucu, soalnya pacarku hamil." Ucapku asal, sambil memikirkan Vanilla, orang yang saat ini membuatku merasa harus terus melindunginya.

Bug!

Ayahku melempar sendalnya ke arahku, aku menatap ayahku datar, ah sudah terlanjur, sepertinya ini salah satunya cara menghindar dari orang tuaku. Lagipula kalau pada akhirnya aku harus menikah dengan Vanilla sepertinya tidak buruk, kalau pun aku menjadi bapak anak satu kenapa tidak?

"Kamu jangan macam-macam, ayah lagi serius, jangan bercanda." Ucap ayah dengan menatapku tajam, sepertinya singa yang siap kapan saja menelan hidup-hidup mangsanya.

"Aku serius kok, namanya Vanilla, aku hamilin dia, tapi belum sempat bilang karena takut." Ucapku serius yang membuat wajah ibu memerah.

"Haduh, bocah gendeng, ibu mau punya cucu, tapi caranya gak kayak ini. Kalau memang omonganmu itu benar, ajak ibu ke rumah Vanilla besok." Ucap ibu yang membuatku mengangguk semangat, sedangkan ayah wajahnya masih marah namun aku tak peduli.

*****

Pagi-pagi sekali aku pergi ke rumah Vanilla. Aku mengetuk pintu rumahnya dengan jantung yang berdegup kencang. Aku tak tahu apa yang harus diharapkan, tapi aku tahu ini adalah satu-satunya cara untuk menghindari perjodohan yang dipaksakan oleh orang tuaku.

Pintu terbuka dan Vanilla muncul dengan wajah kaget, masih mengenakan piyama berwarna pink yang sangat lucu. "Matcha? Ngapain kamu di sini sepagi ini?" tanyanya bingung.

"Vanilla, ayo kita menikah," ucapku langsung, tanpa basa-basi.

Vanilla tertegun, matanya membulat. "Apa? Kenapa tiba-tiba bilang kayak gitu? Kamu kesambet ya?"

Aku menghela napas panjang sebelum menjelaskan situasinya. "Orang tuaku mau jodohin aku sama anak kenalan mereka. Mereka ngancam kalo aku nggak nikah sebelum akhir tahun, aku nggak bakal jadi ahli waris."

Vanilla menatapku nggak percaya. "Jadi kamu mau nikah sama aku cuma buat ngindarin perjodohan itu? Dan cuma supaya kamu dapet warisan?" Vanilla terlihat tidak nyaman.

Aku menggeleng. "Nggak cuma itu, Vanilla. Aku bener-bener mau lindungin kamu, kayak yang udah aku bilang sebelumnya. Aku merasa kalau kita nikah, itu bakal jadi hal terbaik buat kita berdua. Aku juga akan mendukung restoran kamu, aku tau restoran kamu terancam bangkrut, Vanilla."

Vanilla terdiam sejenak, tampak berpikir semua yang baru saja kuucapkan. "Matcha, tapi menurut aku ini terlalu terburu-buru? Aku baru aja cerai, enggak lucu banget kalau langsung nikah lagi. Aku harus pikir-pikir lagi" usulnya.

Wajahku menunjukkan rasa lega. "Aku mohon, Vanilla, pernikahan ini akan saling menguntungkan buat kita loh."

Vanilla mengangguk. "Yaudah aku pikirin dulu, aku gak bisa langsung ngambil keputusan untuk menikah, menikah buat permainan." Ucap Vanilla kesal.

Aku tersenyum, lalu meraih tangannya. "Makasih, Vanilla. Aku bener-bener berharap kita bisa melalui ini bersama."

Vanilla mempersilahkanku untuk mampir, aku pun masuk ke dalam rumahnya, membicarakan rencanaku selanjutnya sambil menikmati sarapan sederhana yang dipersiapkan oleh Vanilla. Meskipun ada banyak hal yang belum jelas, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk diterima sebagai suaminya.

Setelah sarapan, kami duduk di ruang tamu yang nyaman. Vanilla masih terlihat sedikit bingung dan cemas, jadi aku mencoba menenangkannya. "Aku tahu ini mendadak, dan mungkin terasa kayak tekanan besar. Tapi aku bener-bener mau kita coba."

Vanilla mengangguk pelan. "Aku butuh waktu, aku harap kamu ngerti ya."

****

Aku pulang ke rumah, ibu menyambutmu dengan tatapan menelisik. "Abis darimana?" Tanya ibu.

"Ke rumah calon menantu ibu." Ucapku kemudian bergegas pergi ke kamar dengan cepat.

"yang bener kamu, loh, jangan bercanda sama ibu." Ucapku, namun tak aku hiraukan, dan memilih pergi ke kamar.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status