Keterampilan memasakku ini membuat diriku dikenal sebagai koki multitalenta, banyak Hotel Bintang lima yang mengajakku bekerjasama. Namun dulu aku memilih untuk bekerja di Hotel suamiku. Aku mencintai suamiku, berusaha untuk menjadi yang terbaik, namun ia tak pernah menganggap cintaku dengan serius. Bahkan ketika kita menikah, ia menikahiku karena keharusan katanya, namun pada awalnya aku bisa merasakan cintanya padaku.
Entah bagaimana ia bisa berubah saat bulan kelima pernikahan kami, aku bingung, bahkan ketika mendapat kabar aku hamil, reaksinya pun sangat datar. Hingga aku menemukan fakta yang menyakitkan ia berselingkuh dengan sekretarisnya. Mereka bahkan sempat liburan beberapa kali pada saat aku terkulai lemas karena ngidam anaknya. Aku tidak habis pikir, kenapa ada lelaki yang sangat kejam, sekejam dirinya. Selingkuhannya biasa saja, hanya gadis Desa yang menyebalkan. Berbanding terbalik denganku, aku cantik, mandiri, bisa segalanya, walaupun orang tuaku sudah tiada. Aku adalah gadis keturunan Thailand, memiliki kulit putih, mata sipit, hidung mancung, dan ciri khasku adalah suka mengganti warna rambut. Suamiku adalah keturunan Chinese, memiliki kulit putih, memiliki tinggi 186 cm, berasal dari keluarga kaya yang memiliki banyak bisnis, salah satunya adalah hotel tempatku bekerja. Suamiku bernama Wu Hao, ia memiliki penampilan stylish, dengan kemeja dan celana bahan. Saat kami bersama dulu, ia adalah sosok yang romantis. Aku pun sangat dekat dengan keluarganya, terutama ibunya. Aku sudah menganggap ibunya seperti ibuku sendiri, ia sangat baik kepadaku. Ketika isu perceraian kami ini didengar oleh mertuaku, mereka sangat shock dan memohon kepadaku untuk tidak bercerai dengan suamiku. Namun keputusanku sudah bulat, suamiku pun tidak mengatakan apapun saat aku mengatakan ingin bercerai dengannya. Maka hari ini, aku mengemas pakaianku, untungnya usia kehamilanku baru enam minggu, sehingga aku hanya membawa baju bayi yang diberikan oleh ibu mertuaku kepadaku sebagai hadiah atas kehamilanku. Aku pergi, setelah perceraian kami selesai, aku meninggalkan rumah kami yang sudah diberikan kepadaku oleh Wu Hao. Aku pergi ke sebuah tempat, tempat yang amat terpencil, sebuah pulau dengan pantai yang indah. Aku sudah menyewa sebuah rumah yang layak untuk ditempati, juga menyewa sebuah ruko untuk membuka restoran seafood kecil di pinggir Pantai. Saat ini aku sudah sampai di rumah baru, aku pun menyewa seorang bibi untuk membantu pekerjaan rumah, karena aku sedang hamil dan tidak boleh bekerja terlalu banyak. Setelah selesai, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Pantai. Suasana baru yang membuatku tenang, angin laut menerpa rambutku, aku menutup mata merasakan bau garam yang tercium, suara kiacuan burung yang terbang disekitarku, tak lupa desiran ombak yang menenangkan. Aku menutup mata hingga seseorang tiba-tiba saja memelukku, kemudian ia mengatakan, "Hati-hati sedang ada yang main bola voli di sini." Ucapnya dengan suara yang terdengar sangat seksi, suara serak khas pria matang, aku membuka mataku dan mendongakkan kepala. Shit! Wu Hao! Sibrengsek itu! Aku mendorongnya dengan kasar, kemudian menampar pipinya. "Lo ngapain ngikutin gue sampai sini? Dapat penguntit, kita udah cerai, jangan ngikutin gue lagi, bangsat!" Ucapku dengan marah, aku tidak mengerti mengapa ia sampai mengikuti ke sini. Lelaki di depanku tampak bingung, ia menatapku kesal, seraya mengusap pipinya yang kini merah karena tamparanku yang cukup keras. "Eh kamu kenapa? Saya salah apa sama kamu? Cerai? Siapa yang menikah sama kamu? Gila ya." Ucap lelaki itu yang membuatku heran. Namun aku memerhatikan lelaki itu secara detail, walaupun wajahnya sama dengan Wu Hao si bajingan, namun kulitnya lebih gelap, lelaki di depanku ini memiliki tahu lalat dibawah matanya, rambut lelaki ini yang lebih berantakan, dengan otot yang lebih kekar daripada Wu Hao. Ah sialan, sepertinya aku salah orang. "Ah, sorry, sepertinya aku salah orang." Ucapku menahan malu. "Ck, dasar cewek aneh." Kesalnya kemudian kembali bermain Voli Pantai. Aku pun menjauh dari sana, duduk di bawah pohon kelapa, kemudian memerhatikan lelaki itu dari jauh. Wajahnya benar-benar sama dengan Wu Hao, namun ia bukan Wu Hao. Aku tidak pernah tahu jika Wu Hao punya kembaran.Salah satu impianku adalah memiliki restauran, aku tidak pernah menyangka jika impian kecilku ini bisa tercapai dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Saat ini, aku akan berangkat ke rumah pemasok ikan terbesar, namanya adalah Rumah Seafood Bintang. Saat pergi ke sana aku memakai motor Scoopy yang baru aku beli sebagai alat transportasi. Kata bibi Ina, pembantu rumah tanggal, lokasi Rumah Seafood Bintang tak jauh dari sini. Aku mengendarai motor dengan pemandangan yang sangat bagus, bagaimana tidak? Pemandangan laut biru di sepanjang jalan membuatku sangat bahagia. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Tak sadar aku pun sampai di Rumah Seafood Bintang. Aku memarkirkan motorku, kemudian berjalan memasuki Rumah Seafood Bintang yang cukup ramai. Aku pun menghampiri salah satu staff di sana. Kemudian staff itu mengatakan jika aku sudah ditunggu anak dari pemilik tempat ini di ruangan yang ada di lantai dua. Aku mengetuk ruangan, "Masuk aja." Ucap seseorang dari dalam. Aku men
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika aku mengendarai motorku pulang dari pasar untuk membeli beberapa bahan tambahan untuk restoran. Namun, tidak jauh dari rumah, motor Scoopy-ku tiba-tiba mogok. Aku mencoba menghidupkannya beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Dengan perasaan frustasi, aku memutuskan untuk mendorong motor ke pinggir jalan. "Ah ini hari sialku ya?" Ucapku dengan nada kesal. Namun aku tetap mendorong motorku dengan sisa tenagaku yang hampir habis ini, bagaimana tidak mendorong motor di siang bolong dengan cuaca panas yang menyebalkan ini. Bahkan keringatku mulai bercucuran. Sepertinya matahari sekarang bertambah satu, panasnya luar biasa, ah aku tidak tahan. Saat sedang mendorong motor, aku mendengar suara mobil berhenti di belakangku. Seorang lelaki keluar dari mobil pick up. Aku menoleh dan melihat Matcha keluar dari mobilnya. "Vanilla, ada apa? Motornya mogok?" tanyanya dengan nada khawatir, ia menghampiriku dengan cepat. Aku tersenyum malu, "Iya, motor i
Matcha'ss POV Aku merasa bersalah pada Vanilla setelah aku menciumnya begitu saja. Namun aku juga bingung kenapa gadis itu tidak menolak ciumanku itu. Aku kembali ke rumah dengan lesu. "Matcha!" Panggil Riko. Aku menoleh ke arah Riko, ternyata banyak temanku yang berada di depan rumahku. Rumahku memang bisa dijadikan tempat nongkrong. Aku menghampiri mereka dengan wajah layu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Tidak biasanya aku seperti ini, mereka menjadi penasaran. "Kamu kenapa, bro?" Tanya Alfian. "Aku abis nyium cewek." Ucapku dengan lesu. "Udah biasa, terus kenapa murung? Biasanya lo seneng-seneng aja." Ucap Gino dengan tatapan aneh. "Masalahnya cewek yang aku cium gak seharusnya aku cium, kamu ngerti gak?" Tanyaku dengan nada kesal. "Alah, aku jadi bingung sama kamu, biasanya kan kamu suka cium-cium cewek sembarangan." Ucap Riko menimpali. "Masalahnya ceweknya baru abis cerai sama suaminya, dan lagi bunting, dan masalahnya..." "Apa masalahnya
Vanilla's POV Pagi buta, aku sudah bangun untuk mempersiapkan restoranku. Meskipun matahari belum terbit, aku harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum pelanggan mulai berdatangan. Setelah menyalakan lampu, aku membuka pintu restoran dan melangkah keluar untuk menyambut hari baru. Sebenarnya kepalaku masih terganggu oleh kejadian tadi malam, dimana Matcha tiba-tiba saja menciumku, aku terus bertanya-tanya. Saat aku baru saja mulai menyapu teras depan, aku melihat mobil pengantar seafood berhenti di depan restoran. Dengan langkah pelan, aku mendekati mobil tersebut dan terkejut melihat siapa yang turun dari mobil, ah ternyata itu adalah Matcha,. Biasanya, pengantaran seafood dilakukan oleh staf lainnya, bukan oleh Matcha sendiri. Aku merasa sedikit bingung melihatnya, apalagi setelah kejadian kemarin. Matcha terlihat lebih serius dari biasanya saat ia mulai mengeluarkan kotak-kotak berisi seafood segar dari mobil. Dengan gerakan cepat namun teratur, ia menata barang-barang di
Vanilla's POVKalau dibilang masih ada rasa, sepertinya iya. Ada sisa-sisa rasa yang tersimpan di lubuk hati terdalam. Wu Hao, adalah orang yang pernah aku cintai dengan begitu besar. Melihatnya tertawa dengan gadis lain membuatku bertanya-tanya, apa kurangnya aku dibandingkan dengan sekretarisnya itu? Aku menangis dalam diam, aku sadar sekarang berada di rumah Matcha. Aku bahkan memakai pakaian milik adik perempuannya yang sedang kuliah di Bandung, karena pakaianku basah terkena air. Derap langkah kaki terdengar, itu Matcha, ia membawakanku secangkir teh hangat. "Minum dulu, supaya badan kamu anget." Ucapnya. Aku mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Pikiran mengenai aku menaruh perhatian lebih pada Matcha bisa jadi karena parah Matcha dan mantan suamiku sangatlah mirip. Bukan karena perasaan benar-benar suka, lagipula aku baru mengenal lelaki itu satu bulan kurang, mustahil untuk menyukainya dalam waktu singkat. "Ayo aku anter ke restoran." Ucap Matcha, aku hanya mengan
Vanilla's POV Hari demi hari berlalu dengan beban yang semakin berat. Restoran seafood yang kubangun dengan penuh harapan dan kerja keras kini mengalami masa-masa sulit. Pelanggan yang biasanya ramai mulai berkurang, dan omset pun menurun drastis. Aku bisa merasakan setiap sudut restoran yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam. Padahal baru berjalan dua bulan, namun sudah sepi, sepertinya pelanggan sudah bosan dengan makanan yang ada di restoran kami. Meskipun masih ada beberapa pelanggan setia yang datang, pendapatan harian tidak cukup untuk menutupi biaya operasional. Gaji karyawan, bahan baku, sewa tempat—semuanya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku mulai kehabisan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan. Promosi, diskon, bahkan event kecil di restoran tidak banyak membantu. Suatu sore, setelah pelanggan terakhir pulang, aku duduk sendirian di salah satu meja di sudut restoran. Tumpukan buku rekening dan tagihan ada di depanku. Aku
Satu hari sebelumnyaMatcha's POVTok... Tok... Tok.. Ketukan pintu kamar terdengar, aku berjalan ke arah pintu, saat membuka pintu ternyata itu adalah Bi Tuti, seorang pembantu rumah tangga dipekerjakan di rumah kami. Aku menatapnya, kemudian Bi Tuti menyampaikan jika ibu dan ayah. "Itu, den, dipanggil nyonya sama tuan di bawah.""Oh, oke, Bi." Ucapku, dengan bergegas turun ke bawah. Rumahku sederhana walaupun memiliki dua lantai, tipikal rumah di pinggir pantai pada umumnya. Bi Tuti yang memiliki andil besar membersihkan rumahku. Aku menuruni anak tangga, ternyata di ruang tengah ada ayah dan ibu yang sedang mengobrol. Aku duduk di singel sofa, kemudian bertanya kepada mereka, "ada apa?" Tanyaku. "Umur kamu udah berapa tahun ini?" Tanya ibu, yang membuatku bingung, tumben sekali ibu bertanya soal usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi ini. "26, Bu, kenapa sih?" Tanyaku, sedikit kesal, aku tak suka ditanya umur, karena memang mengingatkanku jika bukan lagi remaja. "Tuh udah
Satu hari sebelumnyaMatcha's POVTok... Tok... Tok.. Ketukan pintu kamar terdengar, aku berjalan ke arah pintu, saat membuka pintu ternyata itu adalah Bi Tuti, seorang pembantu rumah tangga dipekerjakan di rumah kami. Aku menatapnya, kemudian Bi Tuti menyampaikan jika ibu dan ayah. "Itu, den, dipanggil nyonya sama tuan di bawah.""Oh, oke, Bi." Ucapku, dengan bergegas turun ke bawah. Rumahku sederhana walaupun memiliki dua lantai, tipikal rumah di pinggir pantai pada umumnya. Bi Tuti yang memiliki andil besar membersihkan rumahku. Aku menuruni anak tangga, ternyata di ruang tengah ada ayah dan ibu yang sedang mengobrol. Aku duduk di singel sofa, kemudian bertanya kepada mereka, "ada apa?" Tanyaku. "Umur kamu udah berapa tahun ini?" Tanya ibu, yang membuatku bingung, tumben sekali ibu bertanya soal usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi ini. "26, Bu, kenapa sih?" Tanyaku, sedikit kesal, aku tak suka ditanya umur, karena memang mengingatkanku jika bukan lagi remaja. "Tuh udah
Vanilla's POV Hari demi hari berlalu dengan beban yang semakin berat. Restoran seafood yang kubangun dengan penuh harapan dan kerja keras kini mengalami masa-masa sulit. Pelanggan yang biasanya ramai mulai berkurang, dan omset pun menurun drastis. Aku bisa merasakan setiap sudut restoran yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam. Padahal baru berjalan dua bulan, namun sudah sepi, sepertinya pelanggan sudah bosan dengan makanan yang ada di restoran kami. Meskipun masih ada beberapa pelanggan setia yang datang, pendapatan harian tidak cukup untuk menutupi biaya operasional. Gaji karyawan, bahan baku, sewa tempat—semuanya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku mulai kehabisan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan. Promosi, diskon, bahkan event kecil di restoran tidak banyak membantu. Suatu sore, setelah pelanggan terakhir pulang, aku duduk sendirian di salah satu meja di sudut restoran. Tumpukan buku rekening dan tagihan ada di depanku. Aku
Vanilla's POVKalau dibilang masih ada rasa, sepertinya iya. Ada sisa-sisa rasa yang tersimpan di lubuk hati terdalam. Wu Hao, adalah orang yang pernah aku cintai dengan begitu besar. Melihatnya tertawa dengan gadis lain membuatku bertanya-tanya, apa kurangnya aku dibandingkan dengan sekretarisnya itu? Aku menangis dalam diam, aku sadar sekarang berada di rumah Matcha. Aku bahkan memakai pakaian milik adik perempuannya yang sedang kuliah di Bandung, karena pakaianku basah terkena air. Derap langkah kaki terdengar, itu Matcha, ia membawakanku secangkir teh hangat. "Minum dulu, supaya badan kamu anget." Ucapnya. Aku mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Pikiran mengenai aku menaruh perhatian lebih pada Matcha bisa jadi karena parah Matcha dan mantan suamiku sangatlah mirip. Bukan karena perasaan benar-benar suka, lagipula aku baru mengenal lelaki itu satu bulan kurang, mustahil untuk menyukainya dalam waktu singkat. "Ayo aku anter ke restoran." Ucap Matcha, aku hanya mengan
Vanilla's POV Pagi buta, aku sudah bangun untuk mempersiapkan restoranku. Meskipun matahari belum terbit, aku harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum pelanggan mulai berdatangan. Setelah menyalakan lampu, aku membuka pintu restoran dan melangkah keluar untuk menyambut hari baru. Sebenarnya kepalaku masih terganggu oleh kejadian tadi malam, dimana Matcha tiba-tiba saja menciumku, aku terus bertanya-tanya. Saat aku baru saja mulai menyapu teras depan, aku melihat mobil pengantar seafood berhenti di depan restoran. Dengan langkah pelan, aku mendekati mobil tersebut dan terkejut melihat siapa yang turun dari mobil, ah ternyata itu adalah Matcha,. Biasanya, pengantaran seafood dilakukan oleh staf lainnya, bukan oleh Matcha sendiri. Aku merasa sedikit bingung melihatnya, apalagi setelah kejadian kemarin. Matcha terlihat lebih serius dari biasanya saat ia mulai mengeluarkan kotak-kotak berisi seafood segar dari mobil. Dengan gerakan cepat namun teratur, ia menata barang-barang di
Matcha'ss POV Aku merasa bersalah pada Vanilla setelah aku menciumnya begitu saja. Namun aku juga bingung kenapa gadis itu tidak menolak ciumanku itu. Aku kembali ke rumah dengan lesu. "Matcha!" Panggil Riko. Aku menoleh ke arah Riko, ternyata banyak temanku yang berada di depan rumahku. Rumahku memang bisa dijadikan tempat nongkrong. Aku menghampiri mereka dengan wajah layu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Tidak biasanya aku seperti ini, mereka menjadi penasaran. "Kamu kenapa, bro?" Tanya Alfian. "Aku abis nyium cewek." Ucapku dengan lesu. "Udah biasa, terus kenapa murung? Biasanya lo seneng-seneng aja." Ucap Gino dengan tatapan aneh. "Masalahnya cewek yang aku cium gak seharusnya aku cium, kamu ngerti gak?" Tanyaku dengan nada kesal. "Alah, aku jadi bingung sama kamu, biasanya kan kamu suka cium-cium cewek sembarangan." Ucap Riko menimpali. "Masalahnya ceweknya baru abis cerai sama suaminya, dan lagi bunting, dan masalahnya..." "Apa masalahnya
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika aku mengendarai motorku pulang dari pasar untuk membeli beberapa bahan tambahan untuk restoran. Namun, tidak jauh dari rumah, motor Scoopy-ku tiba-tiba mogok. Aku mencoba menghidupkannya beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Dengan perasaan frustasi, aku memutuskan untuk mendorong motor ke pinggir jalan. "Ah ini hari sialku ya?" Ucapku dengan nada kesal. Namun aku tetap mendorong motorku dengan sisa tenagaku yang hampir habis ini, bagaimana tidak mendorong motor di siang bolong dengan cuaca panas yang menyebalkan ini. Bahkan keringatku mulai bercucuran. Sepertinya matahari sekarang bertambah satu, panasnya luar biasa, ah aku tidak tahan. Saat sedang mendorong motor, aku mendengar suara mobil berhenti di belakangku. Seorang lelaki keluar dari mobil pick up. Aku menoleh dan melihat Matcha keluar dari mobilnya. "Vanilla, ada apa? Motornya mogok?" tanyanya dengan nada khawatir, ia menghampiriku dengan cepat. Aku tersenyum malu, "Iya, motor i
Salah satu impianku adalah memiliki restauran, aku tidak pernah menyangka jika impian kecilku ini bisa tercapai dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Saat ini, aku akan berangkat ke rumah pemasok ikan terbesar, namanya adalah Rumah Seafood Bintang. Saat pergi ke sana aku memakai motor Scoopy yang baru aku beli sebagai alat transportasi. Kata bibi Ina, pembantu rumah tanggal, lokasi Rumah Seafood Bintang tak jauh dari sini. Aku mengendarai motor dengan pemandangan yang sangat bagus, bagaimana tidak? Pemandangan laut biru di sepanjang jalan membuatku sangat bahagia. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Tak sadar aku pun sampai di Rumah Seafood Bintang. Aku memarkirkan motorku, kemudian berjalan memasuki Rumah Seafood Bintang yang cukup ramai. Aku pun menghampiri salah satu staff di sana. Kemudian staff itu mengatakan jika aku sudah ditunggu anak dari pemilik tempat ini di ruangan yang ada di lantai dua. Aku mengetuk ruangan, "Masuk aja." Ucap seseorang dari dalam. Aku men
Keterampilan memasakku ini membuat diriku dikenal sebagai koki multitalenta, banyak Hotel Bintang lima yang mengajakku bekerjasama. Namun dulu aku memilih untuk bekerja di Hotel suamiku. Aku mencintai suamiku, berusaha untuk menjadi yang terbaik, namun ia tak pernah menganggap cintaku dengan serius. Bahkan ketika kita menikah, ia menikahiku karena keharusan katanya, namun pada awalnya aku bisa merasakan cintanya padaku. Entah bagaimana ia bisa berubah saat bulan kelima pernikahan kami, aku bingung, bahkan ketika mendapat kabar aku hamil, reaksinya pun sangat datar. Hingga aku menemukan fakta yang menyakitkan ia berselingkuh dengan sekretarisnya. Mereka bahkan sempat liburan beberapa kali pada saat aku terkulai lemas karena ngidam anaknya. Aku tidak habis pikir, kenapa ada lelaki yang sangat kejam, sekejam dirinya. Selingkuhannya biasa saja, hanya gadis Desa yang menyebalkan. Berbanding terbalik denganku, aku cantik, mandiri, bisa segalanya, walaupun orang tuaku sudah tiada. A