Share

Bab 3: Jatuh Cinta

Matcha'ss POV

Aku merasa bersalah pada Vanilla setelah aku menciumnya begitu saja. Namun aku juga bingung kenapa gadis itu tidak menolak ciumanku itu. Aku kembali ke rumah dengan lesu.

"Matcha!" Panggil Riko.

Aku menoleh ke arah Riko, ternyata banyak temanku yang berada di depan rumahku. Rumahku memang bisa dijadikan tempat nongkrong. Aku menghampiri mereka dengan wajah layu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Tidak biasanya aku seperti ini, mereka menjadi penasaran.

"Kamu kenapa, bro?" Tanya Alfian.

"Aku abis nyium cewek." Ucapku dengan lesu.

"Udah biasa, terus kenapa murung? Biasanya lo seneng-seneng aja." Ucap Gino dengan tatapan aneh.

"Masalahnya cewek yang aku cium gak seharusnya aku cium, kamu ngerti gak?" Tanyaku dengan nada kesal.

"Alah, aku jadi bingung sama kamu, biasanya kan kamu suka cium-cium cewek sembarangan." Ucap Riko menimpali.

"Masalahnya ceweknya baru abis cerai sama suaminya, dan lagi bunting, dan masalahnya..."

"Apa masalahnya?" Tanya Gino lagi dengan tatapan bingung.

"Tapi kamu senang gak nyium dia?" Tanya Alvian menggodaku.

"Seneng." Ucapku spontan

Teman-temanku saling bertukar pandang, seolah mencoba memahami situasiku. Namun akhirnya tertawa terbahak-bahak, mereka bingung karena sikapku yang menurut mereka aneh dan lucu.

"Terus kenapa murung? Kalau kamu senang, berarti kamu suka sama dia, kan?" kata Gino sambil menatapku serius.

Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. "Iya, mungkin aku suka sama dia. Tapi keadaannya rumit, bro. Dia baru aja cerai, lagi hamil, dan dia butuh dukungan, bukan tambahan masalah." Ucapku dengan menghela nafas, karena aku yakin, aku pasti hanya akan membuat beban baginya.

Riko menepuk pundakku, "Kalau kamu beneran suka sama dia, kamu harus ada buat dia. Bukan malah ngilang atau merasa bersalah." Ucapnya dengan santai, namun menurutku aku tidak sanggup.

****

Setelah berbicara dengan teman-temanku, aku merasa lebih bingung dari sebelumnya. Pikiranku terus terfokus pada Vanilla dan perasaanku yang rumit. Malam itu, aku merasa tertekan dan memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temanku, berharap bisa melupakan masalah sejenak.

Rumahku sudah dipenuhi dengan suara tawa dan musik yang mengalun lembut dari speaker. Riko, Alfian, dan Gino telah menunggu di ruang tamu, siap untuk bersenang-senang. Riko, sebagai tuan rumah malam ini, menyambutku dengan semangat.

"Ayo, Matcha, ikut minum. Ini saatnya kita bersenang-senang!" kata Riko sambil menuangkan minuman ke dalam gelas.

Aku duduk di samping mereka, mencoba tersenyum meskipun hatiku terasa berat. "Gue bingung, bro. Gue suka sama Vanilla, tapi gue nggak siap jadi bapak. Gue takut kalau ini jadi serius."

Alfian mengernyitkan dahi, lalu menjawab, "Ya udah, jangan mikirin yang berat-berat dulu. Kita kan lagi nongkrong, santai aja. Pikirin nanti aja." Ucapnya dengan bijak, ia terlibat menatapku dengan iba. Ah mungkin memang reaksiku yang terlalu berlebihan, namun aku tidak bisa menahan perasaan ini.

"Masalahnya, ini kan bakal ngerubah hidupku ke depannya. Aku nggak bisa cuma cuek, apalagi dia lagi hamil, ibu hamil gak boleh banyak pikiran. Itu tanggung jawab besar, dan aku nggak mau jadi orang yang nyusahin dia," ucapku dengan nada putus asa.

Gino menatapku dengan serius. "Kalau kamu beneran suka sama dia, coba deh pikirin lagi. Jangan buru-buru ngambil keputusan. Kamu juga playboy kan, aku takut kamu malah jadiin dia mainan sementara." Gino sepertinya memang tahu kebiasaan burukku, yaitu suka sekali berkencan dengan banyak gadis.

Aku menggelengkan kepala, frustrasi. "Aku tau, tapi aku nggak mau bikin dia makin susah. Aku harus jaga jarak supaya nggak bikin dia nambah beban." Ucapku yang sebenarnya merasa bersalah.

Riko menyambar gelasnya dan berkata, "Tapi kalau kamu pergi gitu aja, kamu juga nyakitin dia, kan? Bisa jadi dia butuh orang yang ada di sampingnya sekarang."

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Riko. "Iya, mungkin kalian benar. Tapi bagaimana kalau gue cuma bikin keadaan makin rumit?"

Teman-temanku menghiburku dengan berbagai cara. Mereka menyodorkan minuman dan membuat suasana lebih santai, meskipun aku tahu itu tidak akan menghilangkan kebingunganku sepenuhnya. Aku mencoba untuk berbaur dengan mereka, tetapi pikiranku terus kembali ke Vanilla.

"Udah, lupakan sebentar tentang Vanilla. Nikmatin malam ini dulu," kata Riko sambil mengangkat gelasnya. "Kita semua ada di sini buat ngebantu kamu."

Gino menambahkan, "Ya, semoga semua ini bisa bikin kamu lebih tenang. Kadang, kamu cuma butuh waktu buat mikirin semuanya. Lagian reaksi kamu juga berlebihan, siapa tahu, Vanilla gak anggep kamu serius, lho." Ucapnya yang membuatku tertohok, namun ada benarnya juga, aku terlalu berpikir panjang.

Kami mulai berbicara tentang banyak hal, mengenang kenangan lama, dan berbagi cerita konyol. Aku mencoba untuk membiarkan pikiranku jauh dari Vanilla, tetapi setiap kali aku merasa sedikit tenang, bayangan Vanilla kembali menghampiri pikiranku. Setiap tawa dan cerita lucu yang dibagikan teman-temanku tampaknya tidak mampu menghapus rasa bersalah dan kebingungan yang aku rasakan.

Ketika malam semakin larut, suasana di rumah mulai terasa lebih hangat. Teman-temanku masih terlihat ceria, tetapi aku merasa seperti tidak sepenuhnya terlibat dalam kebahagiaan mereka. Mereka benar-benar berusaha membuatku merasa lebih baik, tetapi aku tahu ini hanya pelarian sementara dari kenyataan.

Riko mendekat dan menepuk pundakku. "Aku ngerti, ini semua pasti berat buat kamu. Tapi jangan lupa, kamu nggak sendirian. Kita ada di sini buat kamu. Lagian kamu sama cewek lemah banget." Ucap Riko

Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur atas dukungan mereka. "Makasih, bro. Aku bener-bener butuh waktu buat mikirin semua ini."

Gino meletakkan tangan di bahuku. "Kalau kamu perlu waktu, ambil aja. Tapi jangan terus-terusan menghindar dari Vanilla. Kalau kamu beneran peduli, kamu harus minta maaf, dan jelasin kenapa kamu cium dia tiba-tiba."

"Iya, kamu bener. Makasih ya, Gin." Ucapku dengan tersenyum kearahnya.

Teman-temanku menghabiskan malam dengan berbagai aktivitas, dari permainan hingga diskusi ringan. Aku masih merasa tertekan, tetapi aku berusaha menikmati momen tersebut. Ketika mereka mulai pulang, aku merasa sedikit lebih baik karena mereka telah mendengarkan dan mendukungku.

Saat rumah mulai sepi, aku duduk sendiri di ruang tamu, merenung tentang keputusan yang harus kuambil. Aku tahu menghindar mungkin tampak seperti solusi untuk saat ini, tetapi aku juga sadar bahwa ini hanyalah cara untuk menunda masalah yang harus kuhadapi.

Akhirnya, aku memutuskan untuk menghubungi Vanilla keesokan harinya. Aku tahu bahwa menghindarinya bukanlah jawaban, dan aku harus menghadapi kenyataan. Meski perasaanku masih bingung, aku bertekad untuk menghadapi situasi ini dengan lebih terbuka dan jujur. Malam ini mungkin tidak menghilangkan kebingunganku sepenuhnya, tetapi setidaknya memberikan waktu bagi aku untuk meresapi apa yang harus kulakukan selanjutnya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status