Matcha'ss POV
Aku merasa bersalah pada Vanilla setelah aku menciumnya begitu saja. Namun aku juga bingung kenapa gadis itu tidak menolak ciumanku itu. Aku kembali ke rumah dengan lesu. "Matcha!" Panggil Riko. Aku menoleh ke arah Riko, ternyata banyak temanku yang berada di depan rumahku. Rumahku memang bisa dijadikan tempat nongkrong. Aku menghampiri mereka dengan wajah layu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Tidak biasanya aku seperti ini, mereka menjadi penasaran. "Kamu kenapa, bro?" Tanya Alfian. "Aku abis nyium cewek." Ucapku dengan lesu. "Udah biasa, terus kenapa murung? Biasanya lo seneng-seneng aja." Ucap Gino dengan tatapan aneh. "Masalahnya cewek yang aku cium gak seharusnya aku cium, kamu ngerti gak?" Tanyaku dengan nada kesal. "Alah, aku jadi bingung sama kamu, biasanya kan kamu suka cium-cium cewek sembarangan." Ucap Riko menimpali. "Masalahnya ceweknya baru abis cerai sama suaminya, dan lagi bunting, dan masalahnya..." "Apa masalahnya?" Tanya Gino lagi dengan tatapan bingung. "Tapi kamu senang gak nyium dia?" Tanya Alvian menggodaku. "Seneng." Ucapku spontan Teman-temanku saling bertukar pandang, seolah mencoba memahami situasiku. Namun akhirnya tertawa terbahak-bahak, mereka bingung karena sikapku yang menurut mereka aneh dan lucu. "Terus kenapa murung? Kalau kamu senang, berarti kamu suka sama dia, kan?" kata Gino sambil menatapku serius. Aku terdiam sejenak, merenungkan kata-katanya. "Iya, mungkin aku suka sama dia. Tapi keadaannya rumit, bro. Dia baru aja cerai, lagi hamil, dan dia butuh dukungan, bukan tambahan masalah." Ucapku dengan menghela nafas, karena aku yakin, aku pasti hanya akan membuat beban baginya. Riko menepuk pundakku, "Kalau kamu beneran suka sama dia, kamu harus ada buat dia. Bukan malah ngilang atau merasa bersalah." Ucapnya dengan santai, namun menurutku aku tidak sanggup. **** Setelah berbicara dengan teman-temanku, aku merasa lebih bingung dari sebelumnya. Pikiranku terus terfokus pada Vanilla dan perasaanku yang rumit. Malam itu, aku merasa tertekan dan memutuskan untuk berkumpul dengan teman-temanku, berharap bisa melupakan masalah sejenak. Rumahku sudah dipenuhi dengan suara tawa dan musik yang mengalun lembut dari speaker. Riko, Alfian, dan Gino telah menunggu di ruang tamu, siap untuk bersenang-senang. Riko, sebagai tuan rumah malam ini, menyambutku dengan semangat. "Ayo, Matcha, ikut minum. Ini saatnya kita bersenang-senang!" kata Riko sambil menuangkan minuman ke dalam gelas. Aku duduk di samping mereka, mencoba tersenyum meskipun hatiku terasa berat. "Gue bingung, bro. Gue suka sama Vanilla, tapi gue nggak siap jadi bapak. Gue takut kalau ini jadi serius." Alfian mengernyitkan dahi, lalu menjawab, "Ya udah, jangan mikirin yang berat-berat dulu. Kita kan lagi nongkrong, santai aja. Pikirin nanti aja." Ucapnya dengan bijak, ia terlibat menatapku dengan iba. Ah mungkin memang reaksiku yang terlalu berlebihan, namun aku tidak bisa menahan perasaan ini. "Masalahnya, ini kan bakal ngerubah hidupku ke depannya. Aku nggak bisa cuma cuek, apalagi dia lagi hamil, ibu hamil gak boleh banyak pikiran. Itu tanggung jawab besar, dan aku nggak mau jadi orang yang nyusahin dia," ucapku dengan nada putus asa. Gino menatapku dengan serius. "Kalau kamu beneran suka sama dia, coba deh pikirin lagi. Jangan buru-buru ngambil keputusan. Kamu juga playboy kan, aku takut kamu malah jadiin dia mainan sementara." Gino sepertinya memang tahu kebiasaan burukku, yaitu suka sekali berkencan dengan banyak gadis. Aku menggelengkan kepala, frustrasi. "Aku tau, tapi aku nggak mau bikin dia makin susah. Aku harus jaga jarak supaya nggak bikin dia nambah beban." Ucapku yang sebenarnya merasa bersalah. Riko menyambar gelasnya dan berkata, "Tapi kalau kamu pergi gitu aja, kamu juga nyakitin dia, kan? Bisa jadi dia butuh orang yang ada di sampingnya sekarang." Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Riko. "Iya, mungkin kalian benar. Tapi bagaimana kalau gue cuma bikin keadaan makin rumit?" Teman-temanku menghiburku dengan berbagai cara. Mereka menyodorkan minuman dan membuat suasana lebih santai, meskipun aku tahu itu tidak akan menghilangkan kebingunganku sepenuhnya. Aku mencoba untuk berbaur dengan mereka, tetapi pikiranku terus kembali ke Vanilla. "Udah, lupakan sebentar tentang Vanilla. Nikmatin malam ini dulu," kata Riko sambil mengangkat gelasnya. "Kita semua ada di sini buat ngebantu kamu." Gino menambahkan, "Ya, semoga semua ini bisa bikin kamu lebih tenang. Kadang, kamu cuma butuh waktu buat mikirin semuanya. Lagian reaksi kamu juga berlebihan, siapa tahu, Vanilla gak anggep kamu serius, lho." Ucapnya yang membuatku tertohok, namun ada benarnya juga, aku terlalu berpikir panjang. Kami mulai berbicara tentang banyak hal, mengenang kenangan lama, dan berbagi cerita konyol. Aku mencoba untuk membiarkan pikiranku jauh dari Vanilla, tetapi setiap kali aku merasa sedikit tenang, bayangan Vanilla kembali menghampiri pikiranku. Setiap tawa dan cerita lucu yang dibagikan teman-temanku tampaknya tidak mampu menghapus rasa bersalah dan kebingungan yang aku rasakan. Ketika malam semakin larut, suasana di rumah mulai terasa lebih hangat. Teman-temanku masih terlihat ceria, tetapi aku merasa seperti tidak sepenuhnya terlibat dalam kebahagiaan mereka. Mereka benar-benar berusaha membuatku merasa lebih baik, tetapi aku tahu ini hanya pelarian sementara dari kenyataan. Riko mendekat dan menepuk pundakku. "Aku ngerti, ini semua pasti berat buat kamu. Tapi jangan lupa, kamu nggak sendirian. Kita ada di sini buat kamu. Lagian kamu sama cewek lemah banget." Ucap Riko Aku mengangguk pelan, merasa bersyukur atas dukungan mereka. "Makasih, bro. Aku bener-bener butuh waktu buat mikirin semua ini." Gino meletakkan tangan di bahuku. "Kalau kamu perlu waktu, ambil aja. Tapi jangan terus-terusan menghindar dari Vanilla. Kalau kamu beneran peduli, kamu harus minta maaf, dan jelasin kenapa kamu cium dia tiba-tiba." "Iya, kamu bener. Makasih ya, Gin." Ucapku dengan tersenyum kearahnya. Teman-temanku menghabiskan malam dengan berbagai aktivitas, dari permainan hingga diskusi ringan. Aku masih merasa tertekan, tetapi aku berusaha menikmati momen tersebut. Ketika mereka mulai pulang, aku merasa sedikit lebih baik karena mereka telah mendengarkan dan mendukungku. Saat rumah mulai sepi, aku duduk sendiri di ruang tamu, merenung tentang keputusan yang harus kuambil. Aku tahu menghindar mungkin tampak seperti solusi untuk saat ini, tetapi aku juga sadar bahwa ini hanyalah cara untuk menunda masalah yang harus kuhadapi. Akhirnya, aku memutuskan untuk menghubungi Vanilla keesokan harinya. Aku tahu bahwa menghindarinya bukanlah jawaban, dan aku harus menghadapi kenyataan. Meski perasaanku masih bingung, aku bertekad untuk menghadapi situasi ini dengan lebih terbuka dan jujur. Malam ini mungkin tidak menghilangkan kebingunganku sepenuhnya, tetapi setidaknya memberikan waktu bagi aku untuk meresapi apa yang harus kulakukan selanjutnya. ****Vanilla's POV Pagi buta, aku sudah bangun untuk mempersiapkan restoranku. Meskipun matahari belum terbit, aku harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum pelanggan mulai berdatangan. Setelah menyalakan lampu, aku membuka pintu restoran dan melangkah keluar untuk menyambut hari baru. Sebenarnya kepalaku masih terganggu oleh kejadian tadi malam, dimana Matcha tiba-tiba saja menciumku, aku terus bertanya-tanya. Saat aku baru saja mulai menyapu teras depan, aku melihat mobil pengantar seafood berhenti di depan restoran. Dengan langkah pelan, aku mendekati mobil tersebut dan terkejut melihat siapa yang turun dari mobil, ah ternyata itu adalah Matcha,. Biasanya, pengantaran seafood dilakukan oleh staf lainnya, bukan oleh Matcha sendiri. Aku merasa sedikit bingung melihatnya, apalagi setelah kejadian kemarin. Matcha terlihat lebih serius dari biasanya saat ia mulai mengeluarkan kotak-kotak berisi seafood segar dari mobil. Dengan gerakan cepat namun teratur, ia menata barang-barang di
Vanilla's POVKalau dibilang masih ada rasa, sepertinya iya. Ada sisa-sisa rasa yang tersimpan di lubuk hati terdalam. Wu Hao, adalah orang yang pernah aku cintai dengan begitu besar. Melihatnya tertawa dengan gadis lain membuatku bertanya-tanya, apa kurangnya aku dibandingkan dengan sekretarisnya itu? Aku menangis dalam diam, aku sadar sekarang berada di rumah Matcha. Aku bahkan memakai pakaian milik adik perempuannya yang sedang kuliah di Bandung, karena pakaianku basah terkena air. Derap langkah kaki terdengar, itu Matcha, ia membawakanku secangkir teh hangat. "Minum dulu, supaya badan kamu anget." Ucapnya. Aku mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Pikiran mengenai aku menaruh perhatian lebih pada Matcha bisa jadi karena parah Matcha dan mantan suamiku sangatlah mirip. Bukan karena perasaan benar-benar suka, lagipula aku baru mengenal lelaki itu satu bulan kurang, mustahil untuk menyukainya dalam waktu singkat. "Ayo aku anter ke restoran." Ucap Matcha, aku hanya mengan
Vanilla's POV Hari demi hari berlalu dengan beban yang semakin berat. Restoran seafood yang kubangun dengan penuh harapan dan kerja keras kini mengalami masa-masa sulit. Pelanggan yang biasanya ramai mulai berkurang, dan omset pun menurun drastis. Aku bisa merasakan setiap sudut restoran yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam. Padahal baru berjalan dua bulan, namun sudah sepi, sepertinya pelanggan sudah bosan dengan makanan yang ada di restoran kami. Meskipun masih ada beberapa pelanggan setia yang datang, pendapatan harian tidak cukup untuk menutupi biaya operasional. Gaji karyawan, bahan baku, sewa tempat—semuanya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku mulai kehabisan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan. Promosi, diskon, bahkan event kecil di restoran tidak banyak membantu. Suatu sore, setelah pelanggan terakhir pulang, aku duduk sendirian di salah satu meja di sudut restoran. Tumpukan buku rekening dan tagihan ada di depanku. Aku
Satu hari sebelumnyaMatcha's POVTok... Tok... Tok.. Ketukan pintu kamar terdengar, aku berjalan ke arah pintu, saat membuka pintu ternyata itu adalah Bi Tuti, seorang pembantu rumah tangga dipekerjakan di rumah kami. Aku menatapnya, kemudian Bi Tuti menyampaikan jika ibu dan ayah. "Itu, den, dipanggil nyonya sama tuan di bawah.""Oh, oke, Bi." Ucapku, dengan bergegas turun ke bawah. Rumahku sederhana walaupun memiliki dua lantai, tipikal rumah di pinggir pantai pada umumnya. Bi Tuti yang memiliki andil besar membersihkan rumahku. Aku menuruni anak tangga, ternyata di ruang tengah ada ayah dan ibu yang sedang mengobrol. Aku duduk di singel sofa, kemudian bertanya kepada mereka, "ada apa?" Tanyaku. "Umur kamu udah berapa tahun ini?" Tanya ibu, yang membuatku bingung, tumben sekali ibu bertanya soal usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi ini. "26, Bu, kenapa sih?" Tanyaku, sedikit kesal, aku tak suka ditanya umur, karena memang mengingatkanku jika bukan lagi remaja. "Tuh udah
Keterampilan memasakku ini membuat diriku dikenal sebagai koki multitalenta, banyak Hotel Bintang lima yang mengajakku bekerjasama. Namun dulu aku memilih untuk bekerja di Hotel suamiku. Aku mencintai suamiku, berusaha untuk menjadi yang terbaik, namun ia tak pernah menganggap cintaku dengan serius. Bahkan ketika kita menikah, ia menikahiku karena keharusan katanya, namun pada awalnya aku bisa merasakan cintanya padaku. Entah bagaimana ia bisa berubah saat bulan kelima pernikahan kami, aku bingung, bahkan ketika mendapat kabar aku hamil, reaksinya pun sangat datar. Hingga aku menemukan fakta yang menyakitkan ia berselingkuh dengan sekretarisnya. Mereka bahkan sempat liburan beberapa kali pada saat aku terkulai lemas karena ngidam anaknya. Aku tidak habis pikir, kenapa ada lelaki yang sangat kejam, sekejam dirinya. Selingkuhannya biasa saja, hanya gadis Desa yang menyebalkan. Berbanding terbalik denganku, aku cantik, mandiri, bisa segalanya, walaupun orang tuaku sudah tiada. A
Salah satu impianku adalah memiliki restauran, aku tidak pernah menyangka jika impian kecilku ini bisa tercapai dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Saat ini, aku akan berangkat ke rumah pemasok ikan terbesar, namanya adalah Rumah Seafood Bintang. Saat pergi ke sana aku memakai motor Scoopy yang baru aku beli sebagai alat transportasi. Kata bibi Ina, pembantu rumah tanggal, lokasi Rumah Seafood Bintang tak jauh dari sini. Aku mengendarai motor dengan pemandangan yang sangat bagus, bagaimana tidak? Pemandangan laut biru di sepanjang jalan membuatku sangat bahagia. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Tak sadar aku pun sampai di Rumah Seafood Bintang. Aku memarkirkan motorku, kemudian berjalan memasuki Rumah Seafood Bintang yang cukup ramai. Aku pun menghampiri salah satu staff di sana. Kemudian staff itu mengatakan jika aku sudah ditunggu anak dari pemilik tempat ini di ruangan yang ada di lantai dua. Aku mengetuk ruangan, "Masuk aja." Ucap seseorang dari dalam. Aku men
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika aku mengendarai motorku pulang dari pasar untuk membeli beberapa bahan tambahan untuk restoran. Namun, tidak jauh dari rumah, motor Scoopy-ku tiba-tiba mogok. Aku mencoba menghidupkannya beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Dengan perasaan frustasi, aku memutuskan untuk mendorong motor ke pinggir jalan. "Ah ini hari sialku ya?" Ucapku dengan nada kesal. Namun aku tetap mendorong motorku dengan sisa tenagaku yang hampir habis ini, bagaimana tidak mendorong motor di siang bolong dengan cuaca panas yang menyebalkan ini. Bahkan keringatku mulai bercucuran. Sepertinya matahari sekarang bertambah satu, panasnya luar biasa, ah aku tidak tahan. Saat sedang mendorong motor, aku mendengar suara mobil berhenti di belakangku. Seorang lelaki keluar dari mobil pick up. Aku menoleh dan melihat Matcha keluar dari mobilnya. "Vanilla, ada apa? Motornya mogok?" tanyanya dengan nada khawatir, ia menghampiriku dengan cepat. Aku tersenyum malu, "Iya, motor i
Satu hari sebelumnyaMatcha's POVTok... Tok... Tok.. Ketukan pintu kamar terdengar, aku berjalan ke arah pintu, saat membuka pintu ternyata itu adalah Bi Tuti, seorang pembantu rumah tangga dipekerjakan di rumah kami. Aku menatapnya, kemudian Bi Tuti menyampaikan jika ibu dan ayah. "Itu, den, dipanggil nyonya sama tuan di bawah.""Oh, oke, Bi." Ucapku, dengan bergegas turun ke bawah. Rumahku sederhana walaupun memiliki dua lantai, tipikal rumah di pinggir pantai pada umumnya. Bi Tuti yang memiliki andil besar membersihkan rumahku. Aku menuruni anak tangga, ternyata di ruang tengah ada ayah dan ibu yang sedang mengobrol. Aku duduk di singel sofa, kemudian bertanya kepada mereka, "ada apa?" Tanyaku. "Umur kamu udah berapa tahun ini?" Tanya ibu, yang membuatku bingung, tumben sekali ibu bertanya soal usiaku yang bisa dikatakan tidak muda lagi ini. "26, Bu, kenapa sih?" Tanyaku, sedikit kesal, aku tak suka ditanya umur, karena memang mengingatkanku jika bukan lagi remaja. "Tuh udah
Vanilla's POV Hari demi hari berlalu dengan beban yang semakin berat. Restoran seafood yang kubangun dengan penuh harapan dan kerja keras kini mengalami masa-masa sulit. Pelanggan yang biasanya ramai mulai berkurang, dan omset pun menurun drastis. Aku bisa merasakan setiap sudut restoran yang dulunya penuh tawa kini dipenuhi dengan keheningan yang mencekam. Padahal baru berjalan dua bulan, namun sudah sepi, sepertinya pelanggan sudah bosan dengan makanan yang ada di restoran kami. Meskipun masih ada beberapa pelanggan setia yang datang, pendapatan harian tidak cukup untuk menutupi biaya operasional. Gaji karyawan, bahan baku, sewa tempat—semuanya terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku mulai kehabisan cara untuk menarik lebih banyak pelanggan. Promosi, diskon, bahkan event kecil di restoran tidak banyak membantu. Suatu sore, setelah pelanggan terakhir pulang, aku duduk sendirian di salah satu meja di sudut restoran. Tumpukan buku rekening dan tagihan ada di depanku. Aku
Vanilla's POVKalau dibilang masih ada rasa, sepertinya iya. Ada sisa-sisa rasa yang tersimpan di lubuk hati terdalam. Wu Hao, adalah orang yang pernah aku cintai dengan begitu besar. Melihatnya tertawa dengan gadis lain membuatku bertanya-tanya, apa kurangnya aku dibandingkan dengan sekretarisnya itu? Aku menangis dalam diam, aku sadar sekarang berada di rumah Matcha. Aku bahkan memakai pakaian milik adik perempuannya yang sedang kuliah di Bandung, karena pakaianku basah terkena air. Derap langkah kaki terdengar, itu Matcha, ia membawakanku secangkir teh hangat. "Minum dulu, supaya badan kamu anget." Ucapnya. Aku mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih. Pikiran mengenai aku menaruh perhatian lebih pada Matcha bisa jadi karena parah Matcha dan mantan suamiku sangatlah mirip. Bukan karena perasaan benar-benar suka, lagipula aku baru mengenal lelaki itu satu bulan kurang, mustahil untuk menyukainya dalam waktu singkat. "Ayo aku anter ke restoran." Ucap Matcha, aku hanya mengan
Vanilla's POV Pagi buta, aku sudah bangun untuk mempersiapkan restoranku. Meskipun matahari belum terbit, aku harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum pelanggan mulai berdatangan. Setelah menyalakan lampu, aku membuka pintu restoran dan melangkah keluar untuk menyambut hari baru. Sebenarnya kepalaku masih terganggu oleh kejadian tadi malam, dimana Matcha tiba-tiba saja menciumku, aku terus bertanya-tanya. Saat aku baru saja mulai menyapu teras depan, aku melihat mobil pengantar seafood berhenti di depan restoran. Dengan langkah pelan, aku mendekati mobil tersebut dan terkejut melihat siapa yang turun dari mobil, ah ternyata itu adalah Matcha,. Biasanya, pengantaran seafood dilakukan oleh staf lainnya, bukan oleh Matcha sendiri. Aku merasa sedikit bingung melihatnya, apalagi setelah kejadian kemarin. Matcha terlihat lebih serius dari biasanya saat ia mulai mengeluarkan kotak-kotak berisi seafood segar dari mobil. Dengan gerakan cepat namun teratur, ia menata barang-barang di
Matcha'ss POV Aku merasa bersalah pada Vanilla setelah aku menciumnya begitu saja. Namun aku juga bingung kenapa gadis itu tidak menolak ciumanku itu. Aku kembali ke rumah dengan lesu. "Matcha!" Panggil Riko. Aku menoleh ke arah Riko, ternyata banyak temanku yang berada di depan rumahku. Rumahku memang bisa dijadikan tempat nongkrong. Aku menghampiri mereka dengan wajah layu. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku. Tidak biasanya aku seperti ini, mereka menjadi penasaran. "Kamu kenapa, bro?" Tanya Alfian. "Aku abis nyium cewek." Ucapku dengan lesu. "Udah biasa, terus kenapa murung? Biasanya lo seneng-seneng aja." Ucap Gino dengan tatapan aneh. "Masalahnya cewek yang aku cium gak seharusnya aku cium, kamu ngerti gak?" Tanyaku dengan nada kesal. "Alah, aku jadi bingung sama kamu, biasanya kan kamu suka cium-cium cewek sembarangan." Ucap Riko menimpali. "Masalahnya ceweknya baru abis cerai sama suaminya, dan lagi bunting, dan masalahnya..." "Apa masalahnya
Pagi itu, matahari bersinar cerah ketika aku mengendarai motorku pulang dari pasar untuk membeli beberapa bahan tambahan untuk restoran. Namun, tidak jauh dari rumah, motor Scoopy-ku tiba-tiba mogok. Aku mencoba menghidupkannya beberapa kali, tetapi tidak berhasil. Dengan perasaan frustasi, aku memutuskan untuk mendorong motor ke pinggir jalan. "Ah ini hari sialku ya?" Ucapku dengan nada kesal. Namun aku tetap mendorong motorku dengan sisa tenagaku yang hampir habis ini, bagaimana tidak mendorong motor di siang bolong dengan cuaca panas yang menyebalkan ini. Bahkan keringatku mulai bercucuran. Sepertinya matahari sekarang bertambah satu, panasnya luar biasa, ah aku tidak tahan. Saat sedang mendorong motor, aku mendengar suara mobil berhenti di belakangku. Seorang lelaki keluar dari mobil pick up. Aku menoleh dan melihat Matcha keluar dari mobilnya. "Vanilla, ada apa? Motornya mogok?" tanyanya dengan nada khawatir, ia menghampiriku dengan cepat. Aku tersenyum malu, "Iya, motor i
Salah satu impianku adalah memiliki restauran, aku tidak pernah menyangka jika impian kecilku ini bisa tercapai dalam keadaan menyedihkan seperti ini. Saat ini, aku akan berangkat ke rumah pemasok ikan terbesar, namanya adalah Rumah Seafood Bintang. Saat pergi ke sana aku memakai motor Scoopy yang baru aku beli sebagai alat transportasi. Kata bibi Ina, pembantu rumah tanggal, lokasi Rumah Seafood Bintang tak jauh dari sini. Aku mengendarai motor dengan pemandangan yang sangat bagus, bagaimana tidak? Pemandangan laut biru di sepanjang jalan membuatku sangat bahagia. Sepertinya aku akan betah tinggal di sini. Tak sadar aku pun sampai di Rumah Seafood Bintang. Aku memarkirkan motorku, kemudian berjalan memasuki Rumah Seafood Bintang yang cukup ramai. Aku pun menghampiri salah satu staff di sana. Kemudian staff itu mengatakan jika aku sudah ditunggu anak dari pemilik tempat ini di ruangan yang ada di lantai dua. Aku mengetuk ruangan, "Masuk aja." Ucap seseorang dari dalam. Aku men
Keterampilan memasakku ini membuat diriku dikenal sebagai koki multitalenta, banyak Hotel Bintang lima yang mengajakku bekerjasama. Namun dulu aku memilih untuk bekerja di Hotel suamiku. Aku mencintai suamiku, berusaha untuk menjadi yang terbaik, namun ia tak pernah menganggap cintaku dengan serius. Bahkan ketika kita menikah, ia menikahiku karena keharusan katanya, namun pada awalnya aku bisa merasakan cintanya padaku. Entah bagaimana ia bisa berubah saat bulan kelima pernikahan kami, aku bingung, bahkan ketika mendapat kabar aku hamil, reaksinya pun sangat datar. Hingga aku menemukan fakta yang menyakitkan ia berselingkuh dengan sekretarisnya. Mereka bahkan sempat liburan beberapa kali pada saat aku terkulai lemas karena ngidam anaknya. Aku tidak habis pikir, kenapa ada lelaki yang sangat kejam, sekejam dirinya. Selingkuhannya biasa saja, hanya gadis Desa yang menyebalkan. Berbanding terbalik denganku, aku cantik, mandiri, bisa segalanya, walaupun orang tuaku sudah tiada. A