Share

BAB 4: SAKIT HATI

Vanilla's POV

Pagi buta, aku sudah bangun untuk mempersiapkan restoranku. Meskipun matahari belum terbit, aku harus memastikan segala sesuatunya siap sebelum pelanggan mulai berdatangan. Setelah menyalakan lampu, aku membuka pintu restoran dan melangkah keluar untuk menyambut hari baru. Sebenarnya kepalaku masih terganggu oleh kejadian tadi malam, dimana Matcha tiba-tiba saja menciumku, aku terus bertanya-tanya.

Saat aku baru saja mulai menyapu teras depan, aku melihat mobil pengantar seafood berhenti di depan restoran. Dengan langkah pelan, aku mendekati mobil tersebut dan terkejut melihat siapa yang turun dari mobil, ah ternyata itu adalah Matcha,. Biasanya, pengantaran seafood dilakukan oleh staf lainnya, bukan oleh Matcha sendiri. Aku merasa sedikit bingung melihatnya, apalagi setelah kejadian kemarin.

Matcha terlihat lebih serius dari biasanya saat ia mulai mengeluarkan kotak-kotak berisi seafood segar dari mobil. Dengan gerakan cepat namun teratur, ia menata barang-barang di troli yang sudah disiapkan. Aku merasa sedikit canggung, jadi aku menghampirinya dengan hati-hati. Aku bisa melihat jika ia terlihat kelelahan, sepertinya lelaki itu belum sempat tidur, karena matanya terlihat sangat merah.

"Selamat pagi, Matcha," sapaku, mencoba membuka percakapan.

"Selamat pagi, Vanilla," jawabnya dengan senyum yang tampak agak kaku. "Aku hanya mau memastikan seafood ini sampai dengan baik." Ucapnya dengan senyuman tipis.

"Terima kasih," kataku. "Tapi biasanya pengantaran seafood dilakukan oleh staf lain, kan? Kenapa kamu yang mengantarnya sendiri pagi ini?"

Matcha mengangkat bahu, menghindari tatapanku. "Ya, hari ini aku yang nganterin. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sendiri, stafku sibuk mengurus yang lain, jadi aku yang mengantarkan ini untukmu."

Saat Matcha menyelesaikan pekerjaannya, dia menatapku dengan serius. "Vanilla, aku mau minta maaf."

Aku mengangkat alis, sepertinya tentang kejadian malam tadi. "Minta maaf? Untuk apa?"

Matcha terlihat menyesal. "Untuk kemarin. Aku minta maaf karena mencium kamu tiba-tiba. Itu bukan tindakan yang tepat, dan aku sangat menyesal. Aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri semalam." Ucapnya dengan terlihat sangat menyesal.

Aku terdiam sejenak, meresapi apa yang dia katakan. "Matcha, sebenarnya aku—"

"Jangan khawatir tentang itu," kata Matcha dengan cepat. "Aku cuma mau kamu tahu bahwa aku benar-benar minta maaf. Aku harap kamu bisa melupakan kejadian kemarin dan tidak membawanya terlalu jauh."

Aku mengangguk, merasa campur aduk. "Oke, aku mengerti. Terima kasih atas permintaannya."

Matcha tersenyum kecil, tetapi senyumnya terasa berat. "Aku harus pergi sekarang. Jika ada masalah dengan seafood, jangan ragu untuk menghubungi aku."

Tanpa menunggu jawabanku lebih lanjut, Matcha segera mengumpulkan barang-barangnya dan bergegas kembali ke mobil. Aku hanya bisa memandangi mobil yang semakin menjauh, merasakan campur aduk perasaan di dalam hati.

Setelah mobil Matcha menghilang dari pandanganku, aku kembali ke dalam restoran, mencoba untuk fokus pada pekerjaanku. Meskipun aku berusaha keras untuk tetap tenang dan profesional, pikiranku tetap terjebak pada pertemuan singkat pagi ini. Matcha datang secara pribadi, memberikan permintaan maaf, dan kemudian pergi begitu cepat. Rasanya semua ini tidak sepenuhnya selesai.

Ketika aku mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk menu hari ini, aku merenung tentang apa yang sebenarnya terjadi. Matcha tampaknya benar-benar menyesal atas tindakannya, tetapi mengapa dia begitu cepat pergi tanpa memberi kesempatan untuk berbicara lebih lanjut? Aku merasa ada banyak hal yang belum sempat kukatakan padanya. Perasaanku tidak bisa hanya diabaikan begitu saja.

Saat restoran mulai ramai dengan pelanggan yang datang untuk sarapan, aku mencoba untuk mengalihkan perhatian dari masalah pribadi. Aku tersenyum dan berbicara dengan pelanggan, berusaha memberikan pelayanan terbaik seperti biasanya. Namun, di dalam hati, rasa sakit dan ketidakpastian yang masih mengganggu tidak bisa hilang sepenuhnya.

Pagi ini terasa berbeda, dan aku tahu aku harus memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Aku berharap suatu hari nanti Matcha dan aku bisa berbicara lebih banyak tentang apa yang terjadi. Aku butuh waktu untuk meresapi semua perasaan ini dan menentukan langkah apa yang harus kuambil. Untuk saat ini, aku harus fokus pada pekerjaanku dan menjaga restoran ini berjalan dengan baik, sambil berharap jawaban akan datang dengan sendirinya. Namun aku yang terlalu berharap lebih, aku melupakan jika aku sedang hamil, dan aku bukanlah gadis lagi, aku janda, dan Matcha memang berhak bersama gadis muda yang belum pernah menikah, dan hidup bahagia bukan denganku.

"Maafin bunda ya." Ucapku seraya mengusap perutku.

Siang hari, setelah sesi sibuk di restoran, aku memutuskan untuk berangkat ke klinik untuk melakukan USG rutin. Mengingat kondisi hamilku, pemeriksaan ini sangat penting untuk memastikan kesehatan bayi dan diriku. Aku merasa sedikit cemas, tapi mencoba untuk tetap tenang. Setelah semua persiapan, aku pergi ke klinik yang terletak tidak jauh dari restoran.

Saat aku baru saja memasuki area klinik, aku melihat sosok yang sangat aku kenal—Wu Hao, mantan suamiku. Aku terkejut dan tak percaya, apakah ini kebetulan atau ada alasan lain? Di sampingnya, aku melihat seorang wanita yang tampaknya sangat familiar—itu adalah sekretarisnya, seseorang yang ternyata menjadi selingkuhannya selama pernikahan kami.

Mereka tampak sangat akrab, berbicara dan tertawa dengan santai. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu, karena mereka memegang dokumen dan berbincang tentang lokasi. Setelah beberapa saat, aku mendengar mereka menyebutkan rencana mendirikan resort di sini. Tubuhku terasa lemas, dan rasa sakit hati menyelinap masuk begitu mendalam.

Hatiku terasa sakit melihat Wu Hao yang dulu pernah aku percayai, dan sampai sekarang aku masih mencintainya kini berada di sini dengan wanita yang pernah membuat hidupku berantakan. Aku merasa seperti semua rasa sakit dan luka masa lalu kembali muncul. Keterkejutan dan kemarahan membuatku kehilangan kendali. Aku segera berbalik dan berlari keluar dari klinik tanpa tujuan yang jelas.

Aku tidak peduli ke mana kaki ini membawaku. Pikiranku kacau dan emosiku tidak tertahan. Tanpa arah yang jelas, aku menemukan diriku berada di pantai yang tak jauh dari klinik. Aku duduk di tepi pantai, berusaha mengatur napas dan meredakan amarah yang meluap. Namun, sepertinya itu tidak cukup. Rasa sakit dan kesedihan memaksa tubuhku untuk berdiri dan berjalan lebih dekat ke air laut.

Aku berjalan perlahan menuju tepi laut, melupakan bahaya yang mungkin mengintai. Air laut yang dingin dan gelombang kecil yang memecah di kaki terasa menenangkan untuk sejenak. Namun, saat aku melangkah lebih dalam, aku tidak menyadari bahwa gelombang semakin besar dan kuat, dan aku mulai merasa sulit untuk menjaga keseimbangan.

Ketika air mulai mencapai dada, aku mulai panik. Aku berusaha untuk mundur, tetapi kaki terasa berat dan sulit bergerak. Panik merasuki pikiranku, dan aku hampir tenggelam. Dalam keadaan genting itu, aku merasa sebuah tangan yang kuat meraih tanganku dengan cepat. Aku menoleh dan melihat Matcha, wajahnya penuh kecemasan dan kemarahan.

"Vanilla! Apa yang kamu lakukan?" teriak Matcha dengan suara keras, hampir menenggelamkan suara gelombang. Matanya penuh amarah dan kekhawatiran.

"Aku—aku tidak tahu," aku menjawab dengan suara tersendat, hampir tenggelam di dalam air. "Aku hanya merasa—"

Matcha tidak memberi kesempatan untuk menjelaskan. Dia menarikku dengan kuat ke arah pantai. Dengan tenaga dan keterampilan, dia menarikku ke daratan dengan penuh kepanikan dan kepedulian. Begitu kami sampai di pantai, aku terbaring di pasir, sementara Matcha berjongkok di sampingku, nafasnya terengah-engah.

"Vanilla, kamu tidak boleh bertindak sembarangan seperti ini. Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya dipenuhi dengan kekhawatiran dan kemarahan.

Aku merasa sangat lelah dan terengah-engah. "Aku... aku lihat Wu Hao di klinik tadi, bersama sekretarisnya.... Selingkuhan itu... Menghancurkan rumah tanggal... Mereka merencanakan resort di sini... Aku... Aku merasa sangat sakit hati."

Matcha mendengarkan penjelasanku dengan penuh perhatian, meskipun kemarahan masih terlihat di wajahnya. "Aku ngerti kalau kamu lagi sakit hati. Tapi ini bukan cara yang tepat untuk mengatasi perasaan kamu. Kamu harusnya ngomong sama seseorang atau cari bantuan, bukan malah nyerah sama rasa sakit kamu."

Aku hanya bisa mengangguk, merasakan rasa terima kasih dan penyesalan yang mendalam. Matcha mengambil napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. "Aku bawa kamu ke rumahku dulu ya, rumahku deket sini supaya kamu bisa istirahat. Kita bisa ngomong lebih banyak di sana."

Dengan lembut, Matcha membantuku berdiri dan membawaku menuju mobilnya. Sepanjang perjalanan, aku merasa campur aduk antara rasa syukur dan rasa sakit hati. Matcha mungkin tidak pernah aku bayangkan akan menjadi pahlawan dalam situasi seperti ini, tetapi dia benar-benar membantuku di saat yang paling aku butuhkan.

Saat kami tiba di rumah Matcha, dia memastikan aku duduk dengan nyaman dan menyediakan minuman hangat untuk menenangkan diri. Meskipun aku masih merasakan kesedihan mendalam, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Dan untuk pertama kalinya setelah kejadian di pantai, aku merasa sedikit lebih tenang, mengetahui bahwa ada seseorang yang peduli dan siap membantu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status