Embun yang sedang menyusun bantal dan guling bingung harus menjawab apa. Lagi pula mengapa pria ini bisa tiba-tiba masuk kedalam kamar? Pesanan Revan? Memangnya Revan memesan apa coba?
"Emang selera si Revan oke punya ya? Abege kinyis kinyis lugu. Mana masih memakai pakaian daerah lagi. Kamu berasal dari mana sih Cantik?" Bara tidak tahan untuk tidak mengelus pipi mulus Embun yang tidak tersentuh make up sedikit pun. Embun refleks memalingkan wajah seraya meletakkan bantal dan guling di kepala ranjang. Walaupun ia takut, tetapi ia menjawab juga pertanyaan pria asing ini.
"Saya berasal dari Bukit Dua belas Jambi." Embun menjawab pelan sambil mundur mundur. Ia menghindari tangan Bara yang nakal.
"Sebelum kita bertempur, kenalan dulu dong, Cantik. Saya Bara Bramasta."
Bara mengulurkan tangannya pada Embun. Mengajak bersalaman. Ragu-ragu Embun akhirnya mengulurkan tangannya juga untuk bersalaman.
"E-Embun Pagi Nauljam."
Bertempur itu perang kan?
Memangnya mereka mau perang di mana? Musuhnya siapa? Dunia modern ada perang antar suku juga ya rupanya? Embun bingung sendiri.Demi kesopanan, Embun menjabat pelan tangan besar Bara dan cepat-cepat berusaha menarik kembali tangannya. Bara yang sudah memperhitungkan hal itu malah dengan sengaja makin menahan genggaman tangannya pada Embun. Matanya tampak berkabut oleh nafsu birahi.
"Nama yang sangat cantik dan unik. Saya tidak menyangka kalau Revan ternyata sampai survey ke daerah-daerah hanya demi untuk mendapatkan barang-barang yang masih segar seperti kamu ini, Cantik."
Bara mendekatkan wajahnya pada wajah Embun. Selugu-lugunnya Embun, dia tahu kalau laki-laki ini berbahaya. Embun mulai mundur-mundur kembali, sampai punggungnya mentok membentur tembok kamar. Bara semakin maju dan mengurung sisi kanan dan kiri Embun dengan kedua lengan kekarnya. Embun terperangkap! Dia tidak bisa lari kemana-mana lagi.
========================
Sementara itu Revan tengah mempelajari jumlah dana yang harus di gelontorkan, untuk pembangunan apartemen baru oleh team budgeting. Dia berusaha memangkas habis pengeluaran yang tidak perlu.
Drttt... drttt... drttt...
"Van, kamu mau ibu masakin apa hari ini? Kebetulan ibu sekarang sedang berbelanja di supermaket di gedung yang sama dengan apartemen kamu. Ayam sambel cabe ijo atau ayam semur? Mumpung ibu masih di sini lho?
Ibunya ada di apartemen? Bagaimana dengan Bara? Astaga dia lupa untuk menelepon perempuan itu untuk Bara! Tapi herannya bajingan pecinta ONS itu sama sekali tidak mengomelinya. Tumben! Atau jangan-jangan Bara akan membawa pasangan yang dicarinya sendiri? Bisa perang Bratayuda ini kalau Bara ONS di apartemennya dan kepergok dengan ibunya. Ia harus segera melakukan sesuatu.
"I-ibu sudah sampai di apartemen? Ya sudah, Revan ke sana sekarang juga ya Bu? Revan mau malam di apartemen aja bersama dengan Ibu malam. Ini Revan juga udah mau pulang kantor kok. Revan jalan sekarang ini ya, Bu?"
"Oh ya sudah. Cepat ke sana ya? Embun sendirian di apartemen. Kasihan dia. Nggak ada temannya. Rajin sekali istri kamu itu Revan. Dari tadi tidak berhenti-berhenti membersihkan apartemen kamu. Ya sudah, ibu belanja dulu ya? Assalamualaikum."
Embun di apartemen, sementara Bara tidak komplain soal tidak adanya lawan main nya. Astaga jangan-jangan? Tanpa merapikan meja kerjanya, Revan meraih kunci mobil dan ponselnya di meja kantor. Ia bahkan meninggalkan laptop dan tas kerjanya begitu saja seraya berlari kencang ke parkiran. Revan memutar remote mobil. Menstarter dan segera saja menekan pedal gasnya dalam-dalam, bertarung dengan waktu demi untuk menyelamatkan harga diri dan kehormatan istrinya. Astaga, tanpa dia sengaja, dia telah mengumpankan istrinya sendiri pada lelaki hidung belang nafsuan seperti Bara. Bisa hancur lebur tidak bersisa kalau istri primitifnya itu sempat dikerjai Bara!
Semoga saja belum sempat terjadi apa-apa terhadap istri lugunya itu. Ya Tuhan, tolong lindungi kehormatan istriku. Revan semakin ketakutan saat dia berkali-kali menelepon Bara dan sahabat keparatnya itu sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya.===================
"Abang mau apa? Ja-jangan dekat-dekat!" Embun yang ketakutan berusaha mendorong wajah Bara, yang kini bahkan mulai mencoba untuk mencium-cium gemas pipi mulusnya. Embun sama sekali tidak bisa bergerak, karena Bara mengunci sisi kanan dan kiri tubuhnya, dengan kedua lengannya yang menempel di tembok belakang tubuhnya.
"Kenapa pertanyaan kamu aneh sekali sih, Cantik? Kamu tanya saya mau apa? Ya mau kamu lah. Revan mengatakan bahwa dia sudah memberikan kamu sepenuhnya untuk saya nikmati hari ini. Apa kamu masih mengharapkan Revan hmm? Revan tadi bilang kalau dia sudah tidak nafsu lagi padamu. Bodoh banget dia, barang bagus kualitas premium plus plus seperti ini dia sia -siakan." Bara menggeleng-gelengkan kepalanya.
Embun sekarang mengerti. Kalau Revan ternyata bukan hanya seorang suami yang kasar, tetapi juga seorang suami yang jahat luar biasa. Dia sampai hati memberikan istrinya untuk dinikmati oleh temannya. Betapa kejam dan tidak bermoralnya dia sebagai seorang suami.
"Tolong lepaskan saya Bang Bara! Bang Revan tidak berhak memperlakukan saya seperti ini. Saya ini manusia, bukan barang. Saya tidak bisa diberikan kepada siapa saja yang dia kehendaki."
Suara Embun yang ketakutan sudah mulai bercampur dengan tangis dan rasa sakit hati. Seperti ini katanya kehidupan manusia yang berbudaya dan bertata krama. Ironis sekali.
"Maaf ya, sayang. Sudah tidak bisa lagi. Laju asmara saya sudah mencapai titik kulminasinya. Saya sudah tidak dapat mengontrol diri saya sendiri lagi, maaf."
Bara mengangkat tubuh mungil Embun dengan gerakan cepat dan membaringkannya diranjang yang baru saja di tata rapi tadi oleh Embun. Embun yang marah memukuli wajah Bara yang kini telah berada di atas nya dan terus saja menciumi selebar wajahnya. Bara gemas karena tidak bisa menjangkau bibir merah Embun karena kepalanya yang terus saja bergerak kekiri dan ke kanan.
"Jangan bergerak-gerak terus dong, Cantik. Nikmati saja semuanya. Saya berjanji akan memuaskan kamu. Tapi sekarang buka dulu mulutmu, sayang. Saya ingin mencoba rasa mu."
BRAKKKK!
"Bajingan lo, Bar!"
BUGHHHH!!! BUGHHH!!!
Revan Aditama Perkasa, si biang onar tukang tawuran sejak zaman SMA di sekolah Bina Bangsa, telah kembali pada wujud aslinya yang ganas dan gahar. Hilang sudah semua sikap rasional dan persuasif yang biasanya amat sangat melekat dengan pribadi nya sebagai negosiator ulung dalam setiap laga tender diperusahaannya.
Sosok iblis ganas yang sudah lama tertidur, kembali bangun dan meraung ganas saat melihat miliknya tergeletak tidak berdaya dibawah tindihan tubuh besar Bara yang terus saja berusaha mereguk kenikmatan dari tubuh istrinya di ranjangnya sendiri.Tangis memilukan dan ketakutan istrinya yang meronta-ronta dan memukul kesembarang arah serasa meremas-remas hatinya. Matanya menyipit ganas dan kembali menghajar Bara tanpa ampun.
"Astaghfirullahaladzim. Ada apa ini Revan, Bara? Lho Embun kamu kenapa, Nak? Ini semuanya ada apa sih?"
Gayatri yang baru saja tiba di apartemen dengan tangan yang penuh dengan barang belanjaan, histeris dan kebingungan melihat anaknya memukuli sahabatnya sendiri hingga babak belur. Sementara menantunya nyaris tidak berpakaian lagi dan tampak begitu trauma dalam keadaan duduk memeluk sendiri di ranjang yang sudah begitu acak-acakan. Tubuhnya gemetaran hebat dengan pandangan horor dan ketakutan. Kedua tangannya saling memeluk dirinya sendiri sambil menggoyang-goyang kan tubuhnya ke depan dan belakang dalam gerakan konstan.
"Van, udahhh! Lihat itu istri kamu. Embun, masyaallah, Jangan nekad, Nak!"
Gayatri menjerit kaget saat melihat Embun yang tiba-tiba saja berdiri dari ranjang dan meraih pisau buah yang terletak di samping nakas. Ia kemudian membuat gerakan seolah ingin menggorok lehernya sendiri.
Revan yang sedang merenggut kerah baju Bara refleks menoleh kearah Embun saat mendengar ibunya menjerit ngeri. Mata Revan membelalak ngeri saat melihat gerakan sadis Embun yang ingin menggorok lehernya sendiri. Revan melompat dan menerjang ke arah Embun sambil berusaha merebut pisaunya.
Revan memeluk kuat tubuh Embun dari belakang dan langsung membuang pisau dapur itu ke sudut kamar. Dalam pandangan horrornya Revan mengguncang-guncang kedua bahu telanjang Embun seperti sebuah boneka rusak.
"Kamu mau mati hah? Kamu mau merampas hak Tuhan dalam urusan nyawa? Yang salah itu saya tapi malah kamu yang mau bunuh diri. Idiot macam apa kamu ini?"
Revan memegang kedua belah pipi Embun dengan tangan gemetar. Dia ketakutan.
Terima kasih ya Allah, ternyata Kau masih melindungi kesucian dan kehormatan istri hamba.
"I-istri? Gadis ini istri lo, Van? Tapi-tapi lo bilang lo bakal nelepon temen ONS lo yang nggak jadi lo pake? Lagian lo kapan nikahnya Van?"
Bara yang terduduk di lantai dalam keadaan bersimbah darah, kebingungan mendengar bahwa Revan telah beristri dan wanita yang tadi nyaris digagahi nya adalah istri sahabatnya sendiri. Demi Tuhan!!!
PLAK! PLAK!
Dari kata-kata Bara barusan, Gayatri telah bisa menarik kesimpulan tentang apa yang sedang sedang terjadi. Revan terdiam dengan pipi panas antara rasa bersalah dan malu terhadap Embun dan juga ibunya. Apalagi saat ia melihat air mata yang meleleh membasahi kedua pipi ibunya. Revan tahu ia telah membuat ibunya begitu kecewa.
"Revan minta maaf, Bu."
Revan melepaskan Embun dan kemudian ia memakaikan jasnya pada tubuh Embun yang pakaiannya sudah compang camping tidak karuan. Ia lalu bersujud di hadapan ibunya. Perbuatannya kali ini memang sungguh fatal. Ibunya sampai menangis tanpa suara akibat perbuatan brengseknya. Dia ingat akan perkataan salah satu guru agamanya sewaktu kecil. Bahwa sebesar-besar ampun adalah yang diminta seorang anak dari ibunya, sebesar-besar dosa adalah dosa anak kepada ibunya. Dia tahu tangisan ibunya lebih kepada perasaan kecewa daripada kemarahannya. Revan sungguh amat sangat menyesal karena telah melukai perasaan orang yang paling mencintainya di dunia ini.
"Ketahuilah, Nak. Bahwa kebanyakan jeritan para penghuni neraka itu adalah penyesalan karena menunda taubat mereka. Ibu sama sekali tidak menyangka kalau kehidupan kamu ternyata semengerikan ini. Kamu terus saja memupuk dosa dan melakukan hal maksiat bahkan di saat kamu telah beristri. Ibu sangat kecewa kepada dirimu, Revan. Ibu telah gagal menjadi seorang ibu. Ibu gagal, Revan." Gayatri berkali-kali menyeka air matanya.
Ia kemudian menghampiri menantunya yang tampak mulai sedikit bisa menguasai dirinya. Embun mengambil buntalan pakaiannya dan berjalan dengan gontai menuju ke kamar mandi. Lima menit kemudian ia telah sudah mengenakan kembali baju tradisionalnya yang lain. Kehidupan di kampungnya yang bersifat nomaden telah membiasakannya untuk membawa pakaian berlebih di tasnya. Dalam diam ia kemudian meletakkan jas Revan di tempat tidur.
"Ayo kita pulang, Nak." Gayatri menghela lengan kurus menantunya. Ia membiarkan putranya yang masih dalam posisi bersujud.
"Bu, biar nanti Revan yang mengantar Embun pulang. Ada yang ingin Revan bicarakan pada Embun. Lo juga pulang sekarang, Bar!" bentak Revan. Bara mencoba berdiri dari posisinya yang terduduk di lantai dengan susah payah. Revan telah menghajarnya habis-habisan.
"Saya minta maaf ya, Embun? Saya sama sekali tidak tahu kalau kamu sebenarnya adalah istri Revan. Satu hal yang saya ingin saya tekankan di sini adalah saya siap menerima segala konsekuensi atas semua perbuatan buruk saya dalam bentuk apapun. Termasuk kesedian saya untuk mengambil alih tanggung jawab Revan atas kamu bila terjadi hal-hal buruk di antara kalian berdua atas perbuatan saya. Sekali la-"
"Nggak perlu, Bar. Gue bisa mengurus istri gue sendiri! Lo nggak usah repot-repot ngambil alih tanggung jawab gue. Sekarang gue minta lo keluarrr!" raung Revan lagi.
"Oke. Gue akan keluar. Tetapi kata-kata gue tadi tetap bisa lo jadiin bahan pertimbangan. Gue sungguh-sungguh dan gue serius." Itu lah kata-kata terakhir Bara sebelum meninggalkan apartemen sahabatnya.
Mata Embun tampak ketakutan saat ibu mertuanya akan pulang, dan meninggalkannya berduaan dengan Revan di apartemen yang penuh dengan kemaksiatan ini. Dia bergegas ikut berdiri di samping yang ibu mertua dengan pandangan mata nyalang dan masih ketakutan.
"Bu, sa--saya ikut Ibu pulang saja ya? Sa--saya tak-tidak nyaman di sini." Embun langsung merubah kata-kata takut menjadi tidak nyaman. Bagaimana pun dia tidak ingin mempermalukan suaminya dengan mengatakan bahwa dia takut berduaan saja dengan suaminya. Itu seperti kalimat menghina suaminya. Embun tahu kalau menghina seorang suami itu dosa.
"Tapi ibu rasa, Embun memang perlu waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan suamimu, Nak. Dengar sayang, apapun hasil pembicaraan kalian nanti ibu akan menerimanya dengan lapang dada. Kalian berdua sudah dewasa. Bertindak dan bersikaplah sesuai dengan usia ya, Sayang? Ibu pulang dulu." Gayatri meraih tasnya dan meninggalkan barang belanjaannya di dapur begitu saja. Dia masih begitu kecewa terhadap putranya.
Setelah Bara keluar dan ibunya menyusul, akhirnya mereka pun kini hanya tinggal berdua saja. Embun yang masih dalam keadaan berdiri, perlahan di dudukkan Revan di atas sofa lembut kamarnya. Ia kemudian juga duduk menyusul di sebelahnya.
"Saya minta maaf ya, country girl. Saya lupa untuk menelepon seseorang untuk Bara. Saya bersumpah bahwa saya sama sekali tidak tahu kalau kamu ada disini. Makanya semuanya menjadi kacau balau seperti ini. Sekali lagi Saya minta maaf ya?" Revan meraih dagu Embun dan memandangi mata sendunya dalam-dalam.
Ini adalah kali pertamanya Revan memandang wajah Embun dalam jarak sedekat ini. Istri primitifnya ini ternyata cantik sekali. Bahkan dalam keadaan habis menangis saja kejelitaannya tidak berkurang, malah bertambah-tambah saja rasanya. Revan tahu dia sudah main rasa di sini.
Inilah hal yang paling dia takut kan selama ini. Dia sudah dua kali jatuh cinta dalam arti yang sebenarnya. Dan dia berakhir dengan dua kali patah hati yang sakitnya bahwa masih terasa hingga kini. Sehingga ia bersumpah untuk tidak akan mau untuk jatuh cinta lagi. Ia setuju dengan ungkapan yang mengatakan bahwa jatuh cinta adalah cara terbaik untuk bunuh diri. Untuk satu hal itu, dia amat sangat setuju!!
"Jika selama ini saya terlalu banyak melakukan kesalahan terhadap kamu, tolong maafkan saya ya? Saya ini adalah orang yang tidak pernah beruntung dalam cinta, Embun. Oleh karena itu hidup saya menjadi seperti ini. Saya takut untuk jatuh cinta lagi kalau akhirnya saya akan di tinggalkan juga. Oleh karena itulah selama ini saya selalu membeli cinta dan bukannya memberi cinta.
Tetapi selama beberapa hari ini, saya melihat ketulusan dan usaha kamu untuk mencoba menjalani peran sebagai istri yang baik dalam segala keterbatasan yang kamu miliki, dan itu membuat saya jadi ingin mencoba kembali peruntungan saya. Maukah kamu mencoba untuk belajar mencintai saya dan membuang segala rasamu pada Anak Dewa?
Maukah kamu menjadi pelabuhan hati terakhir saya dan menjadikan saya satu-satunya lelakimu? Yang kamu tatap dan kamu puja dan kalau memungkinkan kamu cinta? Maukah kamu menjadi masa depan dan tujuan hidup saya? Maukah sa--sayang?"
Revan terbata-bata saat harus mengucapkan kata sayang. Mungkin bagi laki-laki lain ucapan sayang itu hanya berupa kata-kata gombalan tidak berguna. Tetapi bagi Revan, saat dia mengucapkan kata sayang untuk seorang perempuan, maka itu artinya dia meletakan seluruh hati, cinta dan jiwanya di sana. Pada seseorang yang telah berani dia panggil dengan sebutan Sayang.
Dalam bimbang Revan terdiam dan menatap penuh harap pada Embun. Saat yang empunya jawaban masih terdiam dalam mata seolah terlihat berperang penuh kebimbangan, Revan hanya bisa berdoa dalam hati, agar Embun kiranya bersedia memberinya kesempatan. Ia sudah sangat dewasa. Ia juga ingin mempunya keluarga.
"Akan saya coba, Bang. Tetapi saya tidak menjamin bagaimana akhir dari cerita kita."
"Terima kasih, sayang. Untuk permulaan itu sudah cukup sayang, sudah cukup." Dan untuk pertama kalinya Revan mencium kening istrinya dalam keadaan sadar dan... mungkin sayang. Entahlah. Yang pasti ia ingin memperbaiki dirinya menjadi pribadi yang lebih baik.
Seluruh klan Aditama Perkasa beserta segenap jajaran karyawan dan karyawati perusahaan P.T Aditama Group, berkumpul di salah satu hotel mewah milik keluarga besar Aditama Group Tbk.Malam ini, selaku Komisaris dan pemilik perusahaan, Gilang Aditama Perkasa ingin memperkenalkan secara resmi menantunya pada seluruh keluarga besar dan segenap jajaran penting dalam perusahaannya.Dia ingin mereka semua tahu bahwa saat ini Revan telah beristri. Hanya masalah resepsi pernikahanlah yang Gilang masih agak ragu. Dia tahu kalau baik Revan maupun Embun, mereka berdua belum sampai pada taraf saling mencintai. Apabila dia memaksakan diri untuk mengadakan resepsi besar-besaran, di khawatirkan Anak Dewa akan mengetahui keberadaan Embun.Yang Gilang takutkan adalah goyahnya hati Embun akibat cinta masa lalunya telah kembali. Bagaimanapun mereka berdua telah berhubungan sedari kecil. Tentu tidak mudah untuk membuang rasa cinta itu begitu s
"Seberapo rimbun kayu di Jambi,Rimbunlah jugo kayu di Tungkal,seberapo rindu Abang nak pegiRindulah jugo kami nak tinggal."Embun membalas pantun Anak Dewa dengan mata berkaca-kaca. Tetapi dia memang sama sekali tidak berani untuk melangkah kearah Anak Dewa. Bagaimanapun Revan itu adalah suaminya dan dia harus mematuhi kata-kata dan larangan suaminya."Berbahasa Indonesia yang baik dan benarlah wahai istriku. Sehingga kami semua yang ada di sini tidak salah kaprah dalam mengartikan setiap kata-katamu."Revan mulai gerah karena merasa daerah teritorinya sudah ada yang berani mencoba- mencoba untuk menginvansi. Dia merasa sudah perlu untuk menarik garis batas teritori.Lobby mulai ramai oleh orang-orang yang penasaran dengan suara-suara bernada tinggi Revan. Sepertinya mereka tertarik untuk melihat kelanjutan perseteruan yang mulai memanas.
"Bang, Saya minta izin untuk berbicara secara pribadi berdua saja dengan Bang Dewa, boleh?"Embun memindai Revan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya Revan marah. Tetapi dia memang harus menjelaskan tentang status hubungannya dengan Revan pada Anak Dewa. Sekaligus juga memperbaiki hubungan dengan status baru di antara dirinya dan Anak Dewa sekarang."Anda ini seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan saja. Ingatlah, Bung. Jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Karena takutnya ia nya malah mati atau hancur, karena tidak diberi celah sama sekali untuk bernafas.Lagi pula jodoh, maut dan rezeki itu urusan Allah. Bisa saja orang yang hari ini segar bugar sehat walafiat, tapi besok pagi telah terbujur kaku di bawah tanah. Maka berbuat baiklah agar sedikit mempunyai tabungan amal ibadah."Anak Dewa menyindir seolah-olah tengah menasehati. Padahal maksud hatinya adalah menyumpahi. Embun meliri
"Astaga berarti si Om ini kaya banget ya? Uangnya segini ya, Om?"Embun merentangkan kedua tangannya kemudian membuat gerakan membulat besar. Albert tertawa."Bahkan uang Om lebih banyak dari seribu kali dari gerakan tangan kamu itu. Hehehe."Albert merasa muda kembali saat berinteraksi dengan Embun. Gadis ini asli dalam hal apapun. Asli wajahnya, asli hatinya dan asli kebaikannya. Sikap manipulatif dan tukang cari kesempatan tidak ada didirinya. Terberkatilah siapapun yang menjadi pasangannya."Tapi Om kok tidak jahat ya? Biasa orang kaya itu jahat. Suka memandang orang dengan sepele, terus juga suka menghina orang miskin. Mbak Ret— eh biasanya begitu sih. Eh tapi nggak semuanya juga hehehe... Om ini udah kaya, baik, harum lagi."Embun tersenyum. Albert seketika merasa terkesima. Senyum itu mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa
Revan menghentikan laju kendaraannya saat sudah tiba di rumah. Ia menatap istri kecilnya yang masih ketiduran dengan perasaan bimbang. Mau dibangunin kasihan. Karena kelihatannya dia capek sekali. Kalau digendong, nanti kesannya dia seperti playboy tobat di depan semua orang.Selama ini dia sudah terbiasa dicap sebagai seorang penjahat kelamin oleh keluarganya. Aneh saja kalau ia tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang pecundang cinta yang sampai mau maunya menggendong-gendong seorang perempuan yang tadinya bahkan dia tolak mati-matian. Mana ada duo kamprets lagi di sana. Dia cuma takut dicap dengan stigma ISTI yaitu singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri.Tetapi akhirnya rasa kasihannyalah yang menang, dibandingkan dengan ego kelelakiannya. Dengan apa boleh buat akhirnya Revan menggendong tubuh mungil Embun melewati ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia kemudian terus saja menaiki tangga lantai dua menuju kamar tidur mereka. 
"Kenapa diam lagi, hah? Mulutmu tidak mau dipakai ngomong ya? Baik kalau memang nggak mau dipakai untuk ngomong, akan Abang pakai untuk muasin Abang aja!"Revan kalau sedang emosi kata-kata yang keluar dari mulutnya memang frontal. Setelah mengancam Embun dan istrinya itu tetap diam, Revan pun memajukan tubuhnya ke depan. Ia melahap bibir Embun dengan segenap rasanya. Sementara Embun yang seumur hidupnya belum pernah dicium oleh siapapun, seketika gelagapan. Ia panik saat Revan mencuri nafasnya dan mengobrak-abrik mulut manisnya. Embun ketakutan saat Revan membelit lidahnya dan saling menukar saliva. Kedua tangan Embun berusaha menjauhkan wajah Revan dari wajahnya sendiri. Embun bahkan memukuli wajah Revan yang tidak mau melepaskan pagutan bibirnya."Oh, kamu mau main kasar sama Abang? Ayo aja. Abang malah tambah nafsu jadinya."Revan kini menarik pakaian Embun dengan cara mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga."Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan."Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena