"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga.
"Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."
Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan.
"Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena
"Udah dibawa semuanya? Laptop, buku-buku panduan, alat-alat tulis, kotak bekal. Eh itu termos air minum dan ponsel jangan lupa, sayang."Revan sibuk mengecek isi tas ransel Embun yang akan mengikuti kuliah di hari pertamanya. Mata Embun terbelalak saat melihat Revan yang terus saja mengisi tas ranselnya dengan bermacam-macam benda yang tidak penting hingga nyaris penuh. Embun sampai ngeri melihat Revan masih saja menjejalkan potongan berbagai macam buah dalam kotak tupperwa** ke dalam tasnya."Astaga, Abang. Itu tas Embun kok sampai menganga lebar dan nggak bisa ditutup begitu? Abang isiin apa aja sih?""Oh, selain laptop dan beberapa buku panduan, Abang memasukkan sweater kalau nanti kamu dingin di kampus. Terus ini kipas angin kecil, kalau kamu nanti mana tau kepanasan di sana. Beraneka macam roti, payung lipat sama ini terakhir, potongan buah yang berserat. Abang nggak mau kamu duduk di kantin dan makan ma
Kuliah baru saja usai. Embun tengah berbincang-bincang dengan Ibell sebelum Revan menjemputnya. Saat ini ia duduk disamping Ibell. Satu-satunya temannya di kampus. Ibell ini pintar dan lucu. Embun senang mengobrol dengannya."Hah? Jadi kamu tuh sudah menikah dengan, Pak Revan? Kok bisa? Soalnya Pak Revan itu 'kan baru aja memutuskan pertunangan dengan Luna Brata Kesuma, sepupu saya. Dia juga bilang tidak akan mau jatuh cinta lagi karena semua perempuan itu sama saja katanya. Capek-capek diperjuangin setengah hidup, eh milihnya malah orang lain."Setelah mengucapkan kata-kata itu Ibell jadi kepengen menggigit lidahnya sendiri. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu pada Embun. Emang dasar lidah tidak bertulang!Embun tertegun saat tahu bahwa Revan dulu pernah bertunangan dengan seorang wanita. Tapi kenapa suaminya itu memutuskan pertunangan ya? Embun sangat penasaran sekali. Ah pasti karena Revan harus menika
Embun memperhatikan interaksi Revan, Arkan dan Ibell dalam diam. Tampak jelas dosennya begitu cemburu saat suaminya menggoda Ibell dalam beberapa kalimat bersayap. Bahkan yang terakhir malah terdengar begitu ambigu. Tidak bisa dipungkiri ada rasa tercubit di hati saat menyadari bahwa suaminya dulu memiliki perasaan yang begitu besar pada wanita lain. Walau dia tahu bahwa itu semua adalah masa lalu. Tetapi kurun waktu empat bulan itu cukup dekat bukan? Cuma 120 hari. Apakah hati suaminya itu sudah benar-benar bisa melupakan Ibell? Entah mengapa Embun kok rasanya kurang yakin.Sampai hari ini Embun tidak tahu apa itu rasa cemburu. Kalau arti cemburu sih, tentu saja dia tahu. Kata Pak Rahman cemburu adalah suatu perasaan tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan lain sebagainya. Bahkan sirik dan dengki pun masuk ke dalam kategorinya.Pada waktu itu Embun merasa sedikit heran mengapa ada orang yang tidak senang melihat keba
"Kamu pakai saja ini baju Tante Zahra. Sementara pakaian kamu dilaundry si bibik ya, Mbun? Kayaknya pas deh kamu pakai. Ini handuknya kalau kamu mau mandi. Om tunggu di depan ya? Kalau ada apa-apa teriak saja. Om pasti dengar."Embun yang tenagah duduk melamun di ruang tamu dengan pakaian yang basah kuyub, menerima pakaian dan handuk yang di berikan Om Albert dengan penuh rasa terima kasih. Ia memang sangat kedinginan sekali saat ini."Terima kasih ya, Om? Saya mandi dulu. Om tahu tidak selain bepak dan Bang Dewa, Om adalah orang paling baik di luar hubungan keluarga yang saya kenal. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak ya, Om?"Embun merangkapkan kedua tangannya ke dada. Mengucapkan rasa terima kasih dengan takzim dan penuh rasa hormat."Orang baik? Hahhaha. Setidaknya ada lima ratusan karyawan Om yang akan tertawa ngakak sambil guling-guling, saat mendengar kamu mengat
"Nggak masalah, Om. Saya akan tetap berusaha menjadi pion. Pion walaupun paling kecil tapi langkahnya tidak pernah mundur, dia akan maju terus."Revan membalas. Saat ini dia berusaha cooling down dulu agar otak cerdasnya jalan lagi. Menghadapi Om dingin-dingin menggigit begini harus pake otak dan main tak tik. Karena Bara tadi sudah merasakan bagaimana akibatnya kalau memakai otot. Tidak ada gunanya sama sekali alias tidak worth it."Tapi raja bisa mati dengan bidak apapun dari lawan. Tidak peduli itu pion ataupun yang lainnya."Albert mulai tersenyum. Inilah saat yang dia tunggu-tunggu. Perang urat syaraf dan argumen yang menguras pikiran serta emosi. Laki-laki muda di hadapannya ini terkenal mumpuni dalam hal memutar balikkan kata dan fakta. Bahkan beberapa kali perusahaannya harus menelan kekalahan akibat dari jagonya cara berdiplomasi anak si Gilang ini.Dia ingin melihat, sampa
"Apa maksud Anda, Pak Polisi? Dan siapa itu Pimchanok?"Revan langsung berdiri saat seorang polisi berwajah mirip Albert menyebutkan satu nama aneh sambil menatap Embun dengan wajah terkesima. Radar alarm berbahaya seketika berdering keras di kepalanya. Ada sesuatu yang tidak beres di sini."Saya BrigjenPol Reinhard Ratulangi, sepupu dari Albert Tjandrawinata. Eh itu ada semut di rambut Anda!"Reinhard dengan sigap menarik beberapa helai rambut hitam Embun dan dengan gerakan cepat mengantonginya dengan cara yang begitu santai dan luwes."Aduduhhhh!"Bapak hebat sekali ya? Rambut saya hitam. Semut juga hitam. Kecil banget lagi. Tapi Pak Polisi kok bisa nampak ya? Tapi lebih elok tadi nggak usah dibuang semutnya. Lebih sakit di tarik rambutnya daripada digigit semutnya. Lagi pula semut 'kan juga tidak bisa menggigit rambut."Embun meringis kes
"Eh polisi kampret, kok lo tadi tiba-tiba ngejambak rambut si Embun? Heran bener perwira polisi kelakuan kayak anak SD."Albert mulai menguliahi Reinhard yang bertindak aneh, karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja menjambak rambut Embun."Gue sengaja mengambil beberapa helai rambutnya untuk test DNA, Dodol! Siniin amplop kosong satu. Mau gue masukin contoh sampel rambut si Embun.""Oh," sahut pendek. Ia kemudian membuka laci meja bagian bawah. Mengeluarkan satu amplop putih dan menyerahkannya pada Reinhard. Reinhard langsung memasukkan beberapa helai sampel rambut Embun yang di tariknya tadi."Ya tapi nggak pake di jambak begitu juga kali, Rein. 'Kan sakit. Kasian." Omel Albert. Entah mengapa setiap orang yang membuat Embun tidak nyaman, Albert merasa sangat tidak suka. Ada perasaan ingin melindungi yang muncul begitu saja dari dalam dirinya."Jadi gue