"Apa maksud Anda, Pak Polisi? Dan siapa itu Pimchanok?"
Revan langsung berdiri saat seorang polisi berwajah mirip Albert menyebutkan satu nama aneh sambil menatap Embun dengan wajah terkesima. Radar alarm berbahaya seketika berdering keras di kepalanya. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Saya BrigjenPol Reinhard Ratulangi, sepupu dari Albert Tjandrawinata. Eh itu ada semut di rambut Anda!"
Reinhard dengan sigap menarik beberapa helai rambut hitam Embun dan dengan gerakan cepat mengantonginya dengan cara yang begitu santai dan luwes.
"Aduduhhhh!
"Bapak hebat sekali ya? Rambut saya hitam. Semut juga hitam. Kecil banget lagi. Tapi Pak Polisi kok bisa nampak ya? Tapi lebih elok tadi nggak usah dibuang semutnya. Lebih sakit di tarik rambutnya daripada digigit semutnya. Lagi pula semut 'kan juga tidak bisa menggigit rambut."
Embun meringis kes
"Eh polisi kampret, kok lo tadi tiba-tiba ngejambak rambut si Embun? Heran bener perwira polisi kelakuan kayak anak SD."Albert mulai menguliahi Reinhard yang bertindak aneh, karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja menjambak rambut Embun."Gue sengaja mengambil beberapa helai rambutnya untuk test DNA, Dodol! Siniin amplop kosong satu. Mau gue masukin contoh sampel rambut si Embun.""Oh," sahut pendek. Ia kemudian membuka laci meja bagian bawah. Mengeluarkan satu amplop putih dan menyerahkannya pada Reinhard. Reinhard langsung memasukkan beberapa helai sampel rambut Embun yang di tariknya tadi."Ya tapi nggak pake di jambak begitu juga kali, Rein. 'Kan sakit. Kasian." Omel Albert. Entah mengapa setiap orang yang membuat Embun tidak nyaman, Albert merasa sangat tidak suka. Ada perasaan ingin melindungi yang muncul begitu saja dari dalam dirinya."Jadi gue
"Belajar yang rajin. Jangan nakal, jangan memandang lawan jenis terlalu lama, jangan ke kantin atau pun ke perpustakaan sendirian. Satu hal lagi, jangan pernah menginjakkan kaki kamu ke Himpunan, jikalau tidak ada keperluan di sana. Janji dulu sama Abang, my country girl."Embun menganggukkan kepalanya.Revan rasanya sangat berat untuk meninggalkan Embun kuliah. Apalagi kampus ini terkenal dengan para predator dengan kualitas di atas rata-rata semua. Revan tidak tenang rasanya meninggalkan Embun ditengah tatapan penuh minat mereka."Ayo, Mbun. Abang antar ke kelasmu." Revan bersiap-siap turun dan mulai mematikan kunci mobil. Ia kemudian menarik rem tangan dan tuas pada posisi parking."Nggak usah dianter, Bang. Embun udah tau kok letak kelas Embun itu di mana. Jadi nggak bakalan nyasar. Percaya deh sama Embun, Bang."Embun tidak enak kalau diantar Revan sampai ke kelas. Mana bawaan
"Lho Anda sudah ada di sini rupanya, Pak Rangkayo Depati?"Radja Girsang heran saat melihat tamunya malah sudah datang duluan ke Himpunan, bahkan sebelum dia sebagai sang tuan rumah mengundangnya. Dia memang mengundang pengusaha muda ini untuk memberikan motivasi kepada para anak didiknya sekaligus membantu proyek amal Rangkayo Depati."Iya, kebetulan saya tadi mengantarkan kostum adik saya yang masih tertinggal di kampung dulu. Jadi saya singgah terlebih dahulu ke sini, sebelum ke kantor Pak Radja. Saya minta maaf kalau itu menyalahi aturan," timpal Anak Dewa sopan."Ah tidak jadi masalah itu, Pak Rangkayo. Jadi Embun itu adik Pak Rangkayo ya?" Radja masih penasaran melihat kedekatan tamu istimewanya itu dengan menantu Gilang."Embun itu sedari kecil sudah diasuh oleh kedua orang tua saya. Baru-baru ini saja dia pindah ke ibukota karena ehm menikah. Dan ya, saya juga baru sempat kali ini mengu
"Terima kasih sudah menyelamatkan istri saya ya, Om? Saya tidak ta-"BUGH! BUGH!"Kamu pikir dengan meminta maaf saja semua persoalan sudah selesai?" Albert menggeram. Menantu tidak tahu dirinya ini selalu saja muncul belakangan. Dasar tidak berguna!"Ke mana saja kamu, sampai istrimu berlindung di halte bobrok malam-malam begini? Kalau pun bukan tiga bajingan ini yang merusak istrimu, pasti ada bajingan- bajingan lain yang akan mengusiknya. Saya tidak akan pernah rela melepas anak perempuan saya ke tangan laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti kamu. Karena seseorang yang tidak bisa bertanggung jawab atas kata-katanya sendiri, tidak akan bisa bertanggung jawab atas diri orang lain. Camkan itu!" Albert mendadak ingin menggigit lidahnya sendiri. Ia kelepasan."Anak perempuan?" Revan dan Embun bertanya secara bersamaan."Maksudnya si Om, dia itu sudah menganggap Embun sepert
"Abang kok bisa ada di sini? Abang nggak kerja? Nggak sibuk di kantor gitu?" Embun merasa risih karena hanya berduaan saja dengan Anak Dewa di dalam mobil. Bagaimana pun akrabnya hubungan mereka di masa lalu, sekarang kan dia ini sudah menjadi istri orang. Tidak baik berduaan dengan laki-laki yang tidak memiliki pertalian darah yang langsung dengannya."Setiap hari Selasa dan Kamis Abang libur untuk sekedar mengistirahatkan tubuh dan pikiran Abang. Kenapa? Adek kok kayaknya tidak senang sekali dekat-dekat dengan Abang? Tak elok kalau bersikap ada yang baru yang lama di lupakan. Seloko adat kita mengajarkan untuk tidak boleh bersikap seperti kacang lupa akan kulitnya bukan, Dek?"Anak Dewa menjawab santai sambil memindahkan persnelling mobilnya."Lho... lho kita mau ke mana ini, Bang? Mobil yang lain pada berjalan lurus kok kita malah belok sih?" Embun mulai panik. Dia agak merasa was was dengan arah jalan yang dipi
" Aaaa.. itu itu anu Bang, karena -""Karena Embun Pagi ada di kelompok empat. Dan kebetulan kelompok itu anggotanya laki-laki semua. Jadi pihak penyenggara mengambil kebijakan untuk memindahkan Embun ke armada khusus. Tapi kalau bapak keberatan, tidak-apa-apa, nanti hari kamis saya akan memindahkan Embun satu mobil dengan kelompoknya sendiri. Perkenalkan nama saya Melati Suci, asisten dari pihak penyenggara sekaligus mahasiswi kampus ini."Embun menarik nafas lega saat Suci, kakak kelasnya ini dengan cepat membantunya menjawab pertanyaan Revan. Kakak kelasnya ini rupanya sedari tadi mengamati pembicaraannya dengan Revan, sehingga ia bisa dengan cepat dan professional segera mengurai kecurigaan Revan terhadapnya. Kakak kelasnya ini memang tanggap dan cekatan."Tidak perlu. Pihak penyelenggara kalian memang sudah mengambil tindakan yang tepat. Untuk selanjutnya Embun akan berangkat mengajar dengan armada khusus saja
Embun melipat kostum tarinya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam paper bag. Sebenarnya hari ini dia kurang begitu enak badan. Mungkin karena efek kurang tidur dan juga menangis terus semalaman. Embun merasa begitu tidak diinginkan oleh Revan."Kok lo cepet banget sih beres-beresnya? Udah mau pulang lo Mbun? Lah terus yang nganterin lo pulang siapa? Pak Revan ya? Tapi Pak Revannya kok nggak kelihatan?" Ibell celingukan kesana kemari mencari sosok Revan."Gue pulangnya sama Pak Thohir. Bang Revannya gue malah nggak tahu dia ada dimana sekarang. Dari semalam juga Bang Revannya belum pulang-pulang. Mungkin sedang olah raga enak dengan teman satu malam berdirinya."Embun menjawab lirih seolah-olah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.Mata Annisa dan Ibell membulat seketika. Embun ini polos-polos tapi kata-katanya dahsyat juga. Langsung tepat sasaran dan tanpa tedeng aling-aling.
"EMBUNNNN!!!"Albert langsung terbangun dengan tubuh basah kuyub karena keringat dingin dan nafas yang masih terengah-engah. Dia bermimpi buruk tentang Embun, anak gadisnya yang baru saja di ketemukannya. Matanya menatap nyalang dinding dengan pandangan kosong sekaligus ngeri."Mas, ada apa? Mas mimpi buruk ya? Sebentar ya Mas, Zahra ambilin air minum dulu."Zahra bergegas menghampiri dispenser dan menuang segelas air dingin kepada suaminya. Zahra juga mengambil sebuah handuk kecil dan berkali-kali menyeka wajah suaminya yang masih saja terus keringat dingin. Suaminya masih terduduk diam diatas ranjang dengan tatapan nyalang. Sepertinya suaminya ini masih belum bisa melupakan mimpi buruknya."Mas mimpi apa sih? Tidak usah terlalu di pikirkan ya Mas. Namanya juga mimpi, bukan kenyataan yang sebenarnya kan? Ayo minum sedikit lagi ya Mas? Nah begitu kan lebih baik."Zahr
Pandan Wangi Aditama Perkasa dengan cekatan mengaduk kopi, sekaligus teh yang sedang di buatnya dalam waktu yang bersamaan. Pagi-pagi seperti ini sudah menjadi tugasnya untuk menghidangkan minuman bagi para staff dan karyawan PT. INTI GRAHA ANUGERAH. Ia telah seminggu bekerja menjadi OG di perusahaan kontruksi ini. Bayangkan saja ia yang seorang fashion designer lulusan Parsons School of Design College New York menjadi OG disini.Kakaknya Putra Lautan Aditama Perkasa, akhir-akhir ini merasa heran karena selalu kalah tender dalam masalah pengajuan budgeting dengan perusahaan ini. Kalau dalam presentasi, perusahaan kakaknya selalu memukau. Para client selalu mengakui kalau semua ide-ide dan inovasi kakaknya luar biasa. Hanya saja apabila sudah di laga dengan masalah budgeting harga yang ditawarkan, perusahaan mereka selalu kalah dengan perusahaan ini. Kakaknya curiga kalau ada orang dalam yang bermain disini. Soalnya angka-angka yang mereka tawarkan hanya selisih tipis sekali d
Revan merasa ada yang aneh saat pagi-pagi para staff nya terus saja memandanginya dengan pandangan yang sedikit ganjil. Tetapi saat ia berbalik memandang mereka, mereka malah terlihat seperti menghindarinya sembari memasang wajah prihatin. Ada apa ini sebenarnya? Entah mengapa pagi ini perasaannya sangat tidak enak. Revan tambah bingung saat ia berjalan kearah meja Ira yang tepat ada di depan ruangannya, semua staff nya malah terlihat bergerombol di depan televisi sambil menunjuk-nunjuk layarnya. Tetapi saat melihat kehadirannya, mereka semua mendadak gugup dan mematikan televisi dengan begitu tiba-tiba, seolah-olah tidak memperbolehkannya melihatnya. Revan tentu saja menjadi semakin penasaran saja."Kalian sedang menonton acara apa pagi-pagi seperti ini? Dan kenapa setelah saya datang kalian malah mematikan televisinya?" Revan bertanya pada staff di front desk nya."Bu—bukan acara apa-apa kok, Pak. Ini cuma acara infotainment pa
Seminggu telah berlalu. Janji Embun untuk selalu mengabarinya ternyata hanya janji-janji belaka. Sejak lambaian tangan istrinya seiring dengan mobilnya yang melaju meninggalkan gumpalan-gumpalan debu, saat itu juga lah komunikasi mereka terputus. Revan sama sekali tidak bisa menghubungi istrinya lagi. Sepertinya ponsel istrinya telah dialihkan atau malah sudah berganti dengan nomor yang baru. Nomor ponsel lamanya sama sekali sudah tidak aktif. Selama seminggu ini Revan sudah seperti orang gila. Dia tidak enak makan dan tidak enak tidur. Pekerjaannya semua kacau balau dan terbengkalai. Kerjanya tiap hari hanyalah memandangi ponsel saja. Berharap benda pipih itu berbunyi dan nama istrinyalah yang tertera di sana. Benaknya bahkan sudah menyusun rencana untuk menjawab sapa istrinya nanti dengan suara sedingin mungkin. Ia ingin agar istrinya itu tahu kalau ia marah, kecewa dan apa pun lah namanya. Yang pasti ia gegana berat. Tetapi bagaimana ia bisa mewujudkan semua rencana-rencananya ka
"Sayang, ngapain sih bawa bajunya banyak-banyak? Kan kamu juga cuma sebentar di sana?" Revan menatap tidak rela saat melihat Embun kembali memasukkan piyama angry bird kesayangannya ke dalam koper."Abang ini bagaimana sih, masa Embun bawa baju cuma lima pasang aja abang bilang banyak? Nih, lihat tas besar eh koper ya ini namanya, aja masih kosong semua. Banyak darimana, Bang? Lho kok handuknya di keluarin lagi? Masa handuknya cuma satu? Nanti Embun nggak punya handuk ganti dong, Bang?"Embun kebingungan saat Revan malah mengeluarkan isi kopernya, sementara dia sudah susah payah menyusunnya."Abang inilah, kalau Embun mau kuliah aja tasnya diisi macem-macem sampai nggak bisa ditutup kayak orang mau pindah rumah. Nah sekarang giliran Embun mau pindah rumah sungguh-sungguh seminggu, eh semua barang-barang yang Embun butuhkan malah nggak boleh dibawa. Abang ini bagaimana sih?"Embun merebut kembal
"Your majesty, please let her go to her husband. After some years you will realise that it is the best decision you have ever made. She already told you that she did not love you. Always remember that everyone tries to get their beloved one but not everyone succeded because everyone has some problems. The real love lies rests in their happiness. Please be brave enough to—"Embun terkesima saat Satria si raja mesum dan sutradara gagal, tiba-tiba saja menghampiri pangeran Rattapoom dan berbicara serius tapi dengan sikap tubuh yang sopan. Ia bahkan membungkukkan sedikit tubuhnya dan terlihat sungguh-sungguh berusaha untuk menggoyahkan niat sang pangeran yang ingin membawanya pergi. Kali ini seringai jahil dan nakalnya sama sekali tidak terlihat. Dia serius."Maaf, anda siapa? Bila anda ingin berbicara dengan pangeran, harap melalui cara yang benar. Bukankah anda sudah tahu peraturannya? Tolong bersikaplah yang so
Di ruang tamu keluarga Aditama Perkasa suasana begitu hening dan dingin. Embun duduk dengan punggung tegak lurus dan kaku. Saat ini semua pandangan terarah hanya pada satu objek, yaitu dirinya. Saat ini papa Al pun ikut di hadirkan diruangan ini oleh Om pak polisi Reinhard. Juga ada pak polisi Badai beserta tiga orang lagi polisi muda yang tidak di kenal oleh Embun.Sementara dari pihak kerajaan Embun mengenali pangeran Poom dan ada lima orang lagi dari pihak kepolisian negaranya. Ada dua orang lagi dari duta besar Thailand untuk Indonesia yang masing-masing di perkenalkan sebagai penerjemah.Embun duduk ditengah-tengah sofa diapit oleh Revan dan papa Al. Bahkan dari jarak sejengkal Embun masih bisa merasakan panasnya suhu tubuh Revan. Kedua tangan suaminya juga agak gemetar. Embun tahu Revan sedang meriang parah. Revan turun dari mobil di papah oleh Satria dan dirinya sendiri. Revan menolak disuruh beristirahat setelah minum obat. Ia
"Abang tidak mengenal perempuan itu... tidak kenal. Tidak tahu. Abang sungguh-sungguh tidak kenal. Sumpah demi apapun. Dia bohong. Tidak kenal... sungguh tidak kenal. Maafkan abang, my country girl. Jangan pergiiiii!!! Tunggu Abang!!! Jangan!!!"Embun dan Satria saling berpandangan. Tubuh Revan panas seperti api. Dia juga terus mengigau dan meminta maaf padanya. Tubuh besarnya terus saja bergerak-gerak dengan gelisah. Kedua sikunya tampak lecet dan berdarah akibat bergesekan dengan aspal sepertinya. Lututnya juga pasti luka, karena celananya dibagian lutut tampak seperti tergesek-gesek. Suaminya itu pasti jatuh bangun mengejarnya saat berlari. Walaupun jarak antara rumah sakit dan rumah papa Al nya tidak begitu jauh, tetapi jika ditempuh dengan cara berlari non stop pasti akan amat sangat melelahkan juga.Dalam keadaan kelelahan dan berkeringat, kembali tubuhnya di guyur hujan deras selama kurang lebih empat jam, suaminya
Ckiiittt!!!Embun yang baru saja turun dari mobil sudah disusul oleh Revan di belakangnya. Rambut Revan tampak basah oleh keringat yang lembab di dahinya. Jasnya sudah dibuka begitu juga dengan dasinya. Kancing kemejanya sudah terlepas dua. Lengan kemeja putihnya juga sudah di naikkan hingga ke siku. Embun melihat ada noda darah di kedua siku Revan. Sepertinya dia tadi terjatuh berkali-kali ke aspal saat berusaha mengejar laju mobil nya."Sayang, dengar dulu penjelasan abang ya? Nanti setelah abang memberi penjelasan baru kamu yang memutuskan masuk akal atau tidak nya cerita perempuan yang bahkan namanya saja Abang tidak tahu. Sayang... sayang abang mohon dengar dulu penjelasan abang. Lima menit saja. Tolong Embun, beri abang kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Revan merentangkan kedua lengannya, mencegah Embun melewati tubuhnya. Dengan ekspresi wajah seakan tidak mendengar ka
"Ayo Pa, pelan-pelan jalannya. Sini Embun pegangin tangan kanannya." Embun membimbing lengan kanan Al sementara lengan kiri Al di bimbing oleh ibu Al, Deasy. Sedangkan istri uniknya, Zahra malah tampak sibuk mengangkat tas travel yang berisi semua pakaian-pakaian kotornya. Sebenarnya tadi Al bersikeras untuk mengangkat tasnya sendiri. Dia tidak tega menyuruh salah satu dari tiga wanita yang paling dicintainya di dunia ini untuk mengangkat- angkat pakaian kotornya. Tetapi seperti biasa istri antiknya ini malah bilang emansipasi wanita itu seyogyanya bukan hanya untuk diambil untungnya saja yang meminta kesetaraan dalam masalah hak. Akan tetapi juga harusnya ada kesetaraan di dalam kewajiban. Hebatkan istri antiknya ini?Al tadi juga menanyakan mengapa Zahra mengalah dan membiarkan Embun dan ibunya lah yang membimbing langkahnya, bukannya dirinya yang nota bene adalah istrinya. Dan lagi-lagi jawaban Zahra membungkamnya. Zahra mengatakan bahwa kesempa