Embun melipat kostum tarinya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam paper bag. Sebenarnya hari ini dia kurang begitu enak badan. Mungkin karena efek kurang tidur dan juga menangis terus semalaman. Embun merasa begitu tidak diinginkan oleh Revan.
"Kok lo cepet banget sih beres-beresnya? Udah mau pulang lo Mbun? Lah terus yang nganterin lo pulang siapa? Pak Revan ya? Tapi Pak Revannya kok nggak kelihatan?" Ibell celingukan kesana kemari mencari sosok Revan.
"Gue pulangnya sama Pak Thohir. Bang Revannya gue malah nggak tahu dia ada dimana sekarang. Dari semalam juga Bang Revannya belum pulang-pulang. Mungkin sedang olah raga enak dengan teman satu malam berdirinya."
Embun menjawab lirih seolah-olah sedang berbicara dengan dirinya sendiri.
Mata Annisa dan Ibell membulat seketika. Embun ini polos-polos tapi kata-katanya dahsyat juga. Langsung tepat sasaran dan tanpa tedeng aling-aling.
"EMBUNNNN!!!"Albert langsung terbangun dengan tubuh basah kuyub karena keringat dingin dan nafas yang masih terengah-engah. Dia bermimpi buruk tentang Embun, anak gadisnya yang baru saja di ketemukannya. Matanya menatap nyalang dinding dengan pandangan kosong sekaligus ngeri."Mas, ada apa? Mas mimpi buruk ya? Sebentar ya Mas, Zahra ambilin air minum dulu."Zahra bergegas menghampiri dispenser dan menuang segelas air dingin kepada suaminya. Zahra juga mengambil sebuah handuk kecil dan berkali-kali menyeka wajah suaminya yang masih saja terus keringat dingin. Suaminya masih terduduk diam diatas ranjang dengan tatapan nyalang. Sepertinya suaminya ini masih belum bisa melupakan mimpi buruknya."Mas mimpi apa sih? Tidak usah terlalu di pikirkan ya Mas. Namanya juga mimpi, bukan kenyataan yang sebenarnya kan? Ayo minum sedikit lagi ya Mas? Nah begitu kan lebih baik."Zahr
"Hallo Embun Pagi, lagi sakit ya Nak? Pantesan dari tadi pagi Om telepon-telepon tapi ponsel kamu tidak aktif terus, kamu sakit apa sih, Nak?"Albert yang sedari jam tujuh pagi sibuk menghubungi ponsel Embun yang ternyata dalam keadaan tidak aktif, akhirnya memutuskan untuk menelepon Gilang. Dan dari Gilang jugalah Albert akhirnya tahu kalau putrinya ternyata sedang dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama dengan Gilang. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Albert segera berinisiatif untuk menjenguk Gilang sekaligus juga melihat keadaan putrinya yang sebenarnya adalah memang merupakan tujuan utamanya."Eh Om Albert dan Bu Zahra. Apa kabar Om, Bu?" Embun menyalim tangan Al dan Zahra sambil berusaha untuk bangkit dari posisi berbaringnya. Kepalanya seketika terasa berputar karena gerakannya yang bangkit secara tiba-tiba. Embun meringis sambil mengernyitkan dahinya akibat rasa pusing yang mulai menderanya."Eh
"Iya menantu bangkotan kurang ajar, saya ini mertua kamu. Makanya saya akan siap mencincang kamu menjadi potongan-potongan kecil kalau kamu masih saja terus menyiksa putri saya. Mengerti kamu!!"Badai dan Reinhard meringis ngilu mendengar kalau Al akan mencincang Revan kalau dia terus saja menyakiti Embun. Mantan bajingan itu lebih serem kalau anak, istri dan keluarganya di sakiti dari pada diri mereka sendiri. Sebajingan-bajingannya seorang laki-laki mereka pasti akan mati-matian siap berkorban jiwa raga untuk kebahagian anak istri mereka. Mereka akan ganas diluar tapi pasti akan selembut dan sejinak kucing anggora kalau sudah berada di dalam tengah-tengah keluarganya."Satu hal lagi, dia itu cucu raja, bisa di penggal batang leher kamu di Siam sana jalau kamu masih saja macam-macam pada cucu raja. Embun itu anak putri raja Siam dengan taipan Indonesia, sial amat dia mendapatkan suami bangkotan tukang ONS yang benihnya sudah bercecera
Embun terdiam. Jika Revan mengetahui semua gerak geriknya dikampus berarti hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, Revan tidak pulang ke rumah setelah mengantarnya ke kampus, atau Revan memang menyuruh orang untuk memata-matainya. Dan dua kemungkinan itu sama-sama tidak disukainya, karena itu sama saja artinya kalau suaminya itu sama sekali tidak mempercayainya."Kenapa kamu diam, istriku? Apa perlu Abang mengulangi kembali pertanyaan Abang karena kamu gagal fokus akibat memikirkan bagaimana caranya membohongi Abang?"Revan melirik wajah Embun di sela-sela gerakan tangannya yang dengan lincah mengemudikan stir mobil."Kalau abang memang merasa sudah tahu, untuk apa lagi nanya-nanya sama Embun. Kan cuma buang-buang nafas percuma aja, Bang.""Bukan itu jawaban yang abang inginkan Embun."Embun menarik nafas panjang sejenak sebelum menjawab lirih."
"Om, kenapa sih Om ngakuin Embun itu anak Om? Padahal kan bukan?" Embun yang sedang makan siang disebuah mall kepunyaan Albert mulai menyuarakan keingintahuannya yang sudah berada diujung lidahnya sedari tadi. Bukannya dia tidak senang diakui sebagai seorang anak, tetapi rasanya itu seperti membohongi diri sendiri, karena merasa senang atas kebohongan yang kita sendiri tahu pasti kebenarannya."Kenapa? Tidak senang kalau punya ayah seperti Om?""Bukan Om. Embun hanya penasaran saja. Kalau Embun punya ayah kayak Om ya senang banget lah. Udah lah baik, ganteng banget, kaya, harum lagi. Apa lagi yang kurang coba?" Embun tersenyum sambil nyengir. Bahasa tubuh Embun yang seperti inilah adalah warisan dari Piphim. Saat Piphim tertawa atau bercanda ekspresinya memang persis seperti Embun, tidak tertebak maksud dan tujuannya. Bisa saja dia memuji akan tetapi bisa juga dia mengejek."Om sengaja bilang begitu supaya mereka s
"Jadi lo yang namanya Embun Pagi, istrinya Revan?" Embun yang baru saja duduk di kursinya menatap seorang wanita cantik yang tubuhnya begitu kurus, akan tetapi juga amat sangat tinggi itu.Embun yang masih dalam posisi duduk sampai harus mendongakkan kepalanya keatas hanya demi untuk bisa melihat wajah sang empunya suara. Keriuhan yang tadinya terdengar dari dalam kelasnya mendadak hening. Semua penghuni kelasnya terlihat sedang memfokuskan pandangan mereka pada dua orang yang sama-sama cantik namun terlihat sangat berbeda dalam postur tubuh maupun bahasa tubuh mereka."Mbak siapa? Astaga mbak makan apa sih sampai bisa tumbuh setinggi itu? Apa mbak suka makan rebung ya sampai mbak bisa tumbuh setinggi pohon bambu begini?"Embun masih begitu takjub memandangi sang wanita cantik yang menurut Embun kakinya bahkan sampai menyerupai sepasang tusuk gigi saking kurusnya. Embun sungguh terpana melihatnya.
"MUNDUR!!! Saya mau kalian semua mundur sekarang atau akan saya lubangi kepala gadis ini. Silahkan pilih!!"Embun merasakan kuatnya pitingan lengan kanan penyanderanya ini membuat nafas nya mulai tersangkut-sangkut karena berusaha meraih udara. Mungkin karena saking tegangnya suasana, sang penyandera tidak menyadari kalau tawanannya sudah megap-megap kehabisan udara.Embun melihat Revan dan papa Al nya terlihat begitu cemas dan terus saja memandangi wajahnya. Embun tahu mereka sebenarnya ingin sekali menolongnya tetapi belum menemukan caranya. Mereka semua pasti takut kalau sembarangan bertindak malah akan semakin membahayakan nyawanya.Embun merasa nafasnya semakin sesak saja saat dirinya digeret dengan cara terus saja di tarik mundur kebelakang melalui pitingan lengan penyanderanya. Jarak antara sang penyandera dengan mobil para komplotannya semakin dekat.Embun tahu
"Seharusnya pertanyaan itu saya yang mengajukannya pada Anda, pak polisi. Buat apa ada kalian semua berikut jajarannya di NKRI tercinta ini kalau kalian tidak bisa menghandle segala tindak kejahatan negeri ini bukan?Saya dan Om Al kan cuma warga sipil biasa. Oleh karena itu sudah seharusnya kami anda lindungi dengan segenap jiwa raga sesuai dengan tugas dan tanggung jawab anda sebagai seorang pengayom masyarakat."Revan mulai mencoba membalikkan kata-kata sarkas Reinhard. Reinhard ini ternyata mulutnya sebelas dua belas juga dengan Albert. Sama-sama tajem dan pedes mulutnya."Kami para polisi bukan Tuhan, Revan. Tidak segala hal bisa kami tangani dengan hasil akhir yang sempurna. Polisi yang seperti itu hanya ada di film-film saja. Satu yang pasti, kami akan selalu mengupayakan yang terbaik dan berusaha meminimalisir jatuhnya korban lebih banyak dari yang seharusnya. Mengenai hasil akhirnya, biarlah Tuhan yang bekerja. Se