Kuliah baru saja usai. Embun tengah berbincang-bincang dengan Ibell sebelum Revan menjemputnya. Saat ini ia duduk disamping Ibell. Satu-satunya temannya di kampus. Ibell ini pintar dan lucu. Embun senang mengobrol dengannya.
"Hah? Jadi kamu tuh sudah menikah dengan, Pak Revan? Kok bisa? Soalnya Pak Revan itu 'kan baru aja memutuskan pertunangan dengan Luna Brata Kesuma, sepupu saya. Dia juga bilang tidak akan mau jatuh cinta lagi karena semua perempuan itu sama saja katanya. Capek-capek diperjuangin setengah hidup, eh milihnya malah orang lain."
Setelah mengucapkan kata-kata itu Ibell jadi kepengen menggigit lidahnya sendiri. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu pada Embun. Emang dasar lidah tidak bertulang!
Embun tertegun saat tahu bahwa Revan dulu pernah bertunangan dengan seorang wanita. Tapi kenapa suaminya itu memutuskan pertunangan ya? Embun sangat penasaran sekali. Ah pasti karena Revan harus menika
Embun memperhatikan interaksi Revan, Arkan dan Ibell dalam diam. Tampak jelas dosennya begitu cemburu saat suaminya menggoda Ibell dalam beberapa kalimat bersayap. Bahkan yang terakhir malah terdengar begitu ambigu. Tidak bisa dipungkiri ada rasa tercubit di hati saat menyadari bahwa suaminya dulu memiliki perasaan yang begitu besar pada wanita lain. Walau dia tahu bahwa itu semua adalah masa lalu. Tetapi kurun waktu empat bulan itu cukup dekat bukan? Cuma 120 hari. Apakah hati suaminya itu sudah benar-benar bisa melupakan Ibell? Entah mengapa Embun kok rasanya kurang yakin.Sampai hari ini Embun tidak tahu apa itu rasa cemburu. Kalau arti cemburu sih, tentu saja dia tahu. Kata Pak Rahman cemburu adalah suatu perasaan tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan lain sebagainya. Bahkan sirik dan dengki pun masuk ke dalam kategorinya.Pada waktu itu Embun merasa sedikit heran mengapa ada orang yang tidak senang melihat keba
"Kamu pakai saja ini baju Tante Zahra. Sementara pakaian kamu dilaundry si bibik ya, Mbun? Kayaknya pas deh kamu pakai. Ini handuknya kalau kamu mau mandi. Om tunggu di depan ya? Kalau ada apa-apa teriak saja. Om pasti dengar."Embun yang tenagah duduk melamun di ruang tamu dengan pakaian yang basah kuyub, menerima pakaian dan handuk yang di berikan Om Albert dengan penuh rasa terima kasih. Ia memang sangat kedinginan sekali saat ini."Terima kasih ya, Om? Saya mandi dulu. Om tahu tidak selain bepak dan Bang Dewa, Om adalah orang paling baik di luar hubungan keluarga yang saya kenal. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak ya, Om?"Embun merangkapkan kedua tangannya ke dada. Mengucapkan rasa terima kasih dengan takzim dan penuh rasa hormat."Orang baik? Hahhaha. Setidaknya ada lima ratusan karyawan Om yang akan tertawa ngakak sambil guling-guling, saat mendengar kamu mengat
"Nggak masalah, Om. Saya akan tetap berusaha menjadi pion. Pion walaupun paling kecil tapi langkahnya tidak pernah mundur, dia akan maju terus."Revan membalas. Saat ini dia berusaha cooling down dulu agar otak cerdasnya jalan lagi. Menghadapi Om dingin-dingin menggigit begini harus pake otak dan main tak tik. Karena Bara tadi sudah merasakan bagaimana akibatnya kalau memakai otot. Tidak ada gunanya sama sekali alias tidak worth it."Tapi raja bisa mati dengan bidak apapun dari lawan. Tidak peduli itu pion ataupun yang lainnya."Albert mulai tersenyum. Inilah saat yang dia tunggu-tunggu. Perang urat syaraf dan argumen yang menguras pikiran serta emosi. Laki-laki muda di hadapannya ini terkenal mumpuni dalam hal memutar balikkan kata dan fakta. Bahkan beberapa kali perusahaannya harus menelan kekalahan akibat dari jagonya cara berdiplomasi anak si Gilang ini.Dia ingin melihat, sampa
"Apa maksud Anda, Pak Polisi? Dan siapa itu Pimchanok?"Revan langsung berdiri saat seorang polisi berwajah mirip Albert menyebutkan satu nama aneh sambil menatap Embun dengan wajah terkesima. Radar alarm berbahaya seketika berdering keras di kepalanya. Ada sesuatu yang tidak beres di sini."Saya BrigjenPol Reinhard Ratulangi, sepupu dari Albert Tjandrawinata. Eh itu ada semut di rambut Anda!"Reinhard dengan sigap menarik beberapa helai rambut hitam Embun dan dengan gerakan cepat mengantonginya dengan cara yang begitu santai dan luwes."Aduduhhhh!"Bapak hebat sekali ya? Rambut saya hitam. Semut juga hitam. Kecil banget lagi. Tapi Pak Polisi kok bisa nampak ya? Tapi lebih elok tadi nggak usah dibuang semutnya. Lebih sakit di tarik rambutnya daripada digigit semutnya. Lagi pula semut 'kan juga tidak bisa menggigit rambut."Embun meringis kes
"Eh polisi kampret, kok lo tadi tiba-tiba ngejambak rambut si Embun? Heran bener perwira polisi kelakuan kayak anak SD."Albert mulai menguliahi Reinhard yang bertindak aneh, karena tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba saja menjambak rambut Embun."Gue sengaja mengambil beberapa helai rambutnya untuk test DNA, Dodol! Siniin amplop kosong satu. Mau gue masukin contoh sampel rambut si Embun.""Oh," sahut pendek. Ia kemudian membuka laci meja bagian bawah. Mengeluarkan satu amplop putih dan menyerahkannya pada Reinhard. Reinhard langsung memasukkan beberapa helai sampel rambut Embun yang di tariknya tadi."Ya tapi nggak pake di jambak begitu juga kali, Rein. 'Kan sakit. Kasian." Omel Albert. Entah mengapa setiap orang yang membuat Embun tidak nyaman, Albert merasa sangat tidak suka. Ada perasaan ingin melindungi yang muncul begitu saja dari dalam dirinya."Jadi gue
"Belajar yang rajin. Jangan nakal, jangan memandang lawan jenis terlalu lama, jangan ke kantin atau pun ke perpustakaan sendirian. Satu hal lagi, jangan pernah menginjakkan kaki kamu ke Himpunan, jikalau tidak ada keperluan di sana. Janji dulu sama Abang, my country girl."Embun menganggukkan kepalanya.Revan rasanya sangat berat untuk meninggalkan Embun kuliah. Apalagi kampus ini terkenal dengan para predator dengan kualitas di atas rata-rata semua. Revan tidak tenang rasanya meninggalkan Embun ditengah tatapan penuh minat mereka."Ayo, Mbun. Abang antar ke kelasmu." Revan bersiap-siap turun dan mulai mematikan kunci mobil. Ia kemudian menarik rem tangan dan tuas pada posisi parking."Nggak usah dianter, Bang. Embun udah tau kok letak kelas Embun itu di mana. Jadi nggak bakalan nyasar. Percaya deh sama Embun, Bang."Embun tidak enak kalau diantar Revan sampai ke kelas. Mana bawaan
"Lho Anda sudah ada di sini rupanya, Pak Rangkayo Depati?"Radja Girsang heran saat melihat tamunya malah sudah datang duluan ke Himpunan, bahkan sebelum dia sebagai sang tuan rumah mengundangnya. Dia memang mengundang pengusaha muda ini untuk memberikan motivasi kepada para anak didiknya sekaligus membantu proyek amal Rangkayo Depati."Iya, kebetulan saya tadi mengantarkan kostum adik saya yang masih tertinggal di kampung dulu. Jadi saya singgah terlebih dahulu ke sini, sebelum ke kantor Pak Radja. Saya minta maaf kalau itu menyalahi aturan," timpal Anak Dewa sopan."Ah tidak jadi masalah itu, Pak Rangkayo. Jadi Embun itu adik Pak Rangkayo ya?" Radja masih penasaran melihat kedekatan tamu istimewanya itu dengan menantu Gilang."Embun itu sedari kecil sudah diasuh oleh kedua orang tua saya. Baru-baru ini saja dia pindah ke ibukota karena ehm menikah. Dan ya, saya juga baru sempat kali ini mengu
"Terima kasih sudah menyelamatkan istri saya ya, Om? Saya tidak ta-"BUGH! BUGH!"Kamu pikir dengan meminta maaf saja semua persoalan sudah selesai?" Albert menggeram. Menantu tidak tahu dirinya ini selalu saja muncul belakangan. Dasar tidak berguna!"Ke mana saja kamu, sampai istrimu berlindung di halte bobrok malam-malam begini? Kalau pun bukan tiga bajingan ini yang merusak istrimu, pasti ada bajingan- bajingan lain yang akan mengusiknya. Saya tidak akan pernah rela melepas anak perempuan saya ke tangan laki-laki yang tidak bertanggung jawab seperti kamu. Karena seseorang yang tidak bisa bertanggung jawab atas kata-katanya sendiri, tidak akan bisa bertanggung jawab atas diri orang lain. Camkan itu!" Albert mendadak ingin menggigit lidahnya sendiri. Ia kelepasan."Anak perempuan?" Revan dan Embun bertanya secara bersamaan."Maksudnya si Om, dia itu sudah menganggap Embun sepert