Seluruh klan Aditama Perkasa beserta segenap jajaran karyawan dan karyawati perusahaan P.T Aditama Group, berkumpul di salah satu hotel mewah milik keluarga besar Aditama Group Tbk.
Malam ini, selaku Komisaris dan pemilik perusahaan, Gilang Aditama Perkasa ingin memperkenalkan secara resmi menantunya pada seluruh keluarga besar dan segenap jajaran penting dalam perusahaannya.
Dia ingin mereka semua tahu bahwa saat ini Revan telah beristri. Hanya masalah resepsi pernikahanlah yang Gilang masih agak ragu. Dia tahu kalau baik Revan maupun Embun, mereka berdua belum sampai pada taraf saling mencintai. Apabila dia memaksakan diri untuk mengadakan resepsi besar-besaran, di khawatirkan Anak Dewa akan mengetahui keberadaan Embun.
Yang Gilang takutkan adalah goyahnya hati Embun akibat cinta masa lalunya telah kembali. Bagaimanapun mereka berdua telah berhubungan sedari kecil. Tentu tidak mudah untuk membuang rasa cinta itu begitu saja. Khususnya bagi Anak Dewa. Gilang yakin, pasti laki-laki itu akan berjuang sekuat tenaga untuk merebut kembali kekasihnya dari tangan Revan. Gilang cukup mengenal bagaimana sifat dan pribadi seorang Rangkayo Depati.
Gilang sama sekali tidak tahu kalau Rangkayo Depati yang educated dan begitu santun tindak tanduknya, adalah anak seorang kepala suku atau Temenggung Suku Anak Dalam. Dengan nama panggilan khusus Anak Dewa dalam kesukuannya di Bukit Dua Belas sana.
Rangkayo Depati yang dia kenal adalah sosok pemuda pekerja keras, yang berhasil menjadi salah satu pengusaha perkebunan kelapa sawit dalam waktu relatif singkat.
Sifatnya yang sangat humble dengan tutur kata yang sangat lembut mengalun, ternyata sangat berbanding terbalik dengan asal usul kesukuannya yang primitif dan terkebelakang.
Gilang berharap dengan diperkenalkannya Embun pada seluruh keluarga besarnya dan juga segenap jajaran dalam perusahaannya, akan membawa perubahan dalam hidup Revan yang terkenal tidak suka berkomitmen dan gemar bermain perempuan. Gilang ingin mereka semua mulai mundur teratur begitu mengetahui bahwa Revan telah beristri.
Sementara itu Embun yang sudah didandani bagaikan seorang ratu melalui sentuhan ajaib tangan para make up artis, takjub melihat perubahan pada dirinya sendiri. Dia tampak cantik dan... modern. Ia terlihat bukan seperti dirinya sendiri. Embun sadar kali ini dia akan membawa nama besar Aditama di belakang namanya. Dia harus bertingkah laku anggun, terpelajar dan modern. Dia tidak ingin mempermalukan nama baik suami dan kedua mertuanya.
Embun tahu, lebih dari separuh klan keluarga besar suaminya yang hadir di sini tidak menyukainya. Bahkan mereka secara terang-terangan memandangnya dengan raut wajah yang sangat menyepelekan. Seolah-olah dia itu berasal dari planet yang lain.
Embun sadar itu adalah suatu hal yang wajar mengingat siapa laki-laki yang dinikahinya. Dia hanya berusaha bersikap wajar dan sabar, serta tidak mudah terprovokasi oleh sikap-sikap negatif, yang sejak tadi terang-terangan mereka perlihatkan. Dia ingin mereka tahu, bahwa Suku Anak Dalam seperti dirinya pun mampu bersikap penuh martabat dan beradab. Saat ini mereka semua tengah berdiri di atas podium. Suaminya sedang memberi kata sambutkan kepada seluruh orang yang hadir di perhelatan ini. Embun dan kedua mertuanya juga ikut berdiri di belakang Revan. Menunggu di perkenalkan.
"Kepada para keluarga besar, para staff dan karyawan karyawati sekalian. Malam ini saya sengaja mengumpulkan kita semua disini dalam rangka untuk memperkenalkan istri saya, Embun Pagi Aditama Perkasa.
Mulai hari ini apabila Anda semua kebetulan bertemu atau berpapasan jalan dengan istri saya di mana pun dan kapanpun, anda-anda semua dapat menegurnya sebagai bagian dari keluarga besar Aditama Group. Karena istri saya sudah termasuk sebagai salah satu orang yang berperan penting dalam hidup saya mulai sekarang. Dengan kata lain, kalian bisa mengompakinya jika kalian ingin minta kenaikan gaji pada saya. Anda mengerti maksud saya bukan?" Revan dengan jenaka mengedipkan sebelah matanya.
Semua hadirin tertawa terutama para staff dan jajaran penting dalam Aditama Group. Revan memperkenalkan istrinya dengan cara yang santai dan penuh humor. Sehingga membuat orang yang mendengarnya terhibur tanpa mengurangi rasa hormat mereka terhadapnya sebagai seorang pimpinan tertinggi Aditama Group. Revan memang jago dan mumpuni dalam soal olah mengolah kata-kata.
"Seperti yang telah kalian ketahui bersama, selama ini saya belum pernah mempunyai seorang istri ataupun detektif pribadi. Tetapi mulai beberapa hari ini, saya bahkan memiliki keduanya sekaligus. Dan kedua jabatan itu diemban oleh istri saya tercinta. Sayang, berdirilah dan katakan sesuatu pada tamu-tamu kita. Sepertinya mereka sudah muak karena sedari tadi terus saja mendengarkan kata-kata saya."
Revan tertawa diiringi oleh tepuk tangan dan sorak sorai seluruh tamu undangan. Embun melangkahkan kakinya ke depan, dan menurunkan pengeras suara agar sesuai dengan tinggi badannya.
"Selamat malam para hadirin sekalian. Kenalkan nama saya adalah Embun Pagi Aditama Perkasa. Saya khawatir bahwa suami saya yang malang ini, tidak tahu bahwa setiap wanita yang sudah menjadi istri maka dengan sendirinya mereka akan menjadi detektif pribadi. Maksud saya detektif pribadi yang akan terus menelepon dan mengecek kehadirannya apabila dia terlambat pulang ke rumah. Sebagai detektif pribadi, saya hanya takut kalau suami saya lupa jalan pulang dan malah berakhir di rumah seseorang yang lain. Saya yakin para wanita yang sudah bersuami mengerti dengan baik apa maksud saya bukan?"
Para wanita yang ada di sana terlihat tertawa keras dengan tatapan aku tahu apa maksudmu dan mulai bertepuk tangan keras.
Mereka menyukai cara Revan dan Embun dalam memperkenalkan diri. Tampak santai dan penuh dengan rasa keakraban dengan seluruh staff dan keluarga besarnya.
Walaupun Embun dapat melihat dengan jelas, sebagian dari mereka tertawa karena terpaksa. Tetapi itu bukan urusannya. Yang terpenting adalah dia harus bisa membuat kedua mertuanya bangga akan dirinya. Baginya cukup itu saja.
===================
Setelah acara perkenalan selesai, saat ini acara telah berganti menjadi acara makan malam bersama. Saat ini Embun sedang makan malam dengan para kerabat dekat kedua mertuanya. Mereka semua beralasan ingin mengenal Embun lebih dekat katanya. Oleh karena itu Embun dengan senang hati menerimanya. Kedua mertuanya dan Revan tidak ikut makan. Mereka saat ini sedang menemui beberapa kerabat dan teman lamanya. Moment kumpul keluarga seperti ini sangat tepat untuk saling berbincang-bincang dan bertukar kabar.
"Katanya kamu ini anak kepala suku yang paling primitif dan terkebelakang di negeri ini ya? Kalau saya boleh tahu bagaimana sih kehidupan di dalam rimba belantara sana? Apakah di sana sudah mengenal rasa malu mengingat maaf, ya cara berpakaian mereka yang sangat minim."
Margaretha, salah satu sepupu jauh suaminya yang sedari tadi terlihat begitu manja dan terus menggelendoti suaminya seperti seekor anak kera mulai menyerang kesukuannya.
Semua orang yang ada duduk di meja makan meja besar dengan kapasitas dua puluh empat orang itu, menatapnyai dengan beragam ekspresi.
Ada yang mengejek, menghina dan ada yang terlihat kasihan juga. Embun meletakkan sendok dan garpunya. Menarik nafas panjang sejenak sebelum akhirnya menjawab tenang."Kalau disebut sebagai salah satu suku yang paling terkebelakang itu mungkin saja, mengingat suku kami itu hidup jauh di pedalaman sana. Hidup mengisolasi diri dan amat sangat jarang berinteraksi dengan orang-orang lain di luar suku kami. Mereka sama sekali tidak tersentuh oleh kehidupan modern seperti yang dinikmati oleh Mbak Retha dan semua orang-orang modern yang ada di sini.
Tetapi mengenai rasa malu dan sikap tidak beradab, saya dengan amat sangat yakin berani menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang amat sangat mengenal rasa malu versi orang rimba."
"Bagaimana mereka bisa mengenal rasa malu, kalau mereka semua nyaris telanjang dan hanya menutupi kemaluan mereka seadanya saja? Kalau mau membela kaummu sendiri, harus sesuai fakta dong. Kalau dalam dunia kami itu disebut dengan bukti. Bukan cuma asal ngomong saja. "
Kali ini Clarita, yang tadi diperkenalkan sebagai anak Bapak dan Ibu Prambudi, sahabat baik keluarga Aditama yang mulai menyerangnya. Embun lagi-lagi menarik napas panjang sebelum berupaya menjawab dengan sebenar-benarnya.
"Suku kami lebih berpatokan pada pemikiran daripada hanya sekedar pakaian. Walaupun cara berpakaian kami begitu minim, tetapi tidak pernah ada yang namanya pemaksaan atau pun pemerkosaan di sana. Tidak seperti dunia modern yang sering saya lihat di televisi. Perempuan yang berpakaian tertutup sampai ke lehernya pun masih saja menjadi korban perkosaan. Siapa yang lebih tidak beradab di sini?"
Semua orang yang ada di meja makan terdiam. Mereka tidak menyangka gadis primitif ini begitu pintar mengolah kata dan meyakinkan lawan bicaranya. Gadis ini cerdas!
"Di kampung kami bahkan tidak dibolehkan berpacaran. Jika saling suka, mereka akan langsung melamar dan menikah. Tidak seperti dunia modern yang bahkan bisa melakukan hubungan seksual dengan siapa saja tanpa adanya ikatan pernikahan. Malah seks itu diperjual belikan seperti barang dagangan. Siapa yang lebih tidak beradab sekarang?"
Lagi-lagi kata-kata Embun menohok orang-orang tadi meragukan kecerdasannya.
"Setelah pasangan itu menikah dan memiliki seorang anak laki-laki ataupun anak perempuan yang berusia di bawah delapan tahun, bepak akan membangun satu rumah di tano untuk anak tersebut tidur dengan induknya. Dan bepak akan tidur sendiri. Dan apabila induknya kemudian melahirkan seorang anak lagi, maka bepak akan mendirikan satu lagi rumah di tano lagi untuk anak itu. Setelah anak-anak mereka berumur diatas delapan tahun, mereka masing-masing akan mendapatkan rumah di tano.
Alasan Orang Rimba memisahkan rumah antara anak laki-laki dan perempuan yang telah berumur lebih dari 8 tahun adalah karena rasa malu. Malu karena Orang Rimba menganggap anak-anak mereka sudah cukup dewasa dan tidak seharusnya tidur dalam satu rumah lagi. Bagian mana lagi dari suku kami yang tidak mempunyai budaya malu, Mbak Clarisa?"
Embun menjelaskan dengan runut dan lembut cara hidup kesukuan mereka. Di sudut pilar Revan tersenyum mengamati. Tadinya dia ingin membela istri primitifnya itu dari serangan kanan kiri keluarga besarnya. Tetapi ternyata gadis kampungnya dengan gagah berani dan hanya seorang diri, bisa membela dirinya sendiri. That's my country girl!
"Tetapi tetap saja, kamu sama sekali tidak sederajat dan tidak sesuai untuk menjadi istri seorang Revan Aditama Perkasa, hei gadis suku pedalaman primitif!"
Kali ini Ibu Hasnidar, tante Revan yang meneriakinya dari ujung meja. Dia tampak begitu jijik saat melihat wajah dan penampilan Embun yang tampak begitu elegan dan modern.
"Sampah sekalipun sudah dihiasi dengan setumpuk mutiara dan disirami dengan air bunga, tetap saja tidak berguna dan mengeluarkan bau busuk juga. Dari dasarnya sampah ya tetap sampah!"
Hujatnya dengar mata yang dibaluri dengan segenap kebencian. Embun menarik nafas dua kali sebelum menyahuti ucapan tante Revan itu.
"Sampah di kampung saya sudah bisa diurai untuk pupuk kandang dan sebagian bisa dibuat menjadi bahan kerajinan tangan. Sampah akan berguna bila ada di tangan orang yang benar. Lagi pula Revan sendiri saja tidak keberatan beristrikan seorang Suku Anak Dalam seperti saya. Kenapa malah Anda-Anda semua yang ribut bukan alang kepalang?" Embun bertanya dengan nada yang lembut tetapi begitu menusuk.
"Itu karena dia kamu guna-guna gadis primitif, sialan?"
"Mbak Cla lupa, kan tadi Mbak mengatakan bahwa manusia modern seperti Mbak Cla ini selalu berbicara sesuai dengan fakta dan bukti. Apa Mbak Cla bisa membuktikan kalau saya sudah mengguna-gunai Bang Revan. Bisa mbak?"
Embun mencondongkan arah duduknya kearah Clarita. Sesungguhnya dia marah karena mereka terus saja menyerang dan menjadikan sukunya bulan-bulanan objek pelengkap penderita. Tetapi dia sadar, dia sedang membawa nama Aditama disini. Dia harus mampu untuk mengendalikan dirinya sendiri.
"Sudah cukup! Mari kita sederhanakan saja kesimpulan dari semua pertanyaan-pertanyaan ini. Kalian cemburu kan karena saya lebih memilih Embun Pagi sebagai istri saya daripada kalian semua? Ingin mengatakan hal begitu saja sampai harus membuat istri saya menjelaskan panjang lebar tentang kehidupan kesukuannya. Dasar kalian semua ini manusia yang tidak beradab."
Revan menutup dengan manis sesi tanya jawab unfaedah dari para keluarga besar dan client penting ayahnya itu. Revan kemudian menghela lengan kanan Embun dan mengajaknya menikmati suasana hotel. Ketika mereka tiba di lobby, Revan mengajak Embun untuk sekedar duduk santai di sana, dan ia pun menyusul duduk di sebelahnya.
"Kamu tidak ingin mengucapkan sepatah dua patah kata kepada Abang sebagai ucapan terima kasih atas tindakan Abang membela kamu tadi, country girl? "
Revan mencoba menampilkan wajah cool untuk mendengarkan pernyataan ucapan terima kasih dari istri kecilnya ini.
"Tindakan Abang membela saya? Pada bagian yang mana ucapan Abang yang membela saya? Apa pada bagian mereka cemburu karena Abang lebih memilih saya daripada mereka? Saya rasa itu bukan tindakan Abang untuk membela saya. Tetapi tindakan Abang membela diri Abang sendiri, karena merasa begitu hebat bisa dicintai oleh banyak orang. Iya kan Bang?"
"Kampret!" Revan memaki pelan.
"Mana kampretnya, Bang? Di gedung semewah ini ternyata masih bisa ada kampretnya juga ya, Bang? Macam di hutan saja ya Bang? Aneh!"
Kepala mungil Embun pun mulai celingukan mencari-cari kampret yang tadi dikatakan oleh Revan. Ingin kuberkata kasar, batin Revan. Tetapi dia mana mungkin tega untuk mengasarinya. Kan dia sekarang sudah mulai cinta, eh ngomong apa gue ini, bathin Revan.
"Abang belum makan dengan layak dari dari tadi country girl, temani Abang makan dulu ya?"
Revan meraih jari kelingking Embun dan mengaitkannya pada jari kelingkingnya sendiri. Menggandengnya hanya melalui kaitan jari.
"Bukannya tadi Abang sudah lebih dulu makan dengan beberapa teman pengusaha abang, saya lihat?"
"Ck lain dong. Tadi makannya kan makan ala masih lajang. Semua makanan Abang yang ambil sendiri. Minuman juga yang menyediakan pelayan. Abang merasa belum sah makan kalau tidak dilayani istri. Di rumah juga kan biasanya kamu yang melayani. Sekarang Abang mau makan ala pria beristri. Percuma dong sudah punya istri tapi makannya masih sendiri juga?
Kamu tahu country girl, menurut Hadis Rasullullah SAW, dari Mu'adz ra, Nabi SAW bersabda, sekiranya seorang istri
mengetahui betapa besar kewajibannya kepada suaminya, niscaya iatidak akan mau duduk selama suaminya makan siang dan malamhingga selesai. Itu menurut HR. Thabarani.Kalau kamu bertanya apakah kami para suami itu kekanak-kanakan? Maka hal itu bisa dikatakan benar. Di satu Disatu sisi suami dituntut untuk tegar, perkasa dan menjadi pengayom, tetapi di sisi lain justru suami menyimpan
sifat kekanak-kanakan. Jadi bila suami makan, maka istri hendaknya menemani suami sampai selesai dikarenakan itu memang suatu kewajibannya terhadap suami. Itulah arti kehidupan berumah tangga bagi kami para orang yang sudah beragama dan modern. Jelas country girl?" Jelas Revan panjang lebar."Kalau bagi kami para orang rimba, kata-kata Abang itu hanyalah pemborosan nafas sia-sia kalau hanya minta ditemani makan. Astaga Bang... Bang, cuma minta di temani makan saja pakai bawa-bawa hadist segala."
Embun menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah-olah sedang mengejek keabsurdan Revan. Revan dengan gemas menjentik pelan kening mulus Embun sebelum ada satu suara menyapa istrinya dengan suara dalam dan sarat akan kerinduan.
"Apa kabar Embun Pagiku? Akhirnya Abang bisa juga menemukan kamu." Embun terpaku mendengar suara ini.
"Bederai hujan di rimbo,
Tibo di padi bederai jangan,Becerai kito di muko,Namun di hati becerai jangan.Atap di ambek bedesau desau,
jangan lupo mengambek tali,biak lah badan jauh di rantau,Tetapi hati tetap di sini.""Abang Anak Dewa!" Embun berseru separuh kaget dan separuh terpesona. Abang Dewanya telah menjelma menjadi manusia modern. Dia bahkan sudah mengenakan baju pengusaha sekarang. Abang Dewanya sudah kembali!
"Jangan berani-berani bergerak ke arahnya walau selangkah pun, istriku!"
"Seberapo rimbun kayu di Jambi,Rimbunlah jugo kayu di Tungkal,seberapo rindu Abang nak pegiRindulah jugo kami nak tinggal."Embun membalas pantun Anak Dewa dengan mata berkaca-kaca. Tetapi dia memang sama sekali tidak berani untuk melangkah kearah Anak Dewa. Bagaimanapun Revan itu adalah suaminya dan dia harus mematuhi kata-kata dan larangan suaminya."Berbahasa Indonesia yang baik dan benarlah wahai istriku. Sehingga kami semua yang ada di sini tidak salah kaprah dalam mengartikan setiap kata-katamu."Revan mulai gerah karena merasa daerah teritorinya sudah ada yang berani mencoba- mencoba untuk menginvansi. Dia merasa sudah perlu untuk menarik garis batas teritori.Lobby mulai ramai oleh orang-orang yang penasaran dengan suara-suara bernada tinggi Revan. Sepertinya mereka tertarik untuk melihat kelanjutan perseteruan yang mulai memanas.
"Bang, Saya minta izin untuk berbicara secara pribadi berdua saja dengan Bang Dewa, boleh?"Embun memindai Revan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya Revan marah. Tetapi dia memang harus menjelaskan tentang status hubungannya dengan Revan pada Anak Dewa. Sekaligus juga memperbaiki hubungan dengan status baru di antara dirinya dan Anak Dewa sekarang."Anda ini seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan saja. Ingatlah, Bung. Jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Karena takutnya ia nya malah mati atau hancur, karena tidak diberi celah sama sekali untuk bernafas.Lagi pula jodoh, maut dan rezeki itu urusan Allah. Bisa saja orang yang hari ini segar bugar sehat walafiat, tapi besok pagi telah terbujur kaku di bawah tanah. Maka berbuat baiklah agar sedikit mempunyai tabungan amal ibadah."Anak Dewa menyindir seolah-olah tengah menasehati. Padahal maksud hatinya adalah menyumpahi. Embun meliri
"Astaga berarti si Om ini kaya banget ya? Uangnya segini ya, Om?"Embun merentangkan kedua tangannya kemudian membuat gerakan membulat besar. Albert tertawa."Bahkan uang Om lebih banyak dari seribu kali dari gerakan tangan kamu itu. Hehehe."Albert merasa muda kembali saat berinteraksi dengan Embun. Gadis ini asli dalam hal apapun. Asli wajahnya, asli hatinya dan asli kebaikannya. Sikap manipulatif dan tukang cari kesempatan tidak ada didirinya. Terberkatilah siapapun yang menjadi pasangannya."Tapi Om kok tidak jahat ya? Biasa orang kaya itu jahat. Suka memandang orang dengan sepele, terus juga suka menghina orang miskin. Mbak Ret— eh biasanya begitu sih. Eh tapi nggak semuanya juga hehehe... Om ini udah kaya, baik, harum lagi."Embun tersenyum. Albert seketika merasa terkesima. Senyum itu mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa
Revan menghentikan laju kendaraannya saat sudah tiba di rumah. Ia menatap istri kecilnya yang masih ketiduran dengan perasaan bimbang. Mau dibangunin kasihan. Karena kelihatannya dia capek sekali. Kalau digendong, nanti kesannya dia seperti playboy tobat di depan semua orang.Selama ini dia sudah terbiasa dicap sebagai seorang penjahat kelamin oleh keluarganya. Aneh saja kalau ia tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang pecundang cinta yang sampai mau maunya menggendong-gendong seorang perempuan yang tadinya bahkan dia tolak mati-matian. Mana ada duo kamprets lagi di sana. Dia cuma takut dicap dengan stigma ISTI yaitu singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri.Tetapi akhirnya rasa kasihannyalah yang menang, dibandingkan dengan ego kelelakiannya. Dengan apa boleh buat akhirnya Revan menggendong tubuh mungil Embun melewati ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia kemudian terus saja menaiki tangga lantai dua menuju kamar tidur mereka. 
"Kenapa diam lagi, hah? Mulutmu tidak mau dipakai ngomong ya? Baik kalau memang nggak mau dipakai untuk ngomong, akan Abang pakai untuk muasin Abang aja!"Revan kalau sedang emosi kata-kata yang keluar dari mulutnya memang frontal. Setelah mengancam Embun dan istrinya itu tetap diam, Revan pun memajukan tubuhnya ke depan. Ia melahap bibir Embun dengan segenap rasanya. Sementara Embun yang seumur hidupnya belum pernah dicium oleh siapapun, seketika gelagapan. Ia panik saat Revan mencuri nafasnya dan mengobrak-abrik mulut manisnya. Embun ketakutan saat Revan membelit lidahnya dan saling menukar saliva. Kedua tangan Embun berusaha menjauhkan wajah Revan dari wajahnya sendiri. Embun bahkan memukuli wajah Revan yang tidak mau melepaskan pagutan bibirnya."Oh, kamu mau main kasar sama Abang? Ayo aja. Abang malah tambah nafsu jadinya."Revan kini menarik pakaian Embun dengan cara mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga."Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan."Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena
"Udah dibawa semuanya? Laptop, buku-buku panduan, alat-alat tulis, kotak bekal. Eh itu termos air minum dan ponsel jangan lupa, sayang."Revan sibuk mengecek isi tas ransel Embun yang akan mengikuti kuliah di hari pertamanya. Mata Embun terbelalak saat melihat Revan yang terus saja mengisi tas ranselnya dengan bermacam-macam benda yang tidak penting hingga nyaris penuh. Embun sampai ngeri melihat Revan masih saja menjejalkan potongan berbagai macam buah dalam kotak tupperwa** ke dalam tasnya."Astaga, Abang. Itu tas Embun kok sampai menganga lebar dan nggak bisa ditutup begitu? Abang isiin apa aja sih?""Oh, selain laptop dan beberapa buku panduan, Abang memasukkan sweater kalau nanti kamu dingin di kampus. Terus ini kipas angin kecil, kalau kamu nanti mana tau kepanasan di sana. Beraneka macam roti, payung lipat sama ini terakhir, potongan buah yang berserat. Abang nggak mau kamu duduk di kantin dan makan ma