"Astaga berarti si Om ini kaya banget ya? Uangnya segini ya, Om?"
Embun merentangkan kedua tangannya kemudian membuat gerakan membulat besar. Albert tertawa.
"Bahkan uang Om lebih banyak dari seribu kali dari gerakan tangan kamu itu. Hehehe."
Albert merasa muda kembali saat berinteraksi dengan Embun. Gadis ini asli dalam hal apapun. Asli wajahnya, asli hatinya dan asli kebaikannya. Sikap manipulatif dan tukang cari kesempatan tidak ada didirinya. Terberkatilah siapapun yang menjadi pasangannya.
"Tapi Om kok tidak jahat ya? Biasa orang kaya itu jahat. Suka memandang orang dengan sepele, terus juga suka menghina orang miskin. Mbak Ret— eh biasanya begitu sih. Eh tapi nggak semuanya juga hehehe... Om ini udah kaya, baik, harum lagi."
Embun tersenyum. Albert seketika merasa terkesima. Senyum itu mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa
Revan menghentikan laju kendaraannya saat sudah tiba di rumah. Ia menatap istri kecilnya yang masih ketiduran dengan perasaan bimbang. Mau dibangunin kasihan. Karena kelihatannya dia capek sekali. Kalau digendong, nanti kesannya dia seperti playboy tobat di depan semua orang.Selama ini dia sudah terbiasa dicap sebagai seorang penjahat kelamin oleh keluarganya. Aneh saja kalau ia tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang pecundang cinta yang sampai mau maunya menggendong-gendong seorang perempuan yang tadinya bahkan dia tolak mati-matian. Mana ada duo kamprets lagi di sana. Dia cuma takut dicap dengan stigma ISTI yaitu singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri.Tetapi akhirnya rasa kasihannyalah yang menang, dibandingkan dengan ego kelelakiannya. Dengan apa boleh buat akhirnya Revan menggendong tubuh mungil Embun melewati ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia kemudian terus saja menaiki tangga lantai dua menuju kamar tidur mereka. 
"Kenapa diam lagi, hah? Mulutmu tidak mau dipakai ngomong ya? Baik kalau memang nggak mau dipakai untuk ngomong, akan Abang pakai untuk muasin Abang aja!"Revan kalau sedang emosi kata-kata yang keluar dari mulutnya memang frontal. Setelah mengancam Embun dan istrinya itu tetap diam, Revan pun memajukan tubuhnya ke depan. Ia melahap bibir Embun dengan segenap rasanya. Sementara Embun yang seumur hidupnya belum pernah dicium oleh siapapun, seketika gelagapan. Ia panik saat Revan mencuri nafasnya dan mengobrak-abrik mulut manisnya. Embun ketakutan saat Revan membelit lidahnya dan saling menukar saliva. Kedua tangan Embun berusaha menjauhkan wajah Revan dari wajahnya sendiri. Embun bahkan memukuli wajah Revan yang tidak mau melepaskan pagutan bibirnya."Oh, kamu mau main kasar sama Abang? Ayo aja. Abang malah tambah nafsu jadinya."Revan kini menarik pakaian Embun dengan cara mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga."Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan."Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena
"Udah dibawa semuanya? Laptop, buku-buku panduan, alat-alat tulis, kotak bekal. Eh itu termos air minum dan ponsel jangan lupa, sayang."Revan sibuk mengecek isi tas ransel Embun yang akan mengikuti kuliah di hari pertamanya. Mata Embun terbelalak saat melihat Revan yang terus saja mengisi tas ranselnya dengan bermacam-macam benda yang tidak penting hingga nyaris penuh. Embun sampai ngeri melihat Revan masih saja menjejalkan potongan berbagai macam buah dalam kotak tupperwa** ke dalam tasnya."Astaga, Abang. Itu tas Embun kok sampai menganga lebar dan nggak bisa ditutup begitu? Abang isiin apa aja sih?""Oh, selain laptop dan beberapa buku panduan, Abang memasukkan sweater kalau nanti kamu dingin di kampus. Terus ini kipas angin kecil, kalau kamu nanti mana tau kepanasan di sana. Beraneka macam roti, payung lipat sama ini terakhir, potongan buah yang berserat. Abang nggak mau kamu duduk di kantin dan makan ma
Kuliah baru saja usai. Embun tengah berbincang-bincang dengan Ibell sebelum Revan menjemputnya. Saat ini ia duduk disamping Ibell. Satu-satunya temannya di kampus. Ibell ini pintar dan lucu. Embun senang mengobrol dengannya."Hah? Jadi kamu tuh sudah menikah dengan, Pak Revan? Kok bisa? Soalnya Pak Revan itu 'kan baru aja memutuskan pertunangan dengan Luna Brata Kesuma, sepupu saya. Dia juga bilang tidak akan mau jatuh cinta lagi karena semua perempuan itu sama saja katanya. Capek-capek diperjuangin setengah hidup, eh milihnya malah orang lain."Setelah mengucapkan kata-kata itu Ibell jadi kepengen menggigit lidahnya sendiri. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu pada Embun. Emang dasar lidah tidak bertulang!Embun tertegun saat tahu bahwa Revan dulu pernah bertunangan dengan seorang wanita. Tapi kenapa suaminya itu memutuskan pertunangan ya? Embun sangat penasaran sekali. Ah pasti karena Revan harus menika
Embun memperhatikan interaksi Revan, Arkan dan Ibell dalam diam. Tampak jelas dosennya begitu cemburu saat suaminya menggoda Ibell dalam beberapa kalimat bersayap. Bahkan yang terakhir malah terdengar begitu ambigu. Tidak bisa dipungkiri ada rasa tercubit di hati saat menyadari bahwa suaminya dulu memiliki perasaan yang begitu besar pada wanita lain. Walau dia tahu bahwa itu semua adalah masa lalu. Tetapi kurun waktu empat bulan itu cukup dekat bukan? Cuma 120 hari. Apakah hati suaminya itu sudah benar-benar bisa melupakan Ibell? Entah mengapa Embun kok rasanya kurang yakin.Sampai hari ini Embun tidak tahu apa itu rasa cemburu. Kalau arti cemburu sih, tentu saja dia tahu. Kata Pak Rahman cemburu adalah suatu perasaan tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan lain sebagainya. Bahkan sirik dan dengki pun masuk ke dalam kategorinya.Pada waktu itu Embun merasa sedikit heran mengapa ada orang yang tidak senang melihat keba
"Kamu pakai saja ini baju Tante Zahra. Sementara pakaian kamu dilaundry si bibik ya, Mbun? Kayaknya pas deh kamu pakai. Ini handuknya kalau kamu mau mandi. Om tunggu di depan ya? Kalau ada apa-apa teriak saja. Om pasti dengar."Embun yang tenagah duduk melamun di ruang tamu dengan pakaian yang basah kuyub, menerima pakaian dan handuk yang di berikan Om Albert dengan penuh rasa terima kasih. Ia memang sangat kedinginan sekali saat ini."Terima kasih ya, Om? Saya mandi dulu. Om tahu tidak selain bepak dan Bang Dewa, Om adalah orang paling baik di luar hubungan keluarga yang saya kenal. Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak ya, Om?"Embun merangkapkan kedua tangannya ke dada. Mengucapkan rasa terima kasih dengan takzim dan penuh rasa hormat."Orang baik? Hahhaha. Setidaknya ada lima ratusan karyawan Om yang akan tertawa ngakak sambil guling-guling, saat mendengar kamu mengat