"Bang, Saya minta izin untuk berbicara secara pribadi berdua saja dengan Bang Dewa, boleh?"
Embun memindai Revan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya Revan marah. Tetapi dia memang harus menjelaskan tentang status hubungannya dengan Revan pada Anak Dewa. Sekaligus juga memperbaiki hubungan dengan status baru di antara dirinya dan Anak Dewa sekarang.
"Anda ini seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan saja. Ingatlah, Bung. Jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Karena takutnya ia nya malah mati atau hancur, karena tidak diberi celah sama sekali untuk bernafas.
Lagi pula jodoh, maut dan rezeki itu urusan Allah. Bisa saja orang yang hari ini segar bugar sehat walafiat, tapi besok pagi telah terbujur kaku di bawah tanah. Maka berbuat baiklah agar sedikit mempunyai tabungan amal ibadah."
Anak Dewa menyindir seolah-olah tengah menasehati. Padahal maksud hatinya adalah menyumpahi. Embun melirik Anak Dewa melalui ujung mata. Kepalanya memang tidak bergerak, hanya matanya saja yang bergerilya. Embun kasihan melihat wajah babak belur Anak Dewa dan beberapa luka dipelipis dan sudut bibirnya. Embun bemaksud mengobati luka-lukanya. Bagaimanapun, Anak Dewa itu berstatus kakaknya. Tepat pada saat itu Anak Dewa juga melirik ke arahnya. Tatapan mereka saling bertabrakan di udara pada satu titik. Saling menatap penuh kerinduan. Sebelum akhirnya Embun yang pertama sekali memalingkan wajahnya. Ia tidak enak saat mendapati mata suaminya terlihat mengeluarkan percik api. Entah marah karena dicurangi atau cemburu. Embun masih tidak bisa menerjemahkan isi hati suaminya. Sifat suaminya sama sekali tidak diketahuinya. Bersama Revan ia merasa seperti orang buta. Selalu saja menebak-nebak dan terus meraba-raba. Bagi Embun Revan itu ibarat Teka Teki Silang. Satu jawaban dia tahu, tapi jawaban lainnya selalu menunggu untuk dilengkapi lagi.
Revan menatap interaksi spontan dua arah antara istrinya dan mantan pacarnya itu dengan geram. Rasa-rasanya dia tidak rela untuk membiarkan Embun berduaan saja dengan Anak Dewa. Di depan matanya saja mereka berdua masih berusaha saling curi-curi pandang. Apa kabar jika mereka saling berduaan saja? Bisa-bisa mereka berdua bukan hanya sekedar mencuri-curi pandang lagi. Tetapi langsung mencuri-curi ciuman. Bukankah sesuatu yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu sensasinya luar biasa sekali? Sepertinya dia tidak boleh meluluskan permintaan istri primitifnya itu. Bisa rugi bandar dia!
"Tidak bo-"
"Revan. Jangan egois. Biarkan Embun menyelesaikan semua persoalan di antara mereka berdua secara dewasa. Jangan bersikap seperti anak kecil."
Gilang memotong ucapan Revan, yang sebelumnya ingin melarang Embun berbicara berdua secara pribadi dengan Anak Dewa.
"Kalian bisa berbicara di ruang meeting saja. Di sana tempatnya lebih private. Kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Saya harap kalian berdua bisa menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin dan bijaksana. Ayo saya akan mengantar kalian menuju ruang meeting."
Gilang berjalan terlebih dahulu, dikuti Embun, Revan serta Anak Dewa. Wajah Revan dan Anak Dewa masih sama-sama penuh luka. Embun berencana untuk mengobatinya setelah pembicaraannya dengan Anak Dewa selesai. Gilang menghentikan langkahnya setelah tiba di ruangan meeting. Tiga orang yang mengekor di belakangnya juga ikut menghentikan langkah.
"Nah. Kalian berdua berbicaralah secara leluasa di sini. Ayah tinggal dulu." Gilang menoleh pada Revan sambil berkata," ayo Revan. Kita biarkan istrimu dan Anak Dewa menyelesaikan urusan mereka masing-masing."
Mau tidak mau Revan mengikhlaskan istrinya untuk berduaan saja bersama mantan pacarnya. Ayahnya kalau sudah berbicara, sulit untuk dibantah.
"Buka pintunya lebar-lebar, Embun. Kalau ada apa-apa langsung teriak saja. Abang menunggu di depan pintu," dengkus Revan ketus. Ia kemudian mengekori langkah ayahnya yang sudah terlebih dulu berjalan keluar.
Kini di ruangan luas yang biasanya dipakai khusus untuk meeting para petinggi-pertinggi perusahaan terasa hening. Embun tahu, ayah mertuanya sengaja meminjamkan ruangan ini karena sepertinya mereka butuh waktu yang agak lama untuk saling berusaha
meluruskan benang kusut ini."Apakah Adek bahagia selama menjadi istri lelaki itu, my morning dew?"
Anak Dewa menatap lekat-lekat wajah wanita yang dulu diyakininya sebagai tulang rusuknya yang hilang itu.
Embun terdiam. Dia sungguh-sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Karena dia tahu jawaban apapun yang akan diucapkannya, tetap akan menyakiti hati Anak Dewa.
Akhirnya Embun membuat satu keputusan. Dia akan mencoba bersikap husnuzon daripada suuzon terhadap Revan. Bagaimanapun Revan ini sekarang sudah menjadi suaminya. Tidak baik apabila dia menyebarkan tentang masalah rumah tangga mereka. Karena sebaik-baiknya istri adalah dia yang mampu menjaga lisannya terhadap rahasia rumah tangganya, dan tidak menyebarkannya kepada orang lain, siapapun itu. Bismillahirrahmanirrahim!
"Adek bahagia, Bang. Sejauh ini semua baik-baik saja. Insya allah ke depannya Adek juga berharap semuanya tetap dalam keadaan baik-baik saja. Adek mohon doanya ya, Bang?"
Embun memindai Anak Dewa mulai meremas-remas rambutnya. Itu adalah salah satu ciri khasnya jikalau ia sedang berpikir atau sedang memendam rasa. Sepertinya Anak Dewa tidak puas dengan jawabannya.
"Adek bisa berbahagia walaupun dengan laki-laki yang bukan Abang? Adek sudah bisa membuang rasa terhadap Abang begitu saja setelah semua hal yang kita lalui bersama? Adek bersungguh cakap? Janganlah telunjuk lurus, kelingking bekait."
Anak Dewa masih saja berusaha mencari kejujuran dalam setiap kata yang diucapkan oleh Embun. Dia mengenal Embun seperti halnya dia mengenal dirinya sendiri. Embun bukan orang yang gampang mendua hati. Bagaimana mungkin dia bisa hidup berbahagia dengan orang yang tidak dia cintai sama sekali.
"Bang, Adek tahu bagaimana perasaan Abang saat ini. Perasaan Adek pun kurang lebih sama. Tetapi pernahkan Abang coba berpikir mengapa semua ini bisa terjadi? Mungkin ini semua memang sudah menjadi kehendak Allah. Kita manusia hanya bisa merencanakan bukan? Karena yang menentukan semuanya tetaplah Allah subhana wa'ataala.
Pasti ada sesuatu maksud dan tujuannya maka akhir kisah kita menjadi seperti ini. Kemarin-kemarin Adek juga marah, kecewa dan tidak terima kenapa semua bisa menjadi seperti ini. Adek bahkan sampai menyalahkan bepak dan juga Tuhan. Hingga akhirnya adek menyadari bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tidak adek ketahui. Pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Adek tidak berani memprotes Allah atas permasalahan yang silih berganti datang.
Adek mencoba terus untuk tidak suuzon dengan takdir yang digariskan. Karna Allah sudah menakar diri setiap hambaNya. Mulai hari ini Abang mengganggap Adek sebagai seorang adik saja dan bukan lagi sebagai seorang kekasih, boleh?"
Embun menatap wajah kecewa Anak Dewa dengan hati remuk redam. Tetapi dia tahu ini adalah yang terbaik bagi mereka semua. Dia sudah menjadi milik orang. Anak Dewa harus belajar untuk melepaskan dan mengikhlaskan.
Anak Dewa terdiam lama. Kini dia berusaha menerjemahkan cinta kearah yang berbeda. Cinta yang mendahulukan kebahagiaan orang yang dikasihi, bukan cinta yang semata ingin memiliki. Sekalipun untuk itu, dia harus membayarnya dengan kesepian dan rasa kehilangan sepanjang hidupnya.
Mencintai angin harus menjadi siut...
Mencintai air harus menjadi ricik...Mencintai gunung harus menjadi terjal...Mencintai api harus menjadi jilat...Mencintai cakrawala harus menebas jarak...Mencintaimu harus menjadi aku.
"Asal Adek bahagia, Abang rela melakukan apa saja. Termasuk membunuh cinta Abang dan mencampakkankannya ke semak belukar. Semoga saja kelak dia bisa kembali tumbuh di hati yang lain. Walaupun Abang merasa, itu adalah hal yang hampir benar-benar mustahil."
===================
"Kita mau ke mana sih ini Mbak Retha, Mbak Clarita? Saya belum pernah pergi ke tempat yang seperti ini?"
Embun kebingungan saat Margaretha dan Clarita tiba-tiba datang ke rumah mertuanya. Mereka meminta izin untuk membawanya ke sebuah mall terkenal di ibukota. Sebenarnya Embun sama sekali tidak mau ikut pergi berjalan-jalan dengan mereka berdua. Tetapi dia tidak enak karena mereka berdua yang terus saja membujuknya. Clarita bahkan berjanji pada ibu mertuanya, untuk membantunya beradaptasi dengan dunia modern. Salah satunya tentu saja dengan cara pergi berbelanja.
Apalagi minggu depan dirinya sudah mulai kuliah. Bapak mertuanya telah mendaftarkannya pada salah satu universitas ternama negri ini. Pemiliknya adalah Radja Girsang. Sahabat lama ayah mertuanya dalam dunia bisnis. UPH dulunya adalah kepunyaan Firman Girsang, ayah Radja Girsang. Tetapi setelah Pak Firman akan segera pensiun karena usia, maka universitas itu pun menjadi tanggung jawab Radja sepenuhnya. Menurut Pak Gilang, ia sengaja menempatkannya di sana agar Radja sedikit banyak bisa memahami latar belakangnya yang belum begitu terbiasa dengan dunia modern. Dengan adanya Pak Radja di sana, setidaknya bisa membantunya dalam mengawasi segala tindak tanduknya.
Setiba di mall, Embun bingung. Ia tidak pernah ke gedung setinggi itu. Apalagi saat melihat tangga yang berjalan sendiri. Ia ngeri melihatnya.
"Mbak, sa-saya takut naik tangga berjalan itu. Sa-saya tidak pernah naik benda yang seperti itu. Bagaimana cara naiknya, Mbak? Lho... lho... Mbak, kenapa saya ditinggal? Saya takut ini Mbak?"
Embun pucat pasi melihat Retha dan Cla langsung menaiki eskalator tanpa membimbingnya sama sekali. Embun ketinggalan di bawah sana. Karena takut ditinggal, Embun pun mulai mencoba-coba menyentuhkan kakinya pada eskalator yang langsung saja naik ke atas.
Embun menjerit kaget dan ketakutan saat tubuhnya oleng dan nyaris saja jatuh ke lantai. Retha dan Cla menertawainya dari lantai atas hingga terbungkuk-bungkuk melihat keudikannya. Mereka berdua tertawa berurai air mata. Sepertinya mereka berdua puas karena berhasil mengerjainya.
Saat Embun hampir saja terpelanting, sesosok tubuh tinggi besar langsung menahan tubuhnya. Embun yang tadinya telah memejamkan matan, karena merasa antara akan jatuh atau terjepit di tangga berjalan, pelan-pelan mulai membuka matanya. Tatapannya kemudian bertemu dengan sepasang mata coklat madu yang balas menatapnya hangat.
"Jangan takut. Ayo pegang ini. Dan tapakkan kakimu dengan mantap. Berdirilah dengan tegak. Rileks 'kan tubuhmu. Nah, seru kan? Tangganya bisa berjalan sendiri. Dan ini disebut dengan eskalator. Sekarang langkahkan kami kamu selangkah lebih lebar. Nah kamu sudah sampai di atas. Mudah kan, gadis kecil?"
Sosok tinggi besar itu menatap Embun dengan senyum kecil. Dia tidak menertawainya seperti Retha dan Cla atau pengunjung mall yang lainnya. Om ini selain sangat tampan dan harum, juga sangat baik hati. Dia memakai baju pengusaha seperti Revan juga. Om ini tampak seperti pengusaha kaya yang sering ia lihat di televisi.
"Terima kasih ya, Om. Karena sudah mau menolong saya naik tangga berjalan. Nama saya Embun Pagi, Om. Nama Om siapa?"
"Tidak masalah gadis kecil. Mall ini kepunyaan saya. Sudah menjadi tugas saya untuk menjaga keselamatan para pengunjungnya. Oh ya kenalkan nama saya adalah Albert Tjandrawinata. Kamu berasal dari mana Embun?"
"Saya orang rimba yang berasal dari Bukit Dua Belas Kabupaten Bungo, Tebo, Sarolangun. Om pernah mendengar tentang Suku Anak Dalam tidak? Saya adalah salah satu dari mereka, Om."
Embun menjawab ramah. Tidak sedikit pun dia malu pada asal muasalnya sebagai orang dari suku primitif negara ini.
"Oh kamu ini berasal dari komunitas Suku Anak Dalam ya?" Albert tersenyum. Pantas saja gadis kecil ini tampak seolah-olah tersesat di dalam mall. Rupanya memang lah dia tidak pernah masuk ke dalam mall sebelumnya.
"Terus dua orang itu siapa?" Albert menunjuk Retha dan Cla yang kini memandangi Embun dengan tatapan tidak suka saat melihatnya menolong gadis kecil itu.
"Mereka sepupu jauh suami saya dan teman lama keluarga. Mereka mengajak saya ke sini katanya ingin mengajari saya tentang kehidupan orang modern."
"Apakah mereka terlihat mau mengajari kamu? Saya malah cenderung melihat kalau mereka sebenarnya ingin mengerjai kamu. Ya sudah, Om pergi dulu. Hati-hati ya."
Embun mengangguk saat Om Albert berjalan cepat dan menjauh darinya. Embun masih terus saja memandanginya hingga sosok itu menghilang dan masuk ke dalam kotak berjalan. Embun menyukainya. Entah mengapa ada satu rasa yang tidak bisa dia jelaskan. Tetapi entah mengapa saat bersama om tadi, Embun merasa nyaman dan terlindungi. Sama seperti saat Embun bersama dengan bepaknya di kampung dulu.
"Hebat ya lo, diem-diem mainannya om-om. Emang ya, bakat alami susah untuk dihilangkan."
Retha mulai lagi menyerangnya. Kadang Embun heran dengan manusia yang seperti Retha ini. Saat di rumah tadi dia bersikap begitu manis terhadapnya. Sampai-sampai ibu mertuanya mengizinkannya untuk mengajaknya berbelanja. Tetapi begitu punggung ibu mertuanya tidak kelihatan, langsung saja sikapnya berubah sinis dan jahat lagi. Apa tidak capek ya bersikap muka dua seperti ini?
"Mbak kok bicaranya seperti itu? Om itu cuma nolongin saya, Mbak. Itu karena Mbak Retha dan Mbak Cla tidak mau mengajari saya naik tangga berjalan itu. Kalau tidak ada om tadi, mungkin saya sudah terjatuh tadi." Embun membela diri.
"Oh begitu. Sekarang lo nyalahin kami. Ya udah kalau begitu lo pulang aja sendiri. Kami mau pergi ke tempat lain saja. Ayo Cla." Retha kemudian mengajak Clarita untuk menuruni eskalator.
"Lho Mbak, kok saya ditinggal lagi? Saya nggak tahu jalan pulang sendiri, Mbak. Mbak tunggu saya, Mbak!" Embun berlari mengikuti Retha dan Clarita. Tetapi sampai di eskalator lagi-lagi Embun tidak berani menuruninya. Embun takut. Dia belum belajar cara menuruni tangga berjalan. Om Albert tadi cuma mengajarinya naik. Embun pun hanya bisa menatap nanar dua sosok cantik yang akhirnya menghilang dalam keramaian. Ya Allah bagaimana caranya ia pulang ke rumah? Embun bingung.
Sudah satu jam Embun berkeliling di mall ini. Tetapi dia sama sekali tidak mempunyai ide untuk menuruni eskalator dan pulang ke rumah. Padahal sebentar lagi jam enam sore. Waktunya Revan pulang dari kantor. Pasti suaminya itu akan ngamuk-ngamuk kalau saat dia sampai di rumah, dirinya malah tidak ada. Dalam kebingungannya sebuah suara kembali menyapa ramah.
"Lho, Embun. Kamu masih di sini?" Embun langsung mengucapkan puji syukur saat melihat kehadiran Albert. Mudah-mudahan saja om baik hati ini mau mengantarkannya pulang.
"I-iya, Om. Saya tidak tahu lagi harus ke mana soalnya. Kedua teman saya meningggalkan saya sendirian di sini. Saya-Saya tidak berani menuruni tangga berjalan itu. Lagi pula saya juga tidak tahu jalan pulang."
Air mata Embun seketika luruh saat mengingat malangnya nasibnya. Bisa berakhir menjadi gelandangan ini dia bila tidak menemukan alamat rumah suaminya.
"Jahat sekali kedua teman kamu itu. Lain kali kalau mereka mengajak kamu ke mana-mana lagi, jangan mau ikut. Jangan mau jatuh ke lubang yang sama sampai dua kali. Mengerti?" Embun menganggukkan kepalanya.
"Ayo sekarang pegang ini. Lihat arah gelombang eskalatornya. Nah itu sudah ada pijakannya. Sini pegang tangan saya. Ayo kita turun. Nah gampang kan?"
Albert mengelus sayang puncak kepala Embun. Dia bukanlah seorang yang baik hati dan sentimentil. Tetapi entah mengapa setiap dia melihat Embun selalu saja muncul rasa sayang dan perasaan ingin melindungi. Mungkin ini karena dia sudah terlalu lama sendiri, sementara teman-teman seumurannya rata-rata telah memiliki anak-anak yang besar-besar semuanya. Sedangkan dia malah baru saja menikah dengan Zahra. Seorang guru bidang studi bahasa indonesia di Yayasan Bina Bangsa Jaya. Senyumnya terbit tiba-tiba saat teringat istri sablengnya yang sangat hobby memandangi pria-pria tampan itu. Untung saja dia juga tampan sehingga istrinya tidak komplain saat kedua orang tua mereka menjodohkan mereka beberapa bulan lalu.
Dalam diam tiba-tiba saja terdengar suara dari dalam perut Embun. Astaga, Embun malu sekali. Dia memang sangat lapar. Dia belum makan siang sampai saat ini. Tentu saja cacing-cacing di perutnya pada demo untuk meminta jatah asupan makanan. Embun melihat Om Albert tersenyum.
"Kamu lapar, Embun? Sama, Om juga lapar. Ayo kita makan dulu. Kamu mau makan apa, gadis kecil?" Albert sengaja mengatakan kalau dia juga lapar. Padahal tadi baru saja dia makan bersama beberapa clientnya tadi. Dia tidak ingin Embun merasa malu dan sungkan.
"Makanan di sini pasti mahal-mahal semua. Embun tidak ingin membuat Om menghabiskan banyak uang."
Embun merasa tidak enak sekali menyusahkan Albert sampai harus membayarinya makan segala.
"Kamu salah. Kamu bisa makan apapun yang kamu mau tanpa harus membayar disini. Sebutkan saja kamu mau makan apa. Bahkan yang di luar mall ini pun kita bisa makan tanpa membayar sepeserpun. Kamu tenang saja, Mbun." Albert tersenyum jumawa demi untuk menenangkan perasaan Embun. Kasihan sekali gadis kecil ini.
"Lho kenapa bisa begitu Om?" Embun membulatkan matanya. Bingung mendengar jawaban Albert. Apakah om ini seorang preman sehingga bisa makan apa saja tanpa membayar? Biasa di televisi yang dia tonton kan memang begitu.
"Karena hampir 90% gerai makanan di kota ini sayalah pemiliknya. Om kamu ini rajanya mall dan kuliner Indonesia, gadis kecil."
Albert pun tertawa kencang saat melihat mata Embun semakin terbelalak lebar mendengar kata-katanya tersebut.
"Astaga berarti si Om ini kaya banget ya? Uangnya segini ya, Om?"Embun merentangkan kedua tangannya kemudian membuat gerakan membulat besar. Albert tertawa."Bahkan uang Om lebih banyak dari seribu kali dari gerakan tangan kamu itu. Hehehe."Albert merasa muda kembali saat berinteraksi dengan Embun. Gadis ini asli dalam hal apapun. Asli wajahnya, asli hatinya dan asli kebaikannya. Sikap manipulatif dan tukang cari kesempatan tidak ada didirinya. Terberkatilah siapapun yang menjadi pasangannya."Tapi Om kok tidak jahat ya? Biasa orang kaya itu jahat. Suka memandang orang dengan sepele, terus juga suka menghina orang miskin. Mbak Ret— eh biasanya begitu sih. Eh tapi nggak semuanya juga hehehe... Om ini udah kaya, baik, harum lagi."Embun tersenyum. Albert seketika merasa terkesima. Senyum itu mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa
Revan menghentikan laju kendaraannya saat sudah tiba di rumah. Ia menatap istri kecilnya yang masih ketiduran dengan perasaan bimbang. Mau dibangunin kasihan. Karena kelihatannya dia capek sekali. Kalau digendong, nanti kesannya dia seperti playboy tobat di depan semua orang.Selama ini dia sudah terbiasa dicap sebagai seorang penjahat kelamin oleh keluarganya. Aneh saja kalau ia tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang pecundang cinta yang sampai mau maunya menggendong-gendong seorang perempuan yang tadinya bahkan dia tolak mati-matian. Mana ada duo kamprets lagi di sana. Dia cuma takut dicap dengan stigma ISTI yaitu singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri.Tetapi akhirnya rasa kasihannyalah yang menang, dibandingkan dengan ego kelelakiannya. Dengan apa boleh buat akhirnya Revan menggendong tubuh mungil Embun melewati ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia kemudian terus saja menaiki tangga lantai dua menuju kamar tidur mereka. 
"Kenapa diam lagi, hah? Mulutmu tidak mau dipakai ngomong ya? Baik kalau memang nggak mau dipakai untuk ngomong, akan Abang pakai untuk muasin Abang aja!"Revan kalau sedang emosi kata-kata yang keluar dari mulutnya memang frontal. Setelah mengancam Embun dan istrinya itu tetap diam, Revan pun memajukan tubuhnya ke depan. Ia melahap bibir Embun dengan segenap rasanya. Sementara Embun yang seumur hidupnya belum pernah dicium oleh siapapun, seketika gelagapan. Ia panik saat Revan mencuri nafasnya dan mengobrak-abrik mulut manisnya. Embun ketakutan saat Revan membelit lidahnya dan saling menukar saliva. Kedua tangan Embun berusaha menjauhkan wajah Revan dari wajahnya sendiri. Embun bahkan memukuli wajah Revan yang tidak mau melepaskan pagutan bibirnya."Oh, kamu mau main kasar sama Abang? Ayo aja. Abang malah tambah nafsu jadinya."Revan kini menarik pakaian Embun dengan cara mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga."Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan."Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena
"Udah dibawa semuanya? Laptop, buku-buku panduan, alat-alat tulis, kotak bekal. Eh itu termos air minum dan ponsel jangan lupa, sayang."Revan sibuk mengecek isi tas ransel Embun yang akan mengikuti kuliah di hari pertamanya. Mata Embun terbelalak saat melihat Revan yang terus saja mengisi tas ranselnya dengan bermacam-macam benda yang tidak penting hingga nyaris penuh. Embun sampai ngeri melihat Revan masih saja menjejalkan potongan berbagai macam buah dalam kotak tupperwa** ke dalam tasnya."Astaga, Abang. Itu tas Embun kok sampai menganga lebar dan nggak bisa ditutup begitu? Abang isiin apa aja sih?""Oh, selain laptop dan beberapa buku panduan, Abang memasukkan sweater kalau nanti kamu dingin di kampus. Terus ini kipas angin kecil, kalau kamu nanti mana tau kepanasan di sana. Beraneka macam roti, payung lipat sama ini terakhir, potongan buah yang berserat. Abang nggak mau kamu duduk di kantin dan makan ma
Kuliah baru saja usai. Embun tengah berbincang-bincang dengan Ibell sebelum Revan menjemputnya. Saat ini ia duduk disamping Ibell. Satu-satunya temannya di kampus. Ibell ini pintar dan lucu. Embun senang mengobrol dengannya."Hah? Jadi kamu tuh sudah menikah dengan, Pak Revan? Kok bisa? Soalnya Pak Revan itu 'kan baru aja memutuskan pertunangan dengan Luna Brata Kesuma, sepupu saya. Dia juga bilang tidak akan mau jatuh cinta lagi karena semua perempuan itu sama saja katanya. Capek-capek diperjuangin setengah hidup, eh milihnya malah orang lain."Setelah mengucapkan kata-kata itu Ibell jadi kepengen menggigit lidahnya sendiri. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu pada Embun. Emang dasar lidah tidak bertulang!Embun tertegun saat tahu bahwa Revan dulu pernah bertunangan dengan seorang wanita. Tapi kenapa suaminya itu memutuskan pertunangan ya? Embun sangat penasaran sekali. Ah pasti karena Revan harus menika
Embun memperhatikan interaksi Revan, Arkan dan Ibell dalam diam. Tampak jelas dosennya begitu cemburu saat suaminya menggoda Ibell dalam beberapa kalimat bersayap. Bahkan yang terakhir malah terdengar begitu ambigu. Tidak bisa dipungkiri ada rasa tercubit di hati saat menyadari bahwa suaminya dulu memiliki perasaan yang begitu besar pada wanita lain. Walau dia tahu bahwa itu semua adalah masa lalu. Tetapi kurun waktu empat bulan itu cukup dekat bukan? Cuma 120 hari. Apakah hati suaminya itu sudah benar-benar bisa melupakan Ibell? Entah mengapa Embun kok rasanya kurang yakin.Sampai hari ini Embun tidak tahu apa itu rasa cemburu. Kalau arti cemburu sih, tentu saja dia tahu. Kata Pak Rahman cemburu adalah suatu perasaan tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung dan lain sebagainya. Bahkan sirik dan dengki pun masuk ke dalam kategorinya.Pada waktu itu Embun merasa sedikit heran mengapa ada orang yang tidak senang melihat keba
Pandan Wangi Aditama Perkasa dengan cekatan mengaduk kopi, sekaligus teh yang sedang di buatnya dalam waktu yang bersamaan. Pagi-pagi seperti ini sudah menjadi tugasnya untuk menghidangkan minuman bagi para staff dan karyawan PT. INTI GRAHA ANUGERAH. Ia telah seminggu bekerja menjadi OG di perusahaan kontruksi ini. Bayangkan saja ia yang seorang fashion designer lulusan Parsons School of Design College New York menjadi OG disini.Kakaknya Putra Lautan Aditama Perkasa, akhir-akhir ini merasa heran karena selalu kalah tender dalam masalah pengajuan budgeting dengan perusahaan ini. Kalau dalam presentasi, perusahaan kakaknya selalu memukau. Para client selalu mengakui kalau semua ide-ide dan inovasi kakaknya luar biasa. Hanya saja apabila sudah di laga dengan masalah budgeting harga yang ditawarkan, perusahaan mereka selalu kalah dengan perusahaan ini. Kakaknya curiga kalau ada orang dalam yang bermain disini. Soalnya angka-angka yang mereka tawarkan hanya selisih tipis sekali d
Revan merasa ada yang aneh saat pagi-pagi para staff nya terus saja memandanginya dengan pandangan yang sedikit ganjil. Tetapi saat ia berbalik memandang mereka, mereka malah terlihat seperti menghindarinya sembari memasang wajah prihatin. Ada apa ini sebenarnya? Entah mengapa pagi ini perasaannya sangat tidak enak. Revan tambah bingung saat ia berjalan kearah meja Ira yang tepat ada di depan ruangannya, semua staff nya malah terlihat bergerombol di depan televisi sambil menunjuk-nunjuk layarnya. Tetapi saat melihat kehadirannya, mereka semua mendadak gugup dan mematikan televisi dengan begitu tiba-tiba, seolah-olah tidak memperbolehkannya melihatnya. Revan tentu saja menjadi semakin penasaran saja."Kalian sedang menonton acara apa pagi-pagi seperti ini? Dan kenapa setelah saya datang kalian malah mematikan televisinya?" Revan bertanya pada staff di front desk nya."Bu—bukan acara apa-apa kok, Pak. Ini cuma acara infotainment pa
Seminggu telah berlalu. Janji Embun untuk selalu mengabarinya ternyata hanya janji-janji belaka. Sejak lambaian tangan istrinya seiring dengan mobilnya yang melaju meninggalkan gumpalan-gumpalan debu, saat itu juga lah komunikasi mereka terputus. Revan sama sekali tidak bisa menghubungi istrinya lagi. Sepertinya ponsel istrinya telah dialihkan atau malah sudah berganti dengan nomor yang baru. Nomor ponsel lamanya sama sekali sudah tidak aktif. Selama seminggu ini Revan sudah seperti orang gila. Dia tidak enak makan dan tidak enak tidur. Pekerjaannya semua kacau balau dan terbengkalai. Kerjanya tiap hari hanyalah memandangi ponsel saja. Berharap benda pipih itu berbunyi dan nama istrinyalah yang tertera di sana. Benaknya bahkan sudah menyusun rencana untuk menjawab sapa istrinya nanti dengan suara sedingin mungkin. Ia ingin agar istrinya itu tahu kalau ia marah, kecewa dan apa pun lah namanya. Yang pasti ia gegana berat. Tetapi bagaimana ia bisa mewujudkan semua rencana-rencananya ka
"Sayang, ngapain sih bawa bajunya banyak-banyak? Kan kamu juga cuma sebentar di sana?" Revan menatap tidak rela saat melihat Embun kembali memasukkan piyama angry bird kesayangannya ke dalam koper."Abang ini bagaimana sih, masa Embun bawa baju cuma lima pasang aja abang bilang banyak? Nih, lihat tas besar eh koper ya ini namanya, aja masih kosong semua. Banyak darimana, Bang? Lho kok handuknya di keluarin lagi? Masa handuknya cuma satu? Nanti Embun nggak punya handuk ganti dong, Bang?"Embun kebingungan saat Revan malah mengeluarkan isi kopernya, sementara dia sudah susah payah menyusunnya."Abang inilah, kalau Embun mau kuliah aja tasnya diisi macem-macem sampai nggak bisa ditutup kayak orang mau pindah rumah. Nah sekarang giliran Embun mau pindah rumah sungguh-sungguh seminggu, eh semua barang-barang yang Embun butuhkan malah nggak boleh dibawa. Abang ini bagaimana sih?"Embun merebut kembal
"Your majesty, please let her go to her husband. After some years you will realise that it is the best decision you have ever made. She already told you that she did not love you. Always remember that everyone tries to get their beloved one but not everyone succeded because everyone has some problems. The real love lies rests in their happiness. Please be brave enough to—"Embun terkesima saat Satria si raja mesum dan sutradara gagal, tiba-tiba saja menghampiri pangeran Rattapoom dan berbicara serius tapi dengan sikap tubuh yang sopan. Ia bahkan membungkukkan sedikit tubuhnya dan terlihat sungguh-sungguh berusaha untuk menggoyahkan niat sang pangeran yang ingin membawanya pergi. Kali ini seringai jahil dan nakalnya sama sekali tidak terlihat. Dia serius."Maaf, anda siapa? Bila anda ingin berbicara dengan pangeran, harap melalui cara yang benar. Bukankah anda sudah tahu peraturannya? Tolong bersikaplah yang so
Di ruang tamu keluarga Aditama Perkasa suasana begitu hening dan dingin. Embun duduk dengan punggung tegak lurus dan kaku. Saat ini semua pandangan terarah hanya pada satu objek, yaitu dirinya. Saat ini papa Al pun ikut di hadirkan diruangan ini oleh Om pak polisi Reinhard. Juga ada pak polisi Badai beserta tiga orang lagi polisi muda yang tidak di kenal oleh Embun.Sementara dari pihak kerajaan Embun mengenali pangeran Poom dan ada lima orang lagi dari pihak kepolisian negaranya. Ada dua orang lagi dari duta besar Thailand untuk Indonesia yang masing-masing di perkenalkan sebagai penerjemah.Embun duduk ditengah-tengah sofa diapit oleh Revan dan papa Al. Bahkan dari jarak sejengkal Embun masih bisa merasakan panasnya suhu tubuh Revan. Kedua tangan suaminya juga agak gemetar. Embun tahu Revan sedang meriang parah. Revan turun dari mobil di papah oleh Satria dan dirinya sendiri. Revan menolak disuruh beristirahat setelah minum obat. Ia
"Abang tidak mengenal perempuan itu... tidak kenal. Tidak tahu. Abang sungguh-sungguh tidak kenal. Sumpah demi apapun. Dia bohong. Tidak kenal... sungguh tidak kenal. Maafkan abang, my country girl. Jangan pergiiiii!!! Tunggu Abang!!! Jangan!!!"Embun dan Satria saling berpandangan. Tubuh Revan panas seperti api. Dia juga terus mengigau dan meminta maaf padanya. Tubuh besarnya terus saja bergerak-gerak dengan gelisah. Kedua sikunya tampak lecet dan berdarah akibat bergesekan dengan aspal sepertinya. Lututnya juga pasti luka, karena celananya dibagian lutut tampak seperti tergesek-gesek. Suaminya itu pasti jatuh bangun mengejarnya saat berlari. Walaupun jarak antara rumah sakit dan rumah papa Al nya tidak begitu jauh, tetapi jika ditempuh dengan cara berlari non stop pasti akan amat sangat melelahkan juga.Dalam keadaan kelelahan dan berkeringat, kembali tubuhnya di guyur hujan deras selama kurang lebih empat jam, suaminya
Ckiiittt!!!Embun yang baru saja turun dari mobil sudah disusul oleh Revan di belakangnya. Rambut Revan tampak basah oleh keringat yang lembab di dahinya. Jasnya sudah dibuka begitu juga dengan dasinya. Kancing kemejanya sudah terlepas dua. Lengan kemeja putihnya juga sudah di naikkan hingga ke siku. Embun melihat ada noda darah di kedua siku Revan. Sepertinya dia tadi terjatuh berkali-kali ke aspal saat berusaha mengejar laju mobil nya."Sayang, dengar dulu penjelasan abang ya? Nanti setelah abang memberi penjelasan baru kamu yang memutuskan masuk akal atau tidak nya cerita perempuan yang bahkan namanya saja Abang tidak tahu. Sayang... sayang abang mohon dengar dulu penjelasan abang. Lima menit saja. Tolong Embun, beri abang kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya."Revan merentangkan kedua lengannya, mencegah Embun melewati tubuhnya. Dengan ekspresi wajah seakan tidak mendengar ka
"Ayo Pa, pelan-pelan jalannya. Sini Embun pegangin tangan kanannya." Embun membimbing lengan kanan Al sementara lengan kiri Al di bimbing oleh ibu Al, Deasy. Sedangkan istri uniknya, Zahra malah tampak sibuk mengangkat tas travel yang berisi semua pakaian-pakaian kotornya. Sebenarnya tadi Al bersikeras untuk mengangkat tasnya sendiri. Dia tidak tega menyuruh salah satu dari tiga wanita yang paling dicintainya di dunia ini untuk mengangkat- angkat pakaian kotornya. Tetapi seperti biasa istri antiknya ini malah bilang emansipasi wanita itu seyogyanya bukan hanya untuk diambil untungnya saja yang meminta kesetaraan dalam masalah hak. Akan tetapi juga harusnya ada kesetaraan di dalam kewajiban. Hebatkan istri antiknya ini?Al tadi juga menanyakan mengapa Zahra mengalah dan membiarkan Embun dan ibunya lah yang membimbing langkahnya, bukannya dirinya yang nota bene adalah istrinya. Dan lagi-lagi jawaban Zahra membungkamnya. Zahra mengatakan bahwa kesempa