"Seberapo rimbun kayu di Jambi,
Rimbunlah jugo kayu di Tungkal,
seberapo rindu Abang nak pegi
Rindulah jugo kami nak tinggal."
Embun membalas pantun Anak Dewa dengan mata berkaca-kaca. Tetapi dia memang sama sekali tidak berani untuk melangkah kearah Anak Dewa. Bagaimanapun Revan itu adalah suaminya dan dia harus mematuhi kata-kata dan larangan suaminya.
"Berbahasa Indonesia yang baik dan benarlah wahai istriku. Sehingga kami semua yang ada di sini tidak salah kaprah dalam mengartikan setiap kata-katamu."
Revan mulai gerah karena merasa daerah teritorinya sudah ada yang berani mencoba- mencoba untuk menginvansi. Dia merasa sudah perlu untuk menarik garis batas teritori.
Lobby mulai ramai oleh orang-orang yang penasaran dengan suara-suara bernada tinggi Revan. Sepertinya mereka tertarik untuk melihat kelanjutan perseteruan yang mulai memanas.
"Katakan saja kalau Anda tidak bisa memahami dan mengartikan apa yang Embun pagi ucapkan. Tidak perlu Anda sampai mencuil harga dirinya sebagai seorang anak suku pedalaman hanya untuk memuaskan rasa ketidakmampuan Anda untuk memahami setiap ungkapan," sahut Anak Dewa kalem. Saat ini Anak Dewa sudah ikut duduk di sofa dan berhadap-hadapan dengan Embun.
"Mengenai masalah istri, Embun pagi ini sudah menjadi wanita saya sejak dia diasuh oleh bepak dan induk saya sepuluh tahun yang lalu. Setelah dia mendapatkan haid pertamanya, saya sudah menyatakan pada kedua orang tua saya untuk menikahinya apabila dia sudah dewasa kelak.
Tetapi karena seloko adat kami yang bersifat matrilinear, dan saya tetap pada pendirian untuk menikahi Embun, maka saya pun rela diusir dari komunitas anak rimba dan tidak boleh kembali sebelum bepak saya melangun. Dan saya dengan besar hati menerima semua keputusan yang sudah disepakati oleh para menti beserta dengan mengku yang memutuskan untuk membuang saya dari komunitas, daripada saya dikenakan hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan Teliti Dua Belas karena dianggap berzina dengan saudara sendiri. Padahal tidak ada setitik pun darah kami yang sama. Saya menerimanya dengan besar hati. Saya laki-laki, berjuang demi apa yang saya cita-citakan itu sudah menjadi harga mati." Anak Dewa terdiam sejenak. Ia seperti merasakan kembali saat-saat sulitnya demi untuk mempertahankan Embun Pagi.
"Sang temenggung yang sebenarnya adalah bepak kandung saya mengeksekusi saya, putranya sendiri demi seloko adat yang sudah di mufakatkan. Saya, Anak Dewa menerima semua keputusan mereka dengan lapang dada, demi tercapainya tujuan akhir saya yaitu menikahi Embun Pagi menjadi istri saya. Sampai dua bulan yang lalu, Embun masih menjadi wanita saya dan menjadi cambuk penyemangat kerja keras saya. Jadi bagaimana mungkin anda mengatakan bahwa dia adalah istri Anda? Coba Anda jelaskan secara rinci dan logika kepada saya."
Anak Dewa memang luar biasa dalam bertutur kata. Setiap kata yang keluar dari mulutnya tidak pernah terdengar emosi dan kasar. Tetapi malah cenderung dingin namun menusuk. Satu lagi, dari ungkapan kata-katanya tadi, dia seolah-olah sudah mengklaim kalau Embun memang sudah seharusnya menjadi miliknya. Justru itu yang sebenarnya lebih mengerikan ketimbang dia menunjukkan semua emosi dan kemarahannya.
Revan terdiam, kalau dia mengatakan hal yang sebenarnya tentang bagaimana dia bisa menikahi Embun, maka ayahnya akan menjadi pihak yang amat sangat merasa bersalah. Karena demi menyelamatkan nyawalah bepaknya Anak Dewa meninggal dunia.
Revan tidak ingin Anak Dewa sampai mengamuk dan menyalahkan ayahnya. Tetapi apabila tidak di jelaskan, dia bisa saja kehilangan istrinya. Revan seperti makan buah simalakama.
"Sesungguhnya akar permasalahannya di sini adalah saya, bukan anak saya, Rangkayo Depati." Gilang yang mendengar suara ribut-ribut di lobby akhir membuat keputusan untuk menengahi konflik ini. Gilang merasa sudah saatnya dia bertanggung jawab atas semua kekisruhan ini. Dia tahu cepat atau lambat semua ini akan terjadi. Terus menerus menahan kekhawatiran malah lebih menyiksa ketimbang menghadapi permasalahan secara langsung seperti ini.
"Jadi laki-laki yang mengaku sebagai suami wanita saya adalah putra anda Pak Gilang?" Anak Dewa tersenyum kecil.
"Kalau begitu silahkan lanjutkan saja penjelasan Anda Pak Gilang."
"Minggu lalu truk pengangkut teh karyawan saya blong dan nyaris saja menabrak saya. Pak Temenggung, bepak kandung Anda yang menolong saya. Tetapi pada akhirnya malah beliaulah yang tidak selamat. Sebelum meninggal beliau meminta saya untuk menikahi Embun, karena setelah dia tiada, maka Embun akan menjadi sebatang kara tanpa ada orang yang melindunginya. Karena saya sudah menikah, akhirnya saya meminta anak saya Revan untuk menikahi Embun. Dan ya beginilah akhir ceritanya. Saya minta maaf Rangkayo. Saya sama sekali tidak tahu kalau ternyata Embun adalah wanitamu, Nak. Sekali lagi saya minta maaf atas meninggalnya bepakmu dan Embun yang harus menjadi menantu saya. Saya sungguh-sungguh minta maaf, Rangkayo Depati."
Gilang merasa tidak enak sekali terhadap Rangkayo. Bagaimana pun sang temenggung itu adalah ayah kandungnya sendiri. Tetapi Gilang melihat air muka Rangkayo tidak terlihat perubahan yang berarti. Laki-laki tetap bersikap seperti biasa. Santun, diam dan tidak tertebak pikirannya.
"Kita tidak bisa merubah takdir, Pak Gilang. Semesta sudah mempunyai rencana dalam melaksanakan titah Yang Maha Kuasa. Tetapi ada yang ingin saya katakan kepada Bapak. Saya sudah kehilangan bepak kandung saya, apakah Bapak masih juga tega merampas wanita saya? Kematian
Kematian bepak saya itu murni urusan takdir dan mutlak. Yang artinya memang sudah tidak dapat diubah. Orang yang sudah mati memang tidak akan bisa hidup lagi.
Tetapi menjadikan Embun sebagai menantu Anda, itu bukan takdir. Tetapi murni tentang sebuah pernikahan yang dibuat berdasarkan atas kesepakatan. Bahkan tanpa yang bersangkutan mengetahuinya apalagi menyetujuinya. Jadi itu sifatnya relatif.
Saya mohon, kembali kan Embun kepada saya, Pak Gilang. Embun dan saya berhak untuk bahagia dan bersatu setelah hampir lima tahun berpisah. Keputusan ini murni ada di tangan Pak Gilang. Karena bepak saya itu meminta pertanggung jawaban pada Pak Gilang, dan bukan pada putra Anda." Anak Dewa menatap tajam Gilang. Ada permohonan tanpa kata yang terlihat dari kedua matanya.
"Tidak bisa, Embun itu sekarang istri sah saya baik di mata hukum mau pun agama. Titik. Segala sesuatu di luar itu disebut mantan alias bekas alias eks. Dan saat ini Anda bukan siapa-siapanya istri saya lagi!"
Revan langsung memotong perkataan Anak Dewa sebelum ayahnya membuat keputusan secara sepihak. Enak saja setelah minggu lalu memaksa-maksa menikah, masa sekarang memaksa-maksa bercerai juga? Memangnya hidupnya sebercanda itu? Cuih!
"Untuk apa tepagar di kelapo condong. Batang di awak buah dikanti. Sia-sia saja kan?"
Anak Dewa menjawab lugas kata-kata Revan. Wajah Embun memerah, dia tahu apa yang dikatakan oleh Anak Dewa itu benar adanya.
"Apa maksud ucapan Anda itu Anak Dewa?" Revan mulai panas mendengar kata-kata peribahasa bersayap yang sama sekali tidak dimengertinya itu. Satu hal yang dia tahu pasti, artinya pasti tidak akan mengenakkan perasaannya sama sekali.
"Artinya raga boleh milik anda, tetapi cintanya ada pada orang lain. Anda paham maksud saya bukan?"
Anak Dewa menaikkan sudut bibirnya, dia mulai menginjak sudut harga diri Revan.
"Kurang ajar!"
Revan yang sedari tadi sudah panas saat melihat istri terus saja mencuri-curi pandang pada pemuda bertubuh tegap yang saat ini duduk tepat di hadapannya, seperti mendapat pelampiasan. Revan langsung berdiri dari posisinya yang semula sedang duduk. Ia menerjang ke depan, namun segera ditahan oleh Gilang dan Embun sendiri. Embun sangat takut kalau dua orang lelaki dihadapannya ini akan mulai saling serang.
Embun tahu walau Anak Dewa terlihat santai-santai saja, sebenarnya hatinya itu sedang marah dan kecewa luar biasa. Embun bisa melihat itu semua dari matanya yang tampak begitu membara. Embun sangat hafal dengan sikap dan sifat Anak Dewa nya.
"Sudah Revan. Jangan memakai kekerasan dalam menyelesaikan persoalan ini. Tidak ada gunanya, Nak. Pikirkan jalan keluar yang terbaik. Bukan dengan main gontok-gontokan seperti ini."
Gilang dan Embun sekuat tenaga menahan lajunya tubuh Revan kearah Anak Dewa yang tetap terlihat duduk santai seperti tidak mempunyai masalah. Mata Revan sudah tampak menggelap, dia marah!
"Maaf, Rangkayo. Embun itu sudah menikah. Saya tidak bisa mengembalikannya kepada kamu, Nak. Dia itu sah secara hukum dan agama sebagai istrinya Revan. Saya sangat menyesal dan sedih atas apa yang terjadi dengan bepak kamu, tetapi saya memang tidak bisa berbuat apa-apa Nak Rangkayo." Gilang mencoba memberi pengertian kepada Anak Dewa.
"Buka tidak bisa, tetapi Bapak tidak mau. Ada perbedaan besar di sini."
Anak Dewa juga tidak mau mengalah. Dia tetap saja ingin mengambil alih Embun dari tangan Revan.
"Kamu masih mencintai Abang, my morning dew?"
Kali ini Anak Dewa bertanya pada Embun dengan nada suara yang terdengar begitu intim dan mesra. Revan sampai ingin mengunyah meja saking cemburunya!
"Masih Bang. Embun memang masih amat sangat mencintai Abang. Tetapi Embun kan sudah menjadi istri orang. Embun berdosa kalau terus saja mencintai orang lain yang bukan suami Embun Bang. Embun takut dilaknat Allah," sahut Embun pilu.
Hendaknya masalah iko jatuh di api hangus, jatuh ke aek, hanyut. Lu—lupakan Embun ya, B—Bang Dewa. Embun sudah menjadi milik orang lain. Abang cari saja pengganti Embun seperti dulu yang sering bepak dan induk nasehatkan. Lupakan Embun ya, Bang?"
Embun menatap Anak Dewa dari balik tirai air mata. Tidak mudah untuk mengucapkan kata-kata berpisah di saat sedang cinta- cintanya. Dada rasanya mau meledak dan air mata ingin mengalir sendiri saking sesak dan sedihnya perasaan.
Dia tahu bagaimana beratnya perjuangan Anak Dewa dalam mempertahankan cintanya padanya. Dicambuk rotan, diikat ditiang pancang di tengah hutan dan dibiarkan kelaparan. Bahkan dia diusir dari rumahnya sendiri, oleh ayahnya sendiri juga. Penderitaan macam apalagi yang belum dilaluinya?
Semua itu dijalani oleh lelakinya dengan ikhlas demi cinta. Dan kini bibirnya sendiri yang mengucap kata keramat untuk Anak Dewa nya, agar melupakannya. Embun mendadak merasa menjadi seorang penghianat bagi kesakitan Anak Dewa. Embun nyaris dapat merasakan hati Anak Dewa patah dan berdarah-darah saat mendengar sepatah kata perpisahan darinya. Anak Dewa hancur. Dan Embun lah yang menjadi penyebab kehancurannya.
Maafkan jika senyumku tersembunyi dibalik air mata, dan kata-kata yang seharusnya mesra menjadi tanpa daya karena keterbatasan kuasa. Tetapi Tuhan tahu, cinta yang aku punya lebih berwarna dari yang kau kira. Walaupun itu hanya akan tersimpan dalam hati saja.
"Lah kucubo membeli kain. Kain kubeli idak serupo. Lah Abang cubo beralih lain, tapi hati Abang masih ingat ke Adek jugo."
BUGHHHH!!! BUGHHH!!!
"Lo jangan berani- berani merayu bini orang di depan mata lakinya sendiri. Itu namanya lo cari mati!" Revan melepaskan diri dari pegangan ayahnya dan Embun serta mulai menyerang Anak Dewa yang sedang duduk. Revan meninggalkan kesan laki-laki beradabnya menjadi manusia di zaman batu. Mempertahankan wanitanya dengan kepalan tangan dan otot demi sebuah kepuasan untuk menghancurkan sang pencuri. Agar kelak sang pencuri kapok dan tidak berupaya untuk mencoba lagi.
Embun itu istrinya. Tidak perduli bagaimanapun proses pernikahan mereka sebelumnya, tetapi kini Embun memang adalah tanggung jawabnya. Revan bukanlah seorang yang religius. Pengetahuan agamanya terbatas.
Tetapi dia tahu, sejak dia mengucapkan ijab qobul dan menyatakan, saya terima nikah dan kawinnya Embun Pagi Nauljam binti Nauljam dengan mas kawin titik-titik, maknanya adalah maka aku tanggung dosa-dosanya Embun Pagi dari ayah dan ibunya. Dosa apapun yang dilakukan oleh Embun Pagi dan semua yang berhubungan dengan Embun Pagi, aku tanggung, dan bukan lagi orang tuanya yang menanggung. Itu artinya akan aku tanggung juga semua dosa calon anak-anakku.
Makanya begitu melihat Anak Dewa yang terus saja berusaha menggoyahkan keimanan istrinya terhadap kesetiannya pada dirinya, sebagai suami sahnya, Revan pun meradang. Dia bertanggung jawab dunia akhirat untuk menjaga harkat dan martabat Embun sebagai istrinya. Menjauhkan Embun dari bahaya laku-laki yang akan mencoba menggoyahkan kesetiaannya.
Tidak perduli bagaimana pun masa lalu mereka berdua. Itu tetap saja masa lalu. Sekarang ini Embun adalah istrinya. Dan dia berhak untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi haknya.
Sementara Anak Dewa yang sedang patah hati dan kecewa luar biasa, pun mendadak menjadi gelap mata. Hilang sudah sikap santun dan educated yang selama ini menjadi ciri khasnya. Dia memandangi wajah Embun pagi dengan mata memerah.
Ia segalanya yang aku inginkan. Sekaligus segalanya yang tidak bisa kumiliki sekarang.
Jika dulu karena terhadang adat istiadat, kini malah terhalang seorang laki-laki keparat yang berstatus sebagai suaminya. Baiklah mungkin dengan saling baku hantam begini setidaknya rasa sakit itu bertemu dengan pelampiasan. Anak Dewa berdiri dari sofa dan balas memukul Revan tak kalah ganas.
Dua pria besar dengan amarah membara pun akhirnya saling jual beli pukulan dan bergelut ganas sekuat tenaga. Gilang dan beberapa staff laki-laki pun tidak mampu untuk memisahkan dua singa lapar yang sedang marah itu. Embun yang mencoba ikut memisahkan malah nyaris terhempas kesudut ruangan akibat kuatnya tenaga mereka berdua.
Wajah Revan babak belur begitu juga dengan wajah Anak Dewa yang sudah berlumuran darah. Mereka berdua seperti tidak ada puas-puasnya saling baku hantam. Bunyi daging yang saling bertumbukan, terdengar begitu mengerikan ditelinga Embun. Dia kebingungan dan ketakutan melihat dua pria saling baku hantam karena dirinya. Belum lagi tatapan seluruh keluarga besar suaminya yang seakan-akan menuduhnya sebagai biang onar, makin membuatnya semakin serba salah saja.
"Bang Dewa. Sudahlah, Bang. Dak ado silang yang idak sudah. Dak ado kusut yang idak selesai. Berhentilah Bang Dewa. Sudahlah..."
Embun sampai mengiba-iba pada Anak Dewa agak menghentikan perkelahian yang makin lama semakin tidak terkontrol ini. Karena tidak berhasil membujuk Anak Dewa, Embun pun mulai mencoba satu cara terakhir yang paling ekstrim. Tiba-tiba saja Embun memeluk Revan sambil berkata," Sudahlah Bang, berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada malah akan menimbulkan masalah baru. Berhenti ya, Bang? Maukah Abang berhenti demi saya? Orang yang abang akui sebagai istri Abang. Mau, Bang?"
Tubuh Revan mendadak kaku saat merasakan hangatnya tubuh Embun dan memeluknya dengan kedua tangan gemetar karena ketakutan.
Astaghfirullahaladzim, dia telah gagal sebagai seorang suami. Dia bahkan dengan sengaja telah membuat istrinya sendiri ketakutan karena mempertontonkan kebrutalan dirinya sendiri dan bukannya melindungi.
Tangan Anak Dewa yang sedianya akan menghantam wajah Revan pun terhenti di udara karena ada sosok tubuh mungil Embun di belakang tubuh Revan. Anak Dewa akhirnya menurunkan kepalan tangannya. Tetapi matanya tampak membara saat melihat Embun memeluk Revan tepat di depan matanya.
Hiks... hiks... hiks...
"Apapun akan Abang lakukan untuk kamu, istriku. Apapun Sayang. Maafkan Abang."
Revan memeluk Embun dengan tangan kanan dan mencium ubun-ubunnya dengan bibirnya yang pecah dan luka-luka. Mata Revan yang sebelah kiri bahkan tampak nyaris tertutup akibat bengkaknya. Darah juga terlihat terus menetes-netes dari hidungnya. Revan dan Anak Dewa sama-sama terlihat habis dan parah.
Hari ini Embun mulai belajar banyak hal. Salah satunya adalah belajar bagaimana cara untuk mencintai dan melupakan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dan sumpah itu amat sangat sulit sekali!
Notes.
Bepak = ayah
Induk = ibu
Melangun = meninggal
Seloko adat= hukum adat
Menti = orang yang bertugas untuk meyidang para pelanggar adat.
Mangku= orang yang menganbil keputusan dalam setiap sidang adat.
Pucuk Undang Nang Delapan Teliti Dua Belas= hukum rimba sakah yang terdiri dari 4 hukum diatas dan 4 hukum dibawah.
Iko jatuh di api hangus, jatuh ke aek, hanyut= Permasalahn ini cukup selesai sampai disini saja.
Dak ado silang yang idak sudah. Dak ado kusut yang idak selesai = tidak ada permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara baik-baik.
"Bang, Saya minta izin untuk berbicara secara pribadi berdua saja dengan Bang Dewa, boleh?"Embun memindai Revan mengepalkan kedua tangannya. Sepertinya Revan marah. Tetapi dia memang harus menjelaskan tentang status hubungannya dengan Revan pada Anak Dewa. Sekaligus juga memperbaiki hubungan dengan status baru di antara dirinya dan Anak Dewa sekarang."Anda ini seperti anak kecil yang takut kehilangan mainan saja. Ingatlah, Bung. Jangan menggenggam sesuatu terlalu erat. Karena takutnya ia nya malah mati atau hancur, karena tidak diberi celah sama sekali untuk bernafas.Lagi pula jodoh, maut dan rezeki itu urusan Allah. Bisa saja orang yang hari ini segar bugar sehat walafiat, tapi besok pagi telah terbujur kaku di bawah tanah. Maka berbuat baiklah agar sedikit mempunyai tabungan amal ibadah."Anak Dewa menyindir seolah-olah tengah menasehati. Padahal maksud hatinya adalah menyumpahi. Embun meliri
"Astaga berarti si Om ini kaya banget ya? Uangnya segini ya, Om?"Embun merentangkan kedua tangannya kemudian membuat gerakan membulat besar. Albert tertawa."Bahkan uang Om lebih banyak dari seribu kali dari gerakan tangan kamu itu. Hehehe."Albert merasa muda kembali saat berinteraksi dengan Embun. Gadis ini asli dalam hal apapun. Asli wajahnya, asli hatinya dan asli kebaikannya. Sikap manipulatif dan tukang cari kesempatan tidak ada didirinya. Terberkatilah siapapun yang menjadi pasangannya."Tapi Om kok tidak jahat ya? Biasa orang kaya itu jahat. Suka memandang orang dengan sepele, terus juga suka menghina orang miskin. Mbak Ret— eh biasanya begitu sih. Eh tapi nggak semuanya juga hehehe... Om ini udah kaya, baik, harum lagi."Embun tersenyum. Albert seketika merasa terkesima. Senyum itu mengingatkannya kepada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak akan bisa
Revan menghentikan laju kendaraannya saat sudah tiba di rumah. Ia menatap istri kecilnya yang masih ketiduran dengan perasaan bimbang. Mau dibangunin kasihan. Karena kelihatannya dia capek sekali. Kalau digendong, nanti kesannya dia seperti playboy tobat di depan semua orang.Selama ini dia sudah terbiasa dicap sebagai seorang penjahat kelamin oleh keluarganya. Aneh saja kalau ia tiba-tiba saja menjelma menjadi seorang pecundang cinta yang sampai mau maunya menggendong-gendong seorang perempuan yang tadinya bahkan dia tolak mati-matian. Mana ada duo kamprets lagi di sana. Dia cuma takut dicap dengan stigma ISTI yaitu singkatan dari Ikatan Suami Takut Istri.Tetapi akhirnya rasa kasihannyalah yang menang, dibandingkan dengan ego kelelakiannya. Dengan apa boleh buat akhirnya Revan menggendong tubuh mungil Embun melewati ayah dan ibunya di ruang tamu. Ia kemudian terus saja menaiki tangga lantai dua menuju kamar tidur mereka. 
"Kenapa diam lagi, hah? Mulutmu tidak mau dipakai ngomong ya? Baik kalau memang nggak mau dipakai untuk ngomong, akan Abang pakai untuk muasin Abang aja!"Revan kalau sedang emosi kata-kata yang keluar dari mulutnya memang frontal. Setelah mengancam Embun dan istrinya itu tetap diam, Revan pun memajukan tubuhnya ke depan. Ia melahap bibir Embun dengan segenap rasanya. Sementara Embun yang seumur hidupnya belum pernah dicium oleh siapapun, seketika gelagapan. Ia panik saat Revan mencuri nafasnya dan mengobrak-abrik mulut manisnya. Embun ketakutan saat Revan membelit lidahnya dan saling menukar saliva. Kedua tangan Embun berusaha menjauhkan wajah Revan dari wajahnya sendiri. Embun bahkan memukuli wajah Revan yang tidak mau melepaskan pagutan bibirnya."Oh, kamu mau main kasar sama Abang? Ayo aja. Abang malah tambah nafsu jadinya."Revan kini menarik pakaian Embun dengan cara mencabik-cabiknya menjadi potongan-potongan kecil.
"Astaga, Bang! Udah dong, turunin saya. Malu itu dilihatin orang." Embun memindai beberapa orang dari kerumunan pengunjung memegang ponsel, dan mengarahkannya pada mereka bertiga."Kenapa mesti malu? Kamu 'kan memang istri Abang. Jadi halal-halal aja kalau kita seperti ini. Lain cerita kalau orang lain yang bukan apa-apanya kamu, yang menggendong-gendongmu begini. Selain haram, orang itu tidak tahu aturan juga sepertinya."Revan menyindir halus-halus pedas pada Anak Dewa. Sementara yang disindir santai saja. Anak Dewa malah ikut berjalan di samping Revan."Manusia tukang ONS seperti Anda ini bicara soal haram dan halal, kok rasa-rasanya tidak cocok sama sekali ya? Apalagi jika membawa-bawa hadist segala kalau sudah ada kepentingan terselubung di dalamnya. Standar ganda sekali. Kalau sekiranya menguntungkan, Anda bawa-bawa aturan agama. Tetapi kalau merugikan, Anda pura-pura lupa sambil bilang namanya juga manusia. Tempanya salah dan d
Embun menatap ngeri pada gedung yang begitu tinggi, sampai terlihat seperti akan menjolok langit itu. Kantor suaminya ada ditempat yang seperti ini rupanya. Pasti naiknya memakai kotak kecil yang ditarik tali seperti di mall tadi. Embun agak-agak takut masuk ke dalam kotak kecil itu. Bik Popon saja tadi sampai tidak jadi menaikinya, karena melihatnya ketakutan setengah mati saat di supermaket tadi. Ini pasti suaminya akan memaksanya masuk ke dalam kotak kecil itu. Kedengarannya kok mengerikan ya? Embun sampai berkeringat dingin jadinya."Ayo my country girl. Kita masuk ke dalam. Abang sudah ditunggu client."Revan berjalan cepat sembari menggandeng Embun di tangan kanannya. Dengan jantung berdebar-debar tidak karuan Embun pun mengikuti langkah-langkah panjang Revan hingga nyaris terseret-seret. Di sepanjang jalan menuju kantornya, banyak mata-mata lapar pria yang menatapi Embun dengan terpesona. Sebagian dari mereka malah ada yang mena
"Udah dibawa semuanya? Laptop, buku-buku panduan, alat-alat tulis, kotak bekal. Eh itu termos air minum dan ponsel jangan lupa, sayang."Revan sibuk mengecek isi tas ransel Embun yang akan mengikuti kuliah di hari pertamanya. Mata Embun terbelalak saat melihat Revan yang terus saja mengisi tas ranselnya dengan bermacam-macam benda yang tidak penting hingga nyaris penuh. Embun sampai ngeri melihat Revan masih saja menjejalkan potongan berbagai macam buah dalam kotak tupperwa** ke dalam tasnya."Astaga, Abang. Itu tas Embun kok sampai menganga lebar dan nggak bisa ditutup begitu? Abang isiin apa aja sih?""Oh, selain laptop dan beberapa buku panduan, Abang memasukkan sweater kalau nanti kamu dingin di kampus. Terus ini kipas angin kecil, kalau kamu nanti mana tau kepanasan di sana. Beraneka macam roti, payung lipat sama ini terakhir, potongan buah yang berserat. Abang nggak mau kamu duduk di kantin dan makan ma
Kuliah baru saja usai. Embun tengah berbincang-bincang dengan Ibell sebelum Revan menjemputnya. Saat ini ia duduk disamping Ibell. Satu-satunya temannya di kampus. Ibell ini pintar dan lucu. Embun senang mengobrol dengannya."Hah? Jadi kamu tuh sudah menikah dengan, Pak Revan? Kok bisa? Soalnya Pak Revan itu 'kan baru aja memutuskan pertunangan dengan Luna Brata Kesuma, sepupu saya. Dia juga bilang tidak akan mau jatuh cinta lagi karena semua perempuan itu sama saja katanya. Capek-capek diperjuangin setengah hidup, eh milihnya malah orang lain."Setelah mengucapkan kata-kata itu Ibell jadi kepengen menggigit lidahnya sendiri. Tidak seharusnya dia mengatakan hal itu pada Embun. Emang dasar lidah tidak bertulang!Embun tertegun saat tahu bahwa Revan dulu pernah bertunangan dengan seorang wanita. Tapi kenapa suaminya itu memutuskan pertunangan ya? Embun sangat penasaran sekali. Ah pasti karena Revan harus menika