Berapapun jumlah angka yang menjadi status jawaban kala pertanyaan 'berapakah umurmu?', orang-orang merasa bahagia mengerubungi kala kepadatan sehari tersisihkan. Contohnya saat ini dimana seluruh gedung fakultas merasakan pesta dadakan. Bukan dikarenakan suatu perayaan di masing-masing jurusan, ulang tahun dosen, ataupun teman sekelas. Melainkan kampus mengadakan rapat merata yang wajib dihadiri seluruh dosen.
Mahasiswa-mahasiswi rasanya dibuat menangis bahagia, karena akhirnya masa dirindukan kala sekolah kembali terjadi di universitas. Kemerdekaan mahasiswa-mahasiswi dan murid adalah waktu pulang awal yang tentunya selain jam kosong. Jam memang baru menunjukkan saat makan siang. Sedangkan rapat akan berlangsung dari jam 12 hingga jam 3 sore. Lama? Ya itulah alasan kelas yang dimulai pukul 12 siang hingga 3 sore diganti jadwal.Beberapa kursi aula yang dijadikan ruang rapat telah diisi beberapa dosen. Tak seperti dosen lain yang menunggu dengan tenang, sembari bermain handphone menarikan jari ke sana kemari, terlelap mencari bab mimpi, atau melamun. Arion memilih menatap gedung seberang, dimana seberang aula adalah gedung parkiran para mahasiswa-mahasiswi. Tangan lebarnya memang bertumpu pada kaca. Orang-orang mungkin mengira dia si perfeksionis kebersihan, tetapi kotornya luar kaca aula tak Arion pedulikan nyatanya.Gadis berkuncir kuda dengan warna dark blue, yang tampak baru diwarnai itu tampak mencuri seluruh atensi Arion. Selagi gadis semalam lusa lalu dirinya hubungi, itu masih bersandar malas pada dinding parkiran. Maka Arion rela lebih lama menunggu rapat yang tak kunjung dimulai ini. Tak peduli dirinya kini telah dikerumuni karena tak duduk, melainkan berdiri dengan menatap kosong jendela yang mereka terka mengamati parkiran."Hai, bukankah gedung seberang biasa saja selain hanya parkiran seluruh mahasiswa-mahasiswi saja?""Menurutku pun demikian, hanya... Tampaknya ada hal luar biasa yang diamati Pak Ari.""Benar begitu bukan, Mas Arion?""Ya benar." Arion mengernyitkan dahi sekilas. Jawabannya tak ada yang salah, tetapi otaknya merasa berbanding terbalik. Arion membalikkan badan, lalu terbelalak kala tiba-tiba saja pandangannya ditutup kedua dosen lelaki dan dua dosen perempuan. Walau telah menghadap keempat teman dosen yang lebih muda, tetapi tak membuat ujung mata Arion tidak menatap area parkiran. Ntah apa yang dinanti gadis mirip mendiang sang istri, hingga wajah gadis tersebut tampak kesal bak singa betina."Pak, apakah penjaga parkiran gedung sebelah mengeniti anda? Jangan tergoda Pak, pilih saja salah satu mahasiswi yang menyukai Bapak!"Tak seperti dosen perempuan yang seringan kertas mengatakan hal seperti tadi. Salah satu dosen lelaki terlebih dahulu, menimang-nimang perkiraan penerkaannya. "Pak, mahasiswi itu menarik ya?""Eh, kau benar. Ntah mengapa aku pernah melihat wajah itu di handphone Bang Ari. Jangan-jangan itu putri Bang Ari yang dirahasiakan? Atau keponakan istri anda, Pak?"Tolong siapa, dimana, dan bagaimanapun caranya, sampaikan pada Arion jawaban yang tepat dan jujur. Sedangkan dia saja ragu dengan ketidaksengajaan atau kesengajaan ini. Bak benda sulit tenggelam tetapi kekeh ingin di tenggelamkan. Jungkat-jungkit bukan? Ya, begitu pula penerkaan penuh misteri, mengalahkan mengisi teka-teki silang bagi Arion.Tertawa miris kala putara kalimat diutarakan dokter, beberapa tahun silam kala kembali terbesit di benak. "Allah tak menakdirkan saya memiliki malaikat kecil. Bahkan... Saya saja heran mengapa mahasiswi itu duplikat mendiang istri saya. Apakah istri saya merengek pada Sang Pencipta, agar mempertemukan saya pada gadis yang mirip?"Tatapan gelap, sunyi, dan penuh kesepian itu terlihat jelas serta jujur tanpa disembunyikan sedikitpun. Mereka berempat mampu melihat jelas, bahkan ujung mata Arion sangat terhipnotis mengamati keindahan Zelin. Asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor telah memasuki aula secara bersusul-susulan. Rapat dimulai tepat kala lektor mewakilkan memberi salam.Perdebatan di gedung seberang aula untungnya tak terusik, dikarenakan gedung aula yang benar-benar tertutup dengan perendam suara. Walau jarak gedung parkiran hanya beberapa jengkal. Azelina tak henti-henti mengumpati sang sahabat sedari sekolah dasar, yang katanya berjanji mengantarkan karena banyak hal dikatakan. Tetapi nyatanya sang sahabat tak kunjung menampakkan batang hidung, hingga kakinya kesemutan dan punggung lelah bersandar."Vierra?"Zelin menoleh ke sana kemari mencari sumber suara. Tatapan bahagia pulang awal, lelah menanti, menjadi tatapan datar yang tertutup kekesalan. Zelin menunggu mahasiswa beda jurusan tersebut menghampiri dirinya."Maafkan aku. Tadi aku hendak menemuimu tetapi kekasihku meminta ditemani ke ruang organisasi."Zelin menganggukkan kepala mengerti. Kata orang bersahabat antara cowok dan cewek, itu pasti selalu terselip rasa. Ntah salah satu dari mereka, keduanya sama-sama suka lalu sempat menjalin asmara, atau sama-sama suka tanpa hubungan lebih dari sahabat. Sedangkan bagi Jaladri dan Azelina hal tersebut hanyalah angin lalu. Nyatanya mereka tak pernah memiliki rasa walau seujung kuku pun. Keduanya kompak menepati perjanjian persahabatan."Lantas bagaimana dengan kekasihmu? Apakah tak apa-apa kau benar mengantarku? Apabila kekasihmu tak mengizinkan, kita bicara di cafe belakang kampus saja bertiga.*Jaladri Béntang atau akrab dipanggil Jala ataupun Adri, lelaki itu menggelengkan kepala. Kekasihnya terlalu sibuk, tetapi dia jadi berjuta-juta persen apabila sang kekasih paham. Tak sebatas paham dengan hubungan dengan Zelin, melainkan juga percaya bila hanya sebatas sahabat sejak kecil."Vier, aku telah mengenalmu karena kita bersama sedari SD, SMP, SMA, hingga kini. Kita tak melewati waktu secara terpisah karena satu almamater, tetapi kau tak lupa Kak Xavier bukan? Ingat. Kabarnya beberapa bulan atau secepat-cepatnya beberapa bulan lagi kakak tingkat itu kembali. Kuyakin tak mungkin dia tak geram bila tahu kau hanya dijadikan bak gadis pemuas si dosen baru yang tua itu."Zelin mengernyitkan dahi tak suka dan terima. Baiklah dia paham. Perkataan itu bermaksud untuk menasihatinya, tetapi mengapa kalimat yang terucap cenderung ke arah penghinaan? Apakah persahabatan mereka telah tiba di titik jenuh? Atau ini hanya efek sebagai mahasiswa semester awal dengan tugas setumpuk?Api harus dipadamkan dengan air, bukan justru disiram dengan minyak membuat api kian menyebar. Zelin menghela nafas, mengontrol emosi tak mendominasi diri."Topik apa yang kita bahas, Dri? Kak Xavier atau Pak Rion?""Lihat! Bahkan kau memiliki nama sebutan khusus."Zelin mengigit bibir tak tahan hendak melemparkan Jala ke aula. "Mari mempersingkat waktu saja karena tugas telah menanti di rumah. Perkiraan kalian semua hanyalah kesalahan belaka. Aku tak tahu alasan Pak Arion menghubungi lusa lalu."Merasa percakapan telah berakhir dengan penjelasan sebaik mungkin. Tanpa mendengarkan kemungkinan penawaran pulang bersama, kilahan jawaban atau pertanyaan Jala, Zelin menuruni area parkiran. Arion kini mengikuti arah pergerakan Zelin, yang menuruni jalan melingkar menuju ke luar kampus. Raganya memang sepenuhnya di aula, netra fokus sedari awal mengamati parkiran walau semu-semu tapi pasti, telinganya mendengarkan tetapi pembahasan rapat.Otak dan hati Arion saat ini berperang. Interaksi beberapa menit lalu sangatlah terlihat akrab. Paras dan postur tubuh sejoli itu juga cocok bagi Arion. Ntah apa yang dibahas tetapi ekspresi kesal Zelin menarik rasa penasaran Arion.Pagar besi semula menjulang tinggi dari kejauhan, bahkan menutupi megah dan indahnya rumah berhasil Arion lewati. Rumah dengan tipe model klasik bergaya Perancis, kembali berada di depan mata Arion. Tak ingat berapa lama waktu pastinya kaki Arion menapaki rumah masa kecil almarhumah istri. Masih sama tanpa perubahan spesial selain pergantian cat saja.Arion menekan bel yang tak jauh keberadaan dari posisi tempat berpijak. Salah satu pekerja di rumah sang mertua membukakan pintu. Lama tak bertemu dengan pria di hadapannya, membuat netra sang pekerja hampir saja terlepas dari posisi. Mengamati dari atas hingga bawah penampilan Arion, karena merasa tak berubah walau berpuluh-puluh tahun tak berkunjung.Sebuah karakter di film dan buku-buku mitologi kuno membuatnya seketika teringat. Vampir-- Karakter mitologi legenda yang tak asing di ingatan karena kebiasaan menghisap darah. Tampaknya mulai saat ini pekerja itu akan percaya, dengan film-film fantasi yang melibatkan karakter vampir. Dia
Tinggi, kekar, tampan, pintar, kaya, mapan di usia muda. Rasanya bukankah rentetan kalimat tadi cukup menjabarkan kesan kesempurnaan, lelaki dengan setelan jeans yang di dalamnya dirangkap kaos putih polos? Bahkan dimanapun berada lelaki ini mendapatkan perlakuan sama kala di tempat ini. Tak sebatas sepasang dia pasang netra saja yang memandang, puluhan mahasiswi menatap kagum dan lapar. Berbeda dengan tatapan diberikan mahasiswi, para mahasiswa justru menatap iri pesona lelaki bersetelan jeans.Tak memberi tahu kabar kebahagiaan ini pada sang kekasih yang telah menunggu. Xavier berhasil menyelesaikan acara studinya di London, lebih cepat dari target yang diberikan. Tenang saja walau dikerjakan secara cepat-cepatan, bukan berarti hasil pekerjaan mahasiswa cerdas ini dikatakan tak memuaskan. Walau dengan sedikit dorongan dana orang tua, juga bukan berarti membuat Xavier manja. Kini tugas di kampus ini hanya beberapa langka lagi hingga kelulusan.Menatap rindu bangunan bertingkat telah b
Mobil mewah audi A8 L berwarna hitam telah terparkir di rumah hampir 30 menit. Gugup karena sekian lama tak melakukan interaksi, dengan penghuni-penghuni rumah tempatnya parkir membuat ragu melangkah. Bangunan mewah bernuansa ala Italia karena ketertarikan pemilik rumah, kembali Xavier pijak dalam waktu yang ntah kapan terakhir kali karena dirinya pun lupa. Hanya saja rumah ini masih tak menumpulkan kenangan di benaknya. Bayangan sang gadis dia kenal sedari kecil, kakak sang gadis, dan sahabat lelaki sang gadis selalu mengelilingi benak setiba di rumah Zelin.Posisi yang tak beranjak walau secentipun membuat objek pandang Xavier terbatas. Gerbang menjulang tinggi dengan sisi kanan, secara semu-semu dedaunan tanaman pucuk merah sedikit menyumbul efek lama tak dipotong. Senyumnya terpatri kala mengingat kepingan masa kecil. Ketiganya pernah menemani wanita pemilik rumah, berkebun karena ketertarikan pada tanaman tak sirna. Tawa riang Zelin rela renyah walau terselip isakan, d
Kala hidup netra tak henti-henti mengamati kesenjangan sosial. Tetapi kala bukan selimut tebal membalut kulit kala dingin, tidak juga selimut dengan lubang-lubang membungkus. Maka netra tertutup sempurna dengan kemustahilan kembali ke dunia, justru memukul telak pemikiran orang-orang. Kala hidup kau berbeda dan direndahkan.Tetapi bagaimana kabar kala seluruh tubuh tanpa terlewat terbalut tanah? Bukankah status kala nisan menghias suatu lahan tanah kosong, itu cukup menjadi definisi antonim kesenjangan sosial? Harta kau perjuangan di kehidupan tetapi kala menjadi penghuni liang tanah, tak mungkin rasanya tumpukan harta ikut masuk menemani. Tubuh terbujur kaku hanya menanti waktu mengikis menyisakan tulang.Tempat penghuni bergelar almarhum dan almarhum telah dapat Arion lihat. Tanjakan menuju pemakaman telah aman terlewati, walau sekian lama tak bermain kemari. Kumpulan bunga segar kesukaan penghuni hati menemani samping kursi kemudi. Tak lagi sesak kala tanah mula
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Tak ada lagi si hobi menyengat menusuk kulit yang mengintip di cakrawala. Tak ada si bulat tanpa sisi, identik warna orange serta kuning di fantasi anak-anak. Si biru telah berganti menjadi si gelap tanpa sedikit kecerahan. Jam telah bercumbu bertemu jarum sama di tengah, membuat sunyi kian bersandang.Tak ada musik semu-semu mengisi sunyi. Tak ada jua percakapan agar tak segersang ini. Bak sungai tengah dilanda kekeringan. Sunyinya area balkon dihiasi dengan lembar-lembar tugas mandiri maupun kerja kelompok, sampah-sampah berceceran berbaur secara abstrak tanpa arah. Bubuk micin berbaik hati tak melirik mulusnya tugas, sehingga tak panik. Semut belum berteriak mengundang atensi pasukan kawannya. Bubuk dijaga salah satu pelaku tersisa tampaknya belum menggoda semut. Ntah belum tergoda atau telah tergoda namun takut tepatnya. Sang penjaga tengah celana setengah paha, dan lengan tebal dari sweater dikenakan tampak masih asyik terlelap.Ntah telah memasuki l
Rumah kembali terasa sunyi walau masih terdapat Azelina sebagai penghuni. Tetapi gadis itu menjadi lebih sangat pendiam. Tak ada sepatah dua patah kata sejak kejadian lari pagi kapan hari. Keresahan tak surut dirasa seluruh penghuni rumah.Bahkan asisten rumah tangga dan supir tak tahu awal mula pun heran. Mereka hanya diberi tugas untuk mengirim makanan ke kamar Azelina, merayu gadis itu agar mau makan walau hanya bisu di dapat. Ruang tamu diisi oleh ketiga orang yang melakukan kegiatan kompak. Mereka tengah memijat kepala bingung harus bagaimana, agar Azelina kembali seperti sediakala."Mi, dulu si adek gini juga nggak sih pas sama temennya Abang yang siapa itu namanya?""Xavi bukan, Bang?" jawab Mami duo A mengingat-ingat.Valko melirik sekitar walaupun terkesan mustahil dengan kemunculan pelaku. Yakin dengan pelaku benar menjelma batu, dia membalas tebakan sang Mama dengan anggukan kepala.
Matahari telah menampakkan diri walau tak begitu menyengat. Tak bisa disebut mendung tetapi juga tak bisa disebut cerah. Langit tampak membingungkan layaknya beberapa hati manusia. Beberapa memilih masih bergeming dalam selimut, namun beberapa lagi mulai melakukan persiapan lari pagi."Dek.""Bang!""Dek, Bang!""Pi, kayaknya Vierra sama Valko kecapean kuliah deh jadi mereka nggak bisa ikut.""Ya udah Mi, kita olahraga berdua saja kayak biasa."Gadis yang dimaksud seketika menyibakkan selimut, lalu terduduk sembari mengusap mata, walau masih dengan setengah nyawa dia memekik seketika merasa tak setuju. "Vierra nggak mau ditinggal sama Abang aja berdua di rumah!"Sepasang orang lanjut usia dengan uban dimana-mana, seketika kompak membelalakkan mata, serta mengusap dada merasa terkejut. Rasa terkejut kembali terulang kala melihat Valk
Layaknya langit malam tengah kebingungan, rasanya Azelina mendapatkan partner menari-nari dalam kebingungan. Tak terdapat bintang, semunya sinar rembulan, kencang angin, gerahnya udara, langitnya malam. Uh, bahkan sifat langit itu abadi dalam kegelapan.Memang tak seindah lukisan abstrak dari pelukis ternama, tetapi otak Azelina terasa abstrak dengan aneka topik harus dipikirkan. Tak sebatas dua atau tiga topik, melainkan aneka topik memenuhi layaknya roti dengan aneka topping. Rasanya otaknya bak buku dengan ribuan halaman. Otaknya kusut layaknya benang wol yang membelit, sekali tarik maka dirinya takut akan hancur."Belum tidur, Nak?"Pintu yang tak dikunci bahkan tak ditutup rapat membuat wanita paruh baya itu dengan mudah masuk. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar putrinya diisi kegelapan. Helaan nafas terjadi kala menatap tirai balkon terbuka. Dia meletakkan segelas susu hangat milik sang putri, lalu menghamp
Lelaki yang umurnya tak jauh dari Azelina menatap ke dalam kelas sang adik. Notifikasi tak kunjung dibalas sang pelaku membuatnya berujung kemari. Dia menatap gemas kala seketika bertatapan dengan seseorang dicari sedari tadi ternyata tengah bersantai. Seakan tak sempat bertatapan, sang gadis lebih dahulu memutuskan kontak mata lelaki lebih tua darinya."Woy Dek!" sapa Valko dengan berteriak.Azelina mengangkat bahu merasa terkejut lalu mengalihkan fokusnya. Dia menatap sang kakak telah duduk di kursi di hadapannya, sembari ujung mata menatap bingung salah satu sahabatnya hanya duduk manis sendirian di belakang kelas. Dia sembari tadi menanti Arci hingga menyusuri tiap lorong universitas, tetapi nyatanya sang sahabat memilih meninggalkannya duduk seorang diri di belakang kelas. Tidak, bukan karena dia ingin mengekang Arci dengan memiliki waktu hanya bersamanua, melainkan ekspresi gadis itu sebelum meninggalkannya membuat dia penasaran.
"Eh, udah jam segini kok Pak Ari belum masuk kelas sih?""Ketua coba tanyain dong inikan tanggung jawab lo.""Tanggung jawab Lina alias Azelin lah kan dia ceweknya.""Jangan-jangan kecewa dan bosan sama Azel tapi kita semua kena getah beliau nggak mau ngajar lagi."Memang bukan dirinyalah pemilik nama yang dibisikkan para teman sekelas. Tetapi hatinya ikut panas serta muak, dengan pembahasan terus diputar-putar tiap harinya. Ibaratnya es putar saja bila sudah jadi tidak diputar. Tak seperti berita Azelina dan Arion, sudah reda tidak terbit lagi berita di mading tetapi teman sekelas selalu saja membahas bak radio rusak mulut mereka.Gadis itu menggeser secara kasar kursinya lalu menggebrak meja. Tak sebatas sepasang atau dua pasang mata semata, melainkan seluruh mahasiswa-mahasiswi yang hadir seketika memusatkan objek pandang ke Arci. Pemilik nama sedari kemarin hanya diam menahan
Gadis itu menghentikan pergerakan meringkas barang karena kelas telah berakhir, kala dia merasa bahwa ada seseorang yang mendekat. Dari aroma parfum dikenakan dia sangat yakin, apabila yang berada di sekitarnya adalah seorang lelaki. Lelaki yang bukan miliknya dan dirinya rindukan. Lelaki itu berdeham kala gadis ditunggu tak kunjung berbalik badan."Ada apa kau kemari?" tanya Azelina langsung pada intinya.Sang ketua kelas tertawa hambar. Pertanyaan membodohi atau bodohkah yang Azelina tanyakan itu? Dia mengangkat tumpukan lembar tugas telah diselesaikan para kawan. Azelina mengernyitkan dahi kebingungan."Kok lo kasih ke gue. Lo kasih ke Pak Arion sendiri lah. Emang deadline hari ini apa pengumpulannya?""Iya, di tengah tugas ada catatan kecil dari Pak Arion. Kata beliau suruh lo yang kumpulin. Emang kenapa sih? Kalian kan juga sepasang kekasih. Bukannya kabar kalian juga sudah seatap? Kalau udah se
Memijak di lantai yang sama serta suara tubrukan antara tumpukan buku dan barang lain yang jatuh, membuat sang pria tetap menyembunyikan keterkejutan. Mengabaikan perkataan orang dia acuh atau kejam. Setidaknya dia melakukan hal ini pun karena suatu alasan sangat kuat. Dimana sang gadis yang meminta untuk tidak menampilkan secara jelas hubungan keduanya.Ditambah bukankah gadisnya sendiri yang meminta untuk renggang? Azelina menatap sengit Arion yang tak membantunya kesusahan, padahal jelas-jelas Arion hanya bersandar di dinding belakang sana. Arion menahan kekehan gemas pada kekesalan Azelina. Dia memilih menyimak sembari mencatat wajah-wajah mahasiswi hobi bergosip."Sst lihatlah si Azel kesusahan tuh kasian.""Lah masak kita orang di belakangnya cuma berapa langkah ada lakinya.""Emang mereka masih berhubungan ya?""Eh kata si X sih mereka udah nggak berangkat bareng."
WhatsAppBang Valko| Dek| Adek| Ra| Vierra lo kalau nggak sibuk dan nggak ada kelas sampai malam tolong ke rumah ya.| Mami Papi cariin lo| Mau gue jemput di apart? Diantar Jala? Naik ojek? Dianter Pak Ari atau gimana?| Tolong balas kepastiannya dan jangan cuma dibaca ya adek Abang Valko Aryasatya BastianGadis pemilik handphone sebenarnya tengah merasa malas hendak kemana-mana. Dia hendak menikmati ketenangan yang sunyi sejak berita bersama Arion tak ada lagi. Sejak tak terlalu bersama Arion, Azelina merasa hampa dan kesepian. Penawaran sang kakak membuatnya rindu tertahan pada Arion kembali mencuat.Azelina berjalan menuju kamar lalu ke balkon, netranya mengernyit, menepuk dahi heran dengan dirinya sendiri. Dia berbalik arah memilih jalan pintas dengan lewat, pintu yang dibuat Arion untuk mempersingkat waktu. Azelina mengernyit kala hendak membuka pintu, tetapi
Ntah mengapa Azelina mulai terbiasa melihat sang Kakak yang menempel pada sahabatnya, kala mereka tengah tongkrong padahal beda fakultas dan tingkat. Sebenarnya Azelina heran dimana keberadaan Xavier, karena biasa sang kakak akan nongkrong dengan lelaki itu. Atau menongkrong dengan tongkrongannya. Tetapi ada apakah dengan Valko?Azelina heran hingga menjadi kecurigaan yang menggatalkan mulut. Apakah yang disembunyikan sang kakak? Apa mau sang kakak atau adakah yang dipendam? Seperti biasa kafe depan kampus, atau belakang kampus menjadi langganan mereka.Apabila biasanya kedua lelaki yang terlambat, maka kali ini yang terlambat adalah sang topik utama pembahasan. Mereka cemas takut terjadi hal tak mengenakan pada Azelina. Ditambah berita kian menyimpang dan aneh membuat mereka harus kian menjaga Azelina."Bang jemput adek lo sana!"Valko melirik Arci yang memerintahnya. Dia menggelen