Tubuh Arion rasanya bak kayu yang digerogoti rayap. Seluruh tubuhnya lelah tanpa terlewat walau seujung kuku bayi baru lahir. Lisan dan otaknya tak berhenti bekerja sejak kerakusan menyandang Arion. Sudah menjadi CEO tetapi dengan gila masih menyetujui penawaran sang sahabat. Dimana penawaran tersebut Ari setujui, berujung pada hari pertama perasaannya dibuat kaku. Paras, postur tubuh, dan nama yang duplikat membuat Arion seketika teringat mendiang belahan hatinya.
Otaknya gatal menuntut perihal kejanggalan. Tetapi waktu tak lelah-lelah menjadi konflik kehidupan. Arion menatap cahaya rembulan yang menyerupai netra sang mahasiswi. Tak begitu bersinar tetapi membius Arion.Konon kata orang bila merindukan seseorang, maka tataplah langit malam. Bisa jadi seseorang tersebut menjelma menjadi bintang. Sedangkan kala siang katanya seseorang tersebut bersembunyi di balik gumpalan awan. Arion memutar kenangan dalam benak.Badan yang dipasangi oleh aneka kabel rumah sakit, dada yang disisipkan alat detak jantung, surai lebat kini ditutupi penutup kepala, hidung diselipkan oksigen, dan bibir pucat Azalea tak membuat Arion jenuh menapaki depan ruang ICU. Netra dan raga Arion masih menanti harap cemas, berharap wanitanya pulih total dari tumor jantung dan kanker paru-paru menyerang Marissa."Mas, ayo kita adopsi anak saja.""Mas, maafkan Rissa tak bisa memberikan keturunan.""Mas, Rissa rela bila Mas menikah lagi karena Rissa tak bertahan lama.""Mas, nggak capek temani Rissa ke rumah sakit terus?""Mas, tak perlu antar kemoterapi. Mas, tampak sangat lelah.""Mas, kira-kira perkiraan dokter kanker dan jantung hanya perkiraan atau beneran ya?""Mas maduku! Anakmu dengan istrimu kelak juga akan kuanggap anakku sendiri, bila istrimu tak keberatan.""Mas, pasti andai tubuhku tak penyakitan... Di janin ini ada benihmu."Arion pada saat itu hanya mampu menatap langit melalui jendela saja. Hatinya terlalu terasa bak digergaji tak kuasa menatap sang pujaan hati, yang tubuhnya kian menyisakan tulang serta kulit secerah sinar mentari itu justru sangat pucat. Lipstick yang menutupi kepucatan bibir mungil Azalea bahkan tak lagi berguna. Hanya kebaikan Tuhan untuk memberikan keajaiban.Kini kata keajaiban menghilang seutuhnya. Hati Arion tak lagi mampu mengucap harapan bodoh, tepat kala bunyi alat EKG (Elektrokardiogram). Alarm siaga dokter jaga di ICU pun menyusul berdenting. Perawat dan dokter kompak mencari kamar menjadi sumber suara.Tampaknya tapak kaki terpaku Arion kala bertemu Azelina, lebih terpaku kala realita menampar kuat-kuat. Dokter dan perawat masuk ke ruang Azalea. Tirai ditutup agar Arion tak lagi mampu memandang sang istri. Mengalahkan ramainya irama di diskotik, degup jantung Arion terasa berkejaran. Detak tersebut terhenti tepat kala sang dokter keluar."Maafkan kami, Pak. Kami--""Katakan yang benar, Dok!""Kami gagal menyelamatkan Ibu Azalea. Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Pak. Semoga anda beserta keluarga diberikan kekuatan."Tanpa peduli tirai masih belum tersibak. Tak peduli para perawat yang masih melepaskan alat medis. Arion menyibakkan kasar selimut menutup paras sang istri. Bukan dekapan hangat tersalurkan, sebagai rumah satu-satunya. Tubuh kaku nan dingin sang istri yang tak lagi merespon dekapan, tetap saja Arion dekap membuat beberapa perawat memilih undur diri. Pemandangan yang telah tak asing lagi di netra mereka.Sensasi menggelitik, bak ditusuk-tusuk kulitnya, Arion seketika tersadar dari tidur bersandar pada pembatas balkon. Arion mengusap dada merasa masih beruntung tak terjatuh. Lelaki tersebut menatap langit dari balkon sebelum terlelap di kamar semasa bujang, setelah cukup lama tak mengunjungi rumah mendiang kedua orangtuanya."Mom, Dad, mengapa kalian membawa Lea sekalian bukan membantu Arion agar Lea bertahan?" protes Arion yang hanya disahuti suara mesin AC.Jam telah menunjukkan pukul tiga pagi, tetapi netra Arion belum terlelap mengarungi alam mimpi. Pria tersebut menatap kosong sisi kasurnya. Kepingan beberapa potongan kenangan bersama sang orang tua, tak ingin kalah dengan ikut muncul tiba-tiba. Merasa jenuh dengan acara berusaha terlelap, Arion meraih handphone mengulir asal apapun berharap rasa kantuk menetap.[Halo, Pak?]Arion menyebutkan semua penghuni kebun binatang, kala jemari panjang nan besar miliknya terpeleset menghubungi salah satu nomer mahasiswinya. Seharusnya tak jahil memantau percakapan para mahasiswa-mahasiswi, yang bak murid-murid tukang mengerjakan tugas dadakan di kelas. Seharusnya dia tak jahil mengawasi user tiap kontak mahasiswa di kelasnya.[Pak?]Suara menyejukkan ini. Suara memabukkan, membuat Arion melambung-lambung di angkasa rasanya. Degup ini adalah degup yang pernah Arion rasakan, tepat kala bertemu sang istri pertama kali. Degup yang irama sekilas mirip kala menanti jawaban lamaran. Arion berdeham keras, beruntung rumah hanya dihuni dirinya karena bibi telah pulang."Ya? Ah-- Maksud saya anda sedang apa, Zelin? Eh, tidak-tidak. Maafkan saya mengganggu tidur anda. Terima kasih telah menerima panggilan saya."Azelina di seberang sana tampak menjelma jadi patung. Pertanyaan sekian lama dirinya rindukan dari sang kekasih. Bukan mendengar kalimat sederhana melalui lisan sang kekasih, tetapi Azelina harus mendengar melalui lisan sang dosen. Dosen yang sempat membuatnya takut dan curiga, karena tatapan penuh pengamatan.Azelina mengamati ponselnya sebelum berpindah tempat dari duduk di meja belajar. Netranya ntah berapa kali mengamati nomer tertera, dengan nama kontak sengaj dirinya tulis 'Dosen Aneh'. Ntah mengapa tangannya gatal untuk kembali membuka pesan dari nomer dirinya arsipkan teratas. Rasa rindu menyelinap meminta keegoisan diri dimenangkan, kala gadis berbulu mata lentik itu menatap chat 6 bulan lalu dari sang kekasih."Xav, salahku aku mencurigaimu bermain belakang dengan gadis London di sana?""Bolehkah imajinasi liarku terbesit kau bermain belakang secara terang-terangan?""Apakah gadis lain hanyalah kebodohan terkaanku saja? Sedangkan nyatanya kau bermain belakang dengan gadis tanah air?""Akankah waktu indah atau buruk saat kita bertemu?""Xav, permen karet bisa hambar, apakah begitupula hubungan kita?"Bak seorang gadis dengan pemilik gangguan jiwa. Azelina tidaklah berdialog dengan sang otak ataupun hati. Gadis itu berdialog dengan dinding berwarna krem di hadapannya. Azelina menggerakkan bibirnya tanpa sang pelaku mengetahui seinchi pun.Layaknya malam-malam sebelumnya. Lagi-lagi Azelina meluapkan kreativitas, dengan membuat aliran air terjun tanpa bebatuan. Azelina membuat air terjun yang mengalir dari kedua pipinya. Air mata yang akan mengenai bantal dengan sarung berwarna cokelat. Azelina bukanlah gadis hobi membuat pulau dari bibirnya, tetapi gadis tersebut lebih hobi membuat air terjun. Lalu akan merutuki kebodohan membuat mata sembab di pagi hari."Hai, handphone siapakah ini?""Orang bodoh mana yang tak mengunci layar handphonenya.""Tak hanya itu saja bahkan tak menghapus bekas panggillan.""Dosen aneh? Bukankah ini dosen baru yang langsung jadi primadona itu?""Apakah ini handphone adik Kak Xavier ya? Tapi bukankah Kak Xavier anak tunggal? Tak mungkin bukan Kak Xavi tengah di London memiliki gadis mahasiswi baru?"Kalimat tanya demi kalimat tanya terus terlontar, karena pemilik handphone yang teledor tak menyadari handphone-nya terjatuh di kantin.Berapapun jumlah angka yang menjadi status jawaban kala pertanyaan 'berapakah umurmu?', orang-orang merasa bahagia mengerubungi kala kepadatan sehari tersisihkan. Contohnya saat ini dimana seluruh gedung fakultas merasakan pesta dadakan. Bukan dikarenakan suatu perayaan di masing-masing jurusan, ulang tahun dosen, ataupun teman sekelas. Melainkan kampus mengadakan rapat merata yang wajib dihadiri seluruh dosen.Mahasiswa-mahasiswi rasanya dibuat menangis bahagia, karena akhirnya masa dirindukan kala sekolah kembali terjadi di universitas. Kemerdekaan mahasiswa-mahasiswi dan murid adalah waktu pulang awal yang tentunya selain jam kosong. Jam memang baru menunjukkan saat makan siang. Sedangkan rapat akan berlangsung dari jam 12 hingga jam 3 sore. Lama? Ya itulah alasan kelas yang dimulai pukul 12 siang hingga 3 sore diganti jadwal.Beberapa kursi aula yang dijadikan ruang rapat telah diisi beberapa dosen. Tak seperti dosen lain yang menunggu dengan tenang, sembari bermain handphone me
Pagar besi semula menjulang tinggi dari kejauhan, bahkan menutupi megah dan indahnya rumah berhasil Arion lewati. Rumah dengan tipe model klasik bergaya Perancis, kembali berada di depan mata Arion. Tak ingat berapa lama waktu pastinya kaki Arion menapaki rumah masa kecil almarhumah istri. Masih sama tanpa perubahan spesial selain pergantian cat saja.Arion menekan bel yang tak jauh keberadaan dari posisi tempat berpijak. Salah satu pekerja di rumah sang mertua membukakan pintu. Lama tak bertemu dengan pria di hadapannya, membuat netra sang pekerja hampir saja terlepas dari posisi. Mengamati dari atas hingga bawah penampilan Arion, karena merasa tak berubah walau berpuluh-puluh tahun tak berkunjung.Sebuah karakter di film dan buku-buku mitologi kuno membuatnya seketika teringat. Vampir-- Karakter mitologi legenda yang tak asing di ingatan karena kebiasaan menghisap darah. Tampaknya mulai saat ini pekerja itu akan percaya, dengan film-film fantasi yang melibatkan karakter vampir. Dia
Tinggi, kekar, tampan, pintar, kaya, mapan di usia muda. Rasanya bukankah rentetan kalimat tadi cukup menjabarkan kesan kesempurnaan, lelaki dengan setelan jeans yang di dalamnya dirangkap kaos putih polos? Bahkan dimanapun berada lelaki ini mendapatkan perlakuan sama kala di tempat ini. Tak sebatas sepasang dia pasang netra saja yang memandang, puluhan mahasiswi menatap kagum dan lapar. Berbeda dengan tatapan diberikan mahasiswi, para mahasiswa justru menatap iri pesona lelaki bersetelan jeans.Tak memberi tahu kabar kebahagiaan ini pada sang kekasih yang telah menunggu. Xavier berhasil menyelesaikan acara studinya di London, lebih cepat dari target yang diberikan. Tenang saja walau dikerjakan secara cepat-cepatan, bukan berarti hasil pekerjaan mahasiswa cerdas ini dikatakan tak memuaskan. Walau dengan sedikit dorongan dana orang tua, juga bukan berarti membuat Xavier manja. Kini tugas di kampus ini hanya beberapa langka lagi hingga kelulusan.Menatap rindu bangunan bertingkat telah b
Mobil mewah audi A8 L berwarna hitam telah terparkir di rumah hampir 30 menit. Gugup karena sekian lama tak melakukan interaksi, dengan penghuni-penghuni rumah tempatnya parkir membuat ragu melangkah. Bangunan mewah bernuansa ala Italia karena ketertarikan pemilik rumah, kembali Xavier pijak dalam waktu yang ntah kapan terakhir kali karena dirinya pun lupa. Hanya saja rumah ini masih tak menumpulkan kenangan di benaknya. Bayangan sang gadis dia kenal sedari kecil, kakak sang gadis, dan sahabat lelaki sang gadis selalu mengelilingi benak setiba di rumah Zelin.Posisi yang tak beranjak walau secentipun membuat objek pandang Xavier terbatas. Gerbang menjulang tinggi dengan sisi kanan, secara semu-semu dedaunan tanaman pucuk merah sedikit menyumbul efek lama tak dipotong. Senyumnya terpatri kala mengingat kepingan masa kecil. Ketiganya pernah menemani wanita pemilik rumah, berkebun karena ketertarikan pada tanaman tak sirna. Tawa riang Zelin rela renyah walau terselip isakan, d
Kala hidup netra tak henti-henti mengamati kesenjangan sosial. Tetapi kala bukan selimut tebal membalut kulit kala dingin, tidak juga selimut dengan lubang-lubang membungkus. Maka netra tertutup sempurna dengan kemustahilan kembali ke dunia, justru memukul telak pemikiran orang-orang. Kala hidup kau berbeda dan direndahkan.Tetapi bagaimana kabar kala seluruh tubuh tanpa terlewat terbalut tanah? Bukankah status kala nisan menghias suatu lahan tanah kosong, itu cukup menjadi definisi antonim kesenjangan sosial? Harta kau perjuangan di kehidupan tetapi kala menjadi penghuni liang tanah, tak mungkin rasanya tumpukan harta ikut masuk menemani. Tubuh terbujur kaku hanya menanti waktu mengikis menyisakan tulang.Tempat penghuni bergelar almarhum dan almarhum telah dapat Arion lihat. Tanjakan menuju pemakaman telah aman terlewati, walau sekian lama tak bermain kemari. Kumpulan bunga segar kesukaan penghuni hati menemani samping kursi kemudi. Tak lagi sesak kala tanah mula
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Tubuhnya masih terasa kaku keseluruhan. Semu-semu kebiruan juga belum pudar sebagai pembuktian beberapa hari lalu. Wajahnya berangsur tak begitu pucat, sejak indra penciuman menerima aroma semu-semu kedatangan Arion berada di apartemen. Terkesan lucu dan konyol memang bagi orang lain, tetapi bagi orang sekitar Azelina itu semua bukan masalah selagi gadis itu hendak kembali makan.Kewarasan sempat hilang dimakan berita kini perlahan kembali. Gadis itu menoleh ke sana kemari lalu menoleh ke bawah, tepatnya mengamati sang kakak rela tidur tidur di kasur bawah. Tatapannya terkunci menatap lamat-lamat Valko. Aneka pemikiran menghias benak, tak tahan minta diungkapkan namun sang penjawab masih terlelap lelah.Tak ingin menganggu tidur sang Kakak Azelina berniat ke luar kamar. Suara bising dibuat Azelina membuat Valko terbangun walau masih dalam mata tertutup. Senyum miring terukir kala kaki Azelina hendak melewati tubuhnya, beruntung dia memilih tidur tak jauh dari pin
Wajah ayunya yang kini telah berubah bak mayat hidup, yang kian terasa buruk. Beberapa memar dan luka memang berujung memperburuk keindahan kulitnya. Tak sebatas semburat kebiruan, melainkan beberapa luka dengan darah juga muncul. Tak ada perih atau keram dirasa oleh gadis itu, selain hatinya yang terasa perih dan dingin.Sorot matanya masih terasa hampa tanpa hidup dan harapan. Langkahnya tak sekokoh tanaman di taman. Bibirnya tak sesegar buah baru dipetik. Dinginnya suhu tubuh tak sedingin lemari pendingin memang, tetapi tak sehangat suhu manusia pada umumnya. Pandangan gadis itupun tak begitu jelas, tak seperti kala mengurung diri di kamar.Ntah berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Bahkan dia juga penasaran bagaimana bisa terbangun dengan indera penciuman dipenuhi oleh obat? Apakah dia sehabis menyusul Pak Arion? Apabila iya dimana dan bagaimana kabar terbaru prianya itu kini?Kening gadis tersebut berulang ka
Rumah kembali terasa sunyi walau masih terdapat Azelina sebagai penghuni. Tetapi gadis itu menjadi lebih sangat pendiam. Tak ada sepatah dua patah kata sejak kejadian lari pagi kapan hari. Keresahan tak surut dirasa seluruh penghuni rumah.Bahkan asisten rumah tangga dan supir tak tahu awal mula pun heran. Mereka hanya diberi tugas untuk mengirim makanan ke kamar Azelina, merayu gadis itu agar mau makan walau hanya bisu di dapat. Ruang tamu diisi oleh ketiga orang yang melakukan kegiatan kompak. Mereka tengah memijat kepala bingung harus bagaimana, agar Azelina kembali seperti sediakala."Mi, dulu si adek gini juga nggak sih pas sama temennya Abang yang siapa itu namanya?""Xavi bukan, Bang?" jawab Mami duo A mengingat-ingat.Valko melirik sekitar walaupun terkesan mustahil dengan kemunculan pelaku. Yakin dengan pelaku benar menjelma batu, dia membalas tebakan sang Mama dengan anggukan kepala.
Matahari telah menampakkan diri walau tak begitu menyengat. Tak bisa disebut mendung tetapi juga tak bisa disebut cerah. Langit tampak membingungkan layaknya beberapa hati manusia. Beberapa memilih masih bergeming dalam selimut, namun beberapa lagi mulai melakukan persiapan lari pagi."Dek.""Bang!""Dek, Bang!""Pi, kayaknya Vierra sama Valko kecapean kuliah deh jadi mereka nggak bisa ikut.""Ya udah Mi, kita olahraga berdua saja kayak biasa."Gadis yang dimaksud seketika menyibakkan selimut, lalu terduduk sembari mengusap mata, walau masih dengan setengah nyawa dia memekik seketika merasa tak setuju. "Vierra nggak mau ditinggal sama Abang aja berdua di rumah!"Sepasang orang lanjut usia dengan uban dimana-mana, seketika kompak membelalakkan mata, serta mengusap dada merasa terkejut. Rasa terkejut kembali terulang kala melihat Valk
Layaknya langit malam tengah kebingungan, rasanya Azelina mendapatkan partner menari-nari dalam kebingungan. Tak terdapat bintang, semunya sinar rembulan, kencang angin, gerahnya udara, langitnya malam. Uh, bahkan sifat langit itu abadi dalam kegelapan.Memang tak seindah lukisan abstrak dari pelukis ternama, tetapi otak Azelina terasa abstrak dengan aneka topik harus dipikirkan. Tak sebatas dua atau tiga topik, melainkan aneka topik memenuhi layaknya roti dengan aneka topping. Rasanya otaknya bak buku dengan ribuan halaman. Otaknya kusut layaknya benang wol yang membelit, sekali tarik maka dirinya takut akan hancur."Belum tidur, Nak?"Pintu yang tak dikunci bahkan tak ditutup rapat membuat wanita paruh baya itu dengan mudah masuk. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar putrinya diisi kegelapan. Helaan nafas terjadi kala menatap tirai balkon terbuka. Dia meletakkan segelas susu hangat milik sang putri, lalu menghamp
Lelaki yang umurnya tak jauh dari Azelina menatap ke dalam kelas sang adik. Notifikasi tak kunjung dibalas sang pelaku membuatnya berujung kemari. Dia menatap gemas kala seketika bertatapan dengan seseorang dicari sedari tadi ternyata tengah bersantai. Seakan tak sempat bertatapan, sang gadis lebih dahulu memutuskan kontak mata lelaki lebih tua darinya."Woy Dek!" sapa Valko dengan berteriak.Azelina mengangkat bahu merasa terkejut lalu mengalihkan fokusnya. Dia menatap sang kakak telah duduk di kursi di hadapannya, sembari ujung mata menatap bingung salah satu sahabatnya hanya duduk manis sendirian di belakang kelas. Dia sembari tadi menanti Arci hingga menyusuri tiap lorong universitas, tetapi nyatanya sang sahabat memilih meninggalkannya duduk seorang diri di belakang kelas. Tidak, bukan karena dia ingin mengekang Arci dengan memiliki waktu hanya bersamanua, melainkan ekspresi gadis itu sebelum meninggalkannya membuat dia penasaran.
"Eh, udah jam segini kok Pak Ari belum masuk kelas sih?""Ketua coba tanyain dong inikan tanggung jawab lo.""Tanggung jawab Lina alias Azelin lah kan dia ceweknya.""Jangan-jangan kecewa dan bosan sama Azel tapi kita semua kena getah beliau nggak mau ngajar lagi."Memang bukan dirinyalah pemilik nama yang dibisikkan para teman sekelas. Tetapi hatinya ikut panas serta muak, dengan pembahasan terus diputar-putar tiap harinya. Ibaratnya es putar saja bila sudah jadi tidak diputar. Tak seperti berita Azelina dan Arion, sudah reda tidak terbit lagi berita di mading tetapi teman sekelas selalu saja membahas bak radio rusak mulut mereka.Gadis itu menggeser secara kasar kursinya lalu menggebrak meja. Tak sebatas sepasang atau dua pasang mata semata, melainkan seluruh mahasiswa-mahasiswi yang hadir seketika memusatkan objek pandang ke Arci. Pemilik nama sedari kemarin hanya diam menahan
Gadis itu menghentikan pergerakan meringkas barang karena kelas telah berakhir, kala dia merasa bahwa ada seseorang yang mendekat. Dari aroma parfum dikenakan dia sangat yakin, apabila yang berada di sekitarnya adalah seorang lelaki. Lelaki yang bukan miliknya dan dirinya rindukan. Lelaki itu berdeham kala gadis ditunggu tak kunjung berbalik badan."Ada apa kau kemari?" tanya Azelina langsung pada intinya.Sang ketua kelas tertawa hambar. Pertanyaan membodohi atau bodohkah yang Azelina tanyakan itu? Dia mengangkat tumpukan lembar tugas telah diselesaikan para kawan. Azelina mengernyitkan dahi kebingungan."Kok lo kasih ke gue. Lo kasih ke Pak Arion sendiri lah. Emang deadline hari ini apa pengumpulannya?""Iya, di tengah tugas ada catatan kecil dari Pak Arion. Kata beliau suruh lo yang kumpulin. Emang kenapa sih? Kalian kan juga sepasang kekasih. Bukannya kabar kalian juga sudah seatap? Kalau udah se
Memijak di lantai yang sama serta suara tubrukan antara tumpukan buku dan barang lain yang jatuh, membuat sang pria tetap menyembunyikan keterkejutan. Mengabaikan perkataan orang dia acuh atau kejam. Setidaknya dia melakukan hal ini pun karena suatu alasan sangat kuat. Dimana sang gadis yang meminta untuk tidak menampilkan secara jelas hubungan keduanya.Ditambah bukankah gadisnya sendiri yang meminta untuk renggang? Azelina menatap sengit Arion yang tak membantunya kesusahan, padahal jelas-jelas Arion hanya bersandar di dinding belakang sana. Arion menahan kekehan gemas pada kekesalan Azelina. Dia memilih menyimak sembari mencatat wajah-wajah mahasiswi hobi bergosip."Sst lihatlah si Azel kesusahan tuh kasian.""Lah masak kita orang di belakangnya cuma berapa langkah ada lakinya.""Emang mereka masih berhubungan ya?""Eh kata si X sih mereka udah nggak berangkat bareng."