Tubuh Arion rasanya bak kayu yang digerogoti rayap. Seluruh tubuhnya lelah tanpa terlewat walau seujung kuku bayi baru lahir. Lisan dan otaknya tak berhenti bekerja sejak kerakusan menyandang Arion. Sudah menjadi CEO tetapi dengan gila masih menyetujui penawaran sang sahabat. Dimana penawaran tersebut Ari setujui, berujung pada hari pertama perasaannya dibuat kaku. Paras, postur tubuh, dan nama yang duplikat membuat Arion seketika teringat mendiang belahan hatinya.
Otaknya gatal menuntut perihal kejanggalan. Tetapi waktu tak lelah-lelah menjadi konflik kehidupan. Arion menatap cahaya rembulan yang menyerupai netra sang mahasiswi. Tak begitu bersinar tetapi membius Arion.Konon kata orang bila merindukan seseorang, maka tataplah langit malam. Bisa jadi seseorang tersebut menjelma menjadi bintang. Sedangkan kala siang katanya seseorang tersebut bersembunyi di balik gumpalan awan. Arion memutar kenangan dalam benak.Badan yang dipasangi oleh aneka kabel rumah sakit, dada yang disisipkan alat detak jantung, surai lebat kini ditutupi penutup kepala, hidung diselipkan oksigen, dan bibir pucat Azalea tak membuat Arion jenuh menapaki depan ruang ICU. Netra dan raga Arion masih menanti harap cemas, berharap wanitanya pulih total dari tumor jantung dan kanker paru-paru menyerang Marissa."Mas, ayo kita adopsi anak saja.""Mas, maafkan Rissa tak bisa memberikan keturunan.""Mas, Rissa rela bila Mas menikah lagi karena Rissa tak bertahan lama.""Mas, nggak capek temani Rissa ke rumah sakit terus?""Mas, tak perlu antar kemoterapi. Mas, tampak sangat lelah.""Mas, kira-kira perkiraan dokter kanker dan jantung hanya perkiraan atau beneran ya?""Mas maduku! Anakmu dengan istrimu kelak juga akan kuanggap anakku sendiri, bila istrimu tak keberatan.""Mas, pasti andai tubuhku tak penyakitan... Di janin ini ada benihmu."Arion pada saat itu hanya mampu menatap langit melalui jendela saja. Hatinya terlalu terasa bak digergaji tak kuasa menatap sang pujaan hati, yang tubuhnya kian menyisakan tulang serta kulit secerah sinar mentari itu justru sangat pucat. Lipstick yang menutupi kepucatan bibir mungil Azalea bahkan tak lagi berguna. Hanya kebaikan Tuhan untuk memberikan keajaiban.Kini kata keajaiban menghilang seutuhnya. Hati Arion tak lagi mampu mengucap harapan bodoh, tepat kala bunyi alat EKG (Elektrokardiogram). Alarm siaga dokter jaga di ICU pun menyusul berdenting. Perawat dan dokter kompak mencari kamar menjadi sumber suara.Tampaknya tapak kaki terpaku Arion kala bertemu Azelina, lebih terpaku kala realita menampar kuat-kuat. Dokter dan perawat masuk ke ruang Azalea. Tirai ditutup agar Arion tak lagi mampu memandang sang istri. Mengalahkan ramainya irama di diskotik, degup jantung Arion terasa berkejaran. Detak tersebut terhenti tepat kala sang dokter keluar."Maafkan kami, Pak. Kami--""Katakan yang benar, Dok!""Kami gagal menyelamatkan Ibu Azalea. Kami mohon maaf sebesar-besarnya, Pak. Semoga anda beserta keluarga diberikan kekuatan."Tanpa peduli tirai masih belum tersibak. Tak peduli para perawat yang masih melepaskan alat medis. Arion menyibakkan kasar selimut menutup paras sang istri. Bukan dekapan hangat tersalurkan, sebagai rumah satu-satunya. Tubuh kaku nan dingin sang istri yang tak lagi merespon dekapan, tetap saja Arion dekap membuat beberapa perawat memilih undur diri. Pemandangan yang telah tak asing lagi di netra mereka.Sensasi menggelitik, bak ditusuk-tusuk kulitnya, Arion seketika tersadar dari tidur bersandar pada pembatas balkon. Arion mengusap dada merasa masih beruntung tak terjatuh. Lelaki tersebut menatap langit dari balkon sebelum terlelap di kamar semasa bujang, setelah cukup lama tak mengunjungi rumah mendiang kedua orangtuanya."Mom, Dad, mengapa kalian membawa Lea sekalian bukan membantu Arion agar Lea bertahan?" protes Arion yang hanya disahuti suara mesin AC.Jam telah menunjukkan pukul tiga pagi, tetapi netra Arion belum terlelap mengarungi alam mimpi. Pria tersebut menatap kosong sisi kasurnya. Kepingan beberapa potongan kenangan bersama sang orang tua, tak ingin kalah dengan ikut muncul tiba-tiba. Merasa jenuh dengan acara berusaha terlelap, Arion meraih handphone mengulir asal apapun berharap rasa kantuk menetap.[Halo, Pak?]Arion menyebutkan semua penghuni kebun binatang, kala jemari panjang nan besar miliknya terpeleset menghubungi salah satu nomer mahasiswinya. Seharusnya tak jahil memantau percakapan para mahasiswa-mahasiswi, yang bak murid-murid tukang mengerjakan tugas dadakan di kelas. Seharusnya dia tak jahil mengawasi user tiap kontak mahasiswa di kelasnya.[Pak?]Suara menyejukkan ini. Suara memabukkan, membuat Arion melambung-lambung di angkasa rasanya. Degup ini adalah degup yang pernah Arion rasakan, tepat kala bertemu sang istri pertama kali. Degup yang irama sekilas mirip kala menanti jawaban lamaran. Arion berdeham keras, beruntung rumah hanya dihuni dirinya karena bibi telah pulang."Ya? Ah-- Maksud saya anda sedang apa, Zelin? Eh, tidak-tidak. Maafkan saya mengganggu tidur anda. Terima kasih telah menerima panggilan saya."Azelina di seberang sana tampak menjelma jadi patung. Pertanyaan sekian lama dirinya rindukan dari sang kekasih. Bukan mendengar kalimat sederhana melalui lisan sang kekasih, tetapi Azelina harus mendengar melalui lisan sang dosen. Dosen yang sempat membuatnya takut dan curiga, karena tatapan penuh pengamatan.Azelina mengamati ponselnya sebelum berpindah tempat dari duduk di meja belajar. Netranya ntah berapa kali mengamati nomer tertera, dengan nama kontak sengaj dirinya tulis 'Dosen Aneh'. Ntah mengapa tangannya gatal untuk kembali membuka pesan dari nomer dirinya arsipkan teratas. Rasa rindu menyelinap meminta keegoisan diri dimenangkan, kala gadis berbulu mata lentik itu menatap chat 6 bulan lalu dari sang kekasih."Xav, salahku aku mencurigaimu bermain belakang dengan gadis London di sana?""Bolehkah imajinasi liarku terbesit kau bermain belakang secara terang-terangan?""Apakah gadis lain hanyalah kebodohan terkaanku saja? Sedangkan nyatanya kau bermain belakang dengan gadis tanah air?""Akankah waktu indah atau buruk saat kita bertemu?""Xav, permen karet bisa hambar, apakah begitupula hubungan kita?"Bak seorang gadis dengan pemilik gangguan jiwa. Azelina tidaklah berdialog dengan sang otak ataupun hati. Gadis itu berdialog dengan dinding berwarna krem di hadapannya. Azelina menggerakkan bibirnya tanpa sang pelaku mengetahui seinchi pun.Layaknya malam-malam sebelumnya. Lagi-lagi Azelina meluapkan kreativitas, dengan membuat aliran air terjun tanpa bebatuan. Azelina membuat air terjun yang mengalir dari kedua pipinya. Air mata yang akan mengenai bantal dengan sarung berwarna cokelat. Azelina bukanlah gadis hobi membuat pulau dari bibirnya, tetapi gadis tersebut lebih hobi membuat air terjun. Lalu akan merutuki kebodohan membuat mata sembab di pagi hari."Hai, handphone siapakah ini?""Orang bodoh mana yang tak mengunci layar handphonenya.""Tak hanya itu saja bahkan tak menghapus bekas panggillan.""Dosen aneh? Bukankah ini dosen baru yang langsung jadi primadona itu?""Apakah ini handphone adik Kak Xavier ya? Tapi bukankah Kak Xavier anak tunggal? Tak mungkin bukan Kak Xavi tengah di London memiliki gadis mahasiswi baru?"Kalimat tanya demi kalimat tanya terus terlontar, karena pemilik handphone yang teledor tak menyadari handphone-nya terjatuh di kantin.Berapapun jumlah angka yang menjadi status jawaban kala pertanyaan 'berapakah umurmu?', orang-orang merasa bahagia mengerubungi kala kepadatan sehari tersisihkan. Contohnya saat ini dimana seluruh gedung fakultas merasakan pesta dadakan. Bukan dikarenakan suatu perayaan di masing-masing jurusan, ulang tahun dosen, ataupun teman sekelas. Melainkan kampus mengadakan rapat merata yang wajib dihadiri seluruh dosen.Mahasiswa-mahasiswi rasanya dibuat menangis bahagia, karena akhirnya masa dirindukan kala sekolah kembali terjadi di universitas. Kemerdekaan mahasiswa-mahasiswi dan murid adalah waktu pulang awal yang tentunya selain jam kosong. Jam memang baru menunjukkan saat makan siang. Sedangkan rapat akan berlangsung dari jam 12 hingga jam 3 sore. Lama? Ya itulah alasan kelas yang dimulai pukul 12 siang hingga 3 sore diganti jadwal.Beberapa kursi aula yang dijadikan ruang rapat telah diisi beberapa dosen. Tak seperti dosen lain yang menunggu dengan tenang, sembari bermain handphone me
Pagar besi semula menjulang tinggi dari kejauhan, bahkan menutupi megah dan indahnya rumah berhasil Arion lewati. Rumah dengan tipe model klasik bergaya Perancis, kembali berada di depan mata Arion. Tak ingat berapa lama waktu pastinya kaki Arion menapaki rumah masa kecil almarhumah istri. Masih sama tanpa perubahan spesial selain pergantian cat saja.Arion menekan bel yang tak jauh keberadaan dari posisi tempat berpijak. Salah satu pekerja di rumah sang mertua membukakan pintu. Lama tak bertemu dengan pria di hadapannya, membuat netra sang pekerja hampir saja terlepas dari posisi. Mengamati dari atas hingga bawah penampilan Arion, karena merasa tak berubah walau berpuluh-puluh tahun tak berkunjung.Sebuah karakter di film dan buku-buku mitologi kuno membuatnya seketika teringat. Vampir-- Karakter mitologi legenda yang tak asing di ingatan karena kebiasaan menghisap darah. Tampaknya mulai saat ini pekerja itu akan percaya, dengan film-film fantasi yang melibatkan karakter vampir. Dia
Tinggi, kekar, tampan, pintar, kaya, mapan di usia muda. Rasanya bukankah rentetan kalimat tadi cukup menjabarkan kesan kesempurnaan, lelaki dengan setelan jeans yang di dalamnya dirangkap kaos putih polos? Bahkan dimanapun berada lelaki ini mendapatkan perlakuan sama kala di tempat ini. Tak sebatas sepasang dia pasang netra saja yang memandang, puluhan mahasiswi menatap kagum dan lapar. Berbeda dengan tatapan diberikan mahasiswi, para mahasiswa justru menatap iri pesona lelaki bersetelan jeans.Tak memberi tahu kabar kebahagiaan ini pada sang kekasih yang telah menunggu. Xavier berhasil menyelesaikan acara studinya di London, lebih cepat dari target yang diberikan. Tenang saja walau dikerjakan secara cepat-cepatan, bukan berarti hasil pekerjaan mahasiswa cerdas ini dikatakan tak memuaskan. Walau dengan sedikit dorongan dana orang tua, juga bukan berarti membuat Xavier manja. Kini tugas di kampus ini hanya beberapa langka lagi hingga kelulusan.Menatap rindu bangunan bertingkat telah b
Mobil mewah audi A8 L berwarna hitam telah terparkir di rumah hampir 30 menit. Gugup karena sekian lama tak melakukan interaksi, dengan penghuni-penghuni rumah tempatnya parkir membuat ragu melangkah. Bangunan mewah bernuansa ala Italia karena ketertarikan pemilik rumah, kembali Xavier pijak dalam waktu yang ntah kapan terakhir kali karena dirinya pun lupa. Hanya saja rumah ini masih tak menumpulkan kenangan di benaknya. Bayangan sang gadis dia kenal sedari kecil, kakak sang gadis, dan sahabat lelaki sang gadis selalu mengelilingi benak setiba di rumah Zelin.Posisi yang tak beranjak walau secentipun membuat objek pandang Xavier terbatas. Gerbang menjulang tinggi dengan sisi kanan, secara semu-semu dedaunan tanaman pucuk merah sedikit menyumbul efek lama tak dipotong. Senyumnya terpatri kala mengingat kepingan masa kecil. Ketiganya pernah menemani wanita pemilik rumah, berkebun karena ketertarikan pada tanaman tak sirna. Tawa riang Zelin rela renyah walau terselip isakan, d
Kala hidup netra tak henti-henti mengamati kesenjangan sosial. Tetapi kala bukan selimut tebal membalut kulit kala dingin, tidak juga selimut dengan lubang-lubang membungkus. Maka netra tertutup sempurna dengan kemustahilan kembali ke dunia, justru memukul telak pemikiran orang-orang. Kala hidup kau berbeda dan direndahkan.Tetapi bagaimana kabar kala seluruh tubuh tanpa terlewat terbalut tanah? Bukankah status kala nisan menghias suatu lahan tanah kosong, itu cukup menjadi definisi antonim kesenjangan sosial? Harta kau perjuangan di kehidupan tetapi kala menjadi penghuni liang tanah, tak mungkin rasanya tumpukan harta ikut masuk menemani. Tubuh terbujur kaku hanya menanti waktu mengikis menyisakan tulang.Tempat penghuni bergelar almarhum dan almarhum telah dapat Arion lihat. Tanjakan menuju pemakaman telah aman terlewati, walau sekian lama tak bermain kemari. Kumpulan bunga segar kesukaan penghuni hati menemani samping kursi kemudi. Tak lagi sesak kala tanah mula
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Waktu menampar membawa perubahan tak lagi menit, jam, dan detik lampau, belaian suhu alam telah berubah juga ikut berusaha menyadarkan. Kedinginan malam tak lagi menggerayangi membelai tiap inci kulit. Gelapnya malam terusir setelah mentari terbit. Nyamuk-nyamuk mulai menepi juga. Burung-burung bertengger terlelap telah kembali memulai hari dengan berkicau. Hening jalanan mulai diisi dengan aneka kendaraan. Polusi udara mulai mengepul di angkasa. Polusi suara juga tak kalah memekikkan telinga sekaligus melatih emosi. Mentari telah terbit walau belum menyengat, sinarnya masih aman menyapa tak hingga menembus tulang. Dangkalnya alam mimpi terasa telah seluruhnya diselami oleh nyenyaknya tidur semalam. Mata telah terpejam selama beberapa jam mulai merasa cukup. Salah satu dari penghuni balkon terlebih dahulu menyesuaikan cahaya. Kedua telapak tangannya spontan membekap mulut sendiri. Kala hampir saja hendak menggantikan tugas ayam berkokok dengan memekik t
Masih dengan handuk melilit rambut basahnya, sang gadis bergeming menatap kosong dinding pembatas unit di hadapannya. Bak pemanah salah membidik angka. Bak penghubung panggilan dengan jemari terpleset memilih nomer kontak. Bagai peracik masak salah menuang antara garam dan gula.Begitupula degup dengan janggal bersarang di hati Azelina sedari putus dengan sang mantan. Keliru atau tepatnya saja bahkan gadis pemilik hati ini pun bingung. Dia memang pemilik hati seharusnya tahu menahu. Dia jugalah tokoh utama dari kisahnya sendiri, lantas mengapa juga dirinya menjelma bagai kompas tanpa jarum panah? Pemilik netra teduh mengalahkan keteduhan langit hujan tanpa rintik. Paras ayu dengan potongan dagu kecil dan bulu mata lentik, sangat larut dalam lamunan melalang topik hingga tak sadar suatu hal. Senyuman hangat sebenarnya hendak terlengkung secara spontan di wajah tegasnya. Tetapi kala mengingat potongan kecil, kala dia tak sengaja menguping pembicaraan sang mahasiswi
Gelapnya malam mulai berubah menjadi orange berpadu langit biru. Bukan karena egois atau diculik, melainkan birunya langit belum secerah pukul delapan pagi. Terik mentari belum menyengat. Bahkan layaknya menggoreng dengan minyak panas, sang mentari masih malu-malu di sebelah timur. Dia masih mengintip kecil dan merangkak perlahan ke angkasa. Jam masih menunjukkan pukul lima dini hari. Mentari masih malu-malu menampakkan kilauan menyengatnya. Aspal jalanan masih hening tanpa bercak debu terjatuh. Heningnya kemacetan padat merayap kendaraan juga masih sangat hening.Gelungan selimut masih membungkus hangat. Alam mimpi masih terasa jauh untuk diselami ke garis finish. Liur membentuk pulau pribadi pun masih sibuk dibentuk. Tetapi berbeda dengan Azelina telah tiba di depan pagar universitas."Ini Pak, kembaliannya ambil aja buat sarapan.""Tapi Neng, ini lebih 50 ribu.""Udah Pak, buat makan, minum, rokok, dan jajan. Terima kasih, Pak."
Tegang keseharian mengalahkan tegangan listrik. Kepadatan pada suatu tempat memang mampu dengan mudah berganti tempat lalu melupakan. Tetapi ini mengenai ruang pada suatu wadah, melainkan padatnya kehidupan. Padatnya interaksi dengan dosen dan mahasiswa-mahasiswi di kampus, seakan-akan tak ingin mengalahkan jadwal padat kantor. Matahari telah kian menyembunyikan cahayanya. Kegelapan kian berselimut tebal. Angin terasa bak senjata tajam membelai indera perasa, lalu menusuk hingga ke tulang. Tak hingga mengeluarkan cairan merah ataupun tanda memang, tetapi ngilu dan nyeri membuat mulut mengadu.Sayang seribu sayang bukan aduan dibalas penenang bak candu dari yang terkasih. Melainkan angin merasa kesallah membalas aduan. Terasa bak pusaran puting beliung tak terlihat, angin kian kencang terasa hendak menerpa tubuh. Perubahan cuaca dadakan tanpa melihat perkiraan cuaca, membuat Arion bergidik setiba di unit apartemennya.Sayang seribu sayang kembali dilambungkan. Bukan dekapan dari sepa
Umur telah menginjak 43 tahun lebih beberapa bulan, membuat angka menuju usia puluhan terasa mendekat. Lucu dan terkesan konyol memang. Kau merasakan umur puluhan hanya dalam setahun, sedangkan menanti untuk hingga puluhan harus melewati 9 tahun agar bertemu si genap. Tujuh tahun mungkin terkesan cukup lama di dengar, tapi tidak untuk dirasa.Waktu tidaklah sebersahabat itu dengan makhluk hidup. Tidak ini tidaklah sebatas datang dan pergi, melainkan arti waktu secara keseluruhan. Netra setajam elang itu tampak masih mempesona belum dimakan umur. Tak seterang cahaya netra burung hantu di tengah gelapnya malam. Tak begitu tajam juga indera penciuman pemangsa bertemu umpan, tetapi aroma segarnya malam dengan air hujan dan parfum gadis tetangga telah tak asing menjalankan seluruh indera."Hei kau di sana!""Siapa kau?!""Menyingkirlah dari sana!""Pergilah dari rumah tetanggaku!"Layaknya orang dalam gangguan jiwa yang berdialog pada
Tak ada lagi si hobi menyengat menusuk kulit yang mengintip di cakrawala. Tak ada si bulat tanpa sisi, identik warna orange serta kuning di fantasi anak-anak. Si biru telah berganti menjadi si gelap tanpa sedikit kecerahan. Jam telah bercumbu bertemu jarum sama di tengah, membuat sunyi kian bersandang.Tak ada musik semu-semu mengisi sunyi. Tak ada jua percakapan agar tak segersang ini. Bak sungai tengah dilanda kekeringan. Sunyinya area balkon dihiasi dengan lembar-lembar tugas mandiri maupun kerja kelompok, sampah-sampah berceceran berbaur secara abstrak tanpa arah. Bubuk micin berbaik hati tak melirik mulusnya tugas, sehingga tak panik. Semut belum berteriak mengundang atensi pasukan kawannya. Bubuk dijaga salah satu pelaku tersisa tampaknya belum menggoda semut. Ntah belum tergoda atau telah tergoda namun takut tepatnya. Sang penjaga tengah celana setengah paha, dan lengan tebal dari sweater dikenakan tampak masih asyik terlelap.Ntah telah memasuki l
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti