Mobil mewah audi A8 L berwarna hitam telah terparkir di rumah hampir 30 menit. Gugup karena sekian lama tak melakukan interaksi, dengan penghuni-penghuni rumah tempatnya parkir membuat ragu melangkah. Bangunan mewah bernuansa ala Italia karena ketertarikan pemilik rumah, kembali Xavier pijak dalam waktu yang ntah kapan terakhir kali karena dirinya pun lupa. Hanya saja rumah ini masih tak menumpulkan kenangan di benaknya. Bayangan sang gadis dia kenal sedari kecil, kakak sang gadis, dan sahabat lelaki sang gadis selalu mengelilingi benak setiba di rumah Zelin.
Posisi yang tak beranjak walau secentipun membuat objek pandang Xavier terbatas. Gerbang menjulang tinggi dengan sisi kanan, secara semu-semu dedaunan tanaman pucuk merah sedikit menyumbul efek lama tak dipotong. Senyumnya terpatri kala mengingat kepingan masa kecil. Ketiganya pernah menemani wanita pemilik rumah, berkebun karena ketertarikan pada tanaman tak sirna. Tawa riang Zelin rela renyah walau terselip isakan, demi sang kakak tidak mengambing hitamkan Xavier.Bak bapak-bapak yang paginya telah diusik rengekan para buah hati. Lelaki sebaya Xavier keluar dengan menggunakan celana tidur bergambar beruang, kaos tanpa lengan berwarna putih, rambut dikuncir kecil-kecil yang dirinya yakini dari jemari lentik Zelin. Xavier bergeming tak menyangka melihat penampilan sang sahabat. Walau dari kejauhan Xavier mengigit bibir menahan tawa dibalik kaca bening mobilnya. Yang semakin membuat perut kian tergelitik adalah... Bandana melingkar kepala padahal rambut gondrong itu telah dikuncir mancung kecil-kecil.Valko Aryasatya Bastian-- Mahasiswa semester akhir yang akrab disapa Valko saat di rumah, sedangkan Arya atau Satya saat di kampus. Tangan berurat itu menggenggam berbungkuskan hitam yang berisi pot dari luar negeri. Gerutuan kesal hilang kala ekor matanya mengamati objek baru melalui sela-sela gerbang. Netranya merasa asing dan heran kala mobil audi terparkir dengan mesin menyala. Aneka kalimat tanya terukir di benak.Valko meletakkan pot di depan pintu secara asal. Prioritasnya saat ini adalah rasa penasaran. Valko membuka gerbang secara perlahan agar orang rumah yang lain tidak histeris. Memilih memutar gang demi berdiri di belakang mobil tanpa diketahui sang pemilik. Lamunan mengamati rumah di hadapan, bukan berarti membuat Xavier mengetahui bila sang sahabat di belakang mobil."Xa--Xavi?" Satu kata itu spontan terceletuk kalah melihat perawakan lelaki dari belakang, yang tentunya masih terhadang oleh kursi-kursi mobil.Tak ingin penerkaanya salah berujung hal tak sesuai harapan, Valko mengitari mobil mendekat ke bagian supir. Kaca mobil bagian kanan kiri yang hitam, membuat netranya sulit memastikan perkiraan benak. Lelaki dengan rambut berwarna biru gelap itu menekan kaca sampingnya. Valko bergeming terpaku dibuatnya. Sosok sering dibahas orang tua beserta adiknya, yang tak lain juga sang sahabat sedari kecil kini tepat di depan mata sela-sekian lama."Hi bro!""L--lo?" Masih dengan rasa tak menyangka, membuat Valko terbata."Iya gue, Val. Dimana Vierra? Di rumahkan?"Bukannya menjawab pertanyaan Xavier, Valko justru mengucapkan perintah agar pemilik mobil keluar. "Keluar buru!"Manakah ekspektasi kalian setelah Valko mengucapkan perintah. Pelukan, tos ala lelaki, atau kegiatan lainnya? Valko meninju Xavier dengan sikunya, kesal berselubung karena sang sahabat tidak memberitahu. Sedangkan sang adik sekaligus kekasih sang sahabat justru telah mengetahui. Manakah yang salah? Azelina tak bercerita atau Xavier tak memberi informasi?"Kapan lo sampai Indo? Emang urusan London udah selesai? Bukannya seharusnya wisuda baru pulang, ya? Wah curiga gue sama lo dan adik gue.""Kekuatan cinta dan rindu, Val. Makanya gue berhasil tetap wisuda di tanah air, selagi urusan sana udah selesai beberapa bulan.""Yakin bukan karena lo nganu adik gue."Bersahabat sejak lama membuat Xavier lebih santai dengan sang calon kakak ipar. Xavier mencapit kepala Valco, bahkan hingga membuka gerbang sendiri. Reaksi sama diberikan oleh wanita yang bergeming di depan pintu. Asing melihat lelaki yang mengapit putranya, sekaligus bertanya-tanya apa ulah yang dilakukan sang putra."Valco, sudah Mama bilang jangan nakal! Ayo minta maaf ke... Siapa namamu, Nak?"Xavier tersenyum hangat, menahan geli karena terkesan berubah padahal sama saja. "Xavier Emran Pratama, Mami."Mama Valco dan Vierra terpaku, hingga tak sadar apabila mulutnya terbuka. Wanita paruh baya itu spontan mendekap rindu, lelaki yang juga dirinya anggap sebagai putra kandung. Piama daster masih membungkus hangat serta, rambut acak-acakan sang gadis membuat Xavier bergeming melunturkan senyum hangat setelah menerima dekapan."Mi, Abang gak bisa dihubungi. Kayaknya Abang kebiasaan baterai habis nggak di charger," kata Azelin tak menyadari keadaan karena nyawa masih di kamar."Nak.""Dek.""Babe."Kesadaran Zelin terkumpul sepenuhnya kala mendengar suara Xavier. Gadis itu spontan berlari kembali ke kamar, mengingat janji tertulis di layar handphone. Nyenyak tidur dan legitnya alam mimpi membuat gadis itu bak penderita amnesia. Kembali dengan pakaian rapi, Zelin menggaruk leher tak gatal, lalu duduk diantara sang kekasih dan Valko ntah sejak kapan juga telah rapi."Loh Abang kok rapi? Katanya kelas malam.""Dimajuin dosennya jadi gue izin bareng kalian. Xavi udah setuju kok.""Tapi--""Gak apa-apa kok, Babe.""Tuh denger. Lo yang tetap depan deh."Perdebatan di rumah tak bersambung hingga dalam mobil. Mobil hanya diisi percakapan hangat, membahas hari-hari tanpa Xavier dan Xavier menceritakan harinya di London. Gedung-gedung fakultas menjulang tinggi, Valco telah berpamitan terlebih dahulu. Ntah penerkaan keliru yang asal belaka dalam benak masing-masing, atau penerkaan itu merupakan realita kehidupan. Xavier merasa ada yang mencurigakan di Azelina, dan Azelina anehnya juga merasa demikian."Babe, bolehkah aku bertanya?""Hah? Oh tentu boleh. Apa yang hendak kau tanyakan?"Xavier menatap pria di balik semak dan Azelina secara bergantian. "Kau mengawasi dosen belakangku bukan?""Tidak.""Ya! Jelas-jelas netramu menatap belakangku!""Apa-apaan kau ini, Xav. Kubilang tidak ya tidak!""Apabila tidak maka mengapa bisa desas-desus tentang mahasiswi baru tak mengikuti MOS (Masa Orientasi Sekolah) dicurigai menjalin kasih dengan dosen baru bernama Arion Prakasa?!"Azelina paling benci dibentak dan ditatap curiga tanpa bukti. Dia bersiap beranjak dari hadapan Xavier, berniat menuju ke gedung fakultasnya. Xavier terlebih dahulu mencengkeram erat pergelangan tangan Azelina, semburat ungu kebiruan seketika tercetak jelas. Azelina meringis membuat Arion bersembunyi hampir lupa."Lepaskan!""Kubilang lepaskan, Xav!""Xav, lepaskan!""Vierra Azelina Clarissa tak akan ku lepaskan kau sebelum mengaku desas-desus itu."Azelina meronta-ronta merasakan pergelangan tangan kian perih. Ditambah keduanya tengah menjadi pusat perhatian publik. Azelina tak lagi berteriak, malas menambah opini macam-macam publik."Mas Ari, itu ada apa kok berkerumun?" tanya dosen perempuan penasaran, ditambah Arion bukannya melerai justru bersembunyi."Saya juga tidak tahu."Mengernyit bingung sekaligus curiga dibuatnya. Netra dosen wanita itu terbelalak, kala Arion ntah kapan berpindah ke pusat kerumunan."Lepaskan Azelin!" perintah Arion.Xavier tersenyum miring, lalu menatap jijik sang kekasih. Tangan itu dengan ringan pertama kali menampar Azelina. "Begini masih tak mau mengaku kau, Azelina?! Dasar wanita gatal!"Azelina mengigit bibir bawahnya menahan isak tangis. Tamparan Xavier membuat wajah Azelina menoleh karena kencangnya. Arion spontan meninju bertubi-tubi tanpa arah Xavier."Banci sekali kau menampar Zelin! Jangan lakukan kekerasan padanya!"Kala hidup netra tak henti-henti mengamati kesenjangan sosial. Tetapi kala bukan selimut tebal membalut kulit kala dingin, tidak juga selimut dengan lubang-lubang membungkus. Maka netra tertutup sempurna dengan kemustahilan kembali ke dunia, justru memukul telak pemikiran orang-orang. Kala hidup kau berbeda dan direndahkan.Tetapi bagaimana kabar kala seluruh tubuh tanpa terlewat terbalut tanah? Bukankah status kala nisan menghias suatu lahan tanah kosong, itu cukup menjadi definisi antonim kesenjangan sosial? Harta kau perjuangan di kehidupan tetapi kala menjadi penghuni liang tanah, tak mungkin rasanya tumpukan harta ikut masuk menemani. Tubuh terbujur kaku hanya menanti waktu mengikis menyisakan tulang.Tempat penghuni bergelar almarhum dan almarhum telah dapat Arion lihat. Tanjakan menuju pemakaman telah aman terlewati, walau sekian lama tak bermain kemari. Kumpulan bunga segar kesukaan penghuni hati menemani samping kursi kemudi. Tak lagi sesak kala tanah mula
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Tak ada lagi si hobi menyengat menusuk kulit yang mengintip di cakrawala. Tak ada si bulat tanpa sisi, identik warna orange serta kuning di fantasi anak-anak. Si biru telah berganti menjadi si gelap tanpa sedikit kecerahan. Jam telah bercumbu bertemu jarum sama di tengah, membuat sunyi kian bersandang.Tak ada musik semu-semu mengisi sunyi. Tak ada jua percakapan agar tak segersang ini. Bak sungai tengah dilanda kekeringan. Sunyinya area balkon dihiasi dengan lembar-lembar tugas mandiri maupun kerja kelompok, sampah-sampah berceceran berbaur secara abstrak tanpa arah. Bubuk micin berbaik hati tak melirik mulusnya tugas, sehingga tak panik. Semut belum berteriak mengundang atensi pasukan kawannya. Bubuk dijaga salah satu pelaku tersisa tampaknya belum menggoda semut. Ntah belum tergoda atau telah tergoda namun takut tepatnya. Sang penjaga tengah celana setengah paha, dan lengan tebal dari sweater dikenakan tampak masih asyik terlelap.Ntah telah memasuki l
Umur telah menginjak 43 tahun lebih beberapa bulan, membuat angka menuju usia puluhan terasa mendekat. Lucu dan terkesan konyol memang. Kau merasakan umur puluhan hanya dalam setahun, sedangkan menanti untuk hingga puluhan harus melewati 9 tahun agar bertemu si genap. Tujuh tahun mungkin terkesan cukup lama di dengar, tapi tidak untuk dirasa.Waktu tidaklah sebersahabat itu dengan makhluk hidup. Tidak ini tidaklah sebatas datang dan pergi, melainkan arti waktu secara keseluruhan. Netra setajam elang itu tampak masih mempesona belum dimakan umur. Tak seterang cahaya netra burung hantu di tengah gelapnya malam. Tak begitu tajam juga indera penciuman pemangsa bertemu umpan, tetapi aroma segarnya malam dengan air hujan dan parfum gadis tetangga telah tak asing menjalankan seluruh indera."Hei kau di sana!""Siapa kau?!""Menyingkirlah dari sana!""Pergilah dari rumah tetanggaku!"Layaknya orang dalam gangguan jiwa yang berdialog pada
Tegang keseharian mengalahkan tegangan listrik. Kepadatan pada suatu tempat memang mampu dengan mudah berganti tempat lalu melupakan. Tetapi ini mengenai ruang pada suatu wadah, melainkan padatnya kehidupan. Padatnya interaksi dengan dosen dan mahasiswa-mahasiswi di kampus, seakan-akan tak ingin mengalahkan jadwal padat kantor. Matahari telah kian menyembunyikan cahayanya. Kegelapan kian berselimut tebal. Angin terasa bak senjata tajam membelai indera perasa, lalu menusuk hingga ke tulang. Tak hingga mengeluarkan cairan merah ataupun tanda memang, tetapi ngilu dan nyeri membuat mulut mengadu.Sayang seribu sayang bukan aduan dibalas penenang bak candu dari yang terkasih. Melainkan angin merasa kesallah membalas aduan. Terasa bak pusaran puting beliung tak terlihat, angin kian kencang terasa hendak menerpa tubuh. Perubahan cuaca dadakan tanpa melihat perkiraan cuaca, membuat Arion bergidik setiba di unit apartemennya.Sayang seribu sayang kembali dilambungkan. Bukan dekapan dari sepa
Gelapnya malam mulai berubah menjadi orange berpadu langit biru. Bukan karena egois atau diculik, melainkan birunya langit belum secerah pukul delapan pagi. Terik mentari belum menyengat. Bahkan layaknya menggoreng dengan minyak panas, sang mentari masih malu-malu di sebelah timur. Dia masih mengintip kecil dan merangkak perlahan ke angkasa. Jam masih menunjukkan pukul lima dini hari. Mentari masih malu-malu menampakkan kilauan menyengatnya. Aspal jalanan masih hening tanpa bercak debu terjatuh. Heningnya kemacetan padat merayap kendaraan juga masih sangat hening.Gelungan selimut masih membungkus hangat. Alam mimpi masih terasa jauh untuk diselami ke garis finish. Liur membentuk pulau pribadi pun masih sibuk dibentuk. Tetapi berbeda dengan Azelina telah tiba di depan pagar universitas."Ini Pak, kembaliannya ambil aja buat sarapan.""Tapi Neng, ini lebih 50 ribu.""Udah Pak, buat makan, minum, rokok, dan jajan. Terima kasih, Pak."
Waktu menampar membawa perubahan tak lagi menit, jam, dan detik lampau, belaian suhu alam telah berubah juga ikut berusaha menyadarkan. Kedinginan malam tak lagi menggerayangi membelai tiap inci kulit. Gelapnya malam terusir setelah mentari terbit. Nyamuk-nyamuk mulai menepi juga. Burung-burung bertengger terlelap telah kembali memulai hari dengan berkicau. Hening jalanan mulai diisi dengan aneka kendaraan. Polusi udara mulai mengepul di angkasa. Polusi suara juga tak kalah memekikkan telinga sekaligus melatih emosi. Mentari telah terbit walau belum menyengat, sinarnya masih aman menyapa tak hingga menembus tulang. Dangkalnya alam mimpi terasa telah seluruhnya diselami oleh nyenyaknya tidur semalam. Mata telah terpejam selama beberapa jam mulai merasa cukup. Salah satu dari penghuni balkon terlebih dahulu menyesuaikan cahaya. Kedua telapak tangannya spontan membekap mulut sendiri. Kala hampir saja hendak menggantikan tugas ayam berkokok dengan memekik t
Masih dengan handuk melilit rambut basahnya, sang gadis bergeming menatap kosong dinding pembatas unit di hadapannya. Bak pemanah salah membidik angka. Bak penghubung panggilan dengan jemari terpleset memilih nomer kontak. Bagai peracik masak salah menuang antara garam dan gula.Begitupula degup dengan janggal bersarang di hati Azelina sedari putus dengan sang mantan. Keliru atau tepatnya saja bahkan gadis pemilik hati ini pun bingung. Dia memang pemilik hati seharusnya tahu menahu. Dia jugalah tokoh utama dari kisahnya sendiri, lantas mengapa juga dirinya menjelma bagai kompas tanpa jarum panah? Pemilik netra teduh mengalahkan keteduhan langit hujan tanpa rintik. Paras ayu dengan potongan dagu kecil dan bulu mata lentik, sangat larut dalam lamunan melalang topik hingga tak sadar suatu hal. Senyuman hangat sebenarnya hendak terlengkung secara spontan di wajah tegasnya. Tetapi kala mengingat potongan kecil, kala dia tak sengaja menguping pembicaraan sang mahasiswi
Gelapnya malam mulai berubah menjadi orange berpadu langit biru. Bukan karena egois atau diculik, melainkan birunya langit belum secerah pukul delapan pagi. Terik mentari belum menyengat. Bahkan layaknya menggoreng dengan minyak panas, sang mentari masih malu-malu di sebelah timur. Dia masih mengintip kecil dan merangkak perlahan ke angkasa. Jam masih menunjukkan pukul lima dini hari. Mentari masih malu-malu menampakkan kilauan menyengatnya. Aspal jalanan masih hening tanpa bercak debu terjatuh. Heningnya kemacetan padat merayap kendaraan juga masih sangat hening.Gelungan selimut masih membungkus hangat. Alam mimpi masih terasa jauh untuk diselami ke garis finish. Liur membentuk pulau pribadi pun masih sibuk dibentuk. Tetapi berbeda dengan Azelina telah tiba di depan pagar universitas."Ini Pak, kembaliannya ambil aja buat sarapan.""Tapi Neng, ini lebih 50 ribu.""Udah Pak, buat makan, minum, rokok, dan jajan. Terima kasih, Pak."
Tegang keseharian mengalahkan tegangan listrik. Kepadatan pada suatu tempat memang mampu dengan mudah berganti tempat lalu melupakan. Tetapi ini mengenai ruang pada suatu wadah, melainkan padatnya kehidupan. Padatnya interaksi dengan dosen dan mahasiswa-mahasiswi di kampus, seakan-akan tak ingin mengalahkan jadwal padat kantor. Matahari telah kian menyembunyikan cahayanya. Kegelapan kian berselimut tebal. Angin terasa bak senjata tajam membelai indera perasa, lalu menusuk hingga ke tulang. Tak hingga mengeluarkan cairan merah ataupun tanda memang, tetapi ngilu dan nyeri membuat mulut mengadu.Sayang seribu sayang bukan aduan dibalas penenang bak candu dari yang terkasih. Melainkan angin merasa kesallah membalas aduan. Terasa bak pusaran puting beliung tak terlihat, angin kian kencang terasa hendak menerpa tubuh. Perubahan cuaca dadakan tanpa melihat perkiraan cuaca, membuat Arion bergidik setiba di unit apartemennya.Sayang seribu sayang kembali dilambungkan. Bukan dekapan dari sepa
Umur telah menginjak 43 tahun lebih beberapa bulan, membuat angka menuju usia puluhan terasa mendekat. Lucu dan terkesan konyol memang. Kau merasakan umur puluhan hanya dalam setahun, sedangkan menanti untuk hingga puluhan harus melewati 9 tahun agar bertemu si genap. Tujuh tahun mungkin terkesan cukup lama di dengar, tapi tidak untuk dirasa.Waktu tidaklah sebersahabat itu dengan makhluk hidup. Tidak ini tidaklah sebatas datang dan pergi, melainkan arti waktu secara keseluruhan. Netra setajam elang itu tampak masih mempesona belum dimakan umur. Tak seterang cahaya netra burung hantu di tengah gelapnya malam. Tak begitu tajam juga indera penciuman pemangsa bertemu umpan, tetapi aroma segarnya malam dengan air hujan dan parfum gadis tetangga telah tak asing menjalankan seluruh indera."Hei kau di sana!""Siapa kau?!""Menyingkirlah dari sana!""Pergilah dari rumah tetanggaku!"Layaknya orang dalam gangguan jiwa yang berdialog pada
Tak ada lagi si hobi menyengat menusuk kulit yang mengintip di cakrawala. Tak ada si bulat tanpa sisi, identik warna orange serta kuning di fantasi anak-anak. Si biru telah berganti menjadi si gelap tanpa sedikit kecerahan. Jam telah bercumbu bertemu jarum sama di tengah, membuat sunyi kian bersandang.Tak ada musik semu-semu mengisi sunyi. Tak ada jua percakapan agar tak segersang ini. Bak sungai tengah dilanda kekeringan. Sunyinya area balkon dihiasi dengan lembar-lembar tugas mandiri maupun kerja kelompok, sampah-sampah berceceran berbaur secara abstrak tanpa arah. Bubuk micin berbaik hati tak melirik mulusnya tugas, sehingga tak panik. Semut belum berteriak mengundang atensi pasukan kawannya. Bubuk dijaga salah satu pelaku tersisa tampaknya belum menggoda semut. Ntah belum tergoda atau telah tergoda namun takut tepatnya. Sang penjaga tengah celana setengah paha, dan lengan tebal dari sweater dikenakan tampak masih asyik terlelap.Ntah telah memasuki l
Waktu itu layaknya lautan air di tengah pantai. Tampak tenang tapi memiliki peluang tak tenang. Ombak bisa menerjang sewaktu-waktu. Air yang pasang tak abadi, ia bisa dimakan pergantian waktu menjadi surut lalu kembali.Ibaratnya bagai waktu dan kesibukan. Waktu tak sejatinya tenang, dia terdapat kerikil, batu koral besar, lumut bak lendir, rumput laut menggelitik, ataupun badai. Semua imbang sesuai waktu, porsi, dan rencana dititahkan kuasa. Layaknya kesibukan terjadi.Kesibukan tak selamanya terjadi, tetapi kesibukan selalu terjadi. Dia netral bisa menjadi kerikil, koral, lumut, rumput laut, atau badai. Tergantung bagaimana cara mengikis, menanggapi dan membaginya. Keputusan dadakan kala memasuki awal semester tengah, membuat banyak mahasiswa-mahasiswi mulai menjauh dari rumah asli mereka kala semester awal.Yang berkantong memilih membeli apartemen atau rumah. Sedangkan yang sederhana memilih kontrak atau ngekos, dan sederhana ke bawah beberapa memilih bertempur dengan kesibukan da
Berbeda orang maka berbeda prinsip mengenai konsep kesabaran. Katanya kesabaran itu ananta. Ia adalah sang infinity. Bagai kartu yang unlimited. Bak angka delapan juga, atau seperti sebuah roda yang melingkar tanpa batas. Sabar itu tak terbatas dan tak berujung.Tidak-tidak pengenggam prinsip itu tak sepenuhnya salah dan bodoh. Orang yang bersumbu pendek, juga bukanlah kesalahan karena sukar mengontrol emosi. Emosi itu lebih unik dari air. Mengapa? Karena air mampu kau pandang di wadah, tetapi tak mampu dirasa kecuali diteguk. Sedangkan emosi hanya dirasa tetapi mampu dilihat orang. Menatap nyalang pemandangan dari dalam sana. Selaku lelaki dia tidaklah sebuta itu mengartikan tatapan Arion, memang tak sejelas kala semasa dia hendak memacari Azelina. Tetapi dia juga penasaran kala tatapan kerinduan diberikan pada sang kekasih. Kecurigaan ditambah desas-desus dipercikkan mahasiswa-mahasiswi, membuat emosi terpenjara perlahan mulai tak tahan di tempat.Mengu
Layaknya perkataan orang-orang mencibirnya aneh, yang sejak melihat pertengkaran dengan sang kekasih beberapa hari lalu. Ntah mengapa kian hari dia sendiri juga merasa bahwa memang kian aneh. Perasaan aneh dan tak asing ntah mengapa seakan terkurung demi menetap. Tak ada dorongan bisikan apalagi keinginan alami, langkahnya kala menahan pergerakan sang dosen juga bahkan tak dia sadari.Dia tak lupa statusnya apabila masih kekasih Xavier, hanya saja sang dosen ntah mengapa tampaknya memiliki tempat rahasia. Tempat yang tak Azelin atur, harap, apalagi menginginkan. Lucunya lagi adalah... Kunci hatinya digenggam oleh Xavier selaku kekasih, tetapi mengapa hatinya terasa janggal tiap menatap bahkan melirik Arion. Rasa asing tetapi tak asing selalu mendesak menjungkir balikkan isi otak.Melupakan status telah sekian lama berpacaran dengan Xavier. Menulikan rentetan kalimat curiga sang kakak, dan teguran Jala selaku sang sahabat. Azelina menatap ragu bangunan bertingkat ti