Ntah mengapa Azelina mulai terbiasa melihat sang Kakak yang menempel pada sahabatnya, kala mereka tengah tongkrong padahal beda fakultas dan tingkat. Sebenarnya Azelina heran dimana keberadaan Xavier, karena biasa sang kakak akan nongkrong dengan lelaki itu. Atau menongkrong dengan tongkrongannya. Tetapi ada apakah dengan Valko?
Azelina heran hingga menjadi kecurigaan yang menggatalkan mulut. Apakah yang disembunyikan sang kakak? Apa mau sang kakak atau adakah yang dipendam? Seperti biasa kafe depan kampus, atau belakang kampus menjadi langganan mereka.
Apabila biasanya kedua lelaki yang terlambat, maka kali ini yang terlambat adalah sang topik utama pembahasan. Mereka cemas takut terjadi hal tak mengenakan pada Azelina. Ditambah berita kian menyimpang dan aneh membuat mereka harus kian menjaga Azelina.
"Bang jemput adek lo sana!"
Valko melirik Arci yang memerintahnya. Dia menggelen
WhatsAppBang Valko| Dek| Adek| Ra| Vierra lo kalau nggak sibuk dan nggak ada kelas sampai malam tolong ke rumah ya.| Mami Papi cariin lo| Mau gue jemput di apart? Diantar Jala? Naik ojek? Dianter Pak Ari atau gimana?| Tolong balas kepastiannya dan jangan cuma dibaca ya adek Abang Valko Aryasatya BastianGadis pemilik handphone sebenarnya tengah merasa malas hendak kemana-mana. Dia hendak menikmati ketenangan yang sunyi sejak berita bersama Arion tak ada lagi. Sejak tak terlalu bersama Arion, Azelina merasa hampa dan kesepian. Penawaran sang kakak membuatnya rindu tertahan pada Arion kembali mencuat.Azelina berjalan menuju kamar lalu ke balkon, netranya mengernyit, menepuk dahi heran dengan dirinya sendiri. Dia berbalik arah memilih jalan pintas dengan lewat, pintu yang dibuat Arion untuk mempersingkat waktu. Azelina mengernyit kala hendak membuka pintu, tetapi
Memijak di lantai yang sama serta suara tubrukan antara tumpukan buku dan barang lain yang jatuh, membuat sang pria tetap menyembunyikan keterkejutan. Mengabaikan perkataan orang dia acuh atau kejam. Setidaknya dia melakukan hal ini pun karena suatu alasan sangat kuat. Dimana sang gadis yang meminta untuk tidak menampilkan secara jelas hubungan keduanya.Ditambah bukankah gadisnya sendiri yang meminta untuk renggang? Azelina menatap sengit Arion yang tak membantunya kesusahan, padahal jelas-jelas Arion hanya bersandar di dinding belakang sana. Arion menahan kekehan gemas pada kekesalan Azelina. Dia memilih menyimak sembari mencatat wajah-wajah mahasiswi hobi bergosip."Sst lihatlah si Azel kesusahan tuh kasian.""Lah masak kita orang di belakangnya cuma berapa langkah ada lakinya.""Emang mereka masih berhubungan ya?""Eh kata si X sih mereka udah nggak berangkat bareng."
Gadis itu menghentikan pergerakan meringkas barang karena kelas telah berakhir, kala dia merasa bahwa ada seseorang yang mendekat. Dari aroma parfum dikenakan dia sangat yakin, apabila yang berada di sekitarnya adalah seorang lelaki. Lelaki yang bukan miliknya dan dirinya rindukan. Lelaki itu berdeham kala gadis ditunggu tak kunjung berbalik badan."Ada apa kau kemari?" tanya Azelina langsung pada intinya.Sang ketua kelas tertawa hambar. Pertanyaan membodohi atau bodohkah yang Azelina tanyakan itu? Dia mengangkat tumpukan lembar tugas telah diselesaikan para kawan. Azelina mengernyitkan dahi kebingungan."Kok lo kasih ke gue. Lo kasih ke Pak Arion sendiri lah. Emang deadline hari ini apa pengumpulannya?""Iya, di tengah tugas ada catatan kecil dari Pak Arion. Kata beliau suruh lo yang kumpulin. Emang kenapa sih? Kalian kan juga sepasang kekasih. Bukannya kabar kalian juga sudah seatap? Kalau udah se
"Eh, udah jam segini kok Pak Ari belum masuk kelas sih?""Ketua coba tanyain dong inikan tanggung jawab lo.""Tanggung jawab Lina alias Azelin lah kan dia ceweknya.""Jangan-jangan kecewa dan bosan sama Azel tapi kita semua kena getah beliau nggak mau ngajar lagi."Memang bukan dirinyalah pemilik nama yang dibisikkan para teman sekelas. Tetapi hatinya ikut panas serta muak, dengan pembahasan terus diputar-putar tiap harinya. Ibaratnya es putar saja bila sudah jadi tidak diputar. Tak seperti berita Azelina dan Arion, sudah reda tidak terbit lagi berita di mading tetapi teman sekelas selalu saja membahas bak radio rusak mulut mereka.Gadis itu menggeser secara kasar kursinya lalu menggebrak meja. Tak sebatas sepasang atau dua pasang mata semata, melainkan seluruh mahasiswa-mahasiswi yang hadir seketika memusatkan objek pandang ke Arci. Pemilik nama sedari kemarin hanya diam menahan
Lelaki yang umurnya tak jauh dari Azelina menatap ke dalam kelas sang adik. Notifikasi tak kunjung dibalas sang pelaku membuatnya berujung kemari. Dia menatap gemas kala seketika bertatapan dengan seseorang dicari sedari tadi ternyata tengah bersantai. Seakan tak sempat bertatapan, sang gadis lebih dahulu memutuskan kontak mata lelaki lebih tua darinya."Woy Dek!" sapa Valko dengan berteriak.Azelina mengangkat bahu merasa terkejut lalu mengalihkan fokusnya. Dia menatap sang kakak telah duduk di kursi di hadapannya, sembari ujung mata menatap bingung salah satu sahabatnya hanya duduk manis sendirian di belakang kelas. Dia sembari tadi menanti Arci hingga menyusuri tiap lorong universitas, tetapi nyatanya sang sahabat memilih meninggalkannya duduk seorang diri di belakang kelas. Tidak, bukan karena dia ingin mengekang Arci dengan memiliki waktu hanya bersamanua, melainkan ekspresi gadis itu sebelum meninggalkannya membuat dia penasaran.
Layaknya langit malam tengah kebingungan, rasanya Azelina mendapatkan partner menari-nari dalam kebingungan. Tak terdapat bintang, semunya sinar rembulan, kencang angin, gerahnya udara, langitnya malam. Uh, bahkan sifat langit itu abadi dalam kegelapan.Memang tak seindah lukisan abstrak dari pelukis ternama, tetapi otak Azelina terasa abstrak dengan aneka topik harus dipikirkan. Tak sebatas dua atau tiga topik, melainkan aneka topik memenuhi layaknya roti dengan aneka topping. Rasanya otaknya bak buku dengan ribuan halaman. Otaknya kusut layaknya benang wol yang membelit, sekali tarik maka dirinya takut akan hancur."Belum tidur, Nak?"Pintu yang tak dikunci bahkan tak ditutup rapat membuat wanita paruh baya itu dengan mudah masuk. Dia mengedarkan pandangan ke seluruh kamar putrinya diisi kegelapan. Helaan nafas terjadi kala menatap tirai balkon terbuka. Dia meletakkan segelas susu hangat milik sang putri, lalu menghamp
Matahari telah menampakkan diri walau tak begitu menyengat. Tak bisa disebut mendung tetapi juga tak bisa disebut cerah. Langit tampak membingungkan layaknya beberapa hati manusia. Beberapa memilih masih bergeming dalam selimut, namun beberapa lagi mulai melakukan persiapan lari pagi."Dek.""Bang!""Dek, Bang!""Pi, kayaknya Vierra sama Valko kecapean kuliah deh jadi mereka nggak bisa ikut.""Ya udah Mi, kita olahraga berdua saja kayak biasa."Gadis yang dimaksud seketika menyibakkan selimut, lalu terduduk sembari mengusap mata, walau masih dengan setengah nyawa dia memekik seketika merasa tak setuju. "Vierra nggak mau ditinggal sama Abang aja berdua di rumah!"Sepasang orang lanjut usia dengan uban dimana-mana, seketika kompak membelalakkan mata, serta mengusap dada merasa terkejut. Rasa terkejut kembali terulang kala melihat Valk
Rumah kembali terasa sunyi walau masih terdapat Azelina sebagai penghuni. Tetapi gadis itu menjadi lebih sangat pendiam. Tak ada sepatah dua patah kata sejak kejadian lari pagi kapan hari. Keresahan tak surut dirasa seluruh penghuni rumah.Bahkan asisten rumah tangga dan supir tak tahu awal mula pun heran. Mereka hanya diberi tugas untuk mengirim makanan ke kamar Azelina, merayu gadis itu agar mau makan walau hanya bisu di dapat. Ruang tamu diisi oleh ketiga orang yang melakukan kegiatan kompak. Mereka tengah memijat kepala bingung harus bagaimana, agar Azelina kembali seperti sediakala."Mi, dulu si adek gini juga nggak sih pas sama temennya Abang yang siapa itu namanya?""Xavi bukan, Bang?" jawab Mami duo A mengingat-ingat.Valko melirik sekitar walaupun terkesan mustahil dengan kemunculan pelaku. Yakin dengan pelaku benar menjelma batu, dia membalas tebakan sang Mama dengan anggukan kepala.
Suasana kelas Azelina hari ini terlihat memanas. Ada umpan ada mangsa begitulah perumpamaan judul kelas hari ini. Desas-desus beredar membuat semua penasaran membuncah. Penasaran fisik, paras yang menjadi sebagai asisten dosen. Sekaligus mengapa dosen wanita itu dengan jenaka, baru beberapa saat pergantian semester tapi telah mengajukan cuti.Tak sebatas mengambil cuti ntah sampai kapan. Tetapi mengapa bisa dosen itu langsung mendapatkan, gambaran asisten dosen menggantikan selagi tak mengajar. Tak bisakah diganti dengan jam kosong atau tugas semata? Ntah mengapa pernyataan seseorang di internet yang pernah berkata 'Semakin jauh semester mahasiswa atau mahasiswi, mereka sering dibuat merasa salah pilih jurusan. Tetapi saat selesai skripsi barulah merasa bangga.'"Hari ini beneran udah diganti si dosen pengganti, Bu Ketu?" Berganti semester maka kelas Azelina juga sepakat, mengganti ketua kelas jadi perempuan."Kabarnya s
Suasana sarapan terkesan membosankan bagi gadis itu. Dia rasa lebih baik makan berdua saja dengan sang pria, tetapi hari terasa indah dan bersemangat sebangun tidur. Daripada demikian sudah hari ini pergantian semester, Arion tak bisa mengantar harus mengambil dokumen walau akan bertemu di kampus, sang kakak sibuk bekerja di perusahaan papa mereka. Uh, rasanya dia sangat ingin sekali melompati hari ini saja."Dek lo sakit, ya?"Azelina yang membisu walau diberi pertanyaan Valko, seketika membuat sang kepala keluarga meletakkan sejenak sendok dan garpunya untuk menyentuh dahi Azelina. "Kamu lagi ada masalah, Vi?"Masih membisu semata membuat ayah dan anak itu kompak saling pandang. Sang Mama menepuk lengan putrinya. "Nak, kamu kenapa? Sakitkah? Atau lagi ada masalah?"Bahkan walau sebatas lirikan pun tak terjadi. Azelina sebatas menatap hidangan sarapannya masih utuh. Dia menunduk tanpa merasakan pega
"Jangan lupa ya hari ini ada kerja kelompok di rumahnya Bu Arion!""Loh jadinya di rumah si Azel?"Kelompok dibentuk dengan masing-masing terdiri dari lima orang. Tak ada yang memilih sendiri, melainkan dosen memilih secara acak sehingga tak terjadi pengasingan. Tak sebatas kelompok saja dibentuk, tetapi masing-masing ketua kelompok juga sang dosen yang menentukan. Protes dalam hati sebatas terpendam di masing-masing mahasiswa-mahasiswi semata.Gadis semula sibuk menghubungi kakaknya untuk meminta dijemput, apabila tengah di kampus seketika terhenti mengetikkan pesan. Atensi pada benda kotak pipih itu berganti menjadi, menatap kedua lelaki dan dua gadis di depannya. Ekspresi menyebalkan mampu Azelina baca dengan jelas. Sepertinya api akan membakar, apabila melihat jenis minyak dipegang Azelina.Gadis itu menghela nafas. Sebenarnya dia malas apabila status tetangga dan kekasih dirinya dan Arion terkua
Bagaikan semut dan makanan, orang-orang itu seketika berkerumun. Perumpamaan layaknya semut saja terasa kurang, karena lisan itu menjelma bak hewan rayap. Rayap memakan kayu, dan orang-orang memakan orang secara hidup-hidup. Tidak-tidak dengan membunuh memakai senjata tajam, tetapi lisan dan netra mengalahkan senjata tajam dan racikan racun menjadi senjata."Eh, itu yang baru parkir bukannya mobil Pak Ari?""Loh bukannya keluar udah nggak jadi dosen, ya?""Ngarang lo kata adik gue sekelas sama Azel cuma cuti soalnya dinas kerjaan.""Eh, tapi bukannya pas kemarin kapan itu wajah Pak Ari yang masuk berita kota?""Kayaknya kalau gue nggak salah ingat sih iya. Tapi masak keliatan nggak sadar sama darah gitu tapi masih hidup?""Heh! Namanya juga tangan Tuhan siapa yang tahu?""Bisa aja kemarin itu bukan wajah Pak Ari.""Ma
Gadis itu menatap datar dan malas layar handphone-nya. Rentetan kalimat rayuan itu terasa hambar, terkalahkan dengan pahitnya akhir kalimat. Helaan nafas berat dia lakukan. Ntah salah ekspetasi atau kejamnya realita pun membingungkan diri.WhatsApp notifikasiPak Ari-Arion off| Gadisku.| Apakah masih memilih pakaian?| Perlu bantuan memilih?| Menurutku kamu memesona dalam pakaian apapun.| Dua tiga ikan lele, jangan kelamaan le. Nanti malam kita kemalaman buat makan lele.| Canda Neng. Ya kali bidadari dikasih makan lele sama raja.| Ayo cepat sedikit Zel, keburu kelasmu di mulai. Aku tidak bisa memaklumi loh apalagi aku masih cuti dan akan sibuk bekerja di perusahaan.Singkat, padat, mengesalkan sekali jelasnya. Masih cuti... Dua kata utama sukses membuat harinya terasa memburuk. Wajah gadis itu semula cerah seketika kembali masam. Padahal perkiraannya adalah tumpukan tu
Bak remaja tengah mengalami pubertas, pria berusia 40-an itu juga merasakan demikian. Judul lebih tepatnya adalah pubertas kedua kalinya. Sorot garang lelaki itu hilang dengan senyum tak kunjung luntur walau tak menggunakan formalin. Bau obat-obatan tak lagi tercium digantikan dengan parfum kesukaannya.Lelaki itu tak henti senyum-senyum sembari mengawasi penampilannya. Tak jauh berbeda dari sang pria, si gadis jauh lebih parah dengan bimbang memilih busana. Ya, pandangan buram serta membayang, tubuh lemas, gemetar, wajah pucat, halusinasi datang tak menentu semua sirna dalam sekedip. Seakan-akan berita hari kemarin tak pernah rilis, pertengkaran kemarin pun tak pernah terjadi.Mengabaikan kewajiban telah berhari-hari tak disentuh. Melupakan waktu dan tempat yang seharusnya ditapaki, kini keduanya lebih sepakat mengunjungi suatu tempat. Gedung bertingkat dengan tingkat kedinginan tak perlu diragukan. Aneka busana dan hidangan lokal maupun lu
Tubuhnya masih terasa kaku keseluruhan. Semu-semu kebiruan juga belum pudar sebagai pembuktian beberapa hari lalu. Wajahnya berangsur tak begitu pucat, sejak indra penciuman menerima aroma semu-semu kedatangan Arion berada di apartemen. Terkesan lucu dan konyol memang bagi orang lain, tetapi bagi orang sekitar Azelina itu semua bukan masalah selagi gadis itu hendak kembali makan.Kewarasan sempat hilang dimakan berita kini perlahan kembali. Gadis itu menoleh ke sana kemari lalu menoleh ke bawah, tepatnya mengamati sang kakak rela tidur tidur di kasur bawah. Tatapannya terkunci menatap lamat-lamat Valko. Aneka pemikiran menghias benak, tak tahan minta diungkapkan namun sang penjawab masih terlelap lelah.Tak ingin menganggu tidur sang Kakak Azelina berniat ke luar kamar. Suara bising dibuat Azelina membuat Valko terbangun walau masih dalam mata tertutup. Senyum miring terukir kala kaki Azelina hendak melewati tubuhnya, beruntung dia memilih tidur tak jauh dari pin
Wajah ayunya yang kini telah berubah bak mayat hidup, yang kian terasa buruk. Beberapa memar dan luka memang berujung memperburuk keindahan kulitnya. Tak sebatas semburat kebiruan, melainkan beberapa luka dengan darah juga muncul. Tak ada perih atau keram dirasa oleh gadis itu, selain hatinya yang terasa perih dan dingin.Sorot matanya masih terasa hampa tanpa hidup dan harapan. Langkahnya tak sekokoh tanaman di taman. Bibirnya tak sesegar buah baru dipetik. Dinginnya suhu tubuh tak sedingin lemari pendingin memang, tetapi tak sehangat suhu manusia pada umumnya. Pandangan gadis itupun tak begitu jelas, tak seperti kala mengurung diri di kamar.Ntah berapa lama dirinya tak sadarkan diri. Bahkan dia juga penasaran bagaimana bisa terbangun dengan indera penciuman dipenuhi oleh obat? Apakah dia sehabis menyusul Pak Arion? Apabila iya dimana dan bagaimana kabar terbaru prianya itu kini?Kening gadis tersebut berulang ka
Rumah kembali terasa sunyi walau masih terdapat Azelina sebagai penghuni. Tetapi gadis itu menjadi lebih sangat pendiam. Tak ada sepatah dua patah kata sejak kejadian lari pagi kapan hari. Keresahan tak surut dirasa seluruh penghuni rumah.Bahkan asisten rumah tangga dan supir tak tahu awal mula pun heran. Mereka hanya diberi tugas untuk mengirim makanan ke kamar Azelina, merayu gadis itu agar mau makan walau hanya bisu di dapat. Ruang tamu diisi oleh ketiga orang yang melakukan kegiatan kompak. Mereka tengah memijat kepala bingung harus bagaimana, agar Azelina kembali seperti sediakala."Mi, dulu si adek gini juga nggak sih pas sama temennya Abang yang siapa itu namanya?""Xavi bukan, Bang?" jawab Mami duo A mengingat-ingat.Valko melirik sekitar walaupun terkesan mustahil dengan kemunculan pelaku. Yakin dengan pelaku benar menjelma batu, dia membalas tebakan sang Mama dengan anggukan kepala.