Dengan perasaan tidak karuan, aku membelah jalan kota menuju rumah sakit. Aku takut sekali Nilam kembali drop.
Kini aku sudah berdiri di depan ruangan yang disebutkan oleh Mbak Dilla, dengan cepat menerobos masuk. Keningku berkerut karena bukan Nilam yang kulihat melainkan ibu yang terbaring lemah di ranjang dengan mata tertutup rapat.“Ibu ….”“Ini ulahmu, Bagas!” ujar Mbak Dilla dengan tatapan tajam.“Kenapa aku, Mbak? Ini Ibu kenapa bisa di rumah sakit begini?”Ibu jarang sekali sakit, kalau pun sakit tidak pernah sampai dilarikan ke rumah sakit seperti ini.Mbak Dilla mencebik, “Masih tidak sadar?” Dia mengambil amplop dan melemparkannya padaku, “kau itu laki-laki macam apa hah? Istri sakit malah menikah lagi?” bentaknya.“Nilam-”“Bukan Nilam yang mengatakannya tapi ada yang mengirimkan foto-foto itu ke rumah,” potong Mbak Dilla, “aku tidak bisa menjadi tameng saat Ibu marah padamu nanti, karena kau pantas untuk itu!”Mataku terbelalak melihat foto-foto pernikahanku dan Laras yang baru kukeluarkan dari dalam amplop.Siapa yang mengirimkan ini ke rumah Ibu? Apa mungkin Nilam yang menyuruh Dea melakukan ini?“La ….”Aku tersentak mendengar suara ibu, buru-buru berjalan mendekat.“Iya, Bu. Ibu butuh apa?” Mbak Dilla pun menghampiri Ibu.“Ibu, mana yang sakit?” tanyaku dan hendak meraih tangannya.Hatiku mencelos karena ibu malah menarik tangannya menjauh dengan wajah melengos seperti enggan menatapku.“Ibu mau bertemu dengan Nilam,” pintanya dengan suara lirih, matanya sudah berkaca-kaca.“Iya, Bu. Nanti kita temui Nilam ya, Ibu harus sehat dulu. Dilla sudah minta Mas Haikal mengantar Tasya ke rumah Nilam. Nilam tidak sendiri di rumahnya.”Aku masih diam mematung melihat sikap ibu yang sangat dingin. Ibuku tidak pernah seperti ini, ibu adalah sosok yang sangat hangat dan tidak pernah mengabaikan orang lain apalagi anak-anaknya.“Ibu mau bertemu Nilam, Dilla.” Ibu kembali berucap dengan suara bergetar, tangisnya bahkan sudah pecah, “Nilam pasti merasa sedih sendirian, Ibu mau ada di samping Nilam. Bawa Ibu bertemu Nilam.”Ibu dan Nilam sangat dekat. Bahkan lebih terlihat mereka yang seperti ibu dan anak. Ibu sangat menyayangi Nilam, tidak pernah menuntut Nilam untuk segera hamil lagi. Ibu paling pengertian pada Nilam.Mbak Dilla mengangguk, dengan cepat dia mengusap ujung matanya yang basah.“Dilla bicara dulu pada dokter ya, Bu. Tidak akan lama, Ibu tunggu sebentar,” ucap Mbak Dilla menenangkan.Mbak Dilla membawaku keluar dari ruangan itu.“Jangan temui Ibu. Ibu sangat kecewa padamu.”“Kalau memang aku tidak boleh bertemu ibu lalu kenapa Mbak memintaku datang?”“Agar kau tahu kalau kelakuanmu itu sudah membuat ibu seperti ini. Kau sudah menyakiti banyak orang, Bagas! Di mana sebenarnya otakmu itu hah? Sudah punya istri yang baik malah mencari barang obralan di luaran sana. Bahkan dilihat sekilas saja Nilam tetap lebih segalanya dari istri barumu itu. Aku bahkan enggan mengakui punya adik ipar macam itu.” Mbak Dilla menyeringai.“Semua sudah terjadi, Mbak. Lagi pula aku menikah lagi karena ingin punya anak, aku tidak mau Nilam terus menderita karena berulang kali mengalami keguguran.”Rahang Mbak Dilla mengeras, “Lalu kau pikir Nilam tidak akan menderita kalau kau menikah lagi dan memiliki anak dari wanita lain hah? Susah memang bicara padamu yang isi otaknya soal selangk*ngan! Aku akan carikan laki-laki yang lebih baik darimu untuk Nilam!”“Tidak bisa begitu, Mbak.Nilam it-”“Dia mantan istrimu, bukan istrimu lagi. Aku sendiri yang akan membantu Nilam mengurus perceraian kalian,” ujarnya lalu kembali masuk ke dalam.Apa katanya? Mau mencarikan laki-laki untuk Nilam? Tidak, tidak. Aku tidak akan biarkan itu terjadi.Sampai kapanpun Nilam akan menjadi milikku. Nilam juga tidak akan bisa menerima laki-laki lain. Cintanya hanya untukku.Tidak akan ada yang bisa memisahkan kami.Kenapa semuanya malah kacau begini. Padahal aku sudah berusaha agar semuanya bisa aman sampai nanti waktu yang tepat untukku menceritakan segalanya. Ini malah sudah terbongkar di hari pertama aku menikah dengan Laras.Aku, Bagaskara Yunanda. Di usia yang sudah menginjak 35 tahun bukankah wajar aku ingin memiliki anak. Menikah lagi pun tidak ada larangan asalkan aku bisa adil, aku pun laki-laki mapan yang bisa memenuhi finansial kedua istriku. Namun sialnya sebelum aku menjelaskan semuanya Nilam lebih dulu mengusirku dari rumah.Kembali masuk ke dalam tidak mungkin, ibu terlihat sangat kecewa padaku. Untuk saat ini mungkin lebih baik aku tidak menemui ibu dulu.Baru saja beberapa langkah ponsel berdering. Aku mengernyit saat penjaga gudang tiba-tiba menelpon.“Kenapa, Her?”“Gudang kebakaran, Pak. Damkar masih di jalan dan api semakin membesar. barang-barang di dalam sama sekali tidak ada yang bisa diselamatkan,” jelasnya.Lututku lemas seketika.Sampai di gudang, api memang sudah bisa dipadamkan namun bangunan itu sudah hangus. Tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan.“Pihak kepolisan akan memeriksa lebih lanjut penyebab kebakaran, Pak,” ujar Heru.Kuhela napas panjang, “Urus semuanya. Kalau memang ada unsur kesengajaan dari orang, pastikan orang itu mendapatkan hukuman yang berat.”“Baik, Pak.”Aku melangkah meninggalkan tempat itu, berlama-lama di sini malah membuatku semakin merana. Meratapi nasib gedung dan isinya yang hangus dilalap si jago merah.Sampai di rumah entah pukul berapa karena ponselku mati total. Bahkan di sekitaran perumahan saja sudah sepi.“Sayang, buka pagarnya,” ucapku sambil menekan bell.Dari dalam Nilam pasti mendengar suaraku.Apa mungkin dia sudah tidur, apalagi kondisi kesehatannya kurang bagus. Apa dia tidak mendengar bell bunyi? Tanganku sampai gatal karena digigit nyamuk.Kembali kutekan bel berharap Nilam segera keluar.Aku bisa bernapas lega mendengar pintu terbuka, namun senyumku hil
Kuhempaskan tubuh di ranjang, memandang nyalang pada langit-langit kamar.Aku masih di hotel hanya saja memesan kamar lain. Untuk malam ini ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi Laras.Dia bukannya simpati padaku malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.Aku jadi merindukan Nilam, menginginkan dia ada di sampingku saat situasi seperti ini. Karena dia yang paling mengerti, tidak pernah merecoki saat aku ada masalah. Selalu setia mendengar keluhan yang aku ceritakan.Tidak pernah sekalipun Nilam protes dengan nafkah yang aku berikan saat dulu kami susah, berapapun itu dia terima dengan penuh senyuman. Bahkan selama menjadi istriku, tidak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh dengan kondisi kami yang saat itu terpuruk.Sengaja aku memberikan nafkah hanya tiga puluh juta pada Laras, aku tidak bodoh. Aku tidak mau dia menghamburkan uang yang susah payah kukumpulkan. Berbeda saat dengan Nilam, aku menyerahkan semua kartu debit dan kartu kredit padanya. Aku percaya karena
“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya men
“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug
Apa yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Biarlah dia menjalani kehidupan yang dia anggap akan membawa kebahagiaan itu, tanpa sadar membawanya terjerumus ke dalam jurang.Ting!Di tengah pembicaraan kami, ponselku berdenting. Pesan masuk dari dokter Ilyas.[Bu Nilam. Hari ini datang lebih awal ya, soalnya saya ada urusan. Jadi kemungkinan untuk sore hari tidak bisa.]“Bukan dari Bagas?” tanya Mbak Dilla.“Dokter Ilyas, Mbak.”Wajah ketus Mbak Dilla langsung penuh senyum, “Apa dia bilang?”“Jadwalnya dimajukan karena dokter Ilyas ada urusan.”“Ya sudah, ayo siap-siap.” Mbak Dilla tampak semangat.Setelah tahu masalahku dan Mas Bagas, Mbak Dilla tampak senang sekali jika aku pergi untuk kontrol. Aku tahu dia ingin aku dekat dengan dokter Ilyas, tapi aku sama sekali tidak ada niat untuk itu. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan fokus hanya pada kondisi kesehatan.Dibilang trauma, ya bisa jadi. Takut jika pasanganku nanti sama seperti Mas Bagas, berkhianat dan membuat luka hatiku kemb
POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
“Cepat masak, aku lapar. Aku mau mandi dulu.”Tanpa menunggu jawabannya, aku beranjak menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket karena keringat. Berharap air dingin yang mengguyur kepala bisa sedikit meredam emosi yang kurasa.Janjinya sebelum menikah mau jadi ibu rumah tangga, diam di rumah dan melayani suami. Saat sudah dijadikan istri, mana ada dia seperti itu. Menyesal aku rasanya tapi sayang juga kalau dipulangkan karena aku masih membutuhkannya.Jika aku teruskan perdebatan tadi maka tidak akan ada beresnya. Yang ada kepalaku ini seperti akan meledak.‘Nilam, Mas merindukan kamu, sayang.’Hanya dia yang paling mengerti aku.Selesai mandi, aku bisa mencium bau masakan yang tidak asing. Dengan kening berkerut melangkah keluar dari kamar.“Masak apa?” tanyaku pada Laras yang berdiri memunggungiku, masih di depan kompor.“Ini.” Dia berbalik dan menaruh semangkuk mie instan di hadapanku.“Hanya ini?” Alisku bertaut.Dia mengangguk, “Hanya itu yang bisa aku masak.”Aku menghe