Kuhempaskan tubuh di ranjang, memandang nyalang pada langit-langit kamar.
Aku masih di hotel hanya saja memesan kamar lain. Untuk malam ini ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi Laras.Dia bukannya simpati padaku malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.Aku jadi merindukan Nilam, menginginkan dia ada di sampingku saat situasi seperti ini. Karena dia yang paling mengerti, tidak pernah merecoki saat aku ada masalah. Selalu setia mendengar keluhan yang aku ceritakan.Tidak pernah sekalipun Nilam protes dengan nafkah yang aku berikan saat dulu kami susah, berapapun itu dia terima dengan penuh senyuman. Bahkan selama menjadi istriku, tidak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh dengan kondisi kami yang saat itu terpuruk.Sengaja aku memberikan nafkah hanya tiga puluh juta pada Laras, aku tidak bodoh. Aku tidak mau dia menghamburkan uang yang susah payah kukumpulkan. Berbeda saat dengan Nilam, aku menyerahkan semua kartu debit dan kartu kredit padanya. Aku percaya karena Nilam pintar mengatur keuangan. Namun saat dia kembali harus dilarikan ke rumah sakit, aku yang memegang lagi semua kartu itu.Mengingat soal kondisi Nilam, aku langsung meraih ponsel yang sedang di charge untuk menanyakan langsung pada dokter.[Maaf, Pak Bagas. Saya tidak bisa memberikan informasi apapun atas permintaan Bu Nilam.]“Apa-apaan ini?” geramku.[Saya ini suaminya. Saya berhak tahu kondisi istri saya.] Dengan emosi aku membalas pesan dokter itu.Sengaja aku minta penjelasan dokter karena tahu jika bertanya langsung pada Nilam pasti tidak akan bisa, pada ibu dan Mbak Dilla pun sama. Mereka seperti tidak mau bicara padaku.Apa mungkin Laras itu pembawa sial? Baru sehari menjadi istriku dia datang seolah bersama dengan penderitaan yang dibawa untukku.Memikirkan semua ini membuat kepalaku berdenyut. Lebih baik aku tidur saja sekarang.***“Tinggal sementara di rumah orang tuamu. Aku ada urusan.”“Loh, kenapa begitu, Mas. Aku kira kamu mau membawaku ke apartemenmu,” ujar Laras tidak terima.Apartemen itu belum kubeli, bagaimana bisa ditinggali.Rencana memang melakukan transaksi hari ini namun semua tidak sesuai rencana awal. Sekarang aku hanya memikirkan berapa kerugian yang kutanggung meski ada asuransi yang meminimalisir tapi tetap saja namanya rugi tidak ada yang enak.Belum lagi nanti akan ada banyak komplain.“Tidak usah banyak tanya.”“Tidak mau. Aku malu, Mas.”“Kenapa harus malu segala. Aku juga tidak menitipkanmu begitu saja, aku memberikan uang untuk orang tuamu.”Laras berdecak kesal, “Aku sudah bilang akan tinggal di apartemen mewah yang kau belikan. Apa kata keluargaku kalau ujungnya aku kembali tinggal di sana.”“Lagian kamu juga, kenapa bilang seperti itu. Kampungan sekali.”Laras terbelalak, “ Apa? Kamu menyebutku kampungan. Jangan asal bicara kamu ya, Mas!” sentaknya.“Sudahlah. Aku malas berdebat, pesan taksi dan pergi ke rumah orang tuamu.”“Aku tidak mau. Kalau memang kamu ada urusan, setidaknya biarkan aku tinggal lebih lama di hotel ini. Tidak masalah aku hanya sendiri juga.”Kalau begini caranya aku berpikir ulang memberikannya kemewahan yang kumiliki. Aku ingin tahu dia bisa menerimaku saat susah atau tidak. Aku ingin membuktikan perkataan Nilam kemarin, dalam kondisiku akankah Laras menerima atau tidak.Aku tidak ingin ditipu wanita.Ting!Ponselku berdenting. Ada pesan masuk dari Bang Haikal.[Nilam pergi untuk kontrol ke rumah sakit, mereka baru saja berangkat. Dilla menemaninya sedangkan Ibu ada di rumah.]Senyumku tersungging membacanya. Ada kesempatan untuk menemui Nilam sebelum nanti mengurus soal kebakaran. Aku ingin menemui Nilam lebih dulu.Bang Haikal pasti berpihak padaku. Dia sudah kuberikan uang modal untuk usahanya, kalau sampai dia tutup telinga saat aku meminta bantuan maka itu sangat keterlaluan.“Mau kemana, Mas?” tanya Laras saat aku beranjak.“Aku harus pergi. Uang untukmu sudah ku transfer.”Secepat kilat aku meninggalkan meja itu, sudah tidak sabar bertemu dengan Nilam. Meski dia sering sakit bukan berarti aku tidak peduli dan cintaku memudar. Sampai detik ini aku masih sangat mencintainya. Hanya dia wanita yang paling mengerti aku. Aku tidak akan bisa kehilangannya.Aku sudah hafal ruangannya karena berkali-kali ke sini.Soal dokter itu, akan kubuat perhitungan padanya. Seenaknya menolak memberikan informasi soal Nilam padaku.“Dokter Ilyas di dalam?” tanyaku saat seorang perawat keluar dari ruangan itu.“Tidak ada, Pak. Dokter Ilyas di taman. Ini belum jam prakteknya.”Keningku berkerut, “Di taman? Tapi ini waktunya Nilam, istri saya kontrol. Kenapa dokternya malah ada di taman.”“Bapak temui saja langsung. Permisi.”Dengan langkah lebar aku menuju taman.Langkahku terhenti. Jantungku berdenyut nyeri melihat Nilam tersenyum pada dokter itu. Mereka tampak sangat akrab.Apa ini alasan dokter itu tidak memberitahuku. Sudah pasti ingin mendekati Nilam. Aku sudah curiga karena tatapan matanya pada Nilam itu berbeda. Dia sudah lama menjadi dokter untuk Nilam. Sepertinya aku harus mengganti dokter lain, bagus lagi dokternya perempuan.Dengan dada bergemuruh aku menghampiri mereka.Kenapa juga Mbak Dilla membiarkan Nilam berduaan dengan lelaki lain.“Kita cari dokter lain saja,” ujarku lalu menarik tangan Nilam.Dia mencoba melepaskan tangannya, “Kamu kenapa sih, Mas? Datang-datang langsung marah.”“Bagaimana aku tidak marah kalau melihat kamu digoda dokter genit ini. Cari dokter lain yang lebih bagus daripada dia.”“Dokter, Maaf ya. Tidak usah didengarkan,” kata Nilam seolah mengabaikan keberadaanku.Nilam masih mencoba melepaskan cengkraman tanganku sambil meringis.“Kita pulang,” ujarku tegas.“Anda menyakiti pasien saya, Pak.” Dokter itu mendorong tubuhku sedikit kasar membuat tanganku terlepas dari Nilam.Aku tertawa mengejek, “Pasien? Bilang saja kau itu modus ingin mendekati istriku ‘kan?”“Kenapa memangnya kalau aku mendekati dia. Dia bukan milik siapa-siapa,” ujarnya sambil menyeringai.“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya men
“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug
Apa yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Biarlah dia menjalani kehidupan yang dia anggap akan membawa kebahagiaan itu, tanpa sadar membawanya terjerumus ke dalam jurang.Ting!Di tengah pembicaraan kami, ponselku berdenting. Pesan masuk dari dokter Ilyas.[Bu Nilam. Hari ini datang lebih awal ya, soalnya saya ada urusan. Jadi kemungkinan untuk sore hari tidak bisa.]“Bukan dari Bagas?” tanya Mbak Dilla.“Dokter Ilyas, Mbak.”Wajah ketus Mbak Dilla langsung penuh senyum, “Apa dia bilang?”“Jadwalnya dimajukan karena dokter Ilyas ada urusan.”“Ya sudah, ayo siap-siap.” Mbak Dilla tampak semangat.Setelah tahu masalahku dan Mas Bagas, Mbak Dilla tampak senang sekali jika aku pergi untuk kontrol. Aku tahu dia ingin aku dekat dengan dokter Ilyas, tapi aku sama sekali tidak ada niat untuk itu. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan fokus hanya pada kondisi kesehatan.Dibilang trauma, ya bisa jadi. Takut jika pasanganku nanti sama seperti Mas Bagas, berkhianat dan membuat luka hatiku kemb
POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
“Cepat masak, aku lapar. Aku mau mandi dulu.”Tanpa menunggu jawabannya, aku beranjak menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket karena keringat. Berharap air dingin yang mengguyur kepala bisa sedikit meredam emosi yang kurasa.Janjinya sebelum menikah mau jadi ibu rumah tangga, diam di rumah dan melayani suami. Saat sudah dijadikan istri, mana ada dia seperti itu. Menyesal aku rasanya tapi sayang juga kalau dipulangkan karena aku masih membutuhkannya.Jika aku teruskan perdebatan tadi maka tidak akan ada beresnya. Yang ada kepalaku ini seperti akan meledak.‘Nilam, Mas merindukan kamu, sayang.’Hanya dia yang paling mengerti aku.Selesai mandi, aku bisa mencium bau masakan yang tidak asing. Dengan kening berkerut melangkah keluar dari kamar.“Masak apa?” tanyaku pada Laras yang berdiri memunggungiku, masih di depan kompor.“Ini.” Dia berbalik dan menaruh semangkuk mie instan di hadapanku.“Hanya ini?” Alisku bertaut.Dia mengangguk, “Hanya itu yang bisa aku masak.”Aku menghe
“Lepas. Mas!”Laras berontak saat aku menyeretnya keluar dari rumah Mbak Dilla.“Kau membuatku malu, tahu tidak!”“Jawab dulu pertanyaanku tadi, benar kamu jadi miskin sekarang, Mas?” tanyanya.“Masuk!” Aku melepaskan tangannya dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Sudah datang tidak diundang ke sini lalu membuat keributan. Laras memang membuatku malu. Tidak pernah sekali saja dia bersikap wajar dan tidak membuatku marah.Selama perjalanan aku sama sekali tidak bicara, membiarkan Laras terus berleloteh. Aku hanya tidak ingin nantinya malah lebih emosi, masalahnya aku sedang menyetir. Lebih baik menyelesaikan semuanya saat di rumah nanti.Laras juga diam mungkin capek mengoceh terus.“Kamu tetap mau diam, Mas?” Sampai di rumah Laras langsung buka suara.Aku menghela napas panjang, “Jelas tidak. Mana mungkin aku jadi miskin lagi.”“Terus tadi yang kakak kamu bilang itu apa? Candaan?”“Kenapa kamu lebih galak sih. Kalau memang aku miskin kenapa? Menyesal menikah denganku iya?” Emosiku ter
Perkataan Nilam terus terngiang di telinga tapi aku sama sekali tidak percaya itu, sampai sekarang Nilam masih mencintaiku. Itu sudah pasti. Kami bersama bukan dalam waktu singkat, jadi tidak akan mungkin lupa semudah itu. Dia hanya asal bicara saja.Setelah lama menunggu hingga bisa lagi memegang uang, tidak ada rasa bahagia yang kurasa. Kalau sampai Nilam menolak kembali dan nikah muhallil maka semua hartaku akan berada di tangannya dan aku kembali melarat? Tidak, membayangkannya saja aku tak mampu. Susah payah, jatuh bangun aku sampai ada di titik ini.Aku harus meminta bantuan ibu, ibu pasti tidak akan mungkin bisa lama marah padaku. Bagaimana pun aku ini anaknya.[Mas, pulang kerja belikan aku cemilan ya.]Aku menghela napas membaca pesan dari Laras. Dia memang sudah tidak bertingkah, baru saja kemarin dia bicara begitu. Entah kedepannya dia akan tetap manis atau jadi menyebalkan seperti sebelumnya.[Hm.] Aku membalas singkat.Untuk hari ini, aku hanya akan pulang ke rumah. Besok