“Lepas. Mas!”Laras berontak saat aku menyeretnya keluar dari rumah Mbak Dilla.“Kau membuatku malu, tahu tidak!”“Jawab dulu pertanyaanku tadi, benar kamu jadi miskin sekarang, Mas?” tanyanya.“Masuk!” Aku melepaskan tangannya dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Sudah datang tidak diundang ke sini lalu membuat keributan. Laras memang membuatku malu. Tidak pernah sekali saja dia bersikap wajar dan tidak membuatku marah.Selama perjalanan aku sama sekali tidak bicara, membiarkan Laras terus berleloteh. Aku hanya tidak ingin nantinya malah lebih emosi, masalahnya aku sedang menyetir. Lebih baik menyelesaikan semuanya saat di rumah nanti.Laras juga diam mungkin capek mengoceh terus.“Kamu tetap mau diam, Mas?” Sampai di rumah Laras langsung buka suara.Aku menghela napas panjang, “Jelas tidak. Mana mungkin aku jadi miskin lagi.”“Terus tadi yang kakak kamu bilang itu apa? Candaan?”“Kenapa kamu lebih galak sih. Kalau memang aku miskin kenapa? Menyesal menikah denganku iya?” Emosiku ter
Perkataan Nilam terus terngiang di telinga tapi aku sama sekali tidak percaya itu, sampai sekarang Nilam masih mencintaiku. Itu sudah pasti. Kami bersama bukan dalam waktu singkat, jadi tidak akan mungkin lupa semudah itu. Dia hanya asal bicara saja.Setelah lama menunggu hingga bisa lagi memegang uang, tidak ada rasa bahagia yang kurasa. Kalau sampai Nilam menolak kembali dan nikah muhallil maka semua hartaku akan berada di tangannya dan aku kembali melarat? Tidak, membayangkannya saja aku tak mampu. Susah payah, jatuh bangun aku sampai ada di titik ini.Aku harus meminta bantuan ibu, ibu pasti tidak akan mungkin bisa lama marah padaku. Bagaimana pun aku ini anaknya.[Mas, pulang kerja belikan aku cemilan ya.]Aku menghela napas membaca pesan dari Laras. Dia memang sudah tidak bertingkah, baru saja kemarin dia bicara begitu. Entah kedepannya dia akan tetap manis atau jadi menyebalkan seperti sebelumnya.[Hm.] Aku membalas singkat.Untuk hari ini, aku hanya akan pulang ke rumah. Besok
“Lakukan. Lakukan apapun untuk melampiaskan kekecewaan kalian padaku.”Aku pasrah menerima pukulan dan tendangan yang dilayangkan Bang Haikal. Benar apa kata Mbak Dilla, sakit fisik yang kurasakan tak sebanding dengan luka hati Nilam.Tubuhku rasanya remuk, kini terduduk di lantai karena tenagaku bahkan habis meski tidak melawan. Tubuh Bang Haikal tinggi besar, melawan pun aku akan tetap kalah.“Mbak harap kamu benar-benar sadar dengan kesalahanmu. Kamu pikir Mbak tidak sedih melihatmu menghancurkan hidupmu sendiri? Kamu sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Lain kali berpikir dengan otak sebelum bertindak,” ucap Mbak Dilla sebelum melangkah kembali ke dapur.Dari ekor mata aku bisa melihat Nilam berdiri tak jauh dengan wajah tanpa ekspresi.‘Apa sudah benar-benar hilang rasa pedulimu padaku?’Jantungku seperti diremas kuat melihat Nilam melengos seolah tidak ingin menatapku. Dia berjalan begitu saja melewatiku.“Bang, tanggung jawab. Jangan sampai nanti ada pihak yang merasa dirugikan
POV LarasTidak peduli Mas Bagas sudah beristri, yang penting dia tertarik padaku dan jelasnya dia seorang pengusaha. Aku tidak mau lagi hidup susah.Kabar bahagia datang setelah aku dan dia menikah, ternyata dia dan istrinya sudah berpisah. Aku akan dengan mudah menguasai harta Mas Bagas meskipun dia bilang kalau semua hartanya ada di tangan Nilam. Diam-diam ternyata dia serakah juga, aku tidak akan menerima begitu saja.Nilam itu hanya mantan istri Mas Bagas sedangkan aku istrinya. Sudah jelas aku lebih berhak.Bertahan dalam kesederhanaan pun terpaksa kulakukan agar Mas Bagas percaya kalau aku itu memang mencintainya bukan karena harta. Dia juga tidak bisa dibilang lelaki jelek karena parasnya tampan. Meski tidak cinta tapi aku mendapatkan banyak keuntungan menjadi istrinya.“Kamu harus segera hamil. Selama ini Bagas mau anak ‘kan? Kalau kamu hamil, Bagas pasti akan mengambil lagi semua harta itu dari mantan istrinya bagaimana pun caranya.”“Iya, aku juga maunya hamil, Bu. Tapi ‘ka
POV BagasAku hanya menjalani hari menunggu saat itu tiba, saat dimana anakku akan lahir ke dunia. Kemarin ibu sudah mengatakan jika Nilam akan segera melahirkan dan aku diberikan izin untuk datang. Aku mengatakan pada Laras ada pekerjaan di luar kota meski memang dia juga curiga. Sebenarnya aku tidak peduli dia curiga atau cemburu, saat ini yang kupikirkan hanya ingin bertemu dengan Nilam untuk bisa melepas rindu meski ada tembok penghalang diantara kami.Hanya ibu dan Mbak Dilla yang sesekali memberikan informasi, itu pun atas seizin Nilam kata ibu. Diberikan informasi saja aku sudah merasa sangat senang.Saat ini aku menunggu keberangkatan. Meraba saku celana, aku lupa ponselku tertinggal di mobil. Tadi sempat berbalas pesan dengan ibu sebelum berangkat dari rumah. Semoga saja Laras belum pergi.Dengan berlari aku menuju parkiran. Senyumku tersungging melihat mobil masih terparkir di tempat yang sama.Tanpa memanggilnya aku membuka pintu mobil.Mataku terbelalak, “Laras!”Laras lan
“Apa? Jangan asal bicara kau ya!”“Anda menghalangi jalan saya.” Dia mengalihkan pembicaraan.Aku mengurungkan niat untuk bicara saat melihat mobil masuk pekarangan rumah. Bisa kulihat ada Nilam dan Mbak Dilla di dalam. Kalau tahu Nilam akan pulang, aku juga bisa menjemputnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri dan membukakan pintu mobil, tidak mau sampai lelaki itu mendahului. Alin masih dalam gendonganku.Sepertinya kalau aku tidak sedang menggendong Alin, Nilam akan protes dengan keberadaanku. Sekarang perhatiannya malah tertuju pada Alin.Rasa rinduku terbayar saat melihatnya. Namun hatiku teriris melihat Nilam malah tampak kurus, tidak seperti saat awal kehamilan. Apa kondisinya semakin memburuk?Pada siapa aku harus bertanya kalau semuanya selalu bungkam seolah aku ini orang asing yang tidak boleh tahu apa-apa.Dia mengelus lembut pipi Alin, “Mas, biar aku yang gendong.”“Tidak usah. Kamu saja masih terlihat lemas begitu.”Mbak Dilla menghampiri dan menggandeng tangan Nilam ma
“Bu.” Aku menyamai langkah kaki ibu.“Apa lagi?”Aku terdiam tidak langsung menjawab. Bingung untuk kembali mengatakannya.“Kalau memang kamu mau dikembalikan semua hartamu itu, biar nanti ibu bilang pada Nilam. Dia juga bukan wanita serakah, dia hanya tidak ingin hartamu jatuh ke tangan yang tidak tepat. Kamu harus tahu, meskipun Nilam hanya duduk diam selama kamu bekerja tapi doanya selalu mengiringi langkahmu. Jangan sombong dengan merasa kamu sukses dengan usahamu sendiri, doa istrimu juga berperan.”Kuhembuskan napas panjang. Hanya berdiri mematung membiarkan ibu pergi ke kamarnya.‘Apa selama ini aku begitu sombong?’Dengan gontai aku melangkah menuju kamar, menghempaskan tubuh di ranjang. Mataku terpejam tapi tidak benar-benar tidur.Sibuk dengan pikiran berkecamuk karena masalah bertubi-tubi yang datang dalam hidupku. Masalahku dan Laras juga harus diselesaikan, aku tidak mau ada yang menggantung. Pulang dari sini aku akan langsung menemuinya. Entah pesan apa saja yang sudah d
“Mas, nanti saja ya. Aku lelah hari ini, kita juga baru bertemu lagi.” Laras memberikan alasan agar tidak dibawa ke rumah sakit.“Berarti memang kau bohong. Kau tidak hamil.”“Iya, Bagas. Biarkan Laras istirahat dulu,” ibunya ikut membela.“Di sini ada rumah sakit yang dekat, Laras juga hanya duduk diam tidak saya suruh menyetir.” Kuraih tangan Laras dan menariknya menuju mobil.“Mas. Besok saja ya.”Aku tidak memperdulikan perkataannya. Aku ingin selesai sekarang juga, aku akan menepati apa yang tadi kuucap. Kalau memang Laras hamil dan itu anakku, maka tidak akan aku menjatuhkan talak padanya namun jika sebaliknya maka tidak ada alasanku untuk tetap bersamanya.Setiap melihatnya saja bahkan aku selalu ingat saat dimana dia dan Om Rudy di dalam mobil. Menjijikan!Mataku memang fokus menatap jalan namun dari ekor mata bisa kulihat Laras duduk dengan gelisah. Sudah bisa ditebak jika dia memang berbohong. Sengaja aku membawanya langsung ke sana agar dia tidak bisa untuk mengelak.“Mas,
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat