“Mas, nanti saja ya. Aku lelah hari ini, kita juga baru bertemu lagi.” Laras memberikan alasan agar tidak dibawa ke rumah sakit.“Berarti memang kau bohong. Kau tidak hamil.”“Iya, Bagas. Biarkan Laras istirahat dulu,” ibunya ikut membela.“Di sini ada rumah sakit yang dekat, Laras juga hanya duduk diam tidak saya suruh menyetir.” Kuraih tangan Laras dan menariknya menuju mobil.“Mas. Besok saja ya.”Aku tidak memperdulikan perkataannya. Aku ingin selesai sekarang juga, aku akan menepati apa yang tadi kuucap. Kalau memang Laras hamil dan itu anakku, maka tidak akan aku menjatuhkan talak padanya namun jika sebaliknya maka tidak ada alasanku untuk tetap bersamanya.Setiap melihatnya saja bahkan aku selalu ingat saat dimana dia dan Om Rudy di dalam mobil. Menjijikan!Mataku memang fokus menatap jalan namun dari ekor mata bisa kulihat Laras duduk dengan gelisah. Sudah bisa ditebak jika dia memang berbohong. Sengaja aku membawanya langsung ke sana agar dia tidak bisa untuk mengelak.“Mas,
Pintu terkunci saat aku hendak mendorongnya dari luar.“Laras!”Brak!Keningku berkerut mendengar sesuatu yang jatuh dari dalam.“Iya, Mas.” Dia menyahut lalu membuka pintu, wajahnya tampak pias, “kenapa pulang lagi, Mas?” tanyanya dengan senyum yang seperti dipaksakan.“Ambil dompet,” jawabku lalu masuk untuk mengambil dompet di dalam kamar.Aku masih tidak habis pikir dengan isi otaknya. Menyesal sekali aku menikahinya karena ingin mendapatkan anak, kuharap kalau memang anak itu darah dagingku dia tidak mewarisi apapun buruknya dariku atau dari Laras.Memang sangat penting memilih istri yang baik dan aku salah memilih, aku salah jalan. Sedangkan wanita yang sudah tepat kupilih malah kusia-siakan dan kini tak bisa lagi kugenggam.“Mobil-”“Aku pulang agak malam,” potongku lalu pergi.Semuanya semakin jelas. Penyesalanku semakin dalam lagi.Langkahku terayun menuju pangkalan ojek sambil menyesali semuanya. Setiap hari kusesali apa yang sudah kulakukan meski tidak akan membuat semuanya
“Bu, tolong jangan sembunyikan apapun dari aku.”Ibu menghela napas panjang, senyumnya tersungging, “Tidak apa-apa. Nilam tidak apa-apa, Ibu hanya merindukannya saja.”Aku mengernyit, “Memang Nilam kemana, Bu?”“Dia hanya sedang mengurus sesuatu. Semoga saja dia segera kembali karena Alin juga sangat membutuhkannya.”Mengurus sesuatu? Apa Nilam semakin parah sakitnya?Jantungku berdenyut nyeri mendengar itu. Membayangkan dia berjuang sendiri menghadapi masa-masa sulitnya.Aku tidak akan mungkin memaksa ibu untuk bicara karena akan sia-sia. Tidak hanya hari ini, sebelumnya ibu juga selalu bungkam jika ditanya yang bersangkutan dengan Nilam.“Ya sudah. Ibu istirahat, biar aku yang menunggui Alin.”Kamar VVIP di pesan agar bisa nyaman juga untuk ibu. Meski harus merogoh kocek yang lumayan, tapi untuk mereka apalah artinya uang itu, aku masih bisa mencari lagi. Toh, aku memakainya tanpa mengganggu biaya persalinana Laras yang sudah kusiapkan.Soal Laras yang tengah hamil aku sama sekali t
“Apa lagi yang kau tunggu. Pergi dari rumah ini!”“Aku tidak akan pergi dari sini. Aku mau menagih janjimu.”“Bicara soal janji. Kau juga tidak menepati janjimu yang mengatakan akan menuruti semua keinginanku dan menjadi istri baik. Lalu ini apa? Sudahlah, pergi sana. Aku juga tidak membutuhkanmu di sini.”“Aku akan menuntut harta gono-gini darimu. Tunggu saja.” Dia masuk ke dalam kamarnya lalu mengemasi pakaian dan pergi.Dia mengharapkan harta gono-gini. Tidak tahu saja apa yang kumiliki, aku tidak memiliki apa-apa selain mobil. Bahkan rumah ini saja masih menyewa bukan milikku sendiri.Kuhempaskan tubuh di kursi, mengerang furstasi mengingat penderitaan bertubi-tubi yang mendatangi.“Argh!” Kujambak rambut dengan keras berharap menghilangkan rasa berdenyut di kepala.Suara tangis terdengar dari dalam kamar. Aku langsung beranjak untuk melihat.Tubuhku terpaku di ambang pintu melihatnya menangis. Tuhan memberikan aku ujian lagi untuk merawat anak yang berbeda dengan anak lainnya.“K
“Nilam, dia yang akan menikah.”Jleb!Jantungku seperti dihujam dengan kuat.“Ni-nilam ... akan menikah? Jangan bercanda, Mbak.” Tawaku berderai meski rasa sesak kini mulai menjalar di dada.“Untuk apa bercanda, ini bukan candaan. Memang kenapa kalau Nilam akan menikah? Dia juga berhak bahagia. Dia harus bahagia bersama dengan pasangannya.”Aku bungkam, tidak bisa membalas ucapan Mbak Dilla. Memang benar Nilam pantas bahagia dan jangan sampai aku menghalangi kebahagiaannya. Dia sudah cukup tersiksa karena ulahku mungkin sekarang saatnya dia untuk bahagia.Apa selama menghilang ini Nilam sibuk dengan calon suaminya itu. Aku jadi penasaran lelaki mana yang dengan begitu mudah meluluhkan hati Nilam. Apa Nilam sudah benar-benar melupakanku? Tidak ada lagi sedikit pun rasanya padaku?Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak. Aku terlalu malu untuk bertanya soal pribadi Nilam. Sadar diri jika tidak berhak untuk itu.“Semoga dia bisa selalu bahagia,” gumamku.“Jelas. Dia akan bahagia dan tidak
POV NilamBeberapa bulan ke belakang adalah waktu-waktu yang begitu berat untukku. Aku tidak bisa menjalankan tugasku sebagai seorang ibu karena kondisiku yang semakin melemah setelah melahirkan. Berulang kali keluar masuk rumah sakit, melakukan kemoterapi dan berbagai pengobatan lain kujalani.Semangatku untuk sembuh sangat besar karena aku ingin menjalani hari-hariku bersama dengan Alin, melihat langsung tumbuh kembangnya yang beberapa waktu sempat ku lewatkan.Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak, setelah cukup lama aku bergelut dengan penyakit ini akhirnya dinyatakan sembuh total.“Perjuanganmu luar biasa, Nilam. Abang bangga padamu.”“Terima kasih karena selalu ada untukku, merawatku dengan sabar sampai aku sekarang sudah benar-benar sembuh.”Kebahagiaan yang kurasakan sama sekali tidak bisa terlukiskan. Ibu dan Mbak Dilla juga selalu ada untukku, meski tidak ada hubungan darah tapi mereka bukan orang lain untukku.“Sudah kewajibanku, Nilam. Jangan bicara sep
“Eh, sayang. Kenapa bangun?”Aku tersentak mendengar suara Bang Ilyas.“Mau buang air kecil, Bang.”“Bukan terganggu suara televisi?” Aku menggeleng. Bahkan saat bangun tadi aku seperti tidak mendengar suara televisi.Rasa ingin buang air kecil hilang seketika karena rasa penasaran. Apa mungkin yang tadi kudengar itu hanya mimpi. Bang Ilyas pun hanya sendiri, tidak mungkin ada orang bertamu tengah malam begini.Sudahlah. Mungkin efek terlalu lelah. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan tidur.Keesokan harinya Bang Ilyas membatalkan acara kami karena ada yang lebih darurat di rumah sakit, aku sama sekali tidak keberatan. Sebelum ke rumah sakit, Bang Ilyas lebih dulu mengantarku ke rumah.“Maaf ya.”“Tidak usah minta maaf, Bang. Ini juga tugas Abang, kita bisa pergi lain kali,” kataku dengan seulas senyum.Cup!Sebuah kecupan mendarat di kening.“Nanti Abang jemput lagi.”Aku mengangguk lalu keluar dari mobil, menunggu di sana sampai mobilnya tak terlihat lagi.Tubuhku berbalik, namun
POV Nilam“Awas kamu jal*ng!” teriaknya padaku sebelum menaiki motornya dan pergi dalam keadaan yang begitu mengenaskan.Di jalan orang-orang pasti akan memperhatikannya.“Mbak Nilam, lain kali kalau ada dia panggil saja kami. Tidak usah malu, wanita begitu harus diberi pelajaran,” ucap Bu Rt.“Iya. Kalau hanya diam saja yang ada semakin menjadi,” sahut Mbak Siska.“Terima kasih, maaf merepotkan.” Hanya itu yang bisa kukatakan.Mereka langsung membubarkan diri.Mas Bagas belum juga keluar dari dalam rumah, aku langsung menyusulnya masuk.“Mas Bagas.”“Mas di kamarmu, Nilam.”Langkahku tergesa menuju kamar. Baru saja niat akan mengomel karena dia masuk sembarangan ke kamarku, tidak jadi kulakukan karena dia sedang memakaikan baju pada Alin.“Maaf mas lancang. Tadi mas dengar Alin menangis, dia hanya pakai handuk jadi mas pakaikan baju,” jelasnya.“Iya, aku lupa karena tadi keburu Laras datang.”Mas Bagas membalikkan tubuhnya menghadapku setelah selesai memakaikan baju pada Alin.“Apa d