“Bu, tolong jangan sembunyikan apapun dari aku.”Ibu menghela napas panjang, senyumnya tersungging, “Tidak apa-apa. Nilam tidak apa-apa, Ibu hanya merindukannya saja.”Aku mengernyit, “Memang Nilam kemana, Bu?”“Dia hanya sedang mengurus sesuatu. Semoga saja dia segera kembali karena Alin juga sangat membutuhkannya.”Mengurus sesuatu? Apa Nilam semakin parah sakitnya?Jantungku berdenyut nyeri mendengar itu. Membayangkan dia berjuang sendiri menghadapi masa-masa sulitnya.Aku tidak akan mungkin memaksa ibu untuk bicara karena akan sia-sia. Tidak hanya hari ini, sebelumnya ibu juga selalu bungkam jika ditanya yang bersangkutan dengan Nilam.“Ya sudah. Ibu istirahat, biar aku yang menunggui Alin.”Kamar VVIP di pesan agar bisa nyaman juga untuk ibu. Meski harus merogoh kocek yang lumayan, tapi untuk mereka apalah artinya uang itu, aku masih bisa mencari lagi. Toh, aku memakainya tanpa mengganggu biaya persalinana Laras yang sudah kusiapkan.Soal Laras yang tengah hamil aku sama sekali t
“Apa lagi yang kau tunggu. Pergi dari rumah ini!”“Aku tidak akan pergi dari sini. Aku mau menagih janjimu.”“Bicara soal janji. Kau juga tidak menepati janjimu yang mengatakan akan menuruti semua keinginanku dan menjadi istri baik. Lalu ini apa? Sudahlah, pergi sana. Aku juga tidak membutuhkanmu di sini.”“Aku akan menuntut harta gono-gini darimu. Tunggu saja.” Dia masuk ke dalam kamarnya lalu mengemasi pakaian dan pergi.Dia mengharapkan harta gono-gini. Tidak tahu saja apa yang kumiliki, aku tidak memiliki apa-apa selain mobil. Bahkan rumah ini saja masih menyewa bukan milikku sendiri.Kuhempaskan tubuh di kursi, mengerang furstasi mengingat penderitaan bertubi-tubi yang mendatangi.“Argh!” Kujambak rambut dengan keras berharap menghilangkan rasa berdenyut di kepala.Suara tangis terdengar dari dalam kamar. Aku langsung beranjak untuk melihat.Tubuhku terpaku di ambang pintu melihatnya menangis. Tuhan memberikan aku ujian lagi untuk merawat anak yang berbeda dengan anak lainnya.“K
“Nilam, dia yang akan menikah.”Jleb!Jantungku seperti dihujam dengan kuat.“Ni-nilam ... akan menikah? Jangan bercanda, Mbak.” Tawaku berderai meski rasa sesak kini mulai menjalar di dada.“Untuk apa bercanda, ini bukan candaan. Memang kenapa kalau Nilam akan menikah? Dia juga berhak bahagia. Dia harus bahagia bersama dengan pasangannya.”Aku bungkam, tidak bisa membalas ucapan Mbak Dilla. Memang benar Nilam pantas bahagia dan jangan sampai aku menghalangi kebahagiaannya. Dia sudah cukup tersiksa karena ulahku mungkin sekarang saatnya dia untuk bahagia.Apa selama menghilang ini Nilam sibuk dengan calon suaminya itu. Aku jadi penasaran lelaki mana yang dengan begitu mudah meluluhkan hati Nilam. Apa Nilam sudah benar-benar melupakanku? Tidak ada lagi sedikit pun rasanya padaku?Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak. Aku terlalu malu untuk bertanya soal pribadi Nilam. Sadar diri jika tidak berhak untuk itu.“Semoga dia bisa selalu bahagia,” gumamku.“Jelas. Dia akan bahagia dan tidak
POV NilamBeberapa bulan ke belakang adalah waktu-waktu yang begitu berat untukku. Aku tidak bisa menjalankan tugasku sebagai seorang ibu karena kondisiku yang semakin melemah setelah melahirkan. Berulang kali keluar masuk rumah sakit, melakukan kemoterapi dan berbagai pengobatan lain kujalani.Semangatku untuk sembuh sangat besar karena aku ingin menjalani hari-hariku bersama dengan Alin, melihat langsung tumbuh kembangnya yang beberapa waktu sempat ku lewatkan.Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak, setelah cukup lama aku bergelut dengan penyakit ini akhirnya dinyatakan sembuh total.“Perjuanganmu luar biasa, Nilam. Abang bangga padamu.”“Terima kasih karena selalu ada untukku, merawatku dengan sabar sampai aku sekarang sudah benar-benar sembuh.”Kebahagiaan yang kurasakan sama sekali tidak bisa terlukiskan. Ibu dan Mbak Dilla juga selalu ada untukku, meski tidak ada hubungan darah tapi mereka bukan orang lain untukku.“Sudah kewajibanku, Nilam. Jangan bicara sep
“Eh, sayang. Kenapa bangun?”Aku tersentak mendengar suara Bang Ilyas.“Mau buang air kecil, Bang.”“Bukan terganggu suara televisi?” Aku menggeleng. Bahkan saat bangun tadi aku seperti tidak mendengar suara televisi.Rasa ingin buang air kecil hilang seketika karena rasa penasaran. Apa mungkin yang tadi kudengar itu hanya mimpi. Bang Ilyas pun hanya sendiri, tidak mungkin ada orang bertamu tengah malam begini.Sudahlah. Mungkin efek terlalu lelah. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan tidur.Keesokan harinya Bang Ilyas membatalkan acara kami karena ada yang lebih darurat di rumah sakit, aku sama sekali tidak keberatan. Sebelum ke rumah sakit, Bang Ilyas lebih dulu mengantarku ke rumah.“Maaf ya.”“Tidak usah minta maaf, Bang. Ini juga tugas Abang, kita bisa pergi lain kali,” kataku dengan seulas senyum.Cup!Sebuah kecupan mendarat di kening.“Nanti Abang jemput lagi.”Aku mengangguk lalu keluar dari mobil, menunggu di sana sampai mobilnya tak terlihat lagi.Tubuhku berbalik, namun
POV Nilam“Awas kamu jal*ng!” teriaknya padaku sebelum menaiki motornya dan pergi dalam keadaan yang begitu mengenaskan.Di jalan orang-orang pasti akan memperhatikannya.“Mbak Nilam, lain kali kalau ada dia panggil saja kami. Tidak usah malu, wanita begitu harus diberi pelajaran,” ucap Bu Rt.“Iya. Kalau hanya diam saja yang ada semakin menjadi,” sahut Mbak Siska.“Terima kasih, maaf merepotkan.” Hanya itu yang bisa kukatakan.Mereka langsung membubarkan diri.Mas Bagas belum juga keluar dari dalam rumah, aku langsung menyusulnya masuk.“Mas Bagas.”“Mas di kamarmu, Nilam.”Langkahku tergesa menuju kamar. Baru saja niat akan mengomel karena dia masuk sembarangan ke kamarku, tidak jadi kulakukan karena dia sedang memakaikan baju pada Alin.“Maaf mas lancang. Tadi mas dengar Alin menangis, dia hanya pakai handuk jadi mas pakaikan baju,” jelasnya.“Iya, aku lupa karena tadi keburu Laras datang.”Mas Bagas membalikkan tubuhnya menghadapku setelah selesai memakaikan baju pada Alin.“Apa d
POV BagasAku tidak punya muka lagi setelah dihina secara langsung oleh ibu-ibu kompleks di rumah Nilam. Untung saja Alina dibawa oleh Nilam jadi saat aku ingin menemuinya tinggal jemput di rumah baru Nilam bukan di rumah lama. Setidaknya aku tidak akan terlalu malu.Namun sejak Alin pindah malah aku lebih susah bertemu dengan Alin, apalagi sepertinya Ilyas memang tidak suka. Padahal sekarang Nilam sudah jadi istrinya, aku bisa apa. Aku hanya mantan suami Nilam yang bahkan tidak akan mungkin bisa bersatu lagi dengannya.Video Laras viral, mungkin dia juga tidak akan berani keluar rumah karena wajahnya dikenali banyak orang sebagai pelakor. Nomornya di ponselku sudah lama kublokir. Mungkin dia tidak akan berani menampakkan diri dalam waktu dekat sampai semua gosip tentangnya mereda.Jejak digital akan sulit hilang, namun bagusnya tidak ada wajahku di sana pun dengan wajah Nilam. Malah banyak wanita yang berkoar jika suami mereka pernah jadi korban Laras. Ternyata tidak hanya Om Rudy da
POV Bagas “Bukan urusanmu, Nilam ‘kan mantan istrimu.”Jawabannya membuatku naik darah saja, percuma bicara aku pun sekarang tidak bisa fokus dan memilih untuk menghilangkan kantuk dengan tidur sebentar.Saat terbangun satu jam kemudian, Om Rudy masih ada di sini.Mataku menangkap bungkusan plastik yang ada di dekat sofa. Dari plastik yang transparan bisa kulihat didalamnya itu diapers dan juga susu.“Om yang membelinya?”“Nilam yang mengirimkannya?”Keningku berkerut, “Nilam?”“Kurirnya bilang begitu.”“Jangan pernah mengambil simpatinya, Nilam mudah sekali iba. Jangan berpikir dia masih mencintaimu makanya rela datang ke sini. Dia milikku.”Perkataan Ilyas kembali terngiang di telinga. Aku memang harus sadar diri, Nilam terlalu baik dan kebaikannya padaku itu membuat hatiku semakin sakit, penyesalanku semakin dalam karena setelah apa yang kulakukan sikapnya masih baik.Aku lebih ingin Nilam membenciku bukan baik seperti ini. Dengan dia yang bersikap baik malah aku yang malu dan ter
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat