POV Bagas “Bukan urusanmu, Nilam ‘kan mantan istrimu.”Jawabannya membuatku naik darah saja, percuma bicara aku pun sekarang tidak bisa fokus dan memilih untuk menghilangkan kantuk dengan tidur sebentar.Saat terbangun satu jam kemudian, Om Rudy masih ada di sini.Mataku menangkap bungkusan plastik yang ada di dekat sofa. Dari plastik yang transparan bisa kulihat didalamnya itu diapers dan juga susu.“Om yang membelinya?”“Nilam yang mengirimkannya?”Keningku berkerut, “Nilam?”“Kurirnya bilang begitu.”“Jangan pernah mengambil simpatinya, Nilam mudah sekali iba. Jangan berpikir dia masih mencintaimu makanya rela datang ke sini. Dia milikku.”Perkataan Ilyas kembali terngiang di telinga. Aku memang harus sadar diri, Nilam terlalu baik dan kebaikannya padaku itu membuat hatiku semakin sakit, penyesalanku semakin dalam karena setelah apa yang kulakukan sikapnya masih baik.Aku lebih ingin Nilam membenciku bukan baik seperti ini. Dengan dia yang bersikap baik malah aku yang malu dan ter
Orang berlarian, suasana tiba-tiba menjadi riuh.“Kecelakaan.”“Orangnya masuk ke parit.”“Mana perempuan lagi.”Apa itu Laras? Tadi kudengar suara yang berteriak juga mirip dengan suara Laras.Rasa penasaran menggelayuti tapi lebih penting mengobati pelipis Qai yang berdarah. Kulihat Qai memang sudah tenang, tapi masih sesegukan.Kenapa bisa ada wanita yang begitu keras hatinya seperti Laras. Anak sendiri dia lukai begini. Mungkin dia punya masalah kejiwaan karena sampai hati menyakiti anaknya.“Ayah bersyukur karena kamu tidak dirawat olehnya, Nak,” gumamku lalu membawa Qai masuk, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di lengan.Gips yang kukenakan juga sudah basah dan otomatis harus diganti. Ini membuatku harus pergi ke rumah sakit untuk menggantinya.“Obat luka untuk bayi dan orang dewasa sama tidak ya?” Aku menggaruk tengkuk, merasa bingung dan takut salah.Kuputuskan untuk menghubungi ibu, memintanya membelikan obat luka untuk Qai.“Qai kenapa?”“Nanti saja aku jelaskan, Bu. Kala
POV Bagas“Nilam,” gumamku saat melihat dia turun dari mobil.Dia sepertinya mengganti mobilnya, makanya aku sampai tidak mengenali.“Yayah.”Senyumku merekah karena melihat Alin. Rasa rinduku akhirnya terobati. Segala kemarahan yang ada dalam dada langsung musnah hanya dengan melihat bidadari kecilku.“Maaf, Mas. Aku datang tidak bilang-bilang.”“Kenapa harus minta maaf segala. Duduk.” Sebelah tanganku terulur untuk mengambil Alin.“Jangan, Mas. Tanganmu-”“Tidak apa-apa. Dudukkan saja Alin di pangkuanku.”Nilam mengangguk.“Yayah.”Kudekap erat tubuh kecilnya, mengecup puncak kepalanya.“Alin rindu ayah?”“Ndu,” sahutnya.Aku terkekeh geli mendengarnya.“Dia semakin pintar,” kata Nilam, “oh ya, Ibu di sini juga ‘kan?”“Iya, ibu sedang tidur.”“Padahal aku mau sekalian pamit.”Keningku berkerut, “Pamit kemana?”Perasaanku langsung tidak enak mendengar itu.“Aku harus ikut Bang Ilyas dinas di luar kota.”“Luar kota?”“Iya. Jadi mas hanya bisa menemui Alin sesekali saja, tidak bisa ses
POV LarasObat yang kuminum rasanya percuma karena kaki ini rasanya terus berdenyut. Sakitnya sangat menyiksa.Kalau saja aku tidak menikah dengan Mas Bagas, aku tidak akan pernah mengalami kesialan yang beruntun seperti ini. Hidupku susah karena dia, dia harus bertanggung jawab. Tidak akan kubiarkan dia tenang setelah menghancurkan hidupku.“Sayang, minta uang dong.”Sekarang bukan kakiku saja yang berdenyut tapi kepalaku juga, kulirik Reyhan yang berdiri di ambang pintu kamar sambil tersenyum tanpa dosa.“Bisamu hanya minta uang terus. Cari kerjaan sana, di rumah hanya tidur saja!”“Tidak ada yang mau mempekerjakan anak sekolah sepertiku. Lagi pula sebentar lagi Mama pasti akan datang dan memintaku pulang jadi tidak usah khawatir. Aku akan mengganti semua uangmu yang kupakai, sayang.”Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut.Mimpi apa aku sampai harus bersuamikan bocah SMA seperti dia. Salahku sendiri karena mengincarnya, dia anak seorang pemilik pabrik. Aku mendekatinya karena t
POV BagasSetelah hari itu, tidak pernah lagi aku menghubungi Nilam. Aku tidak mau menjadi penyebab retaknya hubungan Nilam dan juga Ilyas. Meski harus menahan rindu pada putriku tapi aku tidak bisa apa-apa.Ibu juga tidak bisa memaksa untuk menemui Nilam karena ibu bilang Ilyas lebih berhak. Kalau pun Nilam dilarang, tidak bisa kita memaksakan.Tidak hanya Nilam dan Alin yang tidak tahu keberadaannya. Laras juga tidak pernah lagi muncul. Kukira dia akan datang dan mengacau lagi. Terakhir bertemu saja di rumah sakit saat itu.“Qai, ayo sini makan dulu.”Aku yang sedang bersiap-siap ke kantor, mendengar teriakan ibu dari luar.Padahal aku sudah mengatakan pada ibu biar Qai diurus oleh Diah saja karena Qai sangat aktif dan susah sekali ditegur.Pyar!“Qai!”Aku langsung keluar mendengar sesuatu yang pecah. Menghampiri ibu yang menarik Qai menjauh dari pecahan beling.“Qai, tidak boleh. Ini gelas, tidak boleh dilempar,” ucap ibu, “Gas, gendong dulu. Biar ibu bersihkan.”“Diah kemana, Bu?
Pembicaraan dilanjutkan soal pekerjaan. Kuperhatikan Nilam tampak berbeda, dia begitu banyak tahu bahkan lebih dariku. Pasti banyak yang sudah dia lewati sampai di titik ini sampai mengerti soal bisnis yang dijalaninya.Selesai pembicaraan, aku langsung keluar dan kembali ke tempatku. Nilam sepertinya masih ada urusan, padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan dan yang paling penting aku ingin bertemu dengan Alin. Aku sangat merindukannya.“Mas Bagas.”Baru saja membuka pintu ruangan, suara Nilam menghentikanku. Sontak aku menoleh.“Nilam.”“Boleh aku bertemu ibu?”Aku mengangguk, “Datang saja ke rumah.”Dia menunduk, memainkan ujung bajunya. Kebiasaannya masih sama.“Aku tidak tahu Ibu tinggal di mana. Bisa minta nomor telepon ibu?”Nilam pasti sangat merindukan ibu, sama halnya dengan ibu. Tidak mungkin aku melarang mereka untuk bertemu. Baru saja akan kuberikan ponsel padanya, tiba-tiba teringat soal Ilyas.“Apa suamimu tidak akan marah?”“Suami?”Keningku berkerut, “Apa-”“Tenan
“Mas.” Nilam terbelalak lalu meraih cardigan untuk menutupi tubuhnya yang hanya memakai baju tidur terbuka.Langkahku terayun mendekati dia.“Maaf aku lancang, Mas. Ibu bilang kamu menginap di kantor jad-”“Siapa yang melakukan itu padamu, Nilam!” potongku.“Aku akan tidur di luar.” Nilam malah mengalihkan pembicaraan lalu berniat pergi.Dengan cepat aku menahan tangannya.“Katakan, Nilam! Atau mas caritahu sendiri,” geramku dengan rahang mengeras.“Kamu tidak berhak tahu, Mas. Kita-”“Persetan dengan status. Mas tidak akan peduli, mana mungkin mas hanya diam melihat wanita yang mas cintai dilukai begini. Katakan, Nilam. Apa Ilyas yang melakukannya?” Peganganku di tangannya melemah.Nilam menunduk, kulihat air matanya berjatuhan, “Aku tidak apa-apa.”Air mata dan yang perkataannya itu bertolak belakang. Mana mungkin baik-baik saja tapi menangis begini, pundaknya bahkan bergetar.Aku melangkah mendekat, mendekapnya dengan erat, “Menangislah, setelah itu baru cerita.”Dia menggeleng men
POV Nilam (5 Tahun yang lalu)“Masih sakit ya?”Aku menggeleng, “Tidak, Bang.”Bang Ilyas meraih tanganku dan mencium pergelangannya yang lebam.“Maaf, abang terlalu kasar, abang tidak sadar.”Takut, kaget dan aneh. Saat pertama kali tidak seperti ini, tapi tadi malam Bang Ilyas terlihat berbeda. Aku masih berpikir positif karena dia mungkin tidak sengaja melakukannya.Setelah dia mengatakan jika aku harus ikut ke luar kota, tentu saja aku tidak akan bisa menolak karena dia suamiku. Mana mungkin aku membiarkannya tinggal di luar kota sendirian, aku harus menjalankan tugas sebagai seorang istri.Bang Ilyas memberiku izin untuk bertemu dengan ibu sebelum pergi. Mas Bagas juga harus tahu, bagaimanapun dia ayahnya Alin.Berat rasanya saat harus pamit pada ibu. Selama menikah dengan Mas Bagas, ibu begitu menyayangiku, memperlakukanku seperti anak sendiri.Aku tidak bisa berlama-lama di rumah Mas Bagas, takut juga Mas Bagas menanyai lagi soal luka lebam di pergelangan tanganku.Satu hal yan