Makanan begitu sulit kutelan. Namun aku harus memaksakan, jika aku sakit bagaimana dengan Alin.Saat ini pikiranku tidak tenang karena membayangkan apalagi yang akan terjadi padaku ke depannya. Ini saja sudah membuat tersiksa. Sampai kapan aku ada di tempat terkutuk ini dan terkurung dengan lelaki yang begitu mengerikan.Sering melihat perubahan sikapnya, aku jadi tahu saat Bang Ilyas menjadi dirinya sendiri dan saat dia menjadi monster. Tapi perubahan itu biasa datang tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Lebih seringnya saat malam hari dia akan berubah menjadi sosok yang tidak kukenal.‘Ibu, aku mau pulang. Aku tersiksa di sini, Bu. Ibu pasti khawatir karena aku tidak pernah memberikan kabar.’ Aku hanya bisa membatin, menjerit pilu.Pantas saja rasanya begitu berat saat harus pergi. Bahkan aku sempat berpikir untuk tetap tinggal di sana dan mengunjungi Bang Ilyas sesekali tapi itu hanya pikiran sekilas karena akhirnya aku ikut juga hingga sekarang ada di tempat ini.“Yayah.”Perhatianku
“Kita bicara di tempat lain, jangan di sini,” ajaknya.Aku melihat sekeliling, saat ini berdiri di trotoar dan banyak orang berlalu-lalang. Berdiri di sini juga bisa jadi membuat Bang Ilyas tahu keberadaanku, lebih baik cari aman. Tapi tetap harus di tempat yang ramai jadi saat ada apa-apa aku bisa teriak.“Nilam, kenapa melamun. Ayo ikut ayah. Dekat sini ada restoran yang tempatnya agak di pojokan. Di sana Ilyas tidak akan menemuimu.”“Apa tempatnya jauh?”“Tidak. Jalan kaki dari sini tidak lama.”Aku mengangguk, mengikuti langkah kakinya menuju restoran yang dimaksud.Benar saja, jaraknya tidak jauh dari rumah sakit tadi. Tempatnya pun ramai. Aku di bawa ke bagian lantai dua, disana pun sama ramainya jadi aku tidak terlalu takut.Meskipun mengaku sebagai ayahku, tetap saja ingin jaga-jaga. Selama ini aku bahkan tidak mengenal seperti apa ayahku itu.“Mau pesan apa?”Aku menggeleng, “Tidak usah.”“Setidaknya untuk Alin.”Dia bahkan tahu nama anakku.“Tidak perlu. Saya hanya ingin men
Aku hanya diam, tidak membalas perkataan Mas Bagas.“Oh ya, maksud Alin apa tadi, soal boneka?”“Karena dia terus merengek, aku sengaja membuat boneka dengan gambar wajahmu, setidaknya untuk membuat dia senang sebelum akhirnya aku membawanya padamu.”Aku merasa lega Mas Bagas langsung mengalihkan pembicaraan. Lebih baik membicarakan soal Alin saja.“Alin pasti sangat merindukan ayahnya ini,” kata Mas Bagas.“Hm. Setiap hari dia menanyakanmu, satu hari entah berapa kali dia memanggil.”“Apa hanya Alin saja yang rindu?”Sontak aku menoleh, “Maksudnya?”“Kamu tidak merindukan mas juga?”Dia malah kembali bicara soal itu, “Kamu tidak mau menggoda istri orang?” tanyaku, berharap dia menjaga jarak.Perceraianku dan Bang Ilyas sedang diurus, soal kekerasan yang dia lakukan juga kasusnya sedang dijalankan. Aku hanya menunggu selesai saja.“Mungkin lebih tepatnya mantan istri orang. Kamu dan Ilyas kalau belum berpisah pasti akan,” ujarnya dengan santai.Percuma sebenarnya aku berbohong karena
POV Bagas“Aku kesana sekarang, Bu.”Kuputuskan sambungan telepon dan menyambar kunci motor.Barusan ibu menghubungiku mengatakan jika Nilam pingsan di dalam mobil setelah berteriak histeri di dalamnya.Perasaanku tidak karuan. Sudah pasti terjadi sesuatu dan aku yakin ada hubungannya dengan Ilyas. Aku harus menanyakan pada ayahnya Nilam kalau memang Nilam tidak mau bicara. Semoga saja ayahnya tahu soal masalah yang Nilam hadapi.Dengan mengendarai kecepatan tinggi aku membelah jalan kota. Ingin segera sampai karena khawatir pada Nilam.Sampai dirumah, aku bisa melihat beberapa orang juga di sana mencoba untuk membuka pintu mobil bahkan mencoba menurunkan kaca mobil agar bisa membawa Nilam keluar.“Permisi, biar aku saja.”Aku mengeluarkan alat kecil dari dalam saku, tidak sia-sia tadi pagi aku mendengar ocehan Kiki tadi pagi yang mengatakan dia memiliki alat untuk memecahkan kaca mobil dengan mudah.Kutempelkan alat itu dikaca mobil dan sekali tekan kaca langsung pecah seketika. Aku
“Apa Nilam mau?” tanyaku ragu.“Kamu itu laki-laki, bukan lagi anak ingusan. Buktikan padanya kalau kamu memang pantas untuk kembali bersanding dengan dia. Nilam butuh pembuktian bukan sekedar ucapan.”Aku memang sering menggoda Nilam mengajaknya rujuk. Tapi jujur aku tidak percaya. Merasa tidak pantas? Tentu saja. Banyak mungkin di luaran sana juga yang mau pada Nilam. Usianya memang tidak muda lagi tapi pesonanya membuat para lelaki menengok dua kali saat berpapasan dengannya.“Bunda.” Qai berdiri dan memanggil Nilam yang baru saja keluar dari kamar mandi.Qai ikut-ikutan Alin memanggil Nilam dengan bunda, tapi Nilam sepertinya tidak keberatan dengan itu karena mengerti Qai seperti apa.“Qai belum bobo?” tanya Nilam, dia menghampiri.Aku melirik ibu, memberikan kode agar ibu tidak melanjutkan pembicaraan kami barusan. Memang aku ingin kembali pada Nilam, tapi melihat betapa traumanya dia, aku tidak akan memaksakan. Hanya bisa menjalani apa adanya, kalau memang kami masih berjodoh pa
“Nilam, kamu pulang saja. Biar ibu yang temani Bagas di sini.”“Tidak apa, Bu. Seharusnya ibu yang pulang, Ibu juga harus istirahat. Biar aku saja yang di sini. Pokoknya ibu harus dengar, nanti pulang bersama Bang Haikal.”“Kamu juga di sini harus istirahat. Ibu pulang dulu.”Sayup-sayup kudengar suara ibu dan juga Nilam. Mataku masih berat untuk terbuka, bergerak sedikit rasanya bagian belakang sangat sakit.“Sshh. Argh!” Aku meringis karena rasanya begitu sakit, niatku ingin duduk tapi diurungkan.“Mas.”Mataku mengerjap, perlahan terbuka sempurna. Mendapati Nilam yang dengan raut wajahnya yang tampak cemas.“Kamu tidak apa-apa ‘kan?”“Aku yang seharusnya bertanya itu padamu, Mas. Kamu begini karena aku.” Suara Nilam bergetar, matanya berkaca-kaca.“Kenapa menangis? Mas tidak apa-apa, ini hanya luka kecil. Bukan karenamu juga.” Aku menjelaskan mencoba untuk membuatnya tenang.“Tidak usah bohong. Ayah sudah menceritakan semuanya padaku,” katanya sambil mengusap pipinya.“Bagaimana ay
“Sayang, siapa?”Terdengar suara Laras dari dalam.“Mari masuk.” Dia mempersilahkan kami untuk masuk.Sama sekali tidak menyangka. Sepertinya lelaki ini orang yang sama yang waktu itu menikah dengan Laras karena digrebek. Ternyata hubungan mereka berlangsung lama.“Silahkan duduk, saya panggil dulu istri saya,” katanya lalu masuk ke dalam kamar.“Mas.”Aku menoleh menatap Nilam, “Kenapa? Mau juga suami brondong?”“Apa sih. Bukan itu, memang tidak apa-apa aku di sini?”“Tidak ada yang melarang, kalau kamu keluar nanti Qai juga akan ikut Jadi duduk saja, Laras juga pasti akan mengerti.”“Mas, Mbak. Maaf ya membuat kalian repot.” Laras keluar dari kamar sedangkan laki-laki itu melangkah ke belakang.Wajahnya memang tampak pucat.“Tidak usah sungkan begitu. Qai salim dulu ke ibu.” Aku menarik Qai dari pangkuan Nilam.Qai menggeleng, dia malah merapatkan tubuhnya pada Nilam.“Tidak apa-apa, Mas. Melihat Qai datang saja aku sudah senang.” Laras terlihat lebih kalem, tidak menggebu-gebu sepe
POV Author“Mau menikah hari ini?”Bagas terlonjak melihat ayahnya Nilam keluar dari kamar mandi. Disusul oleh Qai dan Alin.“Rencanamu gagal, Gas. Ibu tidak sengaja bertemu Nilam tadi jadi ya begini.”“Ibu.”Sang ibu juga keluar dari sana.“Ibu tidak bilang apa-apa pada Nilam. Biarlah nanti malam jadi makan malam romantis untuk kalian,” kata ibunya dengan senyum merekah.“Daripada makan malam romantis, aku lebih ingin menikahi Nilam, Bu.” Bagas melirik Nilam dengan sorot mata penuh arti.“Kenapa bicara pada ibu. Tanya saja pada orangnya, dia ada di depanmu.”“Tidak usah pegang-pegang dulu.” Ayahnya Nilam melepaskan genggaman tangan Bagas dan Nilam.“Harus sah dulu,” timpal Dilla.Mereka berkumpul di sini. Bagas berniat membuat kejutan malah dia yang terkejut karena Nilam lebih dulu menyiapkan ini.Sebenarnya tidak ada lagi alasan untuk menunda hal baik. Masalahnya Nilam dan Bagas bukan lagi orang yang baru beranjak dewasa, mereka sudah melewati beberapa fase kehidupan dengan masalah