“Nilam, kamu pulang saja. Biar ibu yang temani Bagas di sini.”“Tidak apa, Bu. Seharusnya ibu yang pulang, Ibu juga harus istirahat. Biar aku saja yang di sini. Pokoknya ibu harus dengar, nanti pulang bersama Bang Haikal.”“Kamu juga di sini harus istirahat. Ibu pulang dulu.”Sayup-sayup kudengar suara ibu dan juga Nilam. Mataku masih berat untuk terbuka, bergerak sedikit rasanya bagian belakang sangat sakit.“Sshh. Argh!” Aku meringis karena rasanya begitu sakit, niatku ingin duduk tapi diurungkan.“Mas.”Mataku mengerjap, perlahan terbuka sempurna. Mendapati Nilam yang dengan raut wajahnya yang tampak cemas.“Kamu tidak apa-apa ‘kan?”“Aku yang seharusnya bertanya itu padamu, Mas. Kamu begini karena aku.” Suara Nilam bergetar, matanya berkaca-kaca.“Kenapa menangis? Mas tidak apa-apa, ini hanya luka kecil. Bukan karenamu juga.” Aku menjelaskan mencoba untuk membuatnya tenang.“Tidak usah bohong. Ayah sudah menceritakan semuanya padaku,” katanya sambil mengusap pipinya.“Bagaimana ay
“Sayang, siapa?”Terdengar suara Laras dari dalam.“Mari masuk.” Dia mempersilahkan kami untuk masuk.Sama sekali tidak menyangka. Sepertinya lelaki ini orang yang sama yang waktu itu menikah dengan Laras karena digrebek. Ternyata hubungan mereka berlangsung lama.“Silahkan duduk, saya panggil dulu istri saya,” katanya lalu masuk ke dalam kamar.“Mas.”Aku menoleh menatap Nilam, “Kenapa? Mau juga suami brondong?”“Apa sih. Bukan itu, memang tidak apa-apa aku di sini?”“Tidak ada yang melarang, kalau kamu keluar nanti Qai juga akan ikut Jadi duduk saja, Laras juga pasti akan mengerti.”“Mas, Mbak. Maaf ya membuat kalian repot.” Laras keluar dari kamar sedangkan laki-laki itu melangkah ke belakang.Wajahnya memang tampak pucat.“Tidak usah sungkan begitu. Qai salim dulu ke ibu.” Aku menarik Qai dari pangkuan Nilam.Qai menggeleng, dia malah merapatkan tubuhnya pada Nilam.“Tidak apa-apa, Mas. Melihat Qai datang saja aku sudah senang.” Laras terlihat lebih kalem, tidak menggebu-gebu sepe
POV Author“Mau menikah hari ini?”Bagas terlonjak melihat ayahnya Nilam keluar dari kamar mandi. Disusul oleh Qai dan Alin.“Rencanamu gagal, Gas. Ibu tidak sengaja bertemu Nilam tadi jadi ya begini.”“Ibu.”Sang ibu juga keluar dari sana.“Ibu tidak bilang apa-apa pada Nilam. Biarlah nanti malam jadi makan malam romantis untuk kalian,” kata ibunya dengan senyum merekah.“Daripada makan malam romantis, aku lebih ingin menikahi Nilam, Bu.” Bagas melirik Nilam dengan sorot mata penuh arti.“Kenapa bicara pada ibu. Tanya saja pada orangnya, dia ada di depanmu.”“Tidak usah pegang-pegang dulu.” Ayahnya Nilam melepaskan genggaman tangan Bagas dan Nilam.“Harus sah dulu,” timpal Dilla.Mereka berkumpul di sini. Bagas berniat membuat kejutan malah dia yang terkejut karena Nilam lebih dulu menyiapkan ini.Sebenarnya tidak ada lagi alasan untuk menunda hal baik. Masalahnya Nilam dan Bagas bukan lagi orang yang baru beranjak dewasa, mereka sudah melewati beberapa fase kehidupan dengan masalah
“Mas Bagas.”Bagas yang sedang sibuk menyuapi Qai langsung mendongak.‘Astaghfirullah.’ Ia buru-buru memalingkan wajahnya melihat bagaimana Yuri berpakaian.“Ada perlu apa, Bu?” tanya Bagas, masih sibuk dengan Qai.Bukannya tergoda pada penampilan Yuri, ia malah jijik karena tahu Yuri menggodanya dengan terang-terangan seperti ini. Tadi malam mengundangnya ke kamar dan sekarang malah memamerkan tubuhnya di depan Bagas.Mungkin lelaki lain jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan tapi tidak dengan Bagas. Ia sudah berubah. Ada yang halal untuknya, tidak akan tergoda oleh yang lain.“Ini anakmu?” tanyanya basa-basi lalu ikut duduk di pasir.“Iya. Saya kesini bersama istri saya juga sebenarnya,” kata Bagas.Mata Yuri terbelalak, “Is-istri? Mas Bagas bukannya duda?”“Itu beberapa hari lalu, Bu. Ibu mau bertemu dengannya, akan saya panggilkan.” Bagas berbalik dan bangkit, melambaikan tangannya pada Nilam, “sayang, sini.”Yuri yang matanya minus, tidak bisa melihat Nilam dengan jelas saat
“Aku dan Rey tetap akan tinggal di sini, kami janji akan mengunjungi mama lebih sering nanti.”Bu Risti terbelalak karena Laras langsung berubah pikiran, namun ia hanya bisa menahan emosinya karena takut nantinya jika Reyhan akan semakin susah untuk dibawa pulang.Dengan terpaksa, wanita paruh baya itu tersenyum, “Iya. Tidak apa, yang penting kalian ada datang ke rumah. Kalau begitu mama pamit dulu.”Laras dan Reyhan mengantar Bu Risti sampai di depan rumah.Reyhan melirik sang istri, “Sudah kubilang ‘kan. Kalau tidak nyaman langsung katakan, pasti tadi pertama mengatakan iya karena terpaksa,” tebaknya.“Aku hanya ingin kamu bisa dekat lagi dengan keluargamu tapi sepertinya tinggal di sana tidak cocok untukku,” kata Laras, ia tidak mengatakan apa yang tadi dibisikkan Bu Risti padanya.Kalau saja Laras mengatakan itu maka yang ada nanti hubungan Reyhan dan sang ibu kembali merenggang dan Laras tidak mau itu terjadi. Ia berusaha untuk membuat Reyhan dan orang tuanya akur, ia merasa sang
POV Nilam“Mbak tidak masalah kalau memang Qai masih betah di sana,” ujarku lewat sambungan telepon.“Betah di sini tapi dia lengket pada Rey, Mbak. Aku malah diabaikan,” jelasnya sambil terkekeh.Aku pun mengulum senyum mendengarnya, “Mungkin Qai betah disana lewat Reyhan, nanti juga bisa dekat denganmu. Sabar saja, kalau memang Qai masih betah biar nanti Mbak bilang ke Mas Bagas kalau Rey menginap lagi di sana.”“Iya, Mbak. Terima kasih ya. Maaf merepotkan.”“Tidak usah sungkan, ya sudah. Mbak tutup ya teleponnya, ini Alin sudah mau pulang soalnya.”Aku masih berada di sekolah Alin. Karena ini hari pertama, aku harus menemani. Meskipun hari-hari kedepannya juga pasti sama. Namanya juga anak kecil.Mendengar kabar dari Laras, aku merasa lega. Qai memiliki kemajuan untuk tinggal bersama orang yang baru beberapa kali ditemuinya. Meskipun mungkin tantrumnya jelas pasti tidak hilang, tapi setidaknya Laras merasakan bagaimana dia bisa merawat anaknya sendiri.[Sayang, masih di sekolah.]P
[Iya, kenapa memangnya? Iri, mau juga? Tapi sayang itu hanya dalam mimpimu.]Yuri benar-benar membuatku kesal. Tidak pernah aku membalas pesan sampai menggebu begini. Dia memang temanku tapi kalau sudah berniat alif profesi menjadi pelakor maka aku pun tidak akan memposisikan diri sebagai temannya.Hidup bersama kembali dengan Mas Bagas sepertinya memang lekat dengan orang ketiga karena memang dia banyak dikagumi. Makanya aku sendiri harus berperan juga meski Mas Bagas tidak tergoda.“Kenapa mukanya kecut begitu?”Aku menoleh pada Mas Bagas yang baru saja kembali dari belakang.“Baru saja kita membicarakan dia, malah ada mengirimkan pesan padaku.”Kening Mas Bagas berkerut lalu mengambil alih ponselku. Dia tampak serius membaca pesan dari Yuri.“Tidak usah dipedulikan orang seperti dia. Hanya membuat darah tinggi saja. Dia pikir bisa membuat mas tergoda,” gumam Mas Bagas lalu melempar begitu saja ponsel ke atas meja.“Memang tidak tergoda? Yuri itu cantik loh, Mas. Tubuhnya juga bagus
Foto-foto yang tak pantas, dikirimkan oleh Yuri pada Mas Bagas. Foto itu otomatis terbuka namun tidak otomatis tersimpan di galeri. Aku buru-buru menghapusnya.“Kamu sudah lihat?”“Sekilas. Mas tidak memperhatikannya, sungguh.”“Benar mau pakai ponselku?”“Iya. Kalau ganti nomor atau blokir nomornya tidak mungkin jadi kita bertukar saja ya.”Aku mengangguk. Memang lebih baik begini, Mas Bagas juga dari dulu tidak mengganti nomor ponselnya dan nomor itu yang dipakai untuk bisnis juga. Dia paling malas jika memakai dua ponsel karena menurutnya sangat merepotkan.“Qai sudah tidur nyenyak?” tanyanya.“Makanya aku ke sini.”Mas Bagas beranjak, menarik tanganku ke sofa.“Mas ada rekomendasi film, pasti kamu suka.”Aku meliriknya, “Tumben?”Mas Bagas tidak pernah mengajakku nonton begini sebelumnya. Selain karena dia tidak suka, waktunya juga terlalu berharga jika sekedar untuk menonton film. Dia lebih suka mengajakku pergi ke luar. Tapi sekarang ada anak-anak jadi akan susah, menyempatkan w