Foto-foto yang tak pantas, dikirimkan oleh Yuri pada Mas Bagas. Foto itu otomatis terbuka namun tidak otomatis tersimpan di galeri. Aku buru-buru menghapusnya.“Kamu sudah lihat?”“Sekilas. Mas tidak memperhatikannya, sungguh.”“Benar mau pakai ponselku?”“Iya. Kalau ganti nomor atau blokir nomornya tidak mungkin jadi kita bertukar saja ya.”Aku mengangguk. Memang lebih baik begini, Mas Bagas juga dari dulu tidak mengganti nomor ponselnya dan nomor itu yang dipakai untuk bisnis juga. Dia paling malas jika memakai dua ponsel karena menurutnya sangat merepotkan.“Qai sudah tidur nyenyak?” tanyanya.“Makanya aku ke sini.”Mas Bagas beranjak, menarik tanganku ke sofa.“Mas ada rekomendasi film, pasti kamu suka.”Aku meliriknya, “Tumben?”Mas Bagas tidak pernah mengajakku nonton begini sebelumnya. Selain karena dia tidak suka, waktunya juga terlalu berharga jika sekedar untuk menonton film. Dia lebih suka mengajakku pergi ke luar. Tapi sekarang ada anak-anak jadi akan susah, menyempatkan w
Tidak mungkin aku meminta Mas Bagas mengantar karena dia sedang sibuk di kantor. Sekarang hari jadi pernikahan Mbak Dilla dan Bang Haikal, aku ingin mencari hadiah untuk mereka.Meminta ibu menemani tidak tega, ibu sekarang mudah lelah apalagi jika diajak berkeliling untuk mencari hadiah.“Laras.”Aku ingat dia dan langsung menghubunginya. Sekalian juga jalan-jalan bersama anak-anak, pasti Laras akan senang.“Bunda, mau itu.” Qai menarik-narik tanganku.“Jangan, Qai. Tadi kamu sudah jajan es, yang lain saja ya. Beli kue mau? Qai tadi di rumah makannya sedikit.”Qai menggeleng tetap keukeuh menunjuk penjual es krim yang menggunakan motor. Sebenarnya karena ini aku agak ragu membawa Qai karena dia itu tidak bisa dibilang tidak, ikuti perkataanku pun hanya sesekali.Soal sekolah untuk Qai, Mas Bagas masih mencarikan tempat yang bagus. Bagaimanapun kalau untuk anak harus tempat yang paling bagus apalagi untuk Qai.“Tunggu sebentar lagi, kakak Alin pulang. Kita ke rumah Ibu Laras ya?” Aku
“Mantan pelakor yang tobat itu namanya,” kata Mas Bagas setelah mendengar apa yang kuceritakan soal kejadian tadi siang, “tapi benar kamu tidak disakiti Yuri ‘kan, sayang?”“Tidak, Mas. Aku tidak apa-apa.”“Syukurlah kalau kalian baik-baik saja.”Aku mengangguk, “Laras cocok jadi duta anti pelakor, Mas.”Mas Bagas langsung terbahak, “Ada-ada saja kamu ini. Makin kesini makin lucu bikin mas makin cinta.”Dia malah mengeluarkan jurus merayunya.“Tidak usah nyamber kesana, Mas. Kita sedang membicarakan apa kamu larinya kemana.”Mas Bagas tiba-tiba menggenggam tanganku, “Laki-laki yang mendua itu cocok mengalami apa yang sudah terjadi pada mas, bahkan harusnya lebih dari itu. Karena tanpa ada sebuah teguran, jarang orang bisa menyadari kesalahannya. Dan mas termasuk orang yang beruntung karena ditegur setelah menyakitimu.”Kecupan mendarat di punggung tanganku. Darahku masih selalu berdesir saat mendapatkan sentuhan darinya.Mas Bagas mendapatkan teguran tepat di hari aku merasa sangat te
“Tante ini, mertuanya temanku, Yah.” Aku mengatakan apa adanya.“Jadi sebelumnya sudah bertemu tapi tidak saling mengenal?”Aku mengangguk. Tidak menyangka akhirnya bisa bertemu dengan ibu kandungku, tapi perlakuannya pada Laras membuatku sangat kecewa jika wanita paruh baya tak berhati itu adalah ibuku.Memang aku sudah menerima ayah tapi saat ibuku datang apalagi kelakuannya membuatku tak suka, maka ini hal berat lagi yang harus kulalui.Apa sebenarnya ibu sudah tahu aku anaknya, makanya setiap bertemu selalu menghindar? Entahlah, aku enggan untuk menebak-nebak.“Ayah, mereka sudah menunggu lama,” kataku, mencoba keluar dari situasi ini.“Wik, ayo ikut bergabung dengan kami.” Ayah mengajak ibu juga.“Tidak usah, Mas. Ini acara kalian, lain kali saja. Aku permisi.”Aku sama sekali tidak ada niat untuk menahannya pergi. Entahlah, mungkin karena merasa sudah mendapatkan kasih sayang seorang ibu makanya aku tidak merasa kehilangan. Semenjak menikah dengan Mas Bagas, aku merasa memiliki
[Mas. Mantan istrinya ayah mau bertemu denganku. Bagaimana?]Kukirimkan pesan pada Mas Bagas, padahal dia ada di kamar mandi. Biarlah nanti dia baca setelah selesai mandi. Aku masih tidak ingin berdekatan dengannya.“Mbak, kemarin ke rumah sakit 'kan? Mbak kenapa, sakit?” tanya Laras sambil menyuapi Qai.Aku mengernyit, “Mbak belum kasih tahu kamu ya?”Laras menggeleng, “Belum, Mbak.”“Sebentar lagi Alin dan Qai akan punya adik.”Mata Laras membulat sempurna, “A-apa? Mbak … hamil?”Kepalaku mengangguk pelan.“Selamat, Mbak. Aku ikut senang mendengarnya.”“Terima kasih, Ras.”“Aku juga masih menunggu, berharap bisa diberi kepercayaan untuk hamil lagi,” katanya dengan senyum yang mulai memudar.“Anak itu rezeki, Ras. Rezeki akan datang di waktu yang tepat, jangan cemas. Kamu juga tahu sendiri, dulu Mbak susah punya anak. Tapi sekarang, baru menikah lagi dengan Mas Bagas langsung hami. Insya Allah kamu juga segera menyusul. Intinya tidak ada yang mustahil.” Aku mengelus pundaknya lembut.
Aku tidak tahu kapan Yuri akan mundur, berharap apa yang dilakukan Laras bisa memberikan efek jera pada Yuri dan dia bisa berhenti untuk mendekati Mas Bagas.Memang tidak pernah lagi ada menelepon atau mengirimkan pesan. Siapa yang tahu dibalik itu Yuri sedang merencanakan sesuatu. Waspada itu perlu apalagi pada orang yang obsesinya begitu besar seperti Yuri.“Tapi kamu juga jangan anggap remeh Yuri, dia itu cerdas.”“Mbak, orang itu kalau sudah bucin, otak cerdas pun bisa jadi tumpul, kita lihat saja. Aku harap ini akan berhasil.”“Terima kasih ya, Ras.”“Tidak usah sungkan, Mbak. Selama aku bisa bantu, jelas aku tidak akan diam.”Meski masih ada saja orang yang meragukan Laras, aku sama sekali tidak terpengaruh. Yakin jika Laras sudah benar-benar berubah, dia bahkan hidup bahagia bersama dengan Reyhan meski dalam kondisi keadaan ekonomi yang tidak memadai.Hidup bersama dengan orang yang kita cintai, meski beban terasa berat pasti akan mudah untuk dijalani. Seperti dulu, aku yang pe
“Sayang, suruh masuk. Kasihan basah kuyup begitu,” bisik Mas Bagas saat pintu terbuka dengan lebar.Aku kaget saat tiba-tiba ibunya Reyhan itu menekuk lututnya di hadapanku.“Tolong jangan benci Mama, Nak. Kamu dan Reyhan sama-sama mau menjauhi Mama? Mama tidak bisa begini. Maafkan semua kesalahan Mama. Apa yang Mama lakukan demi kebaikan kalian.”Jadi meninggalkanku demi sebuah kebaikan? Kebaikan dari sisi mana? Pertanyaan itu hanya kusimpan sendiri.“Silahkan masuk, Tante.” Aku menariknya agar berdiri.Aku tidak mungkin tega melihat wanita paruh baya sepertinya menggigil kedinginan sambil menangis tersedu-sedu begini. Kubiarkan ia untuk berganti pakaian milik ibu, karena ukuran bajunya sepertinya sama.Sedangkan aku di ruang tengah bersama Mas Bagas.“Sayang, sebenarnya ada apa ini? Kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari mas 'kan?”“Tidak, Mas. Aku saja tidak tahu kalau tante itu ak-”“Mama sendiri kok dipanggil tante?”“Aku hanya belum terbiasa.”“Ya sudah, tidak apa-apa.” Tanganny
Jantungku hampir copot. Bahkan masih berdebar dengan kencang.Bagaimana tidak, saat mataku sudah akan terpejam malah diberitahu soal kecelakaan. Aku sudah berpikir buruk itu Mas Bagas ternyata bukan. Salahku juga karena tidak melihat si penelpon saking ngantuknya.“Saya bukan keluarganya. Hubungi saja keluarganya,” kataku lalu memutuskan sambungan telepon.Padahal barusan Yuri menelepon sambil mengumpat dan sekarang dia malah dikabarkan mengalami kecelakaan. Memang harus hati-hati dengan ucapan karena bisa jadi berbalik. Apalagi jika yang keluar adalah ucapan buruk.Meskipun tidak suka pada Yuri, aku tidak akan mungkin mengatakan hal buruk padanya. Semoga lukanya tidak parah dan doaku yang paling serius adalah dia bisa secepatnya menjauh dan sadar dengan kelakuannya itu. Bukan anak muda lagi tapi malah sibuk mengejar laki-laki yang jelas sudah beristri. Seperti tidak ada lelaki lain saja di dunia ini.[Sayang, kamu tidak kemana-mana ‘kan?]Pesan dari Mas Bagas masuk.[Tidak, aku di ru