Jantungku hampir copot. Bahkan masih berdebar dengan kencang.Bagaimana tidak, saat mataku sudah akan terpejam malah diberitahu soal kecelakaan. Aku sudah berpikir buruk itu Mas Bagas ternyata bukan. Salahku juga karena tidak melihat si penelpon saking ngantuknya.“Saya bukan keluarganya. Hubungi saja keluarganya,” kataku lalu memutuskan sambungan telepon.Padahal barusan Yuri menelepon sambil mengumpat dan sekarang dia malah dikabarkan mengalami kecelakaan. Memang harus hati-hati dengan ucapan karena bisa jadi berbalik. Apalagi jika yang keluar adalah ucapan buruk.Meskipun tidak suka pada Yuri, aku tidak akan mungkin mengatakan hal buruk padanya. Semoga lukanya tidak parah dan doaku yang paling serius adalah dia bisa secepatnya menjauh dan sadar dengan kelakuannya itu. Bukan anak muda lagi tapi malah sibuk mengejar laki-laki yang jelas sudah beristri. Seperti tidak ada lelaki lain saja di dunia ini.[Sayang, kamu tidak kemana-mana ‘kan?]Pesan dari Mas Bagas masuk.[Tidak, aku di ru
POV Laras“Nilam, Mamamu datang.”Wajah Mbak Nilam tampak kaget saat mendengar suara ibu mertuanya.Aku juga ikut kaget karena baru tahu ternyata ibunya Mbak Nilam masih ada.Mendengar derap langkah kaki mendekat, aku refleks menoleh. Mataku membulat saat melihat ibu mertuaku sendiri.“Mama kenapa di sini?”“Kenapa? Orang mau berkunjung ke rumah anak sendiri kok.”Pandanganku langsung beralih pada Mbak Nilam, “Reyhan belum kasih tahu kamu ya?”Aku menggeleng.Mbak Nilam menceritakan semuanya soal dia dan Reyhan yang ternyata saudara beda ayah. Ternyata Mbak Nilam juga baru tahu belakangan ini soal ibu kandungnya.Tapi sepertinya hubungan mereka juga tidak baik, bisa kulihat dari cara mereka mengobrol. Sebenarnya wajar, aku saja kalau ada di posisi Mbak Nilam tidak akan bisa menerima begitu saja.“Nilam, Mama sengaja buatkan makanan kesukaan kamu. Kamu harus banyak makan apalagi sedang hamil. Kamu tidak usah khawatir pada Mama. Masalah Mama dan Papanya Reyhan sudah selesai.”“Kenapa ha
POV Author“Kenapa kamu pulang tiba-tiba?”“Aku niatnya mau membuat kejutan untukmu. Tapi ternyata Mama di sini juga.”“Istirahat dulu, kamu pasti capek.”“Apa saja yang Mama katakan padamu?” Reyhan mengulangi pertanyaannya.Tidak langsung menjawab, Laras menyerahkan gelas berisi air pada suaminya.“Tanpa kamu bicara pun aku sudah tahu. Mama pasti punya rencana untuk membuat hubungan kita retak.”Laras menggeleng, mengelus pundak Reyhan, “Sayang, jangan bicara begitu. Tidak baik berburuk sangka Mama.”“Akan susah percaya lagi pada Mama.” Reyhan membuang napas kasar, dia melangkah menuju kamar mandi.Tidak hanya dia, Laras pun sama. Sulit untuk percaya lagi setelah beberapa kali dibohongi. Malam harinya Laras mendapat pesan dari mama mertuanya.[Mama tahu, kamu bukan orang yang suka mengadu. Mama hanya ingin mengetes saja, Mama tahu hari ini Reyhan pulang.]Kaget setelah membaca seluruh isi pesan.“Ternyata memang Mama tahun Reyhan akan pulang dan sengaja datang. Soal Mama yang memper
Hari itu Nilam tidak lanjut untuk melakukan pemeriksaan kandungan karena masih kaget melihat wajah Yuri. Dokter mengatakan jika Yuri mengalami kegagalan pasca operasi plastik yang membuat kondisi wajahnya jauh dari kata baik sampai tidak bisa dikenali.Awalnya Yuri melakukan itu untuk bisa menghilangkan bekas luka bakar di wajahnya namun yang terjadi malah operasi yang gagal sampai membuatnya depresi dan tadi ia hampir tertabrak karena kabur saat kakaknya mengejar, tidak mau sampai Yuri melakukan hal-hal buruk.Nilam merasa merinding kala ingatannya memutar kembali kejadian-kejadian yang yang sudah lewat di sekelilingnya. Berawal dari sebuah kesalahan dan berakhir dengan penderitaan. Itu peringatan juga bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Karena perbuatan jahat sekecil apapun pasti akan ada balasannya, baik du dunia maupun di akhirat.“Sudah, tidak usah dipikirkan. Yuri juga sudah bersama dengan keluarganya.” Bagas mengelus pundak sang istri.“Aku hanya masih kaget, Ma
“Kamu kenapa, sayang?”Bagas terjaga dari tidurnya karena Nilam bergerak gelisah di dalam tidurnya.“Punggungku sakit, Mas.”Mata Bagas yang awalnya berat untuk terbuka kini langsung melebar, “Kamu mau melahirkan sekarang?” Nilam menggeleng, “Tidak, Mas. Mungkin hanya kontraksi saja sebelum pembukaan, aku malas kalau ke rumah sakit nanti malah disuruh balik lagi. Maunya di rumah saja, di sana bau obat pula.”Meski merasakan sakit, Nilam masih tetap saja cerewet.“Ya sudah, sini biar Mas elus punggungnya.” Bagas mendekat, mengelus punggung sang istri dengan lembur.“Aku ngantuk, Mas.”“Tidur, sayang.”“Tapi sakit, mana bisa aku tidur. Kenapa kamu tidak mengerti sih.”Bagas meringis, apapun yang dikatakannya selalu salah di mata sang istri. Tapi jika ia diam maka lebih salah karena Nilam akan menganggapnya marah. Begitu berat menjadi suami siaga untuk istri yang sedang hamil apalagi mendekati persalinan.Harus siap untuk selalu disalahkan oleh istrinya. Setidaknya itu pengorbanan yang
“Sakit, Mas.”“Iya, tahan ya. Sebentar lagi kita sampai.”Bagas mencoba menenangkan Nilam yang tidak melepaskan tangannya dari rambut Bagas. Itu dilakukan untuk melampiaskan rasa sakit. Bagas pun tidak protes sama sekali, ia tahu sakit yang dirasakannya tidak seberapa dengan sang istri.Untung saja Rida menyetir jadi mereka tidak kesulitan di tengah malah harus ke rumah sakit. Ibunya Bagas ada di rumah bersama dengan anak-anak.“Tidak bisa ditahan,” pekik Nilam, keringat sudah membasahi pelipis wanita itu.Nilam bisa merasakan perbedaannya saat melahirkan Alin dan anak keduanya ini. Proses melahirkan anak kedua ini menurut Nilam lebih terasa sakitnya daripada anak pertama. Setiap wanita melahirkan beda merasakan hal yang berbeda meski tetap saja dinamakan rasa sakit.Sampai di rumah sakit pun tidak langsung melahirkan, menunggu berjam-jam sampai pembukaan lengkap. Bagas hampir meminta dokter untuk melakukan operasi caesar karena tidak sanggup melihat istrinya kesakitan namun Nilam yan
“Hm ... kalau tidak salah namanya Yuri. Dia tidak punya hubungan apa-apa ‘kan dengan Bagas?”“Tidak, Ma. Mama tenang saja.”“Memang tidak mungkin sih kalau dilihat soalnya dia depresi, mana mungkin Bagas selingkuh terus sama wanita yang depresi lagi atau jangan-jangan Yuri depresi karena Bagas?”“Ma, tidak usah bicara sembarangan begitu.”“Mama hanya takut saja kamu disakiti.”Wajar kalau memang Bu Risti menaruh curiga tapi cocoknya dilakukan pada Bagas dulu karena sekarang lelaki itu sangat setia pada istri nya itu.“Tidak usah kita membicarakan orang lain, Ma. Yang terpenting memang tidak ada hubungannya dengan kita.”Kening Bu Risti berkerut, “Kalau memang tidak ada urusannya kenapa banyak sekali foto Bagas di kamarnya coba?”Nilam menghela napas panjang, “Dia yang mengejar Mas Bagas dan sangat terobsesi jadi wajar kalau di kamarnya banyak foto Mas Bagas.”Bu Risti terbelalak, “A-apa? Jadi dia yang mengejar Bagas? Dia tahu kalau Bagas sudah memiliki istri?”“Meskipun dikasih tahu k
POV Langit“Mas, kepala aku pusing banget, badan juga lemes. Kamu bisa ‘kan antar aku ke rumah sakit?”Aku yang sedang memilih baju langsung menengok pada Alin yang duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya.“Sekarang?”“Iya.”“Ya sudah, siap-siap.”Kuraih kemeja biru muda yang tergantung. Biasanya memang Alin yang menyiapkannya tapi saat keluar kamar mandi malah tidak ada pakaian yang ada di atas ranjang.Mungkin dia memang sedang tidak enak badan. Wajahnya juga terlihat pucat, biasanya pagi hari dia sudah berceloteh apapun dia bicarakan tapi pagi ini tidak. Dia bahkan hanya menyediakan roti saja untuk sarapan.Selesai berpakaian, aku mendapat pesan dari Tania.[Mas, perut aku tiba-tiba sakit. Kamu bisa ‘kan temenin aku ke rumah sakit?]Tanpa berpikir lagi kukirim pesan balasan padanya.[Aku ke rumah kamu sekarang.]Kusambar kunci mobil lalu keluar dari kamar.“Mas, tunggu. Aku belum siap.” Suara Alin menahan langkahku.“Kamu pergi minta anter Bunda ya. Aku ada urusan darurat.”
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat