POV Author“Kenapa kamu pulang tiba-tiba?”“Aku niatnya mau membuat kejutan untukmu. Tapi ternyata Mama di sini juga.”“Istirahat dulu, kamu pasti capek.”“Apa saja yang Mama katakan padamu?” Reyhan mengulangi pertanyaannya.Tidak langsung menjawab, Laras menyerahkan gelas berisi air pada suaminya.“Tanpa kamu bicara pun aku sudah tahu. Mama pasti punya rencana untuk membuat hubungan kita retak.”Laras menggeleng, mengelus pundak Reyhan, “Sayang, jangan bicara begitu. Tidak baik berburuk sangka Mama.”“Akan susah percaya lagi pada Mama.” Reyhan membuang napas kasar, dia melangkah menuju kamar mandi.Tidak hanya dia, Laras pun sama. Sulit untuk percaya lagi setelah beberapa kali dibohongi. Malam harinya Laras mendapat pesan dari mama mertuanya.[Mama tahu, kamu bukan orang yang suka mengadu. Mama hanya ingin mengetes saja, Mama tahu hari ini Reyhan pulang.]Kaget setelah membaca seluruh isi pesan.“Ternyata memang Mama tahun Reyhan akan pulang dan sengaja datang. Soal Mama yang memper
Hari itu Nilam tidak lanjut untuk melakukan pemeriksaan kandungan karena masih kaget melihat wajah Yuri. Dokter mengatakan jika Yuri mengalami kegagalan pasca operasi plastik yang membuat kondisi wajahnya jauh dari kata baik sampai tidak bisa dikenali.Awalnya Yuri melakukan itu untuk bisa menghilangkan bekas luka bakar di wajahnya namun yang terjadi malah operasi yang gagal sampai membuatnya depresi dan tadi ia hampir tertabrak karena kabur saat kakaknya mengejar, tidak mau sampai Yuri melakukan hal-hal buruk.Nilam merasa merinding kala ingatannya memutar kembali kejadian-kejadian yang yang sudah lewat di sekelilingnya. Berawal dari sebuah kesalahan dan berakhir dengan penderitaan. Itu peringatan juga bagi orang lain agar tidak melakukan hal yang sama. Karena perbuatan jahat sekecil apapun pasti akan ada balasannya, baik du dunia maupun di akhirat.“Sudah, tidak usah dipikirkan. Yuri juga sudah bersama dengan keluarganya.” Bagas mengelus pundak sang istri.“Aku hanya masih kaget, Ma
“Kamu kenapa, sayang?”Bagas terjaga dari tidurnya karena Nilam bergerak gelisah di dalam tidurnya.“Punggungku sakit, Mas.”Mata Bagas yang awalnya berat untuk terbuka kini langsung melebar, “Kamu mau melahirkan sekarang?” Nilam menggeleng, “Tidak, Mas. Mungkin hanya kontraksi saja sebelum pembukaan, aku malas kalau ke rumah sakit nanti malah disuruh balik lagi. Maunya di rumah saja, di sana bau obat pula.”Meski merasakan sakit, Nilam masih tetap saja cerewet.“Ya sudah, sini biar Mas elus punggungnya.” Bagas mendekat, mengelus punggung sang istri dengan lembur.“Aku ngantuk, Mas.”“Tidur, sayang.”“Tapi sakit, mana bisa aku tidur. Kenapa kamu tidak mengerti sih.”Bagas meringis, apapun yang dikatakannya selalu salah di mata sang istri. Tapi jika ia diam maka lebih salah karena Nilam akan menganggapnya marah. Begitu berat menjadi suami siaga untuk istri yang sedang hamil apalagi mendekati persalinan.Harus siap untuk selalu disalahkan oleh istrinya. Setidaknya itu pengorbanan yang
“Sakit, Mas.”“Iya, tahan ya. Sebentar lagi kita sampai.”Bagas mencoba menenangkan Nilam yang tidak melepaskan tangannya dari rambut Bagas. Itu dilakukan untuk melampiaskan rasa sakit. Bagas pun tidak protes sama sekali, ia tahu sakit yang dirasakannya tidak seberapa dengan sang istri.Untung saja Rida menyetir jadi mereka tidak kesulitan di tengah malah harus ke rumah sakit. Ibunya Bagas ada di rumah bersama dengan anak-anak.“Tidak bisa ditahan,” pekik Nilam, keringat sudah membasahi pelipis wanita itu.Nilam bisa merasakan perbedaannya saat melahirkan Alin dan anak keduanya ini. Proses melahirkan anak kedua ini menurut Nilam lebih terasa sakitnya daripada anak pertama. Setiap wanita melahirkan beda merasakan hal yang berbeda meski tetap saja dinamakan rasa sakit.Sampai di rumah sakit pun tidak langsung melahirkan, menunggu berjam-jam sampai pembukaan lengkap. Bagas hampir meminta dokter untuk melakukan operasi caesar karena tidak sanggup melihat istrinya kesakitan namun Nilam yan
“Hm ... kalau tidak salah namanya Yuri. Dia tidak punya hubungan apa-apa ‘kan dengan Bagas?”“Tidak, Ma. Mama tenang saja.”“Memang tidak mungkin sih kalau dilihat soalnya dia depresi, mana mungkin Bagas selingkuh terus sama wanita yang depresi lagi atau jangan-jangan Yuri depresi karena Bagas?”“Ma, tidak usah bicara sembarangan begitu.”“Mama hanya takut saja kamu disakiti.”Wajar kalau memang Bu Risti menaruh curiga tapi cocoknya dilakukan pada Bagas dulu karena sekarang lelaki itu sangat setia pada istri nya itu.“Tidak usah kita membicarakan orang lain, Ma. Yang terpenting memang tidak ada hubungannya dengan kita.”Kening Bu Risti berkerut, “Kalau memang tidak ada urusannya kenapa banyak sekali foto Bagas di kamarnya coba?”Nilam menghela napas panjang, “Dia yang mengejar Mas Bagas dan sangat terobsesi jadi wajar kalau di kamarnya banyak foto Mas Bagas.”Bu Risti terbelalak, “A-apa? Jadi dia yang mengejar Bagas? Dia tahu kalau Bagas sudah memiliki istri?”“Meskipun dikasih tahu k
POV Langit“Mas, kepala aku pusing banget, badan juga lemes. Kamu bisa ‘kan antar aku ke rumah sakit?”Aku yang sedang memilih baju langsung menengok pada Alin yang duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipisnya.“Sekarang?”“Iya.”“Ya sudah, siap-siap.”Kuraih kemeja biru muda yang tergantung. Biasanya memang Alin yang menyiapkannya tapi saat keluar kamar mandi malah tidak ada pakaian yang ada di atas ranjang.Mungkin dia memang sedang tidak enak badan. Wajahnya juga terlihat pucat, biasanya pagi hari dia sudah berceloteh apapun dia bicarakan tapi pagi ini tidak. Dia bahkan hanya menyediakan roti saja untuk sarapan.Selesai berpakaian, aku mendapat pesan dari Tania.[Mas, perut aku tiba-tiba sakit. Kamu bisa ‘kan temenin aku ke rumah sakit?]Tanpa berpikir lagi kukirim pesan balasan padanya.[Aku ke rumah kamu sekarang.]Kusambar kunci mobil lalu keluar dari kamar.“Mas, tunggu. Aku belum siap.” Suara Alin menahan langkahku.“Kamu pergi minta anter Bunda ya. Aku ada urusan darurat.”
POV Alinea (Anaknya Bagas dan Nilam)Tubuhku menegang saat melihat Mas Langit dan istri sahabatnya duduk di kursi tunggu depan ruangan dokter kandungan. Keduanya saling melempar senyum dan tampak begitu akrab, padahal kalau ada aku mereka tidak seakrab ini.Hatiku berdenyut nyeri, tubuh yang memang tak bertenaga kini semakin lemas. Genangan air mata coba kubendung agar tidak tumpah.Kenapa bisa Mas Langit yang katanya sedang sibuk malah menemani Tania ke dokter kandungan? Mas Langit bahkan menolak saat aku minta diantar ke rumah sakit dengan alasan pekerjaannya itu. Lalu kenapa dia mau mengantar istri sahabatnya dan mengabaikan istrinya sendiri?“Alin, kenapa nggak du-”Aku langsung menoleh pada mertuaku yang kini terbelalak saat mengikuti arah pandangku tadi.“Langit!” Suaranya melengking membuat sang empunya nama terperanjat.“Bunda.” Dia ternganga, tangannya yang tadi memegang pundak Tania kini terlepas.“Anak kurang ajar!” Bunda melangkah lebar mendekati Mas Langit.“Argh! Sakit,
“Langit, mau kemana?” Suara teriakan Bunda terdengar.Tapi Mas Langit tidak menyahut.Aku pun keluar dari kamar, tidak mau membuat suasana semakin kacau. Rasanya tidak pantas melibatkan mertua dan orang tua dalam masalah rumah tanggaku.Mas Langit memang sudah keterlaluan, tapi aku tidak mungkin mengambil keputusan gegabah dengan langsung berpisah. Selama dia tidak mendua, aku bisa terima. Kalaupun memang dia dan Tania selingkuh, aku harus cari tahu sendiri buktinya bahkan kalau bisa melihat secara langsung.Sakit? Jangan ditanya lagi. Tiga tahun menikah dan sekarang aku baru tahu kalau aku tidak dicintai suamiku sendiri. Menyedihkan sekali.Jadi kalau dia tidak mencintaiku, kenapa menikahiku? Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi benak.“Langit mau kemana?”Aku tersentak. Bunda tiba-tiba ada di depanku. “Mungkin ada urusan penting, Bun.”“Urusan apa? Emang masalah kalian udah beres?”“Semua cuman salahpaham, Bunda. Bunda nggak usah khawatir.”Bunda tampak tidak terpercaya. “Meskipun Lang