“Kamu juga kemana aja seharian ini, nggak ada kabar.”“Suami pulang kerja, capek. Kita bisa ngobrol lagi besok ‘kan? Udahlah, nggak usah recokin aku. Lebih bagus kamu urus diri kamu sendiri, nggak usah peduliin aku, nggak usah ngurusin aku.”Dadaku sesak karena sikapnya berubah drastis. Tubuh membeku masih dengan posisi berdiri menghadapnya.Tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Mas Langit. Tapi dari semua itu hanya ada satu kata yang menusuk hati. Dia yang hanya mengatakan ‘oh’ saat kuberitahu soal kehamilan ini.Apa dia benar-benar tidak peduli padaku? Bahkan pada kehamilanku? Aku ini hamil anaknya, darah dagingnya bukan anak orang lain.“Mas.”Malah suara dengkurannya yang terdengar membuatku tambah emosi. Kutarik napas dalam-dalam. Untuk saat ini aku akan mengalah, aku diam. Tapi bukan berarti aku menyerah. Dengan kondisi seperti ini mana mungkin aku rela melepasnya begitu saja.Apapun itu butuh perjuangan termasuk merebut hati suamiku sendiri. Dia bisa membuatku jatuh hati s
“Dia itu istri sahabat aku, bukan orang lain. Udah deh, kalo emang kamu nggak mau bantuin nggak usah merembet ngomong soal Tania segala.”“Ya udah.” Kuayunkan langkah meninggalkannya yang tampak semakin kesal.Butuh tapi gengsinya itu tinggi sekali. Terus saja bela Tania, maka kamu akan susah sendiri, Mas.Buru-buru aku mandi, biar habis itu langsung istirahat. Tadi aku sudah makan di rumah Bunda jadi perut masih kenyang. Mungkin akan merasa lapar nanti tengah malam.Aku selesai mandi, Mas Langit masih belum masuk ke dalam kamar. Mungkin dia benar-benar marah. Salah sendiri, dia yang mulai.Gerakan tanganku yang sedang mengancingkan piyama terhenti saat melihat sebuah kertas mengintip dari bawah meja. Perasaan tadi pagi saat membersihkan kamar rasanya sudah tidak ada sampah yang tertinggal.Tubuhku menunduk untuk meraih kertas itu.“Baby shop?” Tulisan paling atas dari kertas yang ternyata struk belanja.Mataku memanas melihat list panjang belanjaan perlengkapan bayi.Apa Mas Langit m
POV Langit“Kenapa sih Alin sensi banget.”Aku berdecak kesal setelah membaca pesannya. Padahal aku sudah minta maaf tapi dia masih begini. Percuma membuatkan sarapan tapi tetap cuek.Terpaksa aku meminta bantuan Tania lagi seperti tadi malam. Sebenarnya Tania sudah tahu dengan apa yang kualami. Semua barang disita dan tidak memegang uang sepeserpun, tadi saja aku lupa memintanya pada Alin sekarang malah dia tidak peduli begini.Padahal aku sudah menjatuhkan harga diri untuk meminta maaf padanya agar dia tidak marah dan mengadu pada Bunda hingga membuat semuanya semakin rumit.Sebenarnya aku harus menjauh dari Tania agar perasaan ini tidak semakin besar tapi memang tidak bisa karena sekarang Tania bergantung padaku. Jika bukan padaku pada siapa lagi.“Tinggal saja mobil kamu di sana, Mas. Aku pesenin taksi online, kamu ‘kan mau meeting katanya.”“Makasih ya, Tan. Maaf banget aku sering ngerepotin kamu.”“Aku bukan orang lain, Mas. Jadi santai saja, kirim lokasi kamu sekarang.”Akhirny
“Sial. Mana mobil masih di jalan lagi.”Aku memang belum membawa mobil yang kehabisan bensin di jalan, tidak jauh. Masih dekat-dekat sini, sekarang malah dapat situasi menegangkan begini.“Alin.”Itu suara Bunda. Buru-buru aku membopong tubuh Alin, dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Melihat darahnya yang juga menggenang di lantai membuat lututku lemas.“Loh, Alin kenapa?” Bunda terbelalak.“Bawa dulu ke rumah sakit, Bun.”Bunda berbalik menuju mobil lalu membukakan pintunya. Papa yang akan turun bahkan kembali naik.Selama perjalanan ke rumah sakit, perasaanku tidak karuan. Bunda maupun Papa juga tidak bicara apapun, mereka juga pasti sama paniknya denganku.Setelah sampai di rumah sakit dan Alin ditangani barulah Bunda beralih menatapku.“Kenapa Alin bisa pendarahan gitu?”Aku menggeleng. “Nggak tahu, Bun. Tadi pas pulang Alin udah pingsan.”“Dia nggak ada mengeluh apapun ke kamu sebelumnya?” Bunda kembali melemparkan pertanyaan yang membuatku terdiam.Mengingat Alin sebelumnya
Setelah kejadian beberapa hari lalu sikapnya langsung berubah, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Dia memang menyiapkan makan dan kebutuhanku yang lain tapi tidak bicara jika tidak ditanya.Sikapnya yang begini membuatku serba salah, padahal sudah kujelaskan kalau dia salah paham. Mana mungkin aku mengakui soal perasaanku pada Tania, aku juga masih waras mana mungkin melakukan itu. Tania itu istri sahabatku jadi secinta apapun aku padanya tidak ada niat ku untuk merusak rumah tangga mereka.“Aku mau kerja?”Kepalaku langsung mendongak, beralih dari piring berisi nasi goreng lalu menatap Alin yang bicara dengan nada datar.“Aku nggak kasih izin.”“Aku nggak butuh izin dari kamu, aku cuman kasih tahu.”Kuhela napas panjang. “Aku ini suami kamu, Alin. Jangan bersikap-”“Kamu juga nggak pernah butuh izin dari aku buat ketemu Tania ‘kan? Masih bagus aku bilang terang-terangan, nggak sembunyi-sembunyi.” Dia menyindirku.“Lin, tolonglah. Jangan macem-macem, kamu sebelumnya nggak gini loh.”
[Alin, bilang ke Bunda. Aku melayat temanku yang meninggal.]Setelah mengirimkan pesan itu, aku melangkah masuk ke dalam. Wanita itu duduk melantai dengan mata sembab dan sorot mata yang kosong.“Tania.”Dia tidak menyahut. Baru saat aku menyentuh pundaknya dia menoleh dan berhambur memelukku.“Mas, suami aku.” Tangisnya pecah, pundaknya bergetar.Entah siapa yang memberitahu Tania soal Anton yang dipenjara dan sekarang pulang hanya tinggal nama. Aku saja tidak tahu jika Anton itu sakit. Tadi aku sudah konfirmasi soal berita ini dan faktanya memang begitu.Anton akan dikebumikan di kampung halamannya. Untung saja aku bisa dapat informasi itu, nanti akan kubawa Tania ke tempat peristirahatan suaminya yang terakhir.“Kamu jahat, Mas. Kenapa nggak bilang dari awal soal Mas Anton?” Tania tergugu dalam pelukanku.“Maaf, Tan.”Aku pun merasa bersalah karena dia tidak sempat bertemu dengan Anton dan sekarang sahabatku itu sudah pergi untuk selamanya.Hari itu juga aku mengantarkan Alin ke ru
“Sayang, tolong jangan gini dong.”“Cepat jalan, Mas. Nanti telat.” Dia malah mengalihkan pembicaraan.“Tapi janji ya, jangan bahas apapun lagi. Aku murni cuman mau bantu Tania doang, kasihan dia.”“Terserah.” Dia memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela.Kalau terus berdebat maka tidak akan ada habisnya, lebih baik langsung berangkat saja.Meluluhkan hati Alin ternyata tidak semudah yang ada dalam bayangan. Apalagi ada Tania di rumah, Alin bisa saja semakin menjauh meski di depan Tania dia bersikap begitu manis. Dia memang baik karena tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangga pada orang lain.“Inget, jangan terlalu deket sama cowok.” Aku memperingatinya sebelum dia turun dari mobil.“Nanti nggak usah jemput.”“Nggak bis-”Brak. Pintu mobil lebih dulu ditutup olehnya cukup keras. Kenapa juga dia tidak mau dijemput? Jangan bilang mau pergi jalan dengan orang lain lagi.“Sabar, Langit. Ini masih masa percobaan, kalau dia lewatin batas ya nggak ada pilihan lain.” Kutarik napas da
POV AlinBertahan sakit pergi sulit, itu yang kurasakan sekarang. Sekuat mungkin aku mempertahankan pernikahan ini, aku tidak mau sejarah terulang kembali. Dulu bunda dan ayah pernah bercerai begitupun orang tua Mas Langit. Orang tua Mas Langit berharap banyak padaku.Sekarang posisiku rasanya sulit, sakit sekali rasanya memiliki hubungan dengan orang yang bahkan tidak menganggap kita ada.Sikapku belakangan ini memang untuk menguji Mas Langit, aku ingin tahu apakah dia memang masih ingin mempertahankan pernikahan ini atau mau mengakhirinya.Cobaan ternyata tidak berhenti malah bertambah saat Mas Langit membawa Tania ke rumah dengan alasan tidak ada yang menemaninya. Aku sebagai wanita yang memposisikan diri menjadi Tania, jelas merasa sangat terpukul karena kehilangan suami dan juga tidak dianggap oleh keluarga suami.Aku mengizinkan dia tinggal untuk memperlihatkan padanya kalau lelaki yang dia kejar itu tidak akan mungkin dia dapatkan. Dari pesan yang pernah dikirimkannya padaku, a