“Sial. Mana mobil masih di jalan lagi.”Aku memang belum membawa mobil yang kehabisan bensin di jalan, tidak jauh. Masih dekat-dekat sini, sekarang malah dapat situasi menegangkan begini.“Alin.”Itu suara Bunda. Buru-buru aku membopong tubuh Alin, dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Melihat darahnya yang juga menggenang di lantai membuat lututku lemas.“Loh, Alin kenapa?” Bunda terbelalak.“Bawa dulu ke rumah sakit, Bun.”Bunda berbalik menuju mobil lalu membukakan pintunya. Papa yang akan turun bahkan kembali naik.Selama perjalanan ke rumah sakit, perasaanku tidak karuan. Bunda maupun Papa juga tidak bicara apapun, mereka juga pasti sama paniknya denganku.Setelah sampai di rumah sakit dan Alin ditangani barulah Bunda beralih menatapku.“Kenapa Alin bisa pendarahan gitu?”Aku menggeleng. “Nggak tahu, Bun. Tadi pas pulang Alin udah pingsan.”“Dia nggak ada mengeluh apapun ke kamu sebelumnya?” Bunda kembali melemparkan pertanyaan yang membuatku terdiam.Mengingat Alin sebelumnya
Setelah kejadian beberapa hari lalu sikapnya langsung berubah, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Dia memang menyiapkan makan dan kebutuhanku yang lain tapi tidak bicara jika tidak ditanya.Sikapnya yang begini membuatku serba salah, padahal sudah kujelaskan kalau dia salah paham. Mana mungkin aku mengakui soal perasaanku pada Tania, aku juga masih waras mana mungkin melakukan itu. Tania itu istri sahabatku jadi secinta apapun aku padanya tidak ada niat ku untuk merusak rumah tangga mereka.“Aku mau kerja?”Kepalaku langsung mendongak, beralih dari piring berisi nasi goreng lalu menatap Alin yang bicara dengan nada datar.“Aku nggak kasih izin.”“Aku nggak butuh izin dari kamu, aku cuman kasih tahu.”Kuhela napas panjang. “Aku ini suami kamu, Alin. Jangan bersikap-”“Kamu juga nggak pernah butuh izin dari aku buat ketemu Tania ‘kan? Masih bagus aku bilang terang-terangan, nggak sembunyi-sembunyi.” Dia menyindirku.“Lin, tolonglah. Jangan macem-macem, kamu sebelumnya nggak gini loh.”
[Alin, bilang ke Bunda. Aku melayat temanku yang meninggal.]Setelah mengirimkan pesan itu, aku melangkah masuk ke dalam. Wanita itu duduk melantai dengan mata sembab dan sorot mata yang kosong.“Tania.”Dia tidak menyahut. Baru saat aku menyentuh pundaknya dia menoleh dan berhambur memelukku.“Mas, suami aku.” Tangisnya pecah, pundaknya bergetar.Entah siapa yang memberitahu Tania soal Anton yang dipenjara dan sekarang pulang hanya tinggal nama. Aku saja tidak tahu jika Anton itu sakit. Tadi aku sudah konfirmasi soal berita ini dan faktanya memang begitu.Anton akan dikebumikan di kampung halamannya. Untung saja aku bisa dapat informasi itu, nanti akan kubawa Tania ke tempat peristirahatan suaminya yang terakhir.“Kamu jahat, Mas. Kenapa nggak bilang dari awal soal Mas Anton?” Tania tergugu dalam pelukanku.“Maaf, Tan.”Aku pun merasa bersalah karena dia tidak sempat bertemu dengan Anton dan sekarang sahabatku itu sudah pergi untuk selamanya.Hari itu juga aku mengantarkan Alin ke ru
“Sayang, tolong jangan gini dong.”“Cepat jalan, Mas. Nanti telat.” Dia malah mengalihkan pembicaraan.“Tapi janji ya, jangan bahas apapun lagi. Aku murni cuman mau bantu Tania doang, kasihan dia.”“Terserah.” Dia memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela.Kalau terus berdebat maka tidak akan ada habisnya, lebih baik langsung berangkat saja.Meluluhkan hati Alin ternyata tidak semudah yang ada dalam bayangan. Apalagi ada Tania di rumah, Alin bisa saja semakin menjauh meski di depan Tania dia bersikap begitu manis. Dia memang baik karena tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangga pada orang lain.“Inget, jangan terlalu deket sama cowok.” Aku memperingatinya sebelum dia turun dari mobil.“Nanti nggak usah jemput.”“Nggak bis-”Brak. Pintu mobil lebih dulu ditutup olehnya cukup keras. Kenapa juga dia tidak mau dijemput? Jangan bilang mau pergi jalan dengan orang lain lagi.“Sabar, Langit. Ini masih masa percobaan, kalau dia lewatin batas ya nggak ada pilihan lain.” Kutarik napas da
POV AlinBertahan sakit pergi sulit, itu yang kurasakan sekarang. Sekuat mungkin aku mempertahankan pernikahan ini, aku tidak mau sejarah terulang kembali. Dulu bunda dan ayah pernah bercerai begitupun orang tua Mas Langit. Orang tua Mas Langit berharap banyak padaku.Sekarang posisiku rasanya sulit, sakit sekali rasanya memiliki hubungan dengan orang yang bahkan tidak menganggap kita ada.Sikapku belakangan ini memang untuk menguji Mas Langit, aku ingin tahu apakah dia memang masih ingin mempertahankan pernikahan ini atau mau mengakhirinya.Cobaan ternyata tidak berhenti malah bertambah saat Mas Langit membawa Tania ke rumah dengan alasan tidak ada yang menemaninya. Aku sebagai wanita yang memposisikan diri menjadi Tania, jelas merasa sangat terpukul karena kehilangan suami dan juga tidak dianggap oleh keluarga suami.Aku mengizinkan dia tinggal untuk memperlihatkan padanya kalau lelaki yang dia kejar itu tidak akan mungkin dia dapatkan. Dari pesan yang pernah dikirimkannya padaku, a
Tawaku pecah mendengar itu. “Halu kamu ketinggian, Mbak Tania.”Mas Langit memang lelaki tidak berperasaan tapi dia masih punya moral, tidak akan mungkin meniduri wanita bersuami.Sampai di sini aku semakin yakin kalau memang Tania begitu terobsesi untuk mendapatkan Mas Langit. Bahkan sempat terlintas dalam benak kalau dia sama sekali tidak merasa kehilangan suaminya. Lihat saja sekarang, dia baik-baik saja.Bisa jadi menangisnya itu hanya untuk mengambil perhatian Mas Langit.“Nggak percaya?”“Nggak ada untungnya aku percaya ke kamu.”“Aku kasih buktinya nanti.” Dia tampak geram.Sebelah alisku terangkat. “Kok nanti, nggak sekarang aja?”“Sekarang siapkan aja hati kamu buat nerima kekecewaan,” katanya lalu melangkah kembali masuk ke dalam kamar.Kutarik napas dalam-dalam. Bisa-bisanya aku diberi cobaan bertemu dengan makhluk seperti itu.Sekarang aku hanya tinggal menunggu janji Mas Langit, dia mengatakan akan menyuruh Tania keluar dari rumah ini.Orang yang dianggap baik belum tentu
Tubuhku sakit semua, aku meringis saat akan bergerak untuk bangun.“Jangan banyak gerak dulu, sayang.”Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerobos retina.“Mas ….”“Iya, sayang. Aku di sini.”“Kenapa badan aku sakit semua?”“Kamu jatuh dari tangga.”Aku langsung ingat, sempat terpeleset setelah menabrak sesuatu. Tubuhku rasanya remuk saat berguling di tangga, setelah itu aku tidak ingat apa-apa.Mas Langit bilang kalau sebelah kakiku patah, pantas saja rasanya sangat sakit. Bisa kembali normal setelah beberapa bulan. Sedangkan kondisi yang lainnya aman tapi aku merasa tidak nyaman di bagian perut, sakitnya sama persis seperti dulu setelah aku keguguran.Beberapa hari aku di rumah sakit sampai akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Aku tidak betah berlama-lama di sana, lebih baik di rumah saja. Mas Langit sampai tidak ke kantor karena menemaniku, dia bahkan menyelesaikan pekerjaannya dari rumah.“Sayang, lain kali kamu harus hati-hati.”“Iya, Mas. Maaf ya buat kamu khawatir.”“Ng
Aku mencoba untuk memperbesar gambar agar lebih jelas, namun sayang aku tetap bisa memastikannya meski baju yang dikenakan sama, tidak hanya itu postur tubuhnya saja persis.Daripada menduga-duga akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Mas Langit, namun tidak diangkat membuat aku semakin berpikir buruk.[Mas, jadi makan siang di rumah ‘kan?]Kukirimkan pesan setelah beberapa kali mencoba menelepon tapi tidak diangkat. Namun sama juga tidak ada balasan.Sebenarnya aku bukan orang yang mudah curiga tapi kenapa akhir-akhir ini malah begini? Aku aneh dengan diriku sendiri.Kutarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menepis semua hal buruk yang berada di dalam benak. Aku beranjak untuk mandi.Karena Mas Langit tak kunjung merespon panggilanku, aku akan ke kantornya membawakan makan siang. Bukan untuk memantaunya tapi aku memang ingin memberikan makan siang, siapa tahu dia memang terlalu sibuk sampai tidak ada waktu bahkan untuk mengangkat teleponku.Selesai mandi, aku langsung berangkat.Sampa