Tawaku pecah mendengar itu. “Halu kamu ketinggian, Mbak Tania.”Mas Langit memang lelaki tidak berperasaan tapi dia masih punya moral, tidak akan mungkin meniduri wanita bersuami.Sampai di sini aku semakin yakin kalau memang Tania begitu terobsesi untuk mendapatkan Mas Langit. Bahkan sempat terlintas dalam benak kalau dia sama sekali tidak merasa kehilangan suaminya. Lihat saja sekarang, dia baik-baik saja.Bisa jadi menangisnya itu hanya untuk mengambil perhatian Mas Langit.“Nggak percaya?”“Nggak ada untungnya aku percaya ke kamu.”“Aku kasih buktinya nanti.” Dia tampak geram.Sebelah alisku terangkat. “Kok nanti, nggak sekarang aja?”“Sekarang siapkan aja hati kamu buat nerima kekecewaan,” katanya lalu melangkah kembali masuk ke dalam kamar.Kutarik napas dalam-dalam. Bisa-bisanya aku diberi cobaan bertemu dengan makhluk seperti itu.Sekarang aku hanya tinggal menunggu janji Mas Langit, dia mengatakan akan menyuruh Tania keluar dari rumah ini.Orang yang dianggap baik belum tentu
Tubuhku sakit semua, aku meringis saat akan bergerak untuk bangun.“Jangan banyak gerak dulu, sayang.”Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerobos retina.“Mas ….”“Iya, sayang. Aku di sini.”“Kenapa badan aku sakit semua?”“Kamu jatuh dari tangga.”Aku langsung ingat, sempat terpeleset setelah menabrak sesuatu. Tubuhku rasanya remuk saat berguling di tangga, setelah itu aku tidak ingat apa-apa.Mas Langit bilang kalau sebelah kakiku patah, pantas saja rasanya sangat sakit. Bisa kembali normal setelah beberapa bulan. Sedangkan kondisi yang lainnya aman tapi aku merasa tidak nyaman di bagian perut, sakitnya sama persis seperti dulu setelah aku keguguran.Beberapa hari aku di rumah sakit sampai akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Aku tidak betah berlama-lama di sana, lebih baik di rumah saja. Mas Langit sampai tidak ke kantor karena menemaniku, dia bahkan menyelesaikan pekerjaannya dari rumah.“Sayang, lain kali kamu harus hati-hati.”“Iya, Mas. Maaf ya buat kamu khawatir.”“Ng
Aku mencoba untuk memperbesar gambar agar lebih jelas, namun sayang aku tetap bisa memastikannya meski baju yang dikenakan sama, tidak hanya itu postur tubuhnya saja persis.Daripada menduga-duga akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Mas Langit, namun tidak diangkat membuat aku semakin berpikir buruk.[Mas, jadi makan siang di rumah ‘kan?]Kukirimkan pesan setelah beberapa kali mencoba menelepon tapi tidak diangkat. Namun sama juga tidak ada balasan.Sebenarnya aku bukan orang yang mudah curiga tapi kenapa akhir-akhir ini malah begini? Aku aneh dengan diriku sendiri.Kutarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menepis semua hal buruk yang berada di dalam benak. Aku beranjak untuk mandi.Karena Mas Langit tak kunjung merespon panggilanku, aku akan ke kantornya membawakan makan siang. Bukan untuk memantaunya tapi aku memang ingin memberikan makan siang, siapa tahu dia memang terlalu sibuk sampai tidak ada waktu bahkan untuk mengangkat teleponku.Selesai mandi, aku langsung berangkat.Sampa
Kesalahpahaman yang membuat sakit hati. Bisa-bisanya orang itu menganggap Tania adalah istri Mas Langit.Kami baru saja duduk, tidak mungkin aku terus bergelayut di lengan Mas Langit yang sekarang duduk di tengah-tengaku dan Tania sambil menggendong Keenan.“Ini istri saya, Pak. Alinea.” Sebelah tangan Mas Langit merangkul pundak.“Oh, maaf. Saya sampai salah mengenali. Kamu anaknya Pak Bagaskara ya?”“Iya, Pak.” Aku menjawab apa adanya.“Pantas saja wajahnya mirip dengan istrinya Pak Bagas.”Wajahku memang mirip Bunda tapi badanku tidak bisa sama seperti Bunda. Sudah beberapa kali melahirkan tapi badannya selalu bagus, sedangkan aku belum pernah melahirkan badan sudah mulai melar.Padahal Bunda juga sudah tidak muda lagi. Baru sekarang aku merasa tidak percaya diri karena bentuk tubuh.Pak Agung basa-basi sebentar sebelum pergi ke mejanya lagi.“Keenan sini, Nak.”Aku melirik Tania yang berniat untuk mengambil Keenan dari Mas Langit. Tapi Keenan malah menempel pada Mas Langit. Kalau
“Serius amat sih.”“Abang, jangan bercanda dong.”“Lin, nggak usah deh kamu ngorek-ngorek masa lalu. Nggak ada untungnya, yang ada malah sakit.”“Tapi aku penasaran, Bang.” Aku merengek mencoba merayu Bang Samudra agar menceritakan semua padaku.“Kamu itu nyari penyakit tahu nggak. Kalau sampai Langit tahu kamu ngorek informasi masa lalu, dia pasti gedek.”“Tapi, Bang-”“Kunci hubungan itu saling percaya, Lin. Kalau kamu aja nggak percaya sama suami kamu, ya susah. Curiga yang kamu simpen di hati itu yang nantinya jadi percikan api yang bikin kalian berantem. Coba berpikir dewasa, kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati kamu, bicara baik-baik sama Langit jangan cari tahu sendiri begini.”Aku merasa tertampar, memang tidak seharusnya aku begini. Jadinya Bang Samudra tahu kalau aku menaruh curiga pada Mas Langit.Sepertinya memang harus bicara baik-baik.“Kamu juga nggak usah curiga sama Tania?”“Kenapa?”“Dia inceran abang.”“Hah?” Mataku melebar mendengar pengakuan Bang Samudra. “Se
POV Tania“Pulanglah, kamu jangan terus bohongi Alin cuman buat datang ke sini.”“Sebentar lagi, Tan.” Mas Langit malah semakin mengeratkan pelukannya.Aku menghela napas panjang. “Mas ....”“Sayang, ayolah. Aku loh susah banget dapat waktu biar bisa lama-lama sama kamu.”“Iya, tapi nanti. Kita ‘kan ada jadwal keluar kota satu bulan, Mas. Alin juga sendirian di rumah ‘kan, kasihan loh dia lagi sakit.”“Dia udah bisa jalan kok, ditinggal sebentar nggak masalah. Aku masih kangen tahu.”Dia langsung melepaskan pelukannya. Kecupan mendarat di kening. “Aku jadi nggak sabar.”“Sana pulang, keburu Keenan bangun nanti dia malah nangis kejer kalo lihat kamu pulang.”“Iya, iya. Cerewet banget sih istriku ini.” Mas Langit mencubit gemas pipiku.Aku dan dia memang sudah menikah, satu bulan setelah aku melahirkan. Jahat, ya, aku memang jahat karena menikah dengan suami orang. Tapi aku mencintainya, aku tidak mau kehilangan Mas Langit. Kami sama-sama saling mencintai. Tapi untuk sekarang aku mengal
POV AlinGerakan tanganku terhenti saat akan mendorong pintu, sayup-sayup kudengar suara lenguhan dari dalam ruangan Mas Langit.Lutut ini rasanya sudah lemas, pikiran sudah buruk. Kalaupun memang apa yang kupikirkan benar, aku tidak akan mungkin bergerak dengan gegabah.Sengaja ku ketuk pintu lebih dulu.“Mas Langit.”“Iya, sayang. Masuk.”Kudorong pintu ruangan itu. Tampak Tania berdiri namun napasnya seperti berat. Baju bagian depannya juga sedikit kusut. Pandanganku beralih pada Mas Langit yang kancing kemejanya terbuka, bibirnya pun bengkak, tidak hanya dia Tania pun sama kuperhatikan.Aku tetap diam pura-pura bodoh, aku ingin tahu sampai mana mereka akan bermain. Pernah disakiti sebelumnya, aku jadi lebih bisa mengendalikan saat disakiti untuk kedua kalinya. Aku tidak akan menangis lagi seperti dulu.Firasat yang kurasakan pasti tidak akan pernah salah. Ada sesuatu antara Mas Langit dan Tania, meskipun keduanya menyangka tapi aku tidak akan percaya, akan kucari bukti soal hubun
“Kamu memperjelas semuanya.” Aku manggut-manggut sambil menahan perih. Tidak menyangka dia diam-diam melakukan pengkhianatan yang menghancurkan hidupku untuk kedua kalinya.“Aku bisa jelasin-”“Nggak, nggak perlu. Semua udah jelas, aku juga nggak mau ribet. Kita ... selesai.”Mas Langit terbelalak. “Sayang-”“Jangan berani menyentuhku dengan tangan yang kamu pakai untuk menyentuh wanita lain.” Aku mundur, menghindar saat dia akan memegang tanganku. “Kamu nggak perlu lagi diam-diam menemui dia, sekarang kalian bebas. Kamu juga bisa mendapatkan anak dari dia, sesuai yang kamu mau. Apalah aku yang nggak becus, hamil saja keguguran terus.”“Alin, kita bicara baik-baik. Aku nggak maksud begitu.”“Kamu tunggu aja surat gugatan dari aku nanti.”“Alin, tolong jangan begini.” Tania buka suara.Aku beralih menatap Tania. “Ini yang kamu mau ‘kan? Ambil dia, aku nggak butuh laki-laki pengkhianat.”“Alin, kamu nggak berhak menghakimi aku kayak begitu. Laki-laki itu diperbolehkan menikahi lebih dar
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat