POV AlinGerakan tanganku terhenti saat akan mendorong pintu, sayup-sayup kudengar suara lenguhan dari dalam ruangan Mas Langit.Lutut ini rasanya sudah lemas, pikiran sudah buruk. Kalaupun memang apa yang kupikirkan benar, aku tidak akan mungkin bergerak dengan gegabah.Sengaja ku ketuk pintu lebih dulu.“Mas Langit.”“Iya, sayang. Masuk.”Kudorong pintu ruangan itu. Tampak Tania berdiri namun napasnya seperti berat. Baju bagian depannya juga sedikit kusut. Pandanganku beralih pada Mas Langit yang kancing kemejanya terbuka, bibirnya pun bengkak, tidak hanya dia Tania pun sama kuperhatikan.Aku tetap diam pura-pura bodoh, aku ingin tahu sampai mana mereka akan bermain. Pernah disakiti sebelumnya, aku jadi lebih bisa mengendalikan saat disakiti untuk kedua kalinya. Aku tidak akan menangis lagi seperti dulu.Firasat yang kurasakan pasti tidak akan pernah salah. Ada sesuatu antara Mas Langit dan Tania, meskipun keduanya menyangka tapi aku tidak akan percaya, akan kucari bukti soal hubun
“Kamu memperjelas semuanya.” Aku manggut-manggut sambil menahan perih. Tidak menyangka dia diam-diam melakukan pengkhianatan yang menghancurkan hidupku untuk kedua kalinya.“Aku bisa jelasin-”“Nggak, nggak perlu. Semua udah jelas, aku juga nggak mau ribet. Kita ... selesai.”Mas Langit terbelalak. “Sayang-”“Jangan berani menyentuhku dengan tangan yang kamu pakai untuk menyentuh wanita lain.” Aku mundur, menghindar saat dia akan memegang tanganku. “Kamu nggak perlu lagi diam-diam menemui dia, sekarang kalian bebas. Kamu juga bisa mendapatkan anak dari dia, sesuai yang kamu mau. Apalah aku yang nggak becus, hamil saja keguguran terus.”“Alin, kita bicara baik-baik. Aku nggak maksud begitu.”“Kamu tunggu aja surat gugatan dari aku nanti.”“Alin, tolong jangan begini.” Tania buka suara.Aku beralih menatap Tania. “Ini yang kamu mau ‘kan? Ambil dia, aku nggak butuh laki-laki pengkhianat.”“Alin, kamu nggak berhak menghakimi aku kayak begitu. Laki-laki itu diperbolehkan menikahi lebih dar
POV LangitMereka pikir aku tidak bisa hidup tanpa semua fasilitas itu? Persetan! Aku juga ingin bahagia, aku ingin menjalani kehidupan sesuai dengan keinginanku.Dengan cepat aku memesan ojek online untuk pulang ke rumah Tania.“Ya ampun, Mas. Kenapa bisa begini?” Tania histeris saat aku sampai di rumah.“Aku malas membahasnya.”“Aku ambil dulu kotak obat.” Dia beranjak.Aku menghempaskan tubuh di sofa, menghembuskan napas kasar. Tubuhku rasanya remuk, belum lagi seluruh wajah berdenyut nyeri.Baru kali ini aku melihat ayah benar-benar marah, mungkin kalau papa ada aku tidak akan babak belur begini.“Minum dulu, Mas.” Tania membawakan air untukku.“Setelah ini kita nggak usah bahas soal masalah ini lagi ya, semua udah selesai. Aku sama Alin akan cerai.”Tania mengangguk tanpa membantah ucapanku. Dia lalu fokus untuk membersihkan luka di wajahku.Harga diriku seperti diinjak karena hal ini, Alin langsung memberitahu pada semua orang. Seharusnya diobrolkan dulu berdua denganku, dia mem
POV AlinSetelah urusan perceraian selesai, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Setidaknya dengan itu aku bisa melupakan apa yang sudah melukai hatiku.Hubunganku dengan orang tuanya Mas Langit masih baik, hanya saja aku memutus kontak dengan Mas Langit. Tidak ada lagi yang bisa aku bicarakan dengannya, tidak ada urusan lagi antara aku dan dia.Aku pergi bukan untuk melarikan diri tapi menyembuhkan hati. Kututup semua akses untuk mengetahui seperti apa dia dan selingkuhannya. Terakhir kudengar Omanya saja tidak peduli dengan kondisinya, bagi siapapun perselingkuhan memang tidak bisa dimaafkan.Sengaja aku memilih untuk melanjutkan kuliah di luar negeri, aku butuh suasana baru. Meski sulit meyakinkan orang tuaku agar mereka mau mengizinkan aku pergi.Bertahun-tahun kuhabiskan waktu untuk menimba ilmu di negeri orang, saat kembali ke tanah air nanti aku akan menggantikan posisi Ayah.Orang tuaku berkunjung enam kali dalam setahun, mereka seperti ke luar kota saja. Perjalanan jauh p
Aku tidak menyangka Mas Langit akan begini. Untungnya sudah bukan urusanku, suda tidak ada lagi rasa tersisa untuknya.Dulu Tania merebut Mas Langit dariku sekarang dia sekarang setelah Mas Langit menjadi suaminya, dia juga harus merasakan hal yang sama denganku. Hukum tabur tuai itu memang ada, maka aku enggan untuk menyakiti orang lain, harus berpikir ribuan kali saat akan melakukannya karena bisa jadi pembalasan itu lebih sakit dari apa yang kita lakukan.Tak!“Aww. Abang ih!” Aku meringis saat keningku disentil Bang Samudra.“Halah, malah nostalgia.”“Apa sih, siapa juga yang nostalgia. Ck.” Aku berdecak kesal lalu meneguk air mineral di depan mata.“Pakai bohong segala, kamu langsung bengong setelah lihat Langit. Gantengnya nggak luntur ‘kan?”“Tetap aja aku nggak suka sama dia.” “Lah, siapa yang bilang kamu suka sama dia coba?”“Udah ah, Bang. Nggak usah ngomongin dia, ngomongin yang lain kek.”“Soal apa?”“Terserah.”“Soal kita aja gimana?”Keningku berkerut dalam. “Hah, maksu
“Bukan urusan kamu.”“Mas, dia siapa sih? Kenapa juga kamu ngurusin dia?” Si rambut jagung itu menarik tangan Mas Langit dan langsung dihempaskan lelaki itu sampai tubuhnya terhuyung.“Nggak usah ikut campur, sana pergi!”Dia yang tadi lembut sekarang berubah kasar.“Eh, pelakor. Kamu yang harusnya pergi, nggak usah goda laki orang.”Mendengar itu tawaku langsung pecah. “Pelakor kok teriak pelakor, nggak malu ente?”“Dia mantan istriku, jaga ucapanmu itu!” bentak Mas Langit, sorot matanya begitu tajam menghunus.Aku menggeleng melihat itu dan berniat pergi, saat berbalik malah berpapasan dengan Tania. Dia tampak kerepotan seperti tadi, menggendong bayi, menuntun anak dan menenteng belanjaan.“Aku cuman mau balikin dompet kamu yang jatuh,” kataku lalu melangkah menjauh.“Makasih.”Masih sempat kudengar dia bicara sebelum masuk ke dalam mobil.Dari sini aku bisa melihat Tania sepertinya sudah biasa, dia bahkan tidak kaget melihat suaminya dengan wanita lain. Mas Langit juga biasa saja,
“Ish! Aku kira siapa.”Ternyata Bang Samudra yang datang.“Lah, tadi abang bilang mau kesini ‘kan. Kenapa belum siap?”“Iya, gitu?” Aku mencoba untuk mengingat.“Mau ke mana, Sam?”“Minta anter Alin buat cari kado buat anniv Bunda sama Papa.”“Ya udah, sana. Keburu malem.” Ayah berucap lalu kembali ke meja makan.“Jagain baik-baik ya.”“Siap, Tan. Anaknya aku bawa sebentar ya.”“Ih, kok anaknya mau dibawa malem-malem dibiarin sih?” Aku melihat Bunda yang ikut menyusul ayah.“Macam anak gadis aja. Ayo.” Bang Samudra menarik tanganku.“Bang, bentaran. Ganti baju dulu.”“Halah, nggak usah. Nggak bakalan ada yang ngelirik juga.”Mataku melebar seketika. “Nyebelin banget, udah minta anter malah ngeledek pula.”Dia tidak mendengarkan ocehanku dan masih tetap menarikku keluar dari rumah. Saat ini aku bahkan hanya pakai celana tidur panjang dan kaos oblong, rambut hanya dicepol dan tidak memakai riasan apa-apa karena memang tadinya setelah makan niat untuk langsung tidur.“Awas ya kalau habis
“Aww sakit.” Aku meringis setelah mencubit pipi.Jadi tadi benar-benar bukan mimpi? Bang Samudra melamarku? Kenapa harus aku?Tadi aku dan dia tidak banyak bicara karena hujan turun dengan derasnya, aku yang basah kuyup langsung diantar pulang olehnya.“Kak, ini minum dulu.”Aku terlonjak saat pintu dibuka oleh Bunda dari luar.Bunda mengernyit. “Kenapa kaget begitu?”“Nggak kok, Bun.”“Jangan bohong.”Apa aku bicara saja pada Bunda soal lamaran Bang Samudra tadi ya. Sebenarnya aku masih tidak percaya.“Bun, tadi aku dilamar.”Mata Bunda langsung berbinar. “Benarka? Siapa yang melamar? Apa Bunda kenal cowoknya?”Aku mengangguk.“Terus kenapa wajahnya murung begini? Nggak suka sama dia? Kalau nggak suka ya tolak, jangan merasa nggak enak hati.”“Bukan begitu.”“Jadi kamu suka sama dia.”Aku terdiam? Apa iya aku punya perasaan pada Bang Samudra? Sejak kapan dan kenapa bisa?Haish! Aku malah tidak tahu perasaanku sendiri. Selama beberapa bulan ini memang dia yang selalu ada untukku, bahk