“Sayang, tolong jangan gini dong.”“Cepat jalan, Mas. Nanti telat.” Dia malah mengalihkan pembicaraan.“Tapi janji ya, jangan bahas apapun lagi. Aku murni cuman mau bantu Tania doang, kasihan dia.”“Terserah.” Dia memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela.Kalau terus berdebat maka tidak akan ada habisnya, lebih baik langsung berangkat saja.Meluluhkan hati Alin ternyata tidak semudah yang ada dalam bayangan. Apalagi ada Tania di rumah, Alin bisa saja semakin menjauh meski di depan Tania dia bersikap begitu manis. Dia memang baik karena tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangga pada orang lain.“Inget, jangan terlalu deket sama cowok.” Aku memperingatinya sebelum dia turun dari mobil.“Nanti nggak usah jemput.”“Nggak bis-”Brak. Pintu mobil lebih dulu ditutup olehnya cukup keras. Kenapa juga dia tidak mau dijemput? Jangan bilang mau pergi jalan dengan orang lain lagi.“Sabar, Langit. Ini masih masa percobaan, kalau dia lewatin batas ya nggak ada pilihan lain.” Kutarik napas da
POV AlinBertahan sakit pergi sulit, itu yang kurasakan sekarang. Sekuat mungkin aku mempertahankan pernikahan ini, aku tidak mau sejarah terulang kembali. Dulu bunda dan ayah pernah bercerai begitupun orang tua Mas Langit. Orang tua Mas Langit berharap banyak padaku.Sekarang posisiku rasanya sulit, sakit sekali rasanya memiliki hubungan dengan orang yang bahkan tidak menganggap kita ada.Sikapku belakangan ini memang untuk menguji Mas Langit, aku ingin tahu apakah dia memang masih ingin mempertahankan pernikahan ini atau mau mengakhirinya.Cobaan ternyata tidak berhenti malah bertambah saat Mas Langit membawa Tania ke rumah dengan alasan tidak ada yang menemaninya. Aku sebagai wanita yang memposisikan diri menjadi Tania, jelas merasa sangat terpukul karena kehilangan suami dan juga tidak dianggap oleh keluarga suami.Aku mengizinkan dia tinggal untuk memperlihatkan padanya kalau lelaki yang dia kejar itu tidak akan mungkin dia dapatkan. Dari pesan yang pernah dikirimkannya padaku, a
Tawaku pecah mendengar itu. “Halu kamu ketinggian, Mbak Tania.”Mas Langit memang lelaki tidak berperasaan tapi dia masih punya moral, tidak akan mungkin meniduri wanita bersuami.Sampai di sini aku semakin yakin kalau memang Tania begitu terobsesi untuk mendapatkan Mas Langit. Bahkan sempat terlintas dalam benak kalau dia sama sekali tidak merasa kehilangan suaminya. Lihat saja sekarang, dia baik-baik saja.Bisa jadi menangisnya itu hanya untuk mengambil perhatian Mas Langit.“Nggak percaya?”“Nggak ada untungnya aku percaya ke kamu.”“Aku kasih buktinya nanti.” Dia tampak geram.Sebelah alisku terangkat. “Kok nanti, nggak sekarang aja?”“Sekarang siapkan aja hati kamu buat nerima kekecewaan,” katanya lalu melangkah kembali masuk ke dalam kamar.Kutarik napas dalam-dalam. Bisa-bisanya aku diberi cobaan bertemu dengan makhluk seperti itu.Sekarang aku hanya tinggal menunggu janji Mas Langit, dia mengatakan akan menyuruh Tania keluar dari rumah ini.Orang yang dianggap baik belum tentu
Tubuhku sakit semua, aku meringis saat akan bergerak untuk bangun.“Jangan banyak gerak dulu, sayang.”Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang menerobos retina.“Mas ….”“Iya, sayang. Aku di sini.”“Kenapa badan aku sakit semua?”“Kamu jatuh dari tangga.”Aku langsung ingat, sempat terpeleset setelah menabrak sesuatu. Tubuhku rasanya remuk saat berguling di tangga, setelah itu aku tidak ingat apa-apa.Mas Langit bilang kalau sebelah kakiku patah, pantas saja rasanya sangat sakit. Bisa kembali normal setelah beberapa bulan. Sedangkan kondisi yang lainnya aman tapi aku merasa tidak nyaman di bagian perut, sakitnya sama persis seperti dulu setelah aku keguguran.Beberapa hari aku di rumah sakit sampai akhirnya diperbolehkan untuk pulang. Aku tidak betah berlama-lama di sana, lebih baik di rumah saja. Mas Langit sampai tidak ke kantor karena menemaniku, dia bahkan menyelesaikan pekerjaannya dari rumah.“Sayang, lain kali kamu harus hati-hati.”“Iya, Mas. Maaf ya buat kamu khawatir.”“Ng
Aku mencoba untuk memperbesar gambar agar lebih jelas, namun sayang aku tetap bisa memastikannya meski baju yang dikenakan sama, tidak hanya itu postur tubuhnya saja persis.Daripada menduga-duga akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Mas Langit, namun tidak diangkat membuat aku semakin berpikir buruk.[Mas, jadi makan siang di rumah ‘kan?]Kukirimkan pesan setelah beberapa kali mencoba menelepon tapi tidak diangkat. Namun sama juga tidak ada balasan.Sebenarnya aku bukan orang yang mudah curiga tapi kenapa akhir-akhir ini malah begini? Aku aneh dengan diriku sendiri.Kutarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menepis semua hal buruk yang berada di dalam benak. Aku beranjak untuk mandi.Karena Mas Langit tak kunjung merespon panggilanku, aku akan ke kantornya membawakan makan siang. Bukan untuk memantaunya tapi aku memang ingin memberikan makan siang, siapa tahu dia memang terlalu sibuk sampai tidak ada waktu bahkan untuk mengangkat teleponku.Selesai mandi, aku langsung berangkat.Sampa
Kesalahpahaman yang membuat sakit hati. Bisa-bisanya orang itu menganggap Tania adalah istri Mas Langit.Kami baru saja duduk, tidak mungkin aku terus bergelayut di lengan Mas Langit yang sekarang duduk di tengah-tengaku dan Tania sambil menggendong Keenan.“Ini istri saya, Pak. Alinea.” Sebelah tangan Mas Langit merangkul pundak.“Oh, maaf. Saya sampai salah mengenali. Kamu anaknya Pak Bagaskara ya?”“Iya, Pak.” Aku menjawab apa adanya.“Pantas saja wajahnya mirip dengan istrinya Pak Bagas.”Wajahku memang mirip Bunda tapi badanku tidak bisa sama seperti Bunda. Sudah beberapa kali melahirkan tapi badannya selalu bagus, sedangkan aku belum pernah melahirkan badan sudah mulai melar.Padahal Bunda juga sudah tidak muda lagi. Baru sekarang aku merasa tidak percaya diri karena bentuk tubuh.Pak Agung basa-basi sebentar sebelum pergi ke mejanya lagi.“Keenan sini, Nak.”Aku melirik Tania yang berniat untuk mengambil Keenan dari Mas Langit. Tapi Keenan malah menempel pada Mas Langit. Kalau
“Serius amat sih.”“Abang, jangan bercanda dong.”“Lin, nggak usah deh kamu ngorek-ngorek masa lalu. Nggak ada untungnya, yang ada malah sakit.”“Tapi aku penasaran, Bang.” Aku merengek mencoba merayu Bang Samudra agar menceritakan semua padaku.“Kamu itu nyari penyakit tahu nggak. Kalau sampai Langit tahu kamu ngorek informasi masa lalu, dia pasti gedek.”“Tapi, Bang-”“Kunci hubungan itu saling percaya, Lin. Kalau kamu aja nggak percaya sama suami kamu, ya susah. Curiga yang kamu simpen di hati itu yang nantinya jadi percikan api yang bikin kalian berantem. Coba berpikir dewasa, kalau ada sesuatu yang mengganjal di hati kamu, bicara baik-baik sama Langit jangan cari tahu sendiri begini.”Aku merasa tertampar, memang tidak seharusnya aku begini. Jadinya Bang Samudra tahu kalau aku menaruh curiga pada Mas Langit.Sepertinya memang harus bicara baik-baik.“Kamu juga nggak usah curiga sama Tania?”“Kenapa?”“Dia inceran abang.”“Hah?” Mataku melebar mendengar pengakuan Bang Samudra. “Se
POV Tania“Pulanglah, kamu jangan terus bohongi Alin cuman buat datang ke sini.”“Sebentar lagi, Tan.” Mas Langit malah semakin mengeratkan pelukannya.Aku menghela napas panjang. “Mas ....”“Sayang, ayolah. Aku loh susah banget dapat waktu biar bisa lama-lama sama kamu.”“Iya, tapi nanti. Kita ‘kan ada jadwal keluar kota satu bulan, Mas. Alin juga sendirian di rumah ‘kan, kasihan loh dia lagi sakit.”“Dia udah bisa jalan kok, ditinggal sebentar nggak masalah. Aku masih kangen tahu.”Dia langsung melepaskan pelukannya. Kecupan mendarat di kening. “Aku jadi nggak sabar.”“Sana pulang, keburu Keenan bangun nanti dia malah nangis kejer kalo lihat kamu pulang.”“Iya, iya. Cerewet banget sih istriku ini.” Mas Langit mencubit gemas pipiku.Aku dan dia memang sudah menikah, satu bulan setelah aku melahirkan. Jahat, ya, aku memang jahat karena menikah dengan suami orang. Tapi aku mencintainya, aku tidak mau kehilangan Mas Langit. Kami sama-sama saling mencintai. Tapi untuk sekarang aku mengal