“Langit, mau kemana?” Suara teriakan Bunda terdengar.Tapi Mas Langit tidak menyahut.Aku pun keluar dari kamar, tidak mau membuat suasana semakin kacau. Rasanya tidak pantas melibatkan mertua dan orang tua dalam masalah rumah tanggaku.Mas Langit memang sudah keterlaluan, tapi aku tidak mungkin mengambil keputusan gegabah dengan langsung berpisah. Selama dia tidak mendua, aku bisa terima. Kalaupun memang dia dan Tania selingkuh, aku harus cari tahu sendiri buktinya bahkan kalau bisa melihat secara langsung.Sakit? Jangan ditanya lagi. Tiga tahun menikah dan sekarang aku baru tahu kalau aku tidak dicintai suamiku sendiri. Menyedihkan sekali.Jadi kalau dia tidak mencintaiku, kenapa menikahiku? Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi benak.“Langit mau kemana?”Aku tersentak. Bunda tiba-tiba ada di depanku. “Mungkin ada urusan penting, Bun.”“Urusan apa? Emang masalah kalian udah beres?”“Semua cuman salahpaham, Bunda. Bunda nggak usah khawatir.”Bunda tampak tidak terpercaya. “Meskipun Lang
“Kamu juga kemana aja seharian ini, nggak ada kabar.”“Suami pulang kerja, capek. Kita bisa ngobrol lagi besok ‘kan? Udahlah, nggak usah recokin aku. Lebih bagus kamu urus diri kamu sendiri, nggak usah peduliin aku, nggak usah ngurusin aku.”Dadaku sesak karena sikapnya berubah drastis. Tubuh membeku masih dengan posisi berdiri menghadapnya.Tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Mas Langit. Tapi dari semua itu hanya ada satu kata yang menusuk hati. Dia yang hanya mengatakan ‘oh’ saat kuberitahu soal kehamilan ini.Apa dia benar-benar tidak peduli padaku? Bahkan pada kehamilanku? Aku ini hamil anaknya, darah dagingnya bukan anak orang lain.“Mas.”Malah suara dengkurannya yang terdengar membuatku tambah emosi. Kutarik napas dalam-dalam. Untuk saat ini aku akan mengalah, aku diam. Tapi bukan berarti aku menyerah. Dengan kondisi seperti ini mana mungkin aku rela melepasnya begitu saja.Apapun itu butuh perjuangan termasuk merebut hati suamiku sendiri. Dia bisa membuatku jatuh hati s
“Dia itu istri sahabat aku, bukan orang lain. Udah deh, kalo emang kamu nggak mau bantuin nggak usah merembet ngomong soal Tania segala.”“Ya udah.” Kuayunkan langkah meninggalkannya yang tampak semakin kesal.Butuh tapi gengsinya itu tinggi sekali. Terus saja bela Tania, maka kamu akan susah sendiri, Mas.Buru-buru aku mandi, biar habis itu langsung istirahat. Tadi aku sudah makan di rumah Bunda jadi perut masih kenyang. Mungkin akan merasa lapar nanti tengah malam.Aku selesai mandi, Mas Langit masih belum masuk ke dalam kamar. Mungkin dia benar-benar marah. Salah sendiri, dia yang mulai.Gerakan tanganku yang sedang mengancingkan piyama terhenti saat melihat sebuah kertas mengintip dari bawah meja. Perasaan tadi pagi saat membersihkan kamar rasanya sudah tidak ada sampah yang tertinggal.Tubuhku menunduk untuk meraih kertas itu.“Baby shop?” Tulisan paling atas dari kertas yang ternyata struk belanja.Mataku memanas melihat list panjang belanjaan perlengkapan bayi.Apa Mas Langit m
POV Langit“Kenapa sih Alin sensi banget.”Aku berdecak kesal setelah membaca pesannya. Padahal aku sudah minta maaf tapi dia masih begini. Percuma membuatkan sarapan tapi tetap cuek.Terpaksa aku meminta bantuan Tania lagi seperti tadi malam. Sebenarnya Tania sudah tahu dengan apa yang kualami. Semua barang disita dan tidak memegang uang sepeserpun, tadi saja aku lupa memintanya pada Alin sekarang malah dia tidak peduli begini.Padahal aku sudah menjatuhkan harga diri untuk meminta maaf padanya agar dia tidak marah dan mengadu pada Bunda hingga membuat semuanya semakin rumit.Sebenarnya aku harus menjauh dari Tania agar perasaan ini tidak semakin besar tapi memang tidak bisa karena sekarang Tania bergantung padaku. Jika bukan padaku pada siapa lagi.“Tinggal saja mobil kamu di sana, Mas. Aku pesenin taksi online, kamu ‘kan mau meeting katanya.”“Makasih ya, Tan. Maaf banget aku sering ngerepotin kamu.”“Aku bukan orang lain, Mas. Jadi santai saja, kirim lokasi kamu sekarang.”Akhirny
“Sial. Mana mobil masih di jalan lagi.”Aku memang belum membawa mobil yang kehabisan bensin di jalan, tidak jauh. Masih dekat-dekat sini, sekarang malah dapat situasi menegangkan begini.“Alin.”Itu suara Bunda. Buru-buru aku membopong tubuh Alin, dia harus segera dibawa ke rumah sakit. Melihat darahnya yang juga menggenang di lantai membuat lututku lemas.“Loh, Alin kenapa?” Bunda terbelalak.“Bawa dulu ke rumah sakit, Bun.”Bunda berbalik menuju mobil lalu membukakan pintunya. Papa yang akan turun bahkan kembali naik.Selama perjalanan ke rumah sakit, perasaanku tidak karuan. Bunda maupun Papa juga tidak bicara apapun, mereka juga pasti sama paniknya denganku.Setelah sampai di rumah sakit dan Alin ditangani barulah Bunda beralih menatapku.“Kenapa Alin bisa pendarahan gitu?”Aku menggeleng. “Nggak tahu, Bun. Tadi pas pulang Alin udah pingsan.”“Dia nggak ada mengeluh apapun ke kamu sebelumnya?” Bunda kembali melemparkan pertanyaan yang membuatku terdiam.Mengingat Alin sebelumnya
Setelah kejadian beberapa hari lalu sikapnya langsung berubah, bahkan lebih dingin dari sebelumnya. Dia memang menyiapkan makan dan kebutuhanku yang lain tapi tidak bicara jika tidak ditanya.Sikapnya yang begini membuatku serba salah, padahal sudah kujelaskan kalau dia salah paham. Mana mungkin aku mengakui soal perasaanku pada Tania, aku juga masih waras mana mungkin melakukan itu. Tania itu istri sahabatku jadi secinta apapun aku padanya tidak ada niat ku untuk merusak rumah tangga mereka.“Aku mau kerja?”Kepalaku langsung mendongak, beralih dari piring berisi nasi goreng lalu menatap Alin yang bicara dengan nada datar.“Aku nggak kasih izin.”“Aku nggak butuh izin dari kamu, aku cuman kasih tahu.”Kuhela napas panjang. “Aku ini suami kamu, Alin. Jangan bersikap-”“Kamu juga nggak pernah butuh izin dari aku buat ketemu Tania ‘kan? Masih bagus aku bilang terang-terangan, nggak sembunyi-sembunyi.” Dia menyindirku.“Lin, tolonglah. Jangan macem-macem, kamu sebelumnya nggak gini loh.”
[Alin, bilang ke Bunda. Aku melayat temanku yang meninggal.]Setelah mengirimkan pesan itu, aku melangkah masuk ke dalam. Wanita itu duduk melantai dengan mata sembab dan sorot mata yang kosong.“Tania.”Dia tidak menyahut. Baru saat aku menyentuh pundaknya dia menoleh dan berhambur memelukku.“Mas, suami aku.” Tangisnya pecah, pundaknya bergetar.Entah siapa yang memberitahu Tania soal Anton yang dipenjara dan sekarang pulang hanya tinggal nama. Aku saja tidak tahu jika Anton itu sakit. Tadi aku sudah konfirmasi soal berita ini dan faktanya memang begitu.Anton akan dikebumikan di kampung halamannya. Untung saja aku bisa dapat informasi itu, nanti akan kubawa Tania ke tempat peristirahatan suaminya yang terakhir.“Kamu jahat, Mas. Kenapa nggak bilang dari awal soal Mas Anton?” Tania tergugu dalam pelukanku.“Maaf, Tan.”Aku pun merasa bersalah karena dia tidak sempat bertemu dengan Anton dan sekarang sahabatku itu sudah pergi untuk selamanya.Hari itu juga aku mengantarkan Alin ke ru
“Sayang, tolong jangan gini dong.”“Cepat jalan, Mas. Nanti telat.” Dia malah mengalihkan pembicaraan.“Tapi janji ya, jangan bahas apapun lagi. Aku murni cuman mau bantu Tania doang, kasihan dia.”“Terserah.” Dia memalingkan wajahnya menatap ke luar jendela.Kalau terus berdebat maka tidak akan ada habisnya, lebih baik langsung berangkat saja.Meluluhkan hati Alin ternyata tidak semudah yang ada dalam bayangan. Apalagi ada Tania di rumah, Alin bisa saja semakin menjauh meski di depan Tania dia bersikap begitu manis. Dia memang baik karena tidak mau memperlihatkan masalah rumah tangga pada orang lain.“Inget, jangan terlalu deket sama cowok.” Aku memperingatinya sebelum dia turun dari mobil.“Nanti nggak usah jemput.”“Nggak bis-”Brak. Pintu mobil lebih dulu ditutup olehnya cukup keras. Kenapa juga dia tidak mau dijemput? Jangan bilang mau pergi jalan dengan orang lain lagi.“Sabar, Langit. Ini masih masa percobaan, kalau dia lewatin batas ya nggak ada pilihan lain.” Kutarik napas da
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat