POV Bagas“Nilam,” gumamku saat melihat dia turun dari mobil.Dia sepertinya mengganti mobilnya, makanya aku sampai tidak mengenali.“Yayah.”Senyumku merekah karena melihat Alin. Rasa rinduku akhirnya terobati. Segala kemarahan yang ada dalam dada langsung musnah hanya dengan melihat bidadari kecilku.“Maaf, Mas. Aku datang tidak bilang-bilang.”“Kenapa harus minta maaf segala. Duduk.” Sebelah tanganku terulur untuk mengambil Alin.“Jangan, Mas. Tanganmu-”“Tidak apa-apa. Dudukkan saja Alin di pangkuanku.”Nilam mengangguk.“Yayah.”Kudekap erat tubuh kecilnya, mengecup puncak kepalanya.“Alin rindu ayah?”“Ndu,” sahutnya.Aku terkekeh geli mendengarnya.“Dia semakin pintar,” kata Nilam, “oh ya, Ibu di sini juga ‘kan?”“Iya, ibu sedang tidur.”“Padahal aku mau sekalian pamit.”Keningku berkerut, “Pamit kemana?”Perasaanku langsung tidak enak mendengar itu.“Aku harus ikut Bang Ilyas dinas di luar kota.”“Luar kota?”“Iya. Jadi mas hanya bisa menemui Alin sesekali saja, tidak bisa ses
POV LarasObat yang kuminum rasanya percuma karena kaki ini rasanya terus berdenyut. Sakitnya sangat menyiksa.Kalau saja aku tidak menikah dengan Mas Bagas, aku tidak akan pernah mengalami kesialan yang beruntun seperti ini. Hidupku susah karena dia, dia harus bertanggung jawab. Tidak akan kubiarkan dia tenang setelah menghancurkan hidupku.“Sayang, minta uang dong.”Sekarang bukan kakiku saja yang berdenyut tapi kepalaku juga, kulirik Reyhan yang berdiri di ambang pintu kamar sambil tersenyum tanpa dosa.“Bisamu hanya minta uang terus. Cari kerjaan sana, di rumah hanya tidur saja!”“Tidak ada yang mau mempekerjakan anak sekolah sepertiku. Lagi pula sebentar lagi Mama pasti akan datang dan memintaku pulang jadi tidak usah khawatir. Aku akan mengganti semua uangmu yang kupakai, sayang.”Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut.Mimpi apa aku sampai harus bersuamikan bocah SMA seperti dia. Salahku sendiri karena mengincarnya, dia anak seorang pemilik pabrik. Aku mendekatinya karena t
POV BagasSetelah hari itu, tidak pernah lagi aku menghubungi Nilam. Aku tidak mau menjadi penyebab retaknya hubungan Nilam dan juga Ilyas. Meski harus menahan rindu pada putriku tapi aku tidak bisa apa-apa.Ibu juga tidak bisa memaksa untuk menemui Nilam karena ibu bilang Ilyas lebih berhak. Kalau pun Nilam dilarang, tidak bisa kita memaksakan.Tidak hanya Nilam dan Alin yang tidak tahu keberadaannya. Laras juga tidak pernah lagi muncul. Kukira dia akan datang dan mengacau lagi. Terakhir bertemu saja di rumah sakit saat itu.“Qai, ayo sini makan dulu.”Aku yang sedang bersiap-siap ke kantor, mendengar teriakan ibu dari luar.Padahal aku sudah mengatakan pada ibu biar Qai diurus oleh Diah saja karena Qai sangat aktif dan susah sekali ditegur.Pyar!“Qai!”Aku langsung keluar mendengar sesuatu yang pecah. Menghampiri ibu yang menarik Qai menjauh dari pecahan beling.“Qai, tidak boleh. Ini gelas, tidak boleh dilempar,” ucap ibu, “Gas, gendong dulu. Biar ibu bersihkan.”“Diah kemana, Bu?
Pembicaraan dilanjutkan soal pekerjaan. Kuperhatikan Nilam tampak berbeda, dia begitu banyak tahu bahkan lebih dariku. Pasti banyak yang sudah dia lewati sampai di titik ini sampai mengerti soal bisnis yang dijalaninya.Selesai pembicaraan, aku langsung keluar dan kembali ke tempatku. Nilam sepertinya masih ada urusan, padahal banyak sekali yang ingin kutanyakan dan yang paling penting aku ingin bertemu dengan Alin. Aku sangat merindukannya.“Mas Bagas.”Baru saja membuka pintu ruangan, suara Nilam menghentikanku. Sontak aku menoleh.“Nilam.”“Boleh aku bertemu ibu?”Aku mengangguk, “Datang saja ke rumah.”Dia menunduk, memainkan ujung bajunya. Kebiasaannya masih sama.“Aku tidak tahu Ibu tinggal di mana. Bisa minta nomor telepon ibu?”Nilam pasti sangat merindukan ibu, sama halnya dengan ibu. Tidak mungkin aku melarang mereka untuk bertemu. Baru saja akan kuberikan ponsel padanya, tiba-tiba teringat soal Ilyas.“Apa suamimu tidak akan marah?”“Suami?”Keningku berkerut, “Apa-”“Tenan
“Mas.” Nilam terbelalak lalu meraih cardigan untuk menutupi tubuhnya yang hanya memakai baju tidur terbuka.Langkahku terayun mendekati dia.“Maaf aku lancang, Mas. Ibu bilang kamu menginap di kantor jad-”“Siapa yang melakukan itu padamu, Nilam!” potongku.“Aku akan tidur di luar.” Nilam malah mengalihkan pembicaraan lalu berniat pergi.Dengan cepat aku menahan tangannya.“Katakan, Nilam! Atau mas caritahu sendiri,” geramku dengan rahang mengeras.“Kamu tidak berhak tahu, Mas. Kita-”“Persetan dengan status. Mas tidak akan peduli, mana mungkin mas hanya diam melihat wanita yang mas cintai dilukai begini. Katakan, Nilam. Apa Ilyas yang melakukannya?” Peganganku di tangannya melemah.Nilam menunduk, kulihat air matanya berjatuhan, “Aku tidak apa-apa.”Air mata dan yang perkataannya itu bertolak belakang. Mana mungkin baik-baik saja tapi menangis begini, pundaknya bahkan bergetar.Aku melangkah mendekat, mendekapnya dengan erat, “Menangislah, setelah itu baru cerita.”Dia menggeleng men
POV Nilam (5 Tahun yang lalu)“Masih sakit ya?”Aku menggeleng, “Tidak, Bang.”Bang Ilyas meraih tanganku dan mencium pergelangannya yang lebam.“Maaf, abang terlalu kasar, abang tidak sadar.”Takut, kaget dan aneh. Saat pertama kali tidak seperti ini, tapi tadi malam Bang Ilyas terlihat berbeda. Aku masih berpikir positif karena dia mungkin tidak sengaja melakukannya.Setelah dia mengatakan jika aku harus ikut ke luar kota, tentu saja aku tidak akan bisa menolak karena dia suamiku. Mana mungkin aku membiarkannya tinggal di luar kota sendirian, aku harus menjalankan tugas sebagai seorang istri.Bang Ilyas memberiku izin untuk bertemu dengan ibu sebelum pergi. Mas Bagas juga harus tahu, bagaimanapun dia ayahnya Alin.Berat rasanya saat harus pamit pada ibu. Selama menikah dengan Mas Bagas, ibu begitu menyayangiku, memperlakukanku seperti anak sendiri.Aku tidak bisa berlama-lama di rumah Mas Bagas, takut juga Mas Bagas menanyai lagi soal luka lebam di pergelangan tanganku.Satu hal yan
Makanan begitu sulit kutelan. Namun aku harus memaksakan, jika aku sakit bagaimana dengan Alin.Saat ini pikiranku tidak tenang karena membayangkan apalagi yang akan terjadi padaku ke depannya. Ini saja sudah membuat tersiksa. Sampai kapan aku ada di tempat terkutuk ini dan terkurung dengan lelaki yang begitu mengerikan.Sering melihat perubahan sikapnya, aku jadi tahu saat Bang Ilyas menjadi dirinya sendiri dan saat dia menjadi monster. Tapi perubahan itu biasa datang tiba-tiba tanpa bisa diprediksi. Lebih seringnya saat malam hari dia akan berubah menjadi sosok yang tidak kukenal.‘Ibu, aku mau pulang. Aku tersiksa di sini, Bu. Ibu pasti khawatir karena aku tidak pernah memberikan kabar.’ Aku hanya bisa membatin, menjerit pilu.Pantas saja rasanya begitu berat saat harus pergi. Bahkan aku sempat berpikir untuk tetap tinggal di sana dan mengunjungi Bang Ilyas sesekali tapi itu hanya pikiran sekilas karena akhirnya aku ikut juga hingga sekarang ada di tempat ini.“Yayah.”Perhatianku
“Kita bicara di tempat lain, jangan di sini,” ajaknya.Aku melihat sekeliling, saat ini berdiri di trotoar dan banyak orang berlalu-lalang. Berdiri di sini juga bisa jadi membuat Bang Ilyas tahu keberadaanku, lebih baik cari aman. Tapi tetap harus di tempat yang ramai jadi saat ada apa-apa aku bisa teriak.“Nilam, kenapa melamun. Ayo ikut ayah. Dekat sini ada restoran yang tempatnya agak di pojokan. Di sana Ilyas tidak akan menemuimu.”“Apa tempatnya jauh?”“Tidak. Jalan kaki dari sini tidak lama.”Aku mengangguk, mengikuti langkah kakinya menuju restoran yang dimaksud.Benar saja, jaraknya tidak jauh dari rumah sakit tadi. Tempatnya pun ramai. Aku di bawa ke bagian lantai dua, disana pun sama ramainya jadi aku tidak terlalu takut.Meskipun mengaku sebagai ayahku, tetap saja ingin jaga-jaga. Selama ini aku bahkan tidak mengenal seperti apa ayahku itu.“Mau pesan apa?”Aku menggeleng, “Tidak usah.”“Setidaknya untuk Alin.”Dia bahkan tahu nama anakku.“Tidak perlu. Saya hanya ingin men