POV NilamBeberapa bulan ke belakang adalah waktu-waktu yang begitu berat untukku. Aku tidak bisa menjalankan tugasku sebagai seorang ibu karena kondisiku yang semakin melemah setelah melahirkan. Berulang kali keluar masuk rumah sakit, melakukan kemoterapi dan berbagai pengobatan lain kujalani.Semangatku untuk sembuh sangat besar karena aku ingin menjalani hari-hariku bersama dengan Alin, melihat langsung tumbuh kembangnya yang beberapa waktu sempat ku lewatkan.Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak, setelah cukup lama aku bergelut dengan penyakit ini akhirnya dinyatakan sembuh total.“Perjuanganmu luar biasa, Nilam. Abang bangga padamu.”“Terima kasih karena selalu ada untukku, merawatku dengan sabar sampai aku sekarang sudah benar-benar sembuh.”Kebahagiaan yang kurasakan sama sekali tidak bisa terlukiskan. Ibu dan Mbak Dilla juga selalu ada untukku, meski tidak ada hubungan darah tapi mereka bukan orang lain untukku.“Sudah kewajibanku, Nilam. Jangan bicara sep
“Eh, sayang. Kenapa bangun?”Aku tersentak mendengar suara Bang Ilyas.“Mau buang air kecil, Bang.”“Bukan terganggu suara televisi?” Aku menggeleng. Bahkan saat bangun tadi aku seperti tidak mendengar suara televisi.Rasa ingin buang air kecil hilang seketika karena rasa penasaran. Apa mungkin yang tadi kudengar itu hanya mimpi. Bang Ilyas pun hanya sendiri, tidak mungkin ada orang bertamu tengah malam begini.Sudahlah. Mungkin efek terlalu lelah. Kuputuskan untuk kembali ke kamar dan tidur.Keesokan harinya Bang Ilyas membatalkan acara kami karena ada yang lebih darurat di rumah sakit, aku sama sekali tidak keberatan. Sebelum ke rumah sakit, Bang Ilyas lebih dulu mengantarku ke rumah.“Maaf ya.”“Tidak usah minta maaf, Bang. Ini juga tugas Abang, kita bisa pergi lain kali,” kataku dengan seulas senyum.Cup!Sebuah kecupan mendarat di kening.“Nanti Abang jemput lagi.”Aku mengangguk lalu keluar dari mobil, menunggu di sana sampai mobilnya tak terlihat lagi.Tubuhku berbalik, namun
POV Nilam“Awas kamu jal*ng!” teriaknya padaku sebelum menaiki motornya dan pergi dalam keadaan yang begitu mengenaskan.Di jalan orang-orang pasti akan memperhatikannya.“Mbak Nilam, lain kali kalau ada dia panggil saja kami. Tidak usah malu, wanita begitu harus diberi pelajaran,” ucap Bu Rt.“Iya. Kalau hanya diam saja yang ada semakin menjadi,” sahut Mbak Siska.“Terima kasih, maaf merepotkan.” Hanya itu yang bisa kukatakan.Mereka langsung membubarkan diri.Mas Bagas belum juga keluar dari dalam rumah, aku langsung menyusulnya masuk.“Mas Bagas.”“Mas di kamarmu, Nilam.”Langkahku tergesa menuju kamar. Baru saja niat akan mengomel karena dia masuk sembarangan ke kamarku, tidak jadi kulakukan karena dia sedang memakaikan baju pada Alin.“Maaf mas lancang. Tadi mas dengar Alin menangis, dia hanya pakai handuk jadi mas pakaikan baju,” jelasnya.“Iya, aku lupa karena tadi keburu Laras datang.”Mas Bagas membalikkan tubuhnya menghadapku setelah selesai memakaikan baju pada Alin.“Apa d
POV BagasAku tidak punya muka lagi setelah dihina secara langsung oleh ibu-ibu kompleks di rumah Nilam. Untung saja Alina dibawa oleh Nilam jadi saat aku ingin menemuinya tinggal jemput di rumah baru Nilam bukan di rumah lama. Setidaknya aku tidak akan terlalu malu.Namun sejak Alin pindah malah aku lebih susah bertemu dengan Alin, apalagi sepertinya Ilyas memang tidak suka. Padahal sekarang Nilam sudah jadi istrinya, aku bisa apa. Aku hanya mantan suami Nilam yang bahkan tidak akan mungkin bisa bersatu lagi dengannya.Video Laras viral, mungkin dia juga tidak akan berani keluar rumah karena wajahnya dikenali banyak orang sebagai pelakor. Nomornya di ponselku sudah lama kublokir. Mungkin dia tidak akan berani menampakkan diri dalam waktu dekat sampai semua gosip tentangnya mereda.Jejak digital akan sulit hilang, namun bagusnya tidak ada wajahku di sana pun dengan wajah Nilam. Malah banyak wanita yang berkoar jika suami mereka pernah jadi korban Laras. Ternyata tidak hanya Om Rudy da
POV Bagas “Bukan urusanmu, Nilam ‘kan mantan istrimu.”Jawabannya membuatku naik darah saja, percuma bicara aku pun sekarang tidak bisa fokus dan memilih untuk menghilangkan kantuk dengan tidur sebentar.Saat terbangun satu jam kemudian, Om Rudy masih ada di sini.Mataku menangkap bungkusan plastik yang ada di dekat sofa. Dari plastik yang transparan bisa kulihat didalamnya itu diapers dan juga susu.“Om yang membelinya?”“Nilam yang mengirimkannya?”Keningku berkerut, “Nilam?”“Kurirnya bilang begitu.”“Jangan pernah mengambil simpatinya, Nilam mudah sekali iba. Jangan berpikir dia masih mencintaimu makanya rela datang ke sini. Dia milikku.”Perkataan Ilyas kembali terngiang di telinga. Aku memang harus sadar diri, Nilam terlalu baik dan kebaikannya padaku itu membuat hatiku semakin sakit, penyesalanku semakin dalam karena setelah apa yang kulakukan sikapnya masih baik.Aku lebih ingin Nilam membenciku bukan baik seperti ini. Dengan dia yang bersikap baik malah aku yang malu dan ter
Orang berlarian, suasana tiba-tiba menjadi riuh.“Kecelakaan.”“Orangnya masuk ke parit.”“Mana perempuan lagi.”Apa itu Laras? Tadi kudengar suara yang berteriak juga mirip dengan suara Laras.Rasa penasaran menggelayuti tapi lebih penting mengobati pelipis Qai yang berdarah. Kulihat Qai memang sudah tenang, tapi masih sesegukan.Kenapa bisa ada wanita yang begitu keras hatinya seperti Laras. Anak sendiri dia lukai begini. Mungkin dia punya masalah kejiwaan karena sampai hati menyakiti anaknya.“Ayah bersyukur karena kamu tidak dirawat olehnya, Nak,” gumamku lalu membawa Qai masuk, mengabaikan rasa sakit yang menjalar di lengan.Gips yang kukenakan juga sudah basah dan otomatis harus diganti. Ini membuatku harus pergi ke rumah sakit untuk menggantinya.“Obat luka untuk bayi dan orang dewasa sama tidak ya?” Aku menggaruk tengkuk, merasa bingung dan takut salah.Kuputuskan untuk menghubungi ibu, memintanya membelikan obat luka untuk Qai.“Qai kenapa?”“Nanti saja aku jelaskan, Bu. Kala
POV Bagas“Nilam,” gumamku saat melihat dia turun dari mobil.Dia sepertinya mengganti mobilnya, makanya aku sampai tidak mengenali.“Yayah.”Senyumku merekah karena melihat Alin. Rasa rinduku akhirnya terobati. Segala kemarahan yang ada dalam dada langsung musnah hanya dengan melihat bidadari kecilku.“Maaf, Mas. Aku datang tidak bilang-bilang.”“Kenapa harus minta maaf segala. Duduk.” Sebelah tanganku terulur untuk mengambil Alin.“Jangan, Mas. Tanganmu-”“Tidak apa-apa. Dudukkan saja Alin di pangkuanku.”Nilam mengangguk.“Yayah.”Kudekap erat tubuh kecilnya, mengecup puncak kepalanya.“Alin rindu ayah?”“Ndu,” sahutnya.Aku terkekeh geli mendengarnya.“Dia semakin pintar,” kata Nilam, “oh ya, Ibu di sini juga ‘kan?”“Iya, ibu sedang tidur.”“Padahal aku mau sekalian pamit.”Keningku berkerut, “Pamit kemana?”Perasaanku langsung tidak enak mendengar itu.“Aku harus ikut Bang Ilyas dinas di luar kota.”“Luar kota?”“Iya. Jadi mas hanya bisa menemui Alin sesekali saja, tidak bisa ses
POV LarasObat yang kuminum rasanya percuma karena kaki ini rasanya terus berdenyut. Sakitnya sangat menyiksa.Kalau saja aku tidak menikah dengan Mas Bagas, aku tidak akan pernah mengalami kesialan yang beruntun seperti ini. Hidupku susah karena dia, dia harus bertanggung jawab. Tidak akan kubiarkan dia tenang setelah menghancurkan hidupku.“Sayang, minta uang dong.”Sekarang bukan kakiku saja yang berdenyut tapi kepalaku juga, kulirik Reyhan yang berdiri di ambang pintu kamar sambil tersenyum tanpa dosa.“Bisamu hanya minta uang terus. Cari kerjaan sana, di rumah hanya tidur saja!”“Tidak ada yang mau mempekerjakan anak sekolah sepertiku. Lagi pula sebentar lagi Mama pasti akan datang dan memintaku pulang jadi tidak usah khawatir. Aku akan mengganti semua uangmu yang kupakai, sayang.”Aku mengurut pelipis yang terasa berdenyut.Mimpi apa aku sampai harus bersuamikan bocah SMA seperti dia. Salahku sendiri karena mengincarnya, dia anak seorang pemilik pabrik. Aku mendekatinya karena t