Perkataan Nilam terus terngiang di telinga tapi aku sama sekali tidak percaya itu, sampai sekarang Nilam masih mencintaiku. Itu sudah pasti. Kami bersama bukan dalam waktu singkat, jadi tidak akan mungkin lupa semudah itu. Dia hanya asal bicara saja.Setelah lama menunggu hingga bisa lagi memegang uang, tidak ada rasa bahagia yang kurasa. Kalau sampai Nilam menolak kembali dan nikah muhallil maka semua hartaku akan berada di tangannya dan aku kembali melarat? Tidak, membayangkannya saja aku tak mampu. Susah payah, jatuh bangun aku sampai ada di titik ini.Aku harus meminta bantuan ibu, ibu pasti tidak akan mungkin bisa lama marah padaku. Bagaimana pun aku ini anaknya.[Mas, pulang kerja belikan aku cemilan ya.]Aku menghela napas membaca pesan dari Laras. Dia memang sudah tidak bertingkah, baru saja kemarin dia bicara begitu. Entah kedepannya dia akan tetap manis atau jadi menyebalkan seperti sebelumnya.[Hm.] Aku membalas singkat.Untuk hari ini, aku hanya akan pulang ke rumah. Besok
“Lakukan. Lakukan apapun untuk melampiaskan kekecewaan kalian padaku.”Aku pasrah menerima pukulan dan tendangan yang dilayangkan Bang Haikal. Benar apa kata Mbak Dilla, sakit fisik yang kurasakan tak sebanding dengan luka hati Nilam.Tubuhku rasanya remuk, kini terduduk di lantai karena tenagaku bahkan habis meski tidak melawan. Tubuh Bang Haikal tinggi besar, melawan pun aku akan tetap kalah.“Mbak harap kamu benar-benar sadar dengan kesalahanmu. Kamu pikir Mbak tidak sedih melihatmu menghancurkan hidupmu sendiri? Kamu sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Lain kali berpikir dengan otak sebelum bertindak,” ucap Mbak Dilla sebelum melangkah kembali ke dapur.Dari ekor mata aku bisa melihat Nilam berdiri tak jauh dengan wajah tanpa ekspresi.‘Apa sudah benar-benar hilang rasa pedulimu padaku?’Jantungku seperti diremas kuat melihat Nilam melengos seolah tidak ingin menatapku. Dia berjalan begitu saja melewatiku.“Bang, tanggung jawab. Jangan sampai nanti ada pihak yang merasa dirugikan
POV LarasTidak peduli Mas Bagas sudah beristri, yang penting dia tertarik padaku dan jelasnya dia seorang pengusaha. Aku tidak mau lagi hidup susah.Kabar bahagia datang setelah aku dan dia menikah, ternyata dia dan istrinya sudah berpisah. Aku akan dengan mudah menguasai harta Mas Bagas meskipun dia bilang kalau semua hartanya ada di tangan Nilam. Diam-diam ternyata dia serakah juga, aku tidak akan menerima begitu saja.Nilam itu hanya mantan istri Mas Bagas sedangkan aku istrinya. Sudah jelas aku lebih berhak.Bertahan dalam kesederhanaan pun terpaksa kulakukan agar Mas Bagas percaya kalau aku itu memang mencintainya bukan karena harta. Dia juga tidak bisa dibilang lelaki jelek karena parasnya tampan. Meski tidak cinta tapi aku mendapatkan banyak keuntungan menjadi istrinya.“Kamu harus segera hamil. Selama ini Bagas mau anak ‘kan? Kalau kamu hamil, Bagas pasti akan mengambil lagi semua harta itu dari mantan istrinya bagaimana pun caranya.”“Iya, aku juga maunya hamil, Bu. Tapi ‘ka
POV BagasAku hanya menjalani hari menunggu saat itu tiba, saat dimana anakku akan lahir ke dunia. Kemarin ibu sudah mengatakan jika Nilam akan segera melahirkan dan aku diberikan izin untuk datang. Aku mengatakan pada Laras ada pekerjaan di luar kota meski memang dia juga curiga. Sebenarnya aku tidak peduli dia curiga atau cemburu, saat ini yang kupikirkan hanya ingin bertemu dengan Nilam untuk bisa melepas rindu meski ada tembok penghalang diantara kami.Hanya ibu dan Mbak Dilla yang sesekali memberikan informasi, itu pun atas seizin Nilam kata ibu. Diberikan informasi saja aku sudah merasa sangat senang.Saat ini aku menunggu keberangkatan. Meraba saku celana, aku lupa ponselku tertinggal di mobil. Tadi sempat berbalas pesan dengan ibu sebelum berangkat dari rumah. Semoga saja Laras belum pergi.Dengan berlari aku menuju parkiran. Senyumku tersungging melihat mobil masih terparkir di tempat yang sama.Tanpa memanggilnya aku membuka pintu mobil.Mataku terbelalak, “Laras!”Laras lan
“Apa? Jangan asal bicara kau ya!”“Anda menghalangi jalan saya.” Dia mengalihkan pembicaraan.Aku mengurungkan niat untuk bicara saat melihat mobil masuk pekarangan rumah. Bisa kulihat ada Nilam dan Mbak Dilla di dalam. Kalau tahu Nilam akan pulang, aku juga bisa menjemputnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri dan membukakan pintu mobil, tidak mau sampai lelaki itu mendahului. Alin masih dalam gendonganku.Sepertinya kalau aku tidak sedang menggendong Alin, Nilam akan protes dengan keberadaanku. Sekarang perhatiannya malah tertuju pada Alin.Rasa rinduku terbayar saat melihatnya. Namun hatiku teriris melihat Nilam malah tampak kurus, tidak seperti saat awal kehamilan. Apa kondisinya semakin memburuk?Pada siapa aku harus bertanya kalau semuanya selalu bungkam seolah aku ini orang asing yang tidak boleh tahu apa-apa.Dia mengelus lembut pipi Alin, “Mas, biar aku yang gendong.”“Tidak usah. Kamu saja masih terlihat lemas begitu.”Mbak Dilla menghampiri dan menggandeng tangan Nilam ma
“Bu.” Aku menyamai langkah kaki ibu.“Apa lagi?”Aku terdiam tidak langsung menjawab. Bingung untuk kembali mengatakannya.“Kalau memang kamu mau dikembalikan semua hartamu itu, biar nanti ibu bilang pada Nilam. Dia juga bukan wanita serakah, dia hanya tidak ingin hartamu jatuh ke tangan yang tidak tepat. Kamu harus tahu, meskipun Nilam hanya duduk diam selama kamu bekerja tapi doanya selalu mengiringi langkahmu. Jangan sombong dengan merasa kamu sukses dengan usahamu sendiri, doa istrimu juga berperan.”Kuhembuskan napas panjang. Hanya berdiri mematung membiarkan ibu pergi ke kamarnya.‘Apa selama ini aku begitu sombong?’Dengan gontai aku melangkah menuju kamar, menghempaskan tubuh di ranjang. Mataku terpejam tapi tidak benar-benar tidur.Sibuk dengan pikiran berkecamuk karena masalah bertubi-tubi yang datang dalam hidupku. Masalahku dan Laras juga harus diselesaikan, aku tidak mau ada yang menggantung. Pulang dari sini aku akan langsung menemuinya. Entah pesan apa saja yang sudah d
“Mas, nanti saja ya. Aku lelah hari ini, kita juga baru bertemu lagi.” Laras memberikan alasan agar tidak dibawa ke rumah sakit.“Berarti memang kau bohong. Kau tidak hamil.”“Iya, Bagas. Biarkan Laras istirahat dulu,” ibunya ikut membela.“Di sini ada rumah sakit yang dekat, Laras juga hanya duduk diam tidak saya suruh menyetir.” Kuraih tangan Laras dan menariknya menuju mobil.“Mas. Besok saja ya.”Aku tidak memperdulikan perkataannya. Aku ingin selesai sekarang juga, aku akan menepati apa yang tadi kuucap. Kalau memang Laras hamil dan itu anakku, maka tidak akan aku menjatuhkan talak padanya namun jika sebaliknya maka tidak ada alasanku untuk tetap bersamanya.Setiap melihatnya saja bahkan aku selalu ingat saat dimana dia dan Om Rudy di dalam mobil. Menjijikan!Mataku memang fokus menatap jalan namun dari ekor mata bisa kulihat Laras duduk dengan gelisah. Sudah bisa ditebak jika dia memang berbohong. Sengaja aku membawanya langsung ke sana agar dia tidak bisa untuk mengelak.“Mas,
Pintu terkunci saat aku hendak mendorongnya dari luar.“Laras!”Brak!Keningku berkerut mendengar sesuatu yang jatuh dari dalam.“Iya, Mas.” Dia menyahut lalu membuka pintu, wajahnya tampak pias, “kenapa pulang lagi, Mas?” tanyanya dengan senyum yang seperti dipaksakan.“Ambil dompet,” jawabku lalu masuk untuk mengambil dompet di dalam kamar.Aku masih tidak habis pikir dengan isi otaknya. Menyesal sekali aku menikahinya karena ingin mendapatkan anak, kuharap kalau memang anak itu darah dagingku dia tidak mewarisi apapun buruknya dariku atau dari Laras.Memang sangat penting memilih istri yang baik dan aku salah memilih, aku salah jalan. Sedangkan wanita yang sudah tepat kupilih malah kusia-siakan dan kini tak bisa lagi kugenggam.“Mobil-”“Aku pulang agak malam,” potongku lalu pergi.Semuanya semakin jelas. Penyesalanku semakin dalam lagi.Langkahku terayun menuju pangkalan ojek sambil menyesali semuanya. Setiap hari kusesali apa yang sudah kulakukan meski tidak akan membuat semuanya