“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”
Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya meninggal. Orang tuanya entah ada di mana, dari kecil Nilam diasuh oleh neneknya yang sudah lama meninggal.[Bang, cari tahu kondisi Nilam. Dan pastikan dokternya diganti.] Pesan yang kukirim pada Bang Haikal.Tidak akan kubiarkan dokter genit itu mendekati Nilam. Harusnya dari awal aku mencari dokter perempuan, dokter yang bagus tidak hanya dia.Ting!Kukira pesan balasan Bang Haikal, ternyata dari Heru.[Kerugian bukan lagi ratusan juta, Pak. 1.5 M keseluruhannya. Informasi kemarin keliru, itu hanya kerugian di bagian lantai dasar saja. Banyak komplain masuk dan minta segera diganti barangnya.]“Sial, sial!” Ingin sekali aku melampiaskan kemarahan karena apa yang menimpaku.[Urus semuanya, Her.]Aku sendiri yang turun tangan tidak akan benar, apalagi pikiranku kacau. Perhatianku terbelah, pada masalahku dan juga Nilam.[Apa yang kamu lakukan pada Laras? Kenapa pulang ke rumah dia malah menangis begini. Ingat ya, kalian itu baru saja menikah. Saya tidak akan biarkan kamu menyakiti anak saya.]“Apa lagi ini?” gumamku membaca pesan masuk dari ibunya Laras.Laras pasti mengadu yang tidak-tidak. Bukannya membuat beban di pundak terasa lebih ringan, Laras malah menambahnya lagi membuatku susah untuk bergerak.Kubiarkan saja pesan itu. Menanggapinya malah membuat semakin mumet.***Beberapa hari ini aku sangat sibuk. Soal kebakaran sudah dipastikan terjadi karena konsleting listrik. Kerugian pada konsumen pun sudah dibayarkan, sekarang aku sedang memantau pembagunan gudang. Setelah dibereskan dan diratakan kini akan dibangun kembali sedangkan untuk gudang sementara aku menyewa tempat.Untung saja apa yang terjadi tidak membuatku sampai miskin lagi. Itu jelas tidak mungkin, tabunganku masih ada dan aset ....Aset. Ya ampun, aku baru ingat. Aset-aset yang kumiliki atas nama Nilam. Aku harus bertemu dengannya untuk membicarakan aset itu, dia pasti tidak akan menolak.Perkebunan dan tanah di kampung halaman, aset itu paling berharga karena uang sudah pasti bisa habis terpakai. Dulu ibu mengatakan padaku jika memiliki aset harus atas nama Nilam dan aku ikut saja. Sekarang malah jadi begini.[Mas, kapan pulang? Jemput aku.]Dia juga yang akhirnya mengalah.Aku mencibir melihat pesan dari Laras. Beberapa hari dia sepertinya sengaja tidak menghubungiku karena marah tapi akhirnya dia juga yang bicara duluan.[Sekarang aku jemput.]Kasihan juga dia kalau terus kuabaikan. Bagaimanapun Laras itu istriku, kami baru saja menikah. Aku bahkan belum merasakan manisnya bulan madu malah sibuk menyelesaikan masalah yang tiba-tiba datang. Aku ingin segera punya anak.Sepertinya menghabiskan waktu dengan Laras tidak buruk.“Awasi baik-baik. Aku mau pulang. Kalau ada masalah langsung hubungi aku,” kataku pada Heru.“Baik, Pak.”Aku langsung meluncur menuju rumah orang tua Laras. Ternyata di rumahnya hanya ada Laras dan juga ibunya sedangkan ayahnya pergi ke toko. Ayahnya Laras pemilik toko kelontong.“Akhirnya kamu pulang juga.” Laras berhambur memelukku.“Aku pergi juga karena ada masalah.”Kuputuskan untuk tinggal di dekat gedung beberapa hari kemarin agar bisa mudah menyelesaikan semuanya.“Duduk, Nak Bagas. Ibu buatkan minum.” Ibu mertuaku tersenyum lebar lalu berjalan ke dapur.“Pokoknya aku tidak mau diganggu lagi, Mas. Kita pengantin baru tapi seperti sedang pacaran saja, berjauhan. Aku tidak suka seperti itu,” ujarnya dengan kepala bersandar di pundakku, manja.“Iya.”“Kamu juga tidak usah marah-marah seperti kemarin, aku takut.” Dia mendongak, menatapku dengan sorot lembut.“Maaf ya. Kemarin banyak masalah makanya aku emosi. Sekarang tidak kok.”Pokoknya aku tidak akan membiarkan Laras juga marah dan pergi. Dia akan tetap ada di sampingku dan nanti Nilam juga akan kembali. Rasanya pasti akan sangat bahagia memiliki istri dua. Membayangkannya saja membuat dadaku membuncah apalagi jika sampai terjadi.“Mas, kenapa senyum-senyum begitu!” tergur Laras.“Hah, siapa yang senyum?”“Itu tadi apa?”“Sudahlah. Kita bahas yang lain saja.”Laras mengangguk, “Oke. Soal bulan madu, aku sudah list kemana saja nanti kita pergi. Tidak usah ke luar negeri, di sini saja dulu dan kamu juga harus tepati janji.”Keningku berkerut, “Janji apa?”“Belikan mobil buat ibu dan bapak.”“Apa?” Aku terbelalak, “kapan aku bilang begitu, Laras?”“Bukan kamu yang bilang sih tapi aku. Kalau aku tidak bilang begitu ibu pasti akan terus marah-marah.”“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug
Apa yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Biarlah dia menjalani kehidupan yang dia anggap akan membawa kebahagiaan itu, tanpa sadar membawanya terjerumus ke dalam jurang.Ting!Di tengah pembicaraan kami, ponselku berdenting. Pesan masuk dari dokter Ilyas.[Bu Nilam. Hari ini datang lebih awal ya, soalnya saya ada urusan. Jadi kemungkinan untuk sore hari tidak bisa.]“Bukan dari Bagas?” tanya Mbak Dilla.“Dokter Ilyas, Mbak.”Wajah ketus Mbak Dilla langsung penuh senyum, “Apa dia bilang?”“Jadwalnya dimajukan karena dokter Ilyas ada urusan.”“Ya sudah, ayo siap-siap.” Mbak Dilla tampak semangat.Setelah tahu masalahku dan Mas Bagas, Mbak Dilla tampak senang sekali jika aku pergi untuk kontrol. Aku tahu dia ingin aku dekat dengan dokter Ilyas, tapi aku sama sekali tidak ada niat untuk itu. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan fokus hanya pada kondisi kesehatan.Dibilang trauma, ya bisa jadi. Takut jika pasanganku nanti sama seperti Mas Bagas, berkhianat dan membuat luka hatiku kemb
POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
“Cepat masak, aku lapar. Aku mau mandi dulu.”Tanpa menunggu jawabannya, aku beranjak menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket karena keringat. Berharap air dingin yang mengguyur kepala bisa sedikit meredam emosi yang kurasa.Janjinya sebelum menikah mau jadi ibu rumah tangga, diam di rumah dan melayani suami. Saat sudah dijadikan istri, mana ada dia seperti itu. Menyesal aku rasanya tapi sayang juga kalau dipulangkan karena aku masih membutuhkannya.Jika aku teruskan perdebatan tadi maka tidak akan ada beresnya. Yang ada kepalaku ini seperti akan meledak.‘Nilam, Mas merindukan kamu, sayang.’Hanya dia yang paling mengerti aku.Selesai mandi, aku bisa mencium bau masakan yang tidak asing. Dengan kening berkerut melangkah keluar dari kamar.“Masak apa?” tanyaku pada Laras yang berdiri memunggungiku, masih di depan kompor.“Ini.” Dia berbalik dan menaruh semangkuk mie instan di hadapanku.“Hanya ini?” Alisku bertaut.Dia mengangguk, “Hanya itu yang bisa aku masak.”Aku menghe
“Lepas. Mas!”Laras berontak saat aku menyeretnya keluar dari rumah Mbak Dilla.“Kau membuatku malu, tahu tidak!”“Jawab dulu pertanyaanku tadi, benar kamu jadi miskin sekarang, Mas?” tanyanya.“Masuk!” Aku melepaskan tangannya dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Sudah datang tidak diundang ke sini lalu membuat keributan. Laras memang membuatku malu. Tidak pernah sekali saja dia bersikap wajar dan tidak membuatku marah.Selama perjalanan aku sama sekali tidak bicara, membiarkan Laras terus berleloteh. Aku hanya tidak ingin nantinya malah lebih emosi, masalahnya aku sedang menyetir. Lebih baik menyelesaikan semuanya saat di rumah nanti.Laras juga diam mungkin capek mengoceh terus.“Kamu tetap mau diam, Mas?” Sampai di rumah Laras langsung buka suara.Aku menghela napas panjang, “Jelas tidak. Mana mungkin aku jadi miskin lagi.”“Terus tadi yang kakak kamu bilang itu apa? Candaan?”“Kenapa kamu lebih galak sih. Kalau memang aku miskin kenapa? Menyesal menikah denganku iya?” Emosiku ter
Perkataan Nilam terus terngiang di telinga tapi aku sama sekali tidak percaya itu, sampai sekarang Nilam masih mencintaiku. Itu sudah pasti. Kami bersama bukan dalam waktu singkat, jadi tidak akan mungkin lupa semudah itu. Dia hanya asal bicara saja.Setelah lama menunggu hingga bisa lagi memegang uang, tidak ada rasa bahagia yang kurasa. Kalau sampai Nilam menolak kembali dan nikah muhallil maka semua hartaku akan berada di tangannya dan aku kembali melarat? Tidak, membayangkannya saja aku tak mampu. Susah payah, jatuh bangun aku sampai ada di titik ini.Aku harus meminta bantuan ibu, ibu pasti tidak akan mungkin bisa lama marah padaku. Bagaimana pun aku ini anaknya.[Mas, pulang kerja belikan aku cemilan ya.]Aku menghela napas membaca pesan dari Laras. Dia memang sudah tidak bertingkah, baru saja kemarin dia bicara begitu. Entah kedepannya dia akan tetap manis atau jadi menyebalkan seperti sebelumnya.[Hm.] Aku membalas singkat.Untuk hari ini, aku hanya akan pulang ke rumah. Besok
“Lakukan. Lakukan apapun untuk melampiaskan kekecewaan kalian padaku.”Aku pasrah menerima pukulan dan tendangan yang dilayangkan Bang Haikal. Benar apa kata Mbak Dilla, sakit fisik yang kurasakan tak sebanding dengan luka hati Nilam.Tubuhku rasanya remuk, kini terduduk di lantai karena tenagaku bahkan habis meski tidak melawan. Tubuh Bang Haikal tinggi besar, melawan pun aku akan tetap kalah.“Mbak harap kamu benar-benar sadar dengan kesalahanmu. Kamu pikir Mbak tidak sedih melihatmu menghancurkan hidupmu sendiri? Kamu sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Lain kali berpikir dengan otak sebelum bertindak,” ucap Mbak Dilla sebelum melangkah kembali ke dapur.Dari ekor mata aku bisa melihat Nilam berdiri tak jauh dengan wajah tanpa ekspresi.‘Apa sudah benar-benar hilang rasa pedulimu padaku?’Jantungku seperti diremas kuat melihat Nilam melengos seolah tidak ingin menatapku. Dia berjalan begitu saja melewatiku.“Bang, tanggung jawab. Jangan sampai nanti ada pihak yang merasa dirugikan