POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
“Cepat masak, aku lapar. Aku mau mandi dulu.”Tanpa menunggu jawabannya, aku beranjak menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket karena keringat. Berharap air dingin yang mengguyur kepala bisa sedikit meredam emosi yang kurasa.Janjinya sebelum menikah mau jadi ibu rumah tangga, diam di rumah dan melayani suami. Saat sudah dijadikan istri, mana ada dia seperti itu. Menyesal aku rasanya tapi sayang juga kalau dipulangkan karena aku masih membutuhkannya.Jika aku teruskan perdebatan tadi maka tidak akan ada beresnya. Yang ada kepalaku ini seperti akan meledak.‘Nilam, Mas merindukan kamu, sayang.’Hanya dia yang paling mengerti aku.Selesai mandi, aku bisa mencium bau masakan yang tidak asing. Dengan kening berkerut melangkah keluar dari kamar.“Masak apa?” tanyaku pada Laras yang berdiri memunggungiku, masih di depan kompor.“Ini.” Dia berbalik dan menaruh semangkuk mie instan di hadapanku.“Hanya ini?” Alisku bertaut.Dia mengangguk, “Hanya itu yang bisa aku masak.”Aku menghe
“Lepas. Mas!”Laras berontak saat aku menyeretnya keluar dari rumah Mbak Dilla.“Kau membuatku malu, tahu tidak!”“Jawab dulu pertanyaanku tadi, benar kamu jadi miskin sekarang, Mas?” tanyanya.“Masuk!” Aku melepaskan tangannya dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Sudah datang tidak diundang ke sini lalu membuat keributan. Laras memang membuatku malu. Tidak pernah sekali saja dia bersikap wajar dan tidak membuatku marah.Selama perjalanan aku sama sekali tidak bicara, membiarkan Laras terus berleloteh. Aku hanya tidak ingin nantinya malah lebih emosi, masalahnya aku sedang menyetir. Lebih baik menyelesaikan semuanya saat di rumah nanti.Laras juga diam mungkin capek mengoceh terus.“Kamu tetap mau diam, Mas?” Sampai di rumah Laras langsung buka suara.Aku menghela napas panjang, “Jelas tidak. Mana mungkin aku jadi miskin lagi.”“Terus tadi yang kakak kamu bilang itu apa? Candaan?”“Kenapa kamu lebih galak sih. Kalau memang aku miskin kenapa? Menyesal menikah denganku iya?” Emosiku ter
Perkataan Nilam terus terngiang di telinga tapi aku sama sekali tidak percaya itu, sampai sekarang Nilam masih mencintaiku. Itu sudah pasti. Kami bersama bukan dalam waktu singkat, jadi tidak akan mungkin lupa semudah itu. Dia hanya asal bicara saja.Setelah lama menunggu hingga bisa lagi memegang uang, tidak ada rasa bahagia yang kurasa. Kalau sampai Nilam menolak kembali dan nikah muhallil maka semua hartaku akan berada di tangannya dan aku kembali melarat? Tidak, membayangkannya saja aku tak mampu. Susah payah, jatuh bangun aku sampai ada di titik ini.Aku harus meminta bantuan ibu, ibu pasti tidak akan mungkin bisa lama marah padaku. Bagaimana pun aku ini anaknya.[Mas, pulang kerja belikan aku cemilan ya.]Aku menghela napas membaca pesan dari Laras. Dia memang sudah tidak bertingkah, baru saja kemarin dia bicara begitu. Entah kedepannya dia akan tetap manis atau jadi menyebalkan seperti sebelumnya.[Hm.] Aku membalas singkat.Untuk hari ini, aku hanya akan pulang ke rumah. Besok
“Lakukan. Lakukan apapun untuk melampiaskan kekecewaan kalian padaku.”Aku pasrah menerima pukulan dan tendangan yang dilayangkan Bang Haikal. Benar apa kata Mbak Dilla, sakit fisik yang kurasakan tak sebanding dengan luka hati Nilam.Tubuhku rasanya remuk, kini terduduk di lantai karena tenagaku bahkan habis meski tidak melawan. Tubuh Bang Haikal tinggi besar, melawan pun aku akan tetap kalah.“Mbak harap kamu benar-benar sadar dengan kesalahanmu. Kamu pikir Mbak tidak sedih melihatmu menghancurkan hidupmu sendiri? Kamu sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Lain kali berpikir dengan otak sebelum bertindak,” ucap Mbak Dilla sebelum melangkah kembali ke dapur.Dari ekor mata aku bisa melihat Nilam berdiri tak jauh dengan wajah tanpa ekspresi.‘Apa sudah benar-benar hilang rasa pedulimu padaku?’Jantungku seperti diremas kuat melihat Nilam melengos seolah tidak ingin menatapku. Dia berjalan begitu saja melewatiku.“Bang, tanggung jawab. Jangan sampai nanti ada pihak yang merasa dirugikan
POV LarasTidak peduli Mas Bagas sudah beristri, yang penting dia tertarik padaku dan jelasnya dia seorang pengusaha. Aku tidak mau lagi hidup susah.Kabar bahagia datang setelah aku dan dia menikah, ternyata dia dan istrinya sudah berpisah. Aku akan dengan mudah menguasai harta Mas Bagas meskipun dia bilang kalau semua hartanya ada di tangan Nilam. Diam-diam ternyata dia serakah juga, aku tidak akan menerima begitu saja.Nilam itu hanya mantan istri Mas Bagas sedangkan aku istrinya. Sudah jelas aku lebih berhak.Bertahan dalam kesederhanaan pun terpaksa kulakukan agar Mas Bagas percaya kalau aku itu memang mencintainya bukan karena harta. Dia juga tidak bisa dibilang lelaki jelek karena parasnya tampan. Meski tidak cinta tapi aku mendapatkan banyak keuntungan menjadi istrinya.“Kamu harus segera hamil. Selama ini Bagas mau anak ‘kan? Kalau kamu hamil, Bagas pasti akan mengambil lagi semua harta itu dari mantan istrinya bagaimana pun caranya.”“Iya, aku juga maunya hamil, Bu. Tapi ‘ka
POV BagasAku hanya menjalani hari menunggu saat itu tiba, saat dimana anakku akan lahir ke dunia. Kemarin ibu sudah mengatakan jika Nilam akan segera melahirkan dan aku diberikan izin untuk datang. Aku mengatakan pada Laras ada pekerjaan di luar kota meski memang dia juga curiga. Sebenarnya aku tidak peduli dia curiga atau cemburu, saat ini yang kupikirkan hanya ingin bertemu dengan Nilam untuk bisa melepas rindu meski ada tembok penghalang diantara kami.Hanya ibu dan Mbak Dilla yang sesekali memberikan informasi, itu pun atas seizin Nilam kata ibu. Diberikan informasi saja aku sudah merasa sangat senang.Saat ini aku menunggu keberangkatan. Meraba saku celana, aku lupa ponselku tertinggal di mobil. Tadi sempat berbalas pesan dengan ibu sebelum berangkat dari rumah. Semoga saja Laras belum pergi.Dengan berlari aku menuju parkiran. Senyumku tersungging melihat mobil masih terparkir di tempat yang sama.Tanpa memanggilnya aku membuka pintu mobil.Mataku terbelalak, “Laras!”Laras lan
“Apa? Jangan asal bicara kau ya!”“Anda menghalangi jalan saya.” Dia mengalihkan pembicaraan.Aku mengurungkan niat untuk bicara saat melihat mobil masuk pekarangan rumah. Bisa kulihat ada Nilam dan Mbak Dilla di dalam. Kalau tahu Nilam akan pulang, aku juga bisa menjemputnya.Dengan langkah cepat aku menghampiri dan membukakan pintu mobil, tidak mau sampai lelaki itu mendahului. Alin masih dalam gendonganku.Sepertinya kalau aku tidak sedang menggendong Alin, Nilam akan protes dengan keberadaanku. Sekarang perhatiannya malah tertuju pada Alin.Rasa rinduku terbayar saat melihatnya. Namun hatiku teriris melihat Nilam malah tampak kurus, tidak seperti saat awal kehamilan. Apa kondisinya semakin memburuk?Pada siapa aku harus bertanya kalau semuanya selalu bungkam seolah aku ini orang asing yang tidak boleh tahu apa-apa.Dia mengelus lembut pipi Alin, “Mas, biar aku yang gendong.”“Tidak usah. Kamu saja masih terlihat lemas begitu.”Mbak Dilla menghampiri dan menggandeng tangan Nilam ma