Sampai di gudang, api memang sudah bisa dipadamkan namun bangunan itu sudah hangus. Tidak ada satupun barang yang bisa diselamatkan.
“Pihak kepolisan akan memeriksa lebih lanjut penyebab kebakaran, Pak,” ujar Heru.Kuhela napas panjang, “Urus semuanya. Kalau memang ada unsur kesengajaan dari orang, pastikan orang itu mendapatkan hukuman yang berat.”“Baik, Pak.”Aku melangkah meninggalkan tempat itu, berlama-lama di sini malah membuatku semakin merana. Meratapi nasib gedung dan isinya yang hangus dilalap si jago merah.Sampai di rumah entah pukul berapa karena ponselku mati total. Bahkan di sekitaran perumahan saja sudah sepi.“Sayang, buka pagarnya,” ucapku sambil menekan bell.Dari dalam Nilam pasti mendengar suaraku.Apa mungkin dia sudah tidur, apalagi kondisi kesehatannya kurang bagus. Apa dia tidak mendengar bell bunyi? Tanganku sampai gatal karena digigit nyamuk.Kembali kutekan bel berharap Nilam segera keluar.Aku bisa bernapas lega mendengar pintu terbuka, namun senyumku hilang saat Mbak Dilla yang keluar dan berjalan menghampiri.“Mau apa kamu di depan rumah orang malam-malam begini? Mengganggu saja,” ujar Mbak Dilla dengan ketus.“Mbak, tidak usah bercanda. Buka pagarnya, aku sudah lelah dan ingin istirahat.”Mbak Dilla mencebik, “Istirahat sana di rumah istri barumu. Jangan pernah datang ke sini lagi apalagi mengusik Nilam.”Aku terdiam sejenak sebelum ingatan sola apa yang terjadi kini memenuhi benak. Aku sampai lupa jika tadi pagi aku menikahi Laras.Bahkan soal Nilam yang mengusirku dari rumah kembali membayang di pelupuk mata. Aku ingin sekali mengetahui kondisi Nilam namun sayang dia sama sekali tidak mengangkat panggilan bahkan pesanku saja tidak dibalas.“Sudah ingat sekarang? Jadi pergilah! Jangan ganggu orang yang sedang istirahat,” usir Mbak Dilla.Dengan kasar aku mengusap wajah, “Mbak, aku benar-benar lelah. Izinkan aku di sini sampai besok, aku baru saja mendapatkan kabar buruk soal gedungku yang terbakar,” ungkapku berharap Mbak Dilla iba.“Itu bukan urusanku. Pergi sana atau aku panggil satpam komplek untuk mengusirmu. Nanti kau yang akan malu sendiri.”Aku memang tidak pernah bisa menang melawan Mbak Dilla. Tidak ada cara lain, jadi harus mengalah.Meski sangat lelah, aku kembali ke hotel. Jarak dari sini lumayan jauh. Belum lagi perjalanan pulang pergi ke gedung yang jaraknya dua jam lebih.Aku tidak memiliki rumah lain selain rumah yang kini ditempati Nilam, itu pun sertifikat atas nama Nilam karena aku yang memberikan untuknya. Jadi aku sendiri belum memiliki rumah. Dan berpikir ulang untuk membeli rumah karena kerugian yang sepertinya bisa jadi lebih besar dari perkiraan. Lebih baik berhemat saja untuk beberapa waktu ke depan.***“Mas kamu dari mana saja sih? Aku khawatir tahu. Jangan-jangan kamu malah berencana menginap di rumah Mbak Nilam ya?”Baru saja membukakan pintu, Laras terus mengoceh.“Bisa diam tidak? Kepalaku rasanya mau pecah mendengarmu terus mengoceh begini.”Laras mendelik, “Kamu itu kenapa sih, Mas? Kenapa marah padaku. Harusnya aku yang marah karena dibiarkan menunggu sangat lama di hotel dan parahnya kamu menurunkan aku di jalan. Suami macam apa kamu itu.”“Diam atau aku pergi!” ancamku.Laras mengatupkan bibirnya, “Pergi mandi, Mas. Kamu sangat berkeringat.” Suaranya mulai lembut.Tanpa membalas perkataannya aku melangkah masuk ke kamar mandi, hanya membasuh muka dan kembali ke kamar.Laras sudah menunggu, dia memakai pakaian dinas yang tempo hari dibelinya. Tapi untuk sekarang sama sekali tidak ada hasrat untuk menyentuhnya.Hanya ada masalah yang memenuhi benakku.“Mas, kenapa tidak mandi?” Dengan manja Laras merengek, bergelayut di lenganku.“Aku capek, Ras. Mau tidur!” Kuhempaskan tangannya.Lelah hati, fisik dan pikiran. Aku ingin sekali tidur hanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.“Mas, ini malam pertama kita loh. Kamu mau langsung tidur?” Laras kembali merengek sambil memasang wajah cemberut.“Kamu mengerti tidak hah? Aku bilang aku capek. Kamu jangan membuatku semakin pusing dengan bertingkah kekanakan begini,” bentakku.Mungkin biasanya aku senang melihat Laras bersikap manja tapi kali ini aku malah muak melihatnya.“Mas, kenapa kamu bentak aku?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.“Dengar ya, Laras. Aku baru saja mengalami musibah, gudang milikku kebakaran. Jangan membuatku tambah pusing.”Laras terbelalak, “A-apa? Kebakaran? Kenapa bisa, Mas. Lalu bagaimana nanti, kamu dapat penghasilan dari mana? Kamu janji ‘kan akan memberikan uang bulanan tiga puluh juta. Terus nasib bulan madu kita?”Aku melongo, “Dalam keadaan aku mendapatkan musibah kau hanya mengingat uang dan bulan madu? Aku tidak habis pikir dengan isi otakmu. Nilam tidak pernah-”“Tidak usah bawa-bawa namanya saat bersamaku, Mas!” potongnya.“Kenapa? Kau harus mencontoh Nilam. Tidak pernah sekalipun dia mementingkan soal apa yang kau ributkan itu. Saat aku dalam masalah Nilam pasti menguatkan aku, di-”“Ya sudah. Kembali sana padanya! Tidak usah membanding-bandingkan segala.”“Oh begitu ya. Kau ingin aku kembali pada Nilam? Aku juga memang merasa lebih baik jika bersama Nilam, dia tidak pernah membuatku pusing karena ulahnya, tidak sepertimu yang banyak mau!”Aku turun dari ranjang dan menyambar kunci mobil dan ponsel di atas nakas.Perdebatan tidak bisa dihindarkan.Laras tampak kaget melihat aku beranjak, “Mas ... kamu mau kemana? Jangan tinggalkan aku, aku ... tadi ... hanya terbawa emosi.” Dia menahan tanganku.“Jangan ganggu aku!” Kuhempaskan tangannya dan keluar dari kamar itu.Istirahat satu kamar dengannya yang ada bukan tenang malah rusuh.Ini namanya malam pertama penuh derita, tidak ada yang namanya malam pertama saling merajut cinta.Kuhempaskan tubuh di ranjang, memandang nyalang pada langit-langit kamar.Aku masih di hotel hanya saja memesan kamar lain. Untuk malam ini ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun apalagi Laras.Dia bukannya simpati padaku malah sibuk memikirkan dirinya sendiri.Aku jadi merindukan Nilam, menginginkan dia ada di sampingku saat situasi seperti ini. Karena dia yang paling mengerti, tidak pernah merecoki saat aku ada masalah. Selalu setia mendengar keluhan yang aku ceritakan.Tidak pernah sekalipun Nilam protes dengan nafkah yang aku berikan saat dulu kami susah, berapapun itu dia terima dengan penuh senyuman. Bahkan selama menjadi istriku, tidak pernah kudengar sekalipun dia mengeluh dengan kondisi kami yang saat itu terpuruk.Sengaja aku memberikan nafkah hanya tiga puluh juta pada Laras, aku tidak bodoh. Aku tidak mau dia menghamburkan uang yang susah payah kukumpulkan. Berbeda saat dengan Nilam, aku menyerahkan semua kartu debit dan kartu kredit padanya. Aku percaya karena
“Dokter, sudah masuk jam praktek ‘kan?”Mbak Dilla tiba-tiba datang.“Iya. Mari, Bu Nilam.” Dokter itu tersenyum puas sambil menatapku.“Awas!” Mbak Dilla menarik tanganku agar tidak menghalangi jalan Nilam.Tanpa peduli padaku Nilam berjalan mengikuti dokter itu.“Mbak, kenapa membiarkan Nilam berduaan dengan dokter itu?” tanyaku kesal.“Apa urusanmu? Nilam itu mengobrol dengan dokternya, memang apa salahnya?” balas Mbak Dilla sengit.“Dia itu hanya mau mendekati Nilam, Mbak. Aku akan carikan dokter lain yang tidak genit.”“Apa pedulimu? Tidak usah ikut campur urusan Nilam. Kamu itu sudah bukan suaminya, jadi tidak perlu repot mengurus dia. Sampai kamu ikuti Nilam, awas saja!” Mbak Dilla mengaucngkan jari telunjuknya padaku sebelum beranjak pergi.“Aish! Kenapa malah keluargaku sendiri menyudutkan begini,” geramku.Niat hati ingin bertemu dan mengetahui kondisi Nilam, malah berujung seperti ini.Keluargaku sangat menyayangi Nilam. Apalagi Nilam hanya sebatangkara setelah neneknya men
“Kamu jangan menjanjikan apapun ke orang apalagi pakai nama aku!”“Ya maaf, Mas. Memang kamu tidak mau membuat ibu dan bapak senang? Hanya mobil loh, Mas. Uang kamu itu pasti banyak.”Aku menghela napas panjang, mengusap wajah dengan kasar. Sepertinya aku harus pastikan jika Laras bukan wanita yang matre, belum satu bulan menikah malah minta dibelikan mobil untuk orang tuanya. Nanti apa lagi?Banyak uang bukan berarti aku suka menghamburkannya. Nilam bahkan menyarankan aku untuk berinvestasi daripada harus membeli sesuatu yang tidak penting. Laras malah sebaliknya, dia merongrong.“Lebih baik sekarang cari tempat tinggal dulu saja. Memang kamu mau tetap di sini?” Langsung kualihkan pembicaraan.“Tapi aku yang pilih ya, Mas.” Senyumnya kembali merekah.“Iya. Aku ada rekomendasi tempat tinggal dari temanku.”Jangan harap aku akan membawamu tinggal di apartemen mewah seperti yang ad adalam benakmu. Aku ingin tahu apakah kau bisa menerima jika tinggal di tempat sederhana atau tidak.Tidak
POV Nilam[Nilam. Maaf, tapi kamu harus tahu ini.]Tanganku gemetar, mata sudah memanas membuat buliran air mata tak bisa lagi kutahan. Pulang dari rumah sakit malah aku mendapatkan kejutan tak terduga.Foto pernikahan Mas Bagas dan selingkuhannya sudah sangat menegaskan. Tidak ada lagi yang bisa kupertahankan.Memaksanya untuk bertahan hanya akan menyiksaku. Apapun alasan dia selingkuh tetap tidak bisa dibenarkan. Aku lebih baik mundur dan mempertahankan kewarasan daripada bertahan dengan menahan luka yang dalam. Aku tidak akan sanggup.Sekarang aku tahu, alasan dia menjatuhkan talak. Aku kira karena memang dia sedang dalam masalah makanya emosinya tidak mampu dikontrol namun ternyata ada wanita lain yang kini membuat kesetiaannya luntur.Tidak ada yang kumiliki lagi sekarang.Aku beranjak meraih fotoku bersama nenek yang berada di nakas. Kusentuh bingkai foto itu dengan lembut, “Dulu Nilam ditinggalkan ibu dan ayah lalu nenek juga ikut meninggalkan Nilam. Sekarang ... Mas Bagas jug
Apa yang terjadi padanya bukan urusanku lagi. Biarlah dia menjalani kehidupan yang dia anggap akan membawa kebahagiaan itu, tanpa sadar membawanya terjerumus ke dalam jurang.Ting!Di tengah pembicaraan kami, ponselku berdenting. Pesan masuk dari dokter Ilyas.[Bu Nilam. Hari ini datang lebih awal ya, soalnya saya ada urusan. Jadi kemungkinan untuk sore hari tidak bisa.]“Bukan dari Bagas?” tanya Mbak Dilla.“Dokter Ilyas, Mbak.”Wajah ketus Mbak Dilla langsung penuh senyum, “Apa dia bilang?”“Jadwalnya dimajukan karena dokter Ilyas ada urusan.”“Ya sudah, ayo siap-siap.” Mbak Dilla tampak semangat.Setelah tahu masalahku dan Mas Bagas, Mbak Dilla tampak senang sekali jika aku pergi untuk kontrol. Aku tahu dia ingin aku dekat dengan dokter Ilyas, tapi aku sama sekali tidak ada niat untuk itu. Mungkin untuk beberapa waktu kedepan fokus hanya pada kondisi kesehatan.Dibilang trauma, ya bisa jadi. Takut jika pasanganku nanti sama seperti Mas Bagas, berkhianat dan membuat luka hatiku kemb
POV Bagas“Oke, kalau itu maumu. Jangan harap bisa bertemu dengan anak ini nanti,” ucapnya sambil mengelus perut.Aku terbelalak, “Ka-kamu hamil?”“Silahkan pergi!” Nilam langsung berdiri tanpa menjawab pertanyaanku.“Tidak. Mas tidak akan pergi. Jadi benar kamu hamil?”“Tidak percaya? Ya sudah.”“Mas percaya.”Aku buru-buru mengeluarkan dompet dan memberikan semua kartu padanya, menyisakan satu yang terselip di dompet. Kalau tidak ada itu bagaimana aku bisa hidup nanti. Ini saja aku menyerahkan padanya karena takut ancamannya benar, karena Nilam tidak akan main-main dengan ucapannya. Selama ini aku susah menemuinya, jangan sampai nanti tidak bisa juga menemui anakku.Rasanya aku sangat bahagia mendengar kabar itu. Semoga saja untuk kehamilannya kali ini tidak keguguran lagi.“Itu satu lagi.” Mata Nilam begitu jeli.“Kalau ini kamu ambil juga bagaimana Mas nanti?” Aku mencoba mengiba padanya.“Nanti aku berikan gaji. Kamu ‘kan kerja di kantor, jadi aku akan kasih upah sesuai sama peke
“Cepat masak, aku lapar. Aku mau mandi dulu.”Tanpa menunggu jawabannya, aku beranjak menuju kamar mandi. Rasanya tubuhku sangat lengket karena keringat. Berharap air dingin yang mengguyur kepala bisa sedikit meredam emosi yang kurasa.Janjinya sebelum menikah mau jadi ibu rumah tangga, diam di rumah dan melayani suami. Saat sudah dijadikan istri, mana ada dia seperti itu. Menyesal aku rasanya tapi sayang juga kalau dipulangkan karena aku masih membutuhkannya.Jika aku teruskan perdebatan tadi maka tidak akan ada beresnya. Yang ada kepalaku ini seperti akan meledak.‘Nilam, Mas merindukan kamu, sayang.’Hanya dia yang paling mengerti aku.Selesai mandi, aku bisa mencium bau masakan yang tidak asing. Dengan kening berkerut melangkah keluar dari kamar.“Masak apa?” tanyaku pada Laras yang berdiri memunggungiku, masih di depan kompor.“Ini.” Dia berbalik dan menaruh semangkuk mie instan di hadapanku.“Hanya ini?” Alisku bertaut.Dia mengangguk, “Hanya itu yang bisa aku masak.”Aku menghe
“Lepas. Mas!”Laras berontak saat aku menyeretnya keluar dari rumah Mbak Dilla.“Kau membuatku malu, tahu tidak!”“Jawab dulu pertanyaanku tadi, benar kamu jadi miskin sekarang, Mas?” tanyanya.“Masuk!” Aku melepaskan tangannya dan masuk ke dalam mobil lebih dulu.Sudah datang tidak diundang ke sini lalu membuat keributan. Laras memang membuatku malu. Tidak pernah sekali saja dia bersikap wajar dan tidak membuatku marah.Selama perjalanan aku sama sekali tidak bicara, membiarkan Laras terus berleloteh. Aku hanya tidak ingin nantinya malah lebih emosi, masalahnya aku sedang menyetir. Lebih baik menyelesaikan semuanya saat di rumah nanti.Laras juga diam mungkin capek mengoceh terus.“Kamu tetap mau diam, Mas?” Sampai di rumah Laras langsung buka suara.Aku menghela napas panjang, “Jelas tidak. Mana mungkin aku jadi miskin lagi.”“Terus tadi yang kakak kamu bilang itu apa? Candaan?”“Kenapa kamu lebih galak sih. Kalau memang aku miskin kenapa? Menyesal menikah denganku iya?” Emosiku ter
Setelah kejadian itu, Jelita memutuskan untuk berhenti kuliah, ia tidak akan sanggup. Baginya lebih penting menjaga mental karena ia seorang ibu, harus tetap dalam kewarasan agar bisa merawat bayinya.Hubungannya dan Devan semakin hari semakin memburuk, apalagi setelah Bu Irma tidak tinggal bersama mereka. Mereka bahkan sudah berpisah kamar beberapa minggu ini, tepatnya saat ibunya Devan pulang kampung.Devan mencoba untuk mendekat dan membuat suasana mencari tapi Jelita terus menghindar. Bukan soal masalah di kampus saja yang menjadi beban Jelita namun ada sangkutannya dengan hubungan mereka.Jelita duduk di teras, ia tidak fokus, bahkan tidak menanggapi putrinya yang meracau tidak jelas. Biasanya Jelita paling senang melihat Arunika berceloteh tapi kali ini, pikirannya kosong.Helaan napas terdengar jelas.“Aku nggak bisa begini terus.” Jelita bangkit, masuk ke dalam rumah.
Berita soal Jelita sudah tersebar luas, setiap saat ponselnya berdenting tapi ia tidak berani untuk membukanya karena sudah jelas mereka hanya akan menghinanya saja.Jelita bahkan harus merasakan kupingnya panas karena di kelas banyak yang membicarakannya secara terang-terangan. Baginya menjelaskannya pun percuma karena memang itu faktanya, ia merebut calon suami ibunya sendiri.“Ta.” Recca menahan Jelita yang akan keluar dari kelas.“Aku mau pulan, Ca.” Ia melepas cekalan Recca dan buru-buru pergi.Ingin sekali ia menumpahkan tangisnya karena dadanya terasa sangat sesak. Dulu aibnya ditutup rapat-rapat oleh sang ibu, sekarang malah ada yang terang-terangan menyebarkan aib itu.Jelita sangat malu, ia bahkan tidak ingin lagi datang ke kampus karena dirinya menjadi bahan olok-olokan semua orang. Apa yang dirasakannya sekarang itu hasil perbuatannya, jadi jangan sampai menyalahkan orang lain.
“Siapa cowok tadi?” Devan menatap istrinya penuh selidik.Andai tadi ia tidak ditahan Jelita, mungkin laki-laki yang sudah lancang memeluk Jelita akan bonyok di tangan Devan.“Teman aku, kenapa sih. Nggak usah cemburu.” Jelita tampak tidak peduli, ia melewati begitu saja suaminya.“Teman dari mana? Nggak usah bohong.”“Nggak usah percaya kalau begitu, ribet amat.”Devan menahan tangan istrinya. “Kamu kenapa sih? Kalau ada masalah apa-apa itu cerita jangan simpan masalah sendiri.”“Masalahnya ada di kamu, Mas.”Kening Devan berkerut. “Aku? Aku kenapa?”Jelita menyeringai. “Kamu nggak pernah sadar ya, Mas.”“Kalau aku ada salah, bilang. Jangan diem begini, aku takut nggak menyadari kesalahan aku.” Devan mencoba untuk tidak tersulut emosi juga.Sudah seharusnya ia lebih sabar karena istrinya belum b
“Yakin mau tinggal di sini?” Lea menatap sang suami yang tengah memperhatikan kamar yang akan mereka tempati beberapa waktu kedepan.Sekarang mereka ada di kediaman orang tua Lea. Rumah mewah yang hanya ada dua orang dan beberapa art yang menempati. Anak-anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing.Baru pertama kali Adnan menginjakkan kaki di kediaman mertuanya. Dulu saat melamar sang istri bukan di rumah ini. Hatinya menciut karena istrinya lebih kaya daripada dugaannya.Tapi semua itu membuat Adnan semakin semangat untuk bekerja, ia tidak mau istrinya hidup susah bersamanya, saat bersama orang tuanya saja Lea diberikan segalanya dan saat hidup dengan Adnan pun akan lelaki itu usahakan untuk apapun yang diminta Lea meski istrinya memang jarang ingin ini atau itu. Lea sudah kenyang dengan limpahan harta orang tuanya. Ia juga bukan wanita yang suka belanja dan menghamburkan uang.“Kalau memang ini yang bisa membuat hubungan kita dan ayah membaik,
Mata wanita itu mengerjap pelan, kepalanya masih terasa berdenyut. Sosok sang suami yang tertangkap retina matanya saat ia bangun.“Mas.”“Iya, sayang. Bagaimana perasaan kamu? Ada yang sakit?”“Lita ....” Hanya Jelita yang ada dalam ingatan Lea sekarang.“Devan menemani Lita, nggak usah khawatir.” Adnan menggenggam tangan Lea, berulang kali mengecupnya penuh cinta.“Aku kenapa tadi, Mas?”“Kata dokter, tekanan darah kamu rendah dan stres makanya bisa pingsan.”Kepanikan bertambah beberapa saat lalu, Jelita akan melahirkan dan Lea tiba-tiba pingsan. Tapi sekarang situasi sudah terkendali.“Mas, aku mau kesana.”“Devan di sana, kamu di sini. Kondisi kamu lemas begini.”“Tapi, Mas.”“Doakan anak kita baik-baik saja. Persalinannya pasti lancar.” Adnan menyelipkan anak rambut Lea k
Lea menggeleng cepat. “Nggak. Lita asal ngomong aja itu.” “Periksa yuk.” Adnan meraih tangan istrinya. Dengan lembut Lea melepaskan tangan Adnan. “Nggak usah, aku nggak hamil, Mas.” Ia mengulum senyum meski hatinya perih. Berulang kali berharap dan berulang kali juga hatinya patah. Lea tidak mau lagi berharap, ia menerima kalau memang tidak akan pernah bisa punya anak meski dalam hatinya tetap ada ketakutan kalau nanti Adnan akan berputar haluan dan mencari wanita lain yang bisa memberikan keturunan. Adnan mengangguk, ia juga tidak mau memaksa istrinya. Ingatan lelaki itu sudah mulai berangsur kembali, ia ingat dulu Lea pernah menangis kecewa karena mengira dirinya hamil karena telat haid dua bulan ternyata hanya karena stres saja. “Ini, beneran buat aku? Nanti kalau habis baru mau.” Adnan mengalihkan pembicaraan. “Nggak. Buat Mas. Aku
“Tolong jangan pergi, Lita. Aku minta maaf.” Devan mulai takut kehilangan. Ia memang belum bisa mencintai istrinya itu tapi ia akan berusaha menjadi suami dan ayah yang baik. “Apa sekarang alesana Mas masih sama?” Devan menggeleng, ia masih memeluk erat istrinya. “Mas, lepas.” Jelita mencoba mendorong Devan. “Nggak mau. Kamu pasti mau ninggalin aku ‘kan?” Jelita memukul punggung suaminya, kesal. “Aku sesak ini, dedeknya kejepit.” Baru Devan mengurai pelukan setelah mendengar protes sang istri. “Maaf.” Wanita hamil itu tercengang karena melihat mata suaminya merah dan basah. Dia menangis? Apa Mas Devan benar-benar menyesalinya. Untuk saat ini Jelita belum bisa percaya, karena hatinya masih terluka karena alasan su
“Mau makan apa?”Jelita menggeleng. “Masih kenyang.”“Nanti kalau aku kerja, kamu ditemani bibik di rumah.”“Nggak bisa ya kalau aku ke rumah Ibu?”“Boleh banget. Senyamannya kamu saja.”Sebenarnya Jelita merasa aneh karena sikap Devan. Sebenarnya bukan pertama kalinya lelaki itu bersikap manis, dulu saja saat menjalin hubungan terlarang, Devan selalu manis dan romantis. Namun setelah menikah malah berubah.Seharian itu Devan tidak pernah beranjak dari samping sang istri.Jelita tampak fokus menikmati tayangan televisi sambil mengunyah keripik kentang.“Mas. Aku bosen di rumah.”“Kamu mau kemana?”“Jalan-jalan, sambil cari makan. Kayaknya kepiting enak.”“Ayo.” Devan berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu sang istri.Perhatian kecilnya membuat debaran
“Mau apa kamu kesini?” Lea berucap ketus.Meski begitu ia tetap menyalami mamanya Devan, bagaimanapun ia menghormati orang tua.“Lea. Mama kesini anter Devan.” Mama Irma memulai pembicaraan.“Ma, biarkan Devan yang bicara.” Lea tidak mau melibatkan orang tua dalam masalah yang ada.Devan tampak gelisah dalam duduknya. Ia tampak baik-baik saja, tidak ada memar di wajah.Saat perjalanan Lea sempat berpikir akan ada baku hantam antara suaminya Devan ternyata itu semua tidak terjadi. Hanya ketakutannya saja.“Silakan kalian bicara, Mama tunggu di luar ya.” Wanita paruh baya itu memilih untuk keluar rumah, membiarkan ruang untuk mereka bicara.Ada percikan cemburu dalam hati Adnan melihat jika istrinya begitu dekat dengan mamanya Devan. Sebenarnya wajar kalau sebelumnya mereka pernah akan menikah.“Aku kesini karena mau tanggung jawab pada Jelita.”Kening Adnan berkerut. “Maksud kamu?”“Izinkan aku kembali sama Jelita, Om. Aku mau rujuk sama dia.”Tiga orang itu terbelalak mendengar perkat